SEJAK terjadinya perang Badr pihak Quraisy sudah tidak pernah tenang lagi. Juga peristiwa Sawiq tidak membawa keuntungan apa-apa buat mereka. Lebih-lebih karena kesatuan Zaid bin Haritha telah berhasil mengambil perdagangan mereka ketika mereka hendak pergi ke Syam melalui jalan Irak. Hal ini mengingatkan mereka pada korban-korban Badr dan menambah besar keinginan mereka hendak membalas dendam. Bagaimana Quraisy akan dapat melupakan peristiwa itu, sedang mereka adalah bangsawan-bangsawan dan pemimpin-pemimpin Mekah, pembesar-pembesar yang angkuh dan punya kedudukan terhormat? Bagaimana mereka akan dapat melupakannya, padahal wanita-wanita Mekah selalu ingat akan korban-korban yang terdiri dari anak, atau saudara bapak, suami atau teman sejawat? Mereka selalu berkabung selalu menangisi dan meratapi.
Demikianlah keadaannya. Orang-orang Quraisy sejak Abu Sufyan bin Harb datang membawa kafilahnya dari Syam. yang telah menyebabkan timbulnya perang Badr, begitu juga mereka yang selamat kembali dari Badr, telah menghentikan kafilah dagang itu di Dar’n-Nadwa. Pembesar-pembesar mereka yang terdiri dari Jubair bin Mut’im, Shafwan bin Umayya, ‘Ikrima bin Abi Jahl, Harith bin Hisyam, Huaitib bin Abd’l-’Uzza dan yang lain, telah mencapai kata sepakat, bahwa kafilah dagang itu akan dijual, keuntungannya akan disisihkan dan akan dipakai menyiapkan angkatan perang guna memerangi Muhammad, dengan memperbesar jumlah dan penlengkapannya. Selanjutnva tenaga kabilah-kabilah akan dikerahkan dan supaya ikut serta bersama-sama dengan Quraisy menuntut balas terhadap kaum Muslimin. Ikut pula dikerahkan di antaranya Abu ‘Azza penyair yang telah dimaafkan oleh Nabi dari antara tawanan perang Badr. Begitu juga kabilah Ahabisy (ialah suatu gabungan kabilah-kabilah dan suku-suku kecil, dengan al-Harith bin Abd Manaf bin Kinana sebagai pemukanya. Hubungan mereka dekat sekali dengan Quraisy) yang mau ikut mereka dikerahkan pula. Wanita-wanita pun mendesak akan ikut pergi berperang.
Mereka berunding lagi. Ada yang berpendapat supaya kaum wanita juga ikut serta.
Biar mereka bertugas merangsang kemarahan kamu, dan mengingatkan kamu kepada korban-korban Badr. Kita adalah masyarakat yang sudah bertekad mati, tidak akan pulang sebelum sempat melihat mangsa kita, atau kita sendiri mati untuk itu.”
“Saudara-saudara dari Quraisy,” kata yang lain lagi. “Melepaskan wanita-wanita kita kepada musuh, bukanlah suatu pendapat yang baik. Apabila kalian mengalami kekalahan, wanita-wanita kita pun akan tercemar.”
Sementara mereka sedang dalam perundingan itu tiba-tiba Hindun binti ’Utba istri Abu Sufyan berteriak kepada mereka yang menentang ikut sertanya kaum wanita itu : “Kamu yang selamat dari perang Badr kamu kembali kepada istrimu. Ya. Kita herangkat dan ikut menyaksikan peperangan. Jangan ada orang yang menyuruh kamu pulang, seperti gadis-gadis kita dulu dalam perjalanan ke Badr disuruh kembali ketika sudah sampai di Juhfa (Juhfa : sebuah tempat sepanjang jalan Medinah-Mekah. tiga atau empat hari perjalanan dari Mekah; juga merupakan tempat pertemuan orang-orang Mesin dan Syam). Kemudian orang-orang yang menjadi kesayangan kita waktu itu terbunuh, karena tak ada orang yang dapat memberi semangat kepada mereka.”
--------------------------------------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 286-287.
Demikianlah keadaannya. Orang-orang Quraisy sejak Abu Sufyan bin Harb datang membawa kafilahnya dari Syam. yang telah menyebabkan timbulnya perang Badr, begitu juga mereka yang selamat kembali dari Badr, telah menghentikan kafilah dagang itu di Dar’n-Nadwa. Pembesar-pembesar mereka yang terdiri dari Jubair bin Mut’im, Shafwan bin Umayya, ‘Ikrima bin Abi Jahl, Harith bin Hisyam, Huaitib bin Abd’l-’Uzza dan yang lain, telah mencapai kata sepakat, bahwa kafilah dagang itu akan dijual, keuntungannya akan disisihkan dan akan dipakai menyiapkan angkatan perang guna memerangi Muhammad, dengan memperbesar jumlah dan penlengkapannya. Selanjutnva tenaga kabilah-kabilah akan dikerahkan dan supaya ikut serta bersama-sama dengan Quraisy menuntut balas terhadap kaum Muslimin. Ikut pula dikerahkan di antaranya Abu ‘Azza penyair yang telah dimaafkan oleh Nabi dari antara tawanan perang Badr. Begitu juga kabilah Ahabisy (ialah suatu gabungan kabilah-kabilah dan suku-suku kecil, dengan al-Harith bin Abd Manaf bin Kinana sebagai pemukanya. Hubungan mereka dekat sekali dengan Quraisy) yang mau ikut mereka dikerahkan pula. Wanita-wanita pun mendesak akan ikut pergi berperang.
Mereka berunding lagi. Ada yang berpendapat supaya kaum wanita juga ikut serta.
Biar mereka bertugas merangsang kemarahan kamu, dan mengingatkan kamu kepada korban-korban Badr. Kita adalah masyarakat yang sudah bertekad mati, tidak akan pulang sebelum sempat melihat mangsa kita, atau kita sendiri mati untuk itu.”
“Saudara-saudara dari Quraisy,” kata yang lain lagi. “Melepaskan wanita-wanita kita kepada musuh, bukanlah suatu pendapat yang baik. Apabila kalian mengalami kekalahan, wanita-wanita kita pun akan tercemar.”
Sementara mereka sedang dalam perundingan itu tiba-tiba Hindun binti ’Utba istri Abu Sufyan berteriak kepada mereka yang menentang ikut sertanya kaum wanita itu : “Kamu yang selamat dari perang Badr kamu kembali kepada istrimu. Ya. Kita herangkat dan ikut menyaksikan peperangan. Jangan ada orang yang menyuruh kamu pulang, seperti gadis-gadis kita dulu dalam perjalanan ke Badr disuruh kembali ketika sudah sampai di Juhfa (Juhfa : sebuah tempat sepanjang jalan Medinah-Mekah. tiga atau empat hari perjalanan dari Mekah; juga merupakan tempat pertemuan orang-orang Mesin dan Syam). Kemudian orang-orang yang menjadi kesayangan kita waktu itu terbunuh, karena tak ada orang yang dapat memberi semangat kepada mereka.”
--------------------------------------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 286-287.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar