"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Jumat, 28 Februari 2014

SUNNAT MAKAN DENGAN MEMBERSIHKAN PIRING TEMPAT MAKANANNYA DAN MENGAMBIL APA YANG JATUH DARI MAKANANNYA (1)

Ibn ‘Abbas r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : Jika makan salah seorang dari kamu, maka jangan keburu mengusap tangannya sebelum membersihkan makanan yang masih menempel padanya. (HR. Buchary dan Muslim).

Ka’ab bin Malik r.a. berkata : Saya melihat Rasulullah s.a.w. makan dengan tiga jari, dan jika selesai, lalu memakan apa yang masih menempel pada jari-jarinya hingga bersih. (HR. Muslim).

Jabir r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. menyuruh membersihkan sisa makanan yang di piring maupun yang di jari, sambil bersabda : Kamu tidak mengetahui di bagian yang manakah makananmu yang berkat. (HR. Muslim).

Karena itu perlu dibikin habis samasekali, jangan sampai yang berkat itulah yang terbuang.
---------------------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 603.

PEMINDAHAN DAN PENANGGUNGAN UTANG (3)

Dari Abu Hurairah r.a.; Bahwasanya Rasulullah s.a.w. pernah dihadapkan kepadanya seorang mayat laki-laki yang punya utang, lalu beliau bertanya ; “Adakah ia meninggalkan barang untuk melunasi utangnya?” Dan apabila dijawab bahwa ia meninggalkan barang untuk melunasinya, beliau suka menyolatkannya, dan kalau tidak.beliau bersabda : “Sholatkanlah kawanmu ini!” Dan setelah Allah bukakan beberapa kali bagi beliau (memberikan beberapa kemenangan dalam peperangan), beliau bersabda : “Aku lebih berhak terhadap Kaum mu’minin daripada diri-diri mereka, maka barangsiapa yang meninggal dunia dan punya utang, maka akulah yang melunasinya”. Muttafaq 'alaih. Dan dalam sebuah riwayat Bukhary : “Barangsiapa yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan barang untuk melunasi utangnya’ (maka akulah yang melunasinya).
------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Buju', halaman 323-324.

Kamis, 27 Februari 2014

MAKRUH MAKAN SAMBIL MENYANDAR

Abu Juhaifah (Waheb) bin Abdullah r.a. berkata : Bersabda Rasulullah s.a.w. : Saya tidak suka makan dengan bersandar. (HR. Buchary).

Anas r.a. berkata : Saya melihat Rasulullah s.a.w. duduk di atas bokongnya dan menegakkan lututnya ke atas sambil makan kurma. (Secara orang bertekuk lutut). (HR. Muslim).
---------------------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 602.

Pemerintahan Umar bin Khattab (6)

Umar Bertahan di Masjid Medinah untuk Mengikuti Keadaan Rakyatnya
Kedaulatannya sudah membentang luas pada masanya itu namun dia tidak tergoda ingin duduk di atas takhta selain Masjid, karena ia mengikuti keadaan kedaulatannya itu, sama seperti yang dilakukan oleh Rasulullah dan Abu Bakr. Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya keadaan Masjid itu tetap seperti ketika dibangun oleh Rasulullah, dindingnya yang lunak dan atapnya dari daun kurma. Sebenarnya ketika itu Umar sudah mampu membongkar dan membangunnya kembali dengan kemewahan seperti yang kemudian terjadi dalam tahun-tahun berikutnya, supaya penampilan kedudukannya sesuai dengan kebesaran kekuasaannya. Dan kalaupun ia lakukan itu, tak ada orang yang akan menyalahkannya. Ketika Sa’d bin Abi Waqqas di Madain, istana Iwan Kisra dijadikan tempat kedudukannya. Sesudah pindah ke Kufah ia mendirikan sebuah bangunan untuk dirinya dan diberi nama “Istana Sa’d.” Tetapi Umar, selama empat tahun pertama pemerintahannya ia tidak mau mengadakan perubahan sedikit pun di Masjid itu. Setelah penduduk Medinah makin banyak dan Masjid sudah tak dapat menampung, baru ia mengadakan perluasan, berdasarkan pesan Rasulullah yang mengatakan : “Kita layak memperluas Masjid itu.” Sedang Umar berkata : “Kalau tidak karena saya mendengar Rasulullah mengatakan, “Layak kita memperluas Masjid kita ini,” niscaya tidak akan saya perluas.”
Tatkala memerintahkan perluasan Masjid Umar memperhatikan sekali agar semata-mata hanya untuk keperluan sholat dan urusan pemerintahan. Pernah Masjid itu oleh penduduk Medinah digunakan juga untuk tempat pertemuan, mereka membicarakan urusan perdagangan serta tempat bergadang dan berbangga-bangga sehingga kadang menimbulkan kebisingan sementara Amirulmukminin duduk memikirkan masalah-masalah kenegaraan yang amat penting. Oleh karena itu, sesudah diadakan perluasan itu ia mengambil tempat di samping Masjid dan diberi nama “Butaiha.” dan katanya : “Barang siapa ingin membuat kebisingan dan bersuara keras-keras atau mau membaca syair pergilah ke tempat itu.” Tetapi tambahan yang dibuat Umar dalam bangunan Masjid itu tidak melebihi luas bidang tanah yang ada dan tambahan jumlah pintunya. Yang lain- lain tetap seperti ketika dibangun oleh Rasulullah, sebab fondasi bangunan itu dari batu sedang yang di atasnya dari jerami, tiang-tiangnya dari kayu dengan langit-langit dari pelepah. Dan bangunan Masjid yang sederhana inilah Umar mengeluarkan segala perintahnya ke markas-markas pasukannya. Tetapi, tiba-tiba Kisra terjungkir dari takhta Iwannya dan Kaisar melarikan diri keluar dari Syam ke Konstantinopel, kemudian Iskandariah yang besar dan megah, ibu kota peradaban dunia ketika itu, menyerahkan kuncinya kepada pasukan Muslimin!

Ketatnya Kepada Diri Sendiri dan Baktinya kepada Rakyatnya
Penaklukan yang sudah begitu luas, sedikit pun tidak mengubah kesederhanaan hidup Umar, dan pandangannya bahwa dunia ini remeh sudah menjadi tuntutan imannya. Dalam permulaan tugasnya sebagai Khalifah, kaum Muslimin sudah menentukan haknya dari baitulmal, yakni sekadar cukup untuk dirinya dan untuk keluarganya, seperti yang sudah ditentukan juga untuk Abu Bakr. Sesudah rampasan perang datang melimpah ke Medinah, yang diperoleh Umar tidak lebih dari yang juga diperoleh orang lain dari kalangan Muslimin. Dia tidak melihat bahwa sebagai Khalifah ia harus mendapat hak melebihi hak yang lain. Suatu hari pernah ia ditanya, dari harta Allah apa yang dibolehkan untuk dia, ia menjawab : “Jawaban saya kepada kalian : Yang dianggap boleh dari harta itu buat saya dua pasang pakaian: sepasang untuk musim dingin dan sepasang untuk musim panas: itu yang saya pakai untuk menunaikan haji lalu dibalikkan untuk umrah yang saya makan dan dimakan keluarga, seperti yang biasa dimakan keluarga Kuraisy, bukan dari yang terkaya, juga bukan dari yang termiskin. Di samping itu saya adalah sama dengan Muslimin yang lain, yang saya peroleh sama dengan yang mereka peroleh.” Pernah juga ia berkata: “Saya menempatkan harta Allah itu seperti menempatkan harta anak-anak yatim : kalau sudah terasa cukup, saya cukupkan; kalau terasa kurang saya makan selayaknya.” Ia menghindari apa yang ada di baitulmal, yang kadang sampai membuatnya dalam keadaan yang serba sulit.
Suatu hari ia pernah mengeluh, lalu ditawarkan madu kepadanya, karena di baitulmal masih ada satu pasu (‘Ukkah, wadah yang biasanya khusus untuk menyimpan madu atau samin, terutama samin) madu. Ketika sudah di atas mimbar ia berkata : Kalau kalian mengizinkannya buat saya : kalau tidak, berarti haram buat saya.” Mereka pun segera mengizinkan. Kaum Muslimin menyaksikan sendiri betapa ketatnya ia terhadap dirinya, kemudian mereka mendatangi putrinya, Hafsah Ummulmukminin dan mengatakan : “Umar tetap begitu ketat terhadap dirinya. Allah telah melimpahkan rezeki, hendaklah ia turut menikmati hasil rampasan perang itu sesukanya. Jama’ah sudah memberikan keleluasaan kepadanya.” Rupanya keinginan mereka itu oleh Hafsah mau dicarikan pendekatannya. Ketika Umar datang menemuinya dan ia bercerita apa yang mereka katakan, dijawab oleh Umar: Hafsah putri Umar, Anda menasihati mereka dan mau menipu ayahmu. Keluargaku hanya berhak atas diriku dan hartaku, tetapi tentang agamaku dan kepercayaan yang diberikan kepadaku, tidak.”
Tentang Umar ini al-Fakhri membawakan sebuah cerita sebagai bukti yang paling jelas memperlihatkan keinginannya yang begitu keras hendak menyamakan dirinya dengan Muslimin yang lain dengan mengatakan : “Datang kiriman kepada Umar beberapa bahan pakaian burd dari Yaman. Oleh Umar dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin dan setiap orang mendapat bagian sehelai, dan bagian Umar juga seperti yang lain, satu helai. Ketika naik ke atas mimbar dengan pakaian itu yang sudah dipotongnya menjadi kemeja dan menyerukan orang berjihad, seseorang berkata kepadanya : Saya tidak perlu menaati seruan Anda! Mengapa? tanya Umar. Orang itu menjawab : Karena Anda lebih mementingkan diri Anda daripada kami. Anda mendapat bagian sehelai burd Yaman dan untuk satu baju Anda itu tidak cukup, karena Anda berperawakan tinggi; tetapi mengapa Anda potong menjadi kemeja? Umar menoleh kepada anaknya seraya berkata : Abdullah, jawablah! Abdullah berkata : Burd saya kuberikan kepadanya supaya cukup untuk kemejanya itu. “Kalau begitu sekarang saya patuh.’ kata orang itu.
Umar samasekali tidak ingin kedudukan Khalifah itu untuk dirinya, tetapi ia menganggap dirinya hanya sebagai pengawal harta Muslimin yang jujur, juga sebagai pengawal persatuan dan kemerdekaan yang jujur. Hal ini membuatnya dekat kepada semua orang dan dicintai, dan lebih-lebih lagi orang mencintainya karena dia melihat kedudukan Khalifah sebagai bapa yang harus memikul semua kewajiban terhadap kaum Muslimin, yakni kewajiban seorang bapa terhadap anak-anaknya. Rasa kasih sayang dan berkorban merupakan sifat kebapaan yang paling kudus dan mulia. Umar adalah orang yang penuh kasih sayang dan banyak mengabdi untuk orang-orang yang memerlukan kasih sayang. Menurut dia kasih sayang dan pengabdian itu termasuk salah satu kewajiban pemerintah, sama seperti menegakkan keadilan dan memelihara keamanan.
Suatu malam ia keluar ke pinggiran kota ditemani oleh Aslam, pembantunya. Ketika mereka melihat sebuah rumah bulu, mereka segera menuju ke tempat itu. Seorang perempuan sedang mengerang karena hendak melahirkan. Ketika ditanya keadaannya perempuan itu menjawab : Saya perempuan asing di sini dan saya tak punya apa-apa. Umar segera kembali pulang sambil berjalan cepat-cepat, dan katanya kepada istrinya, Umm Kulsum, putri Ali bin Abi Talib : Anda ingin mendapat pahala yang akan diberikan Allah kepada Anda? Lalu diceritakannya kejadian itu. Ya, kata sang istri. Umar membawa tepung dan lemak yang digendongnya sendiri di punggungnya. dan Umm Kulsum membawa segala yang diperlukan orang melahirkan. Sementara Umm Kulsum masuk menemui perempuan itu Umar duduk berbincang-bincang dengan suami yang tidak mengenalnya itu. Perempuan itu melahirkan anak laki-laki. Kemudian kata Umm Kulsum : Amirulmukminin, beri selamatlah kepada kawan Anda itu; istrinya telah melahirkan anak laki-laki. Mendengar kata-kata perempuan itu sang suami merasa apa yang dilakukan Umar itu terlalu besar buat dirinya, dan ia meminta maaf. Tidak apa! kata Umar. Setelah memberikan segala yang diperlukan kepada mereka, ia pergi.
Pada malam yang lain Umar mendengar suara bayi menangis. Ia pergi menuju ke arah datangnya suara itu. Kepada ibu bayi itu ia berkata : Takutlah kepada Allah. Kasihanilah bayi Anda! Tak lama sesudah Umar mendengar lagi suara bayi itu menangis, kembali lagi ia kepada ibunya dan mengatakan seperti yang dikatakannva tadi. Sesudah lewat tengah malam terdengar lagi tangis bayi itu. Sekali ini ia berkata kepada ibu bayi itu: Anda ini ibu jahat! Mengapa sepanjang malam ini bayi Anda tak pernah berhenti menangis?
Hamba Allah! kata perempuan itu, saya redakan tangisnya dengan makanan. tetapi dia tidak mau.
Mengapa? tanya Umar.
Karena Umar menentukan pemberian hanya kepada yang sudah disapih.
Berapa umur bayi Anda?
Sekian dan sekian bulan.
Celaka, kata Umar. Janganlah cepat-cepat disapih.
Selepas sholat subuh ia menyelinap ke tengah-tengah orang banyak dan dengan air mata berlinang ia berkata : Celaka Umar! Sudah berapa banyak bayi Muslimin yang mati! Kemudian ia memerintahkan orang agar menyampaikan pengumuman: Janganlah cepat-cepat menyapih bayi kalian. Pemberian akan berlaku bagi semua yang dilahirkan dalam wilayah Islam. Setelah itu ia menulis surat ke segenap penjuru.
Tak ada orang yang tidak tahu kisah Umar ketika tengah malam ia mendapati seorang perempuan, yang anak-anaknya meraung-raung menangis di sekeliling kuali yang dijerang di atas api. Oleh Umar ia ditanya, mengapa bayi-bayi itu mengerang.
Karena lapar, kata perempuan itu.
Apa yang dijerang di atas api itu?
Air untuk menghibur mereka supaya mereka tertidur... Antara kami dengan Umar hanya Allah...
Cepat-cepat Umar kembali dan pergi ke gudang tepung terigu, diambilnya sekantong lemak dan sekarung terigu, diangkatnya sendiri ke atas punggungnya dan dibawanya segera ke tempat tadi. Dimasukkannya tepung dan lemak itu sebagian ke dalam kuali dan dia pula yang meniup api di tungku. Selesai dimasak dan disuguhkan, anak-anak itu makan sampai kenyang lalu tidur. Umar pergi meninggalkan perempuan yang memang tidak mengenalnya itu sambil berkata : Rasa lapar itulah yang membuat mereka tidak bisa tidur dan menangis!
Pemerintahan Umar sangat dicintai orang justru karena sifat kasih sayang dan pengabdiannya ini. Mereka melihat Khalifah sebagai ayah bagi kaum du’afa —setiap orang yang lemah— bagi setiap anak yatim dan bagi setiap orang tak punya. Mereka mencintai Umar “al-Faruq” karena sifat adilnya sudah menjadi naluri dan bawaannya, karena kecintaannya kepada kebebasan dan persamaan ia menempatkan diri sebagai orang lemah dan miskin. Dalam pidatonya yang pertama di depan orang banyak ia mengatakan : “Di mata saya, tak ada dari kalian orang yang lebih kuat dari orang yang lemah di antara kalian, sebelum saya berikan haknya, dan tak ada orang yang lebih lemah dari orang yang kuat sebelum saya cabut haknya.” Pernah ia berpidato mengatakan : “Saya tidak pernah mengangkat pejabat-pejabat untuk menghilangkan kesenangan kalian, untuk mencemarkan kehormatan dan untuk mengambil harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Barang siapa diperlakukan tidak adil saya tak akan mengizinkannya menyampaikan pengaduan kepada saya sebelum saya menjatuhkan hukuman yang setimpal.” Kepada para panglima pasukan ia menulis : “Janganlah kalian memukul anggota pasukan Muslimin karena itu berarti kalian merendahkan mereka, jangan menghilangkan hak mereka lalu menuduh-nuduh mereka kafir, janganlah mengurung mereka lalu menyiksa mereka dan jangan pula menempatkan mereka di hutan-hutan yang akan membuat mereka tersesat.”
Dia menulis surat demikian kepada panglima-panglima jika dia tak dapat melakukannya sendiri. Tetapi kalau dia mampu melakukan. ia tidak akan mewakilkan kepada yang lain. Kita masih ingat kata-katanya pada permulaan kekhalifahannya : “Tak ada persoalan kalian yang harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain saya.” Demikian jujur ia tentang semua itu, untuk beberapa urusan ia mengangkat yang tua dan yang muda. Dia yang mengatur segala urusan militer, dia mengangkat pejabat-pejabat tinggi, menjalankan politik negara dan bertindak memutuskan perkara secara adil. Tak ada satu soal kecil pun yang ditinggalkannya selama ia dapat menyelesaikannya sendiri. Ali bin Abi Talib ketika melihatnya berlari-lari ke pinggiran kota Medinah ditanyanya : Amirulmukminin, mau ke mana?
Ada seekor unta untuk sedekah lari dan saya mau mengejarnya, jawab Umar.
Anda akan merepotkan khalifah-khalifah yang sesudah Anda!
Pernah suatu malam Umar mendatangi Abdur-Rahman bin Auf yang sedang sholat. Oleh Abdur-Rahman ditanya : Ada apa Anda datang malam-malam begini?
Ada sekelompok orang menuju ke arah pasar. Saya khawatir mereka itu pencuri-pencuri di kota. Mari kita berangkat supaya dapat mengawasi mereka. Sesampai di pasar keduanya duduk-duduk mengobrol di atas gundukan tanah. Ketika mereka melihat ada penerangan lampu Umar berkata : Saya sudah melarang ada penerangan lampu sesudah orang tidur! Mereka pergi ke tempat tersebut, ada sekelompok orang sedang minum-minum, yang salah seorang di antaranya ada yang dikenalnya. Paginya orang itu dipanggil dan katanya : Anda dan teman-teman Anda semalam sedang minum-minum.
Siapa yang memberitahukan Anda. Amirulmukminin?
Saya lihat sendiri, kata Umar.
Bukankah Allah sudah melarang memata-matai orang?
Orang itu ditinggalkan oleh Umar.
Pada akhir masanya, karena oleh rasa keprihatinannya yang begitu besar terhadap semua persoalan umat, cita-citanya ingin berpindah-pindah di semua kawasan kedaulatannya, memeriksa keadaannya dan melihat tingkah laku para pejabatnya. Sesudah pembebasan Mesir menurut sebuah sumber ia mengatakan : “Kalau saya masih hidup, insya Allah, saya akan pergi mengunjungi rakyat selama setahun penuh. Saya tahu, di belakang saya orang banyak mempunyai keperluan yang belum terpenuhi. Para pejabat itu tidak akan menyampaikannya kepada saya. Saya ingin pergi ke Syam. tinggal di sana dua bulan. kemudian ke Bahrain, tinggal dua bulan di sana, selanjutnya pergi ke Kufah dan tinggal dua bulan, dan sana ke Basrah. tinggal dua bulan. Ini sungguh tahun yang istimewa sekali!” Tetapi ajal sudah mendahuluinya sebelum keinginannya tercapai.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 605-611.

RENCANA EKSPEDISI

Sekembalinya dari ibadah haji perpisahan, pikiran dan perhatian Muhammad tertuju ke bagian utara, sebab daerah selatan sudah tidak perlu dikuatirkan lagi. Sebenarnya sejak terjadinya ekspedisi Mu’ta, dan Muslimin kembali dengan membawa rampasan perang dan sudah merasa puas pula melihat kepandaian Khalid bin-Walid menarik pasukan, sejak itu pula Muhammad sudah memperhitungkan pihak Rumawi matang-matang. Ia berpendapat kedudukan Muslimin di perbatasan Syam itu perlu sekali diperkuat, supaya mereka yang dulu pernah keluar dari jazirah ini ke Palestina, tidak kembali lagi menghasut perang dan mengerahkan penduduk daerah itu. Oleh karena itu ia menyiapkan pasukan perangnya yang cukup besar, seperti persiapannya yang dulu, tatkala ia mengetahui rencana Rumawi hendak menyerbu perbatasan jazirah itu dan dia sendiri yang memimpin pasukan sampai di Tabuk. Tetapi waktu itu pihak Rumawi sudah menarik pasukannya sampai ke perbatasan dalam negeri dan ke dalam benteng mereka sendiri. Sungguhpun begitu daerah utara ini harus tetap diperhitungkan, kalau-kalau kenangan lama di bawah lindungan Kristen dan pihak yang merasa berkuasa di bawah Imperium Rumawi waktu itu — akan bangkit kembali dan mengumumkan perang kepada pihak yang pernah mengeluarkan orang-orang Nasrani dan di luar Najran di bilangan Semenanjung Arab itu.
Oleh karena itu, selesai ibadah haji perpisahan di Mekah, belum lama lagi kaum Muslimin tinggal di Medinah, Nabi mengeluarkan perintah supaya menyiapkan sebuah pasukan besar ke daerah Syam, dengan menyertakan kaum Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar. Pasukan ini dipimpin oleh Usama bin Zaid bin Haritha. Usia Usama waktu itu masih muda sekali, belum melampaui dua puluh tahun. Kalau tidak karena terbawa oleh kepercayaan yang teguh kepada Rasulullah, pimpinan Usama atas orang-orang yang sudah lebih dahulu dan atas kaum Muhajirin serta sahabat-sahabat besar itu, tentu akan sangat mengejutkan mereka. Tetapi ditunjuknya Usama bin Zaid oleh Nabi dimaksudkan untuk menempati tempat ayahnya yang sudah gugur dalam pertempuran di Mu’ta dulu, dan akan menjadi kemenangan yang dibanggakan sebagai alasan atas gugurnya ayahnya itu, di samping semangat yang akan timbul dalam jiwa pemuda-pemuda, juga untuk mendidik mereka membiasakan diri memikul beban tanggung jawab yang besar dan berat.
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 560-561.

HIJAU DAN WARNA-WARNI

TAMAN JEPANG. Banyak orang yang menganggap bahwa taman jepang itu bercirikan bonsai dan hanya dipenuhi oleh tumbuh-tumbuhan hijau jenis evergreen. Ini adalah pendapat yang kurang tepat. Karena taman jepang sebenarnya, juga menggunakan semak berbunga yakni Camelia (Camellia japonica). Bahkan pada abad 10-12, taman klasik jepang menggunakan pohon cherry dan plum selain pinus dan willow sebagai aksen warna.
Namun karena pengaruh budaya Zen, maka taman yang penuh warna itu berubah menjadi taman yang didominasi kehijauan yang melambangkan keabadian. Dan ciri taman seperti itulah yang sampai sekarang kita kenal.
--------------------------
Tabloid Rumah Edisi 7, I/16 April - 29 April 2003, halaman 13

Rabu, 26 Februari 2014

ANJURAN UNTUK MENGAMBIL MAKANAN DARI PINGGIR WADAH

Ibn Abbas r.a. berkata : Bersabda Nabi s.a.w. : Berkat itu turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari tepi-tepinya dan jangan makan dari tengah-tengahnya. (HR. Abu Dawud dan Attirmidzy).

Abdullah bin Busr r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. mempunyai bejana besar bernama Alghorra dapat diangkat empat orang dan pada suatu hari setelah selesai sholat dluha, tiba-tiba dibawakan bejana itu dan telah dipergunakan memuat roti dengan kuah, maka rnereka berkerumun padanya. Dan ketika bertambah banyak orang yang berkerumun Rasulullah s.a.w. duduk di atas tapak kakinya. Mendadak seorang Badwy bertanya : Duduk apakah demikian itu? Jawab Nabi s.a.w. : Sesungguhnya Allah menjadikan saya seorang hamba yang murah hati, dan tidak menjadikan saya seorang yang kejam. Kemudian mempersilahkan orang-orang. Makanlah kamu dari tepi-tepinya, dan biarkan tengah-tengahnya, supaya diberkati bagimu padanya. (HR. Abu Dawud).
---------------------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 600-601.

PEMINDAHAN DAN PENANGGUNGAN UTANG (2)

Dari Jabir r.a.. ia berkata : Telah meninggal dunia seorang laki-laki di antara kami, lalu kami memandikannya, mewangikannya dan mengkafaninya, kemudian kami membawanya kepada Rasulullah s.a.w. lalu kami berkata : “Hendaklah engkau menyolatkan orang ini”. Lalu beliau melangkah beberapa langkah, kemudian bersabda : “Apakah mayat ini punya utang?” Kami jawab : “Dua dinar”, maka beliau pergi. Kemudian Abu Qatadah menanggung utang dua dinar itu, lalu kami datang lagi kepada Rasulullah dan Abu Qatadah berkata : “Utang dua dinar itu adalah jadi tangungan saya”. Maka R.asulullah sa.w. bersabda : “Tetaplah engkau menanggung utang itu dan si mayat bebas dari padanya”. Abu Qatadah berkata : “Ya”. Lalu Rasulullah menyolatkan mayat itu”. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, disahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim.
------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Buju', halaman 323.

Selasa, 25 Februari 2014

MAKANAN YANG BERKAH

Wahsyi bin Hareb r.a. berkata : Sahabat Nabi s.a.w. mengadu : Ya Rasulullah, kami makan dan tidak merasa kenyang. Jawab Nabi : Mungkin kamu makan sendiri-sendiri. Jawab mereka ; Benar. Bersabda Nabi s.a.w. : Berkumpullah pada makananmu, dan bacalah BISMILLAH, niscaya diberi berkat pada makanan itu. (HR. Abu Dawud).
---------------------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 599.

TIGA ORANG MENDAKWAKAN DIRINYA NABI

Itu sebabnya, tatkala ada tiga orang yang mendakwakan diri sebagai nabi, oleh Muhammad tidak banyak dihiraukan. Memang ada beberapa kabilah yang berjauhan dari Mekah begitu mengetahui Muhammad mendapat sukses dengan ajarannya itu cepat-cepat pula mereka menyambut orang yang datang mendakwakan diri nabi dari kabilah mereka itu, dengan harapan mereka akan mendapatkan nasib seperti yang ada pada Ouraisy, meskipun kabilah-kabilah ini karena letaknya yang jauh dari pusat agama baru, tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Akan tetapi ajakan kepada kebenaran Tuhan itu sudah benar-benar berakar di tanah Arab. Tidak mudah orang akan dapat melawannya. Apa yang telah dialami Muhammad demi menyampaikan ajaran ini, beritanya sudah sampai ke mana-mana. Kiranya takkan ada orang yang sanggup memikul beban ini, selain putra Abdullah itu. Setiap ada orang hendak mendakwakan diri dengan dasar kepalsuan, pasti kepalsuan itu akan segera terbongkar. Setiap ada orang yang mendakwakan kenabian tidak pernah ia dalam nasibnya akan mendapat sukses secara berarti.
Datang Tulaiha — pemimpin Banu Asad, salah seorang pahlawan Arab dalam perang dan yang berkuasa di Najd mendakwakan diri, bahwa dia seorang nabi dan rasul, dan ia memperkuat dakwaannya itu dengan membuat ramalan mengenai sebuah tempat sumber air, ketika golongannya itu dalam perjalanan hampir mati kehausan. Tetapi selama Muhammad masih hidup ia tidak berani mengadakan “pemberontakan” dan baru ia mengadakan pemberontakan itu setelah Rasulullah berpulang ke rahmatullah. Pembangkangan Tulaiha ini oleh Khalid bin’l-Walid dihancurkan dan dia sendiri kembali lagi ke pihak Muslimin dan menjadi orang Islam yang baik.
Juga Musailima, juga Aswad al-’Ansi, yang selama hidup Nabi, tidak lebih baik daripada nasib Tulaiha. Musailima ini pernah mengirim surat kepada Nabi dengan mengatakan bahwa dia nabi, dan “Separuh bumi ini buat kami dan yang separuh lagi buat Quraisy; tapi Quraisy adalah golongan yang tidak suka berlaku adil.”
Setelah surat itu dibaca kedua orang utusan Musailima itu oleh Nabi ditatapnya, dan hendak memberikan kesan kepada mereka, bahwa Nabi akan menyuruh supaya mereka dibunuh, kalau tidak karena memang adanya ketentuan bahwa para utusan harus dijamin keselamatannya.
Kemudian Nabi membalas surat Musailima dengan mengatakan ia sudah mendengarkan isi suratnya dengan segala kebohongannya itu dan bahwa bumi ini kepunyaan Allah yang akan diwarisi oleh hamba-hamba yang berbuat kebaikan. Dan salam bagi orang yang mengikut bimbingan yang benar.
Adapun Aswad al-’Ansi — penguasa Yaman sesudah Bad-han meninggal — orang ini mendakwakan sebagai ahli sihir dan mengajak orang dengan sembunyi-sembunyi. Karena sudah merasa dirinya sebagai orang penting di daerah selatan, wakil-wakil Muhammad yang di Yaman diusirnya, dan dia pergi lagi ke Najran, anak Bad-han di sana dibunuhnya istrinya dikawini dan singgasana diwarisinya. Ia hendak menyebarkan pengaruhnya di kawasan itu. Tapi bahaya ini tidak banyak mempengaruhi pikiran Muhammad. Dalam hal ini tidak lebih ia hanya mengutus orang kepada pejahat-pejahat (yaitu Mu’adh bin Jabal) di Yaman dengan perintah supaya Aswad dikepung atau dibunuh. Sekali lagi kaum Muslimin di Yaman berhasil memaksa Aswad, dan dia sendiri mati dibunuh istrinya sendiri sebagai balasan atas dibunuhnya anak Bad-han — suaminya yang dulu.
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 559-560.

TAMAN DATAR

TAMAN JEPANG. Taman ini merupakan perpaduan antara Taman Natural dan Taman Pasir Batu. Elemen utama taman ini adalah hamparan pasir putih yang berbentuk melingkar. Bentuk ini menyimbolkan kecerahan dan kegembiraan. Batu-batu yang tersusun di dalamnya juga memiliki makna khusus. Pengunjung taman bisa menginterpretasikan sesuka mereka bentuk susunan batu yang ada di dalam taman. Komponen penyusun taman ini adalah pasir, tanaman evergreen (biasanya jenis cemara), lumut, tanaman bunga dan rumput.
--------------------------
Tabloid Rumah Edisi 7, I/16 April - 29 April 2003, halaman 13

Senin, 24 Februari 2014

LARANGAN MAKAN DUA KURMA SEKALIGUS

Jabalah bin Suhaim berkata : Pada masa pemerintahan Ibn Azzubair kami menderita masa laip (pacekilk) kekurangan makanan tiba-tjba mendapat rizqi kurma dan ketika kami sedang memakannya mendadak Abdullah bin Umar berjalan, maka ia berkata : Jangan makan sekaligus dua kurma, karena Nabi s.a.w. melarang makan Sekaligus dua kurma, kecuali minta izin lebih dahulu kepada temannya. (HR. Buchary dan Muslim).
---------------------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 598.

Pemerintahan Umar bin Khattab (5)

Sikap Umar terhadap Banu Hasyim dan Pemuka-pemuka Kuraisy
Menurut pendapatnya. sistem musyawarah adalah dasar yang harus diterapkan di seluruh negara. Diperintahkannya itu kepada para pejabat dan pemimpin-pemimpin militer. Kepada Abu Ubaid ketika dikirim ke Irak ia berkata: “Dengarkanlah dari sahabat-sahabat Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dan ajaklah mereka bersama-sama dalam hal ini. Janganlah cepat-cepat berijtihad sebelum Anda teliti benar-benar. Ini adalah perang, dan yang cocok untuk perang hanya orang yang tenang, yang pandai melihat kesempatan.” Begitu juga yang ia perlakukan terhadap pejabat-pejabat yang lain, yang bertugas dalam perang ataupun yang lain.
Ada pihak yang beranggapan bahwa kalangan tua-tua dari kerabat Rasulullah di antara yang memberikan pendapat kepada Umar, tetapi tak ada di antara mereka yang diangkat oleh Umar untuk memimpin pasukan. Juga tak ada di antara mereka yang diangkat menduduki jabatan di negeri Arab atau di tempat lain yang sudah dibebaskan. Mereka yang beranggapan demikian ada pula yang menduga bahwa dalam hati Umar masih ada sesuatu terhadap Banu Hasim sesudah melihat sikap mereka dulu terhadap pengangkatan Abu Bakr. Tetapi saya tidak berada di pihak yang berpendapat demikian. Menurut hemat saya, tertundanya Banu Hasyim dalam pembaiatan Abu Bakr itu masih dipertanyakan. Sekiranva cerita tertundanya mereka itu benar, niscaya pengaruhnya akan ada dalam hati Umar selama masa kekhalifahannya. Semua mereka sesudah itu membaiat Abu Bakr. Setelah kemudian Abu Bakr berpesan agar digantikan oleh Umar tak ada dari Banu Hasyim yang menentangnya, bahkan merekalah yang mula-mula membaiat. Dan selama kekhalifahannya itu pula mereka mendapat kehormatan yang tidak diperoleh oleh kaum Muslimin yang lain. Kehormatan demikian itu akan kita lihat begitu jelas ketika kita berbicara tentang ‘sekretariat negara’ dan ‘anggaran’ yang begitu menonjol dalam kehidupan dan adat-istiadat kaum Muslimin, yang sampai sekarang pengaruhnya masih ada. Tidak jarang Umar menampilkan kerabat Nabi karena ia menghormati dan menghargai mereka. Juga sudah kita lihat pada musim kelaparan ia meminta pertolongan Allah dengan mengajak Abbas, paman Rasulullah, dan ia meminta Ali bin Abi Talib menggantikannya di Medinah ketika ia pergi ke Syam untuk mengadakan perjanjian damai Baitulmukadas. Sering sekali ia memuji jasa Abbas, pengetahuan dan budi pekertinya. Menjelang kematiannya Umar berpesan kepada majelis syura enam orang untuk calon kekhalifahan, di antaranya Ali bin Abi Talib. Tidak mungkin orang yang dalam hatinya menyimpan dendam kepada Banu Hasyim akan melakukan hal ini.
Jadi mengapa ia tidak menunjuk mereka dalam pimpinan pasukan, dan tak seorang pun di antara yang diangkat untuk kawasan negeri-negeri Arab dan daerah-daerah yang baru dibebaskan? Barangkali orang akan kaget kalau dikatakan : Mereka tidak diangkat justru karena kekerabatannya dengan Rasulullah. Ini berarti sejalan dengan kata-katanya pada suatu hari kepada Ibn Abbas : “Saya melihat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat yang lain tetapi bukan kalian... Saya tidak tahu, kalian dijauhkan dari tugas itu padahal kalian ahli dalam bidangnya, ataukah ia khawatir karena kekerabatan kalian kepadanya lalu kalian akan mendapat kecaman, tetapi kecaman sudah suatu keharusan.”
Sebagian orang berpendapat bahwa kata-kata ini—kalaupun benar dari Umar—hanya suatu alasan yang mengandung tenggang rasa saja, alasan yang di dalamnya tersembunyi maksud Umar yang sangat waspada terhadap Banu Hasyim dan para sahabat besar serta pemuka-pemuka Kuraisy lainnya. Mereka yang berpendapat demikian beranggapan bahwa ia ingin membiarkan mereka semua tetap tinggal di Medinah, dan menjadi staf penasihatnya. Dia khawatir kalau mereka tersebar ke daerah-daerah dengan memegang kekuasaan, mereka akan tergoda oleh rasa yang teristimewa, lalu melakukan pembangkangan terhadap kekuasaan Medinah, dengan mengandalkan dukungan daerah-daerah setempat yang berada di bawah wewenang mereka dengan tujuan tertentu. Mereka yang beranggapan demikian ini mengatakan bahwa Umar dulu memecat Khalid bin Walid karena terdorong oleh kewaspadaan itu juga. Pejabat-pejabatnya yang ditempatkan di berbagai daerah sangat diperhitungkan, sedikit saja merasa curiga cepat-cepat mereka dipecat, sehingga jangan ada yang tergerak hatinya bahwa di daerahnya itu dialah yang berkuasa.
Andaikata dugaan ini benar, Umar tidak salah dan kebijakannya itu pun tak perlu dikritik. Kewaspadaan terhadap orang yang diberi kekuasaan mengurus umat, terutama dalam keadaan yang begitu genting yang sedang mengepung kaum Muslimin waktu itu. Tetapi saya tidak melihat ada yang dapat dicerna dengan anggapan semacam ini. Ini tidak sesuai dengan sifat Umar yang sudah terkenal, suka berterus terang dan tegas. Juga tidak sesuai dengan solidaritas kaum Muslimin yang sudah terkenal pada waktu-waktu permulaan itu, ditambah pula dengan iman mereka kepada Allah dan Rasul-Nya yang sudah begitu kuat dan mantap. Di samping itu, bahaya yang sedang mengancam mereka layak sekali akan menjauhkan mereka dari pikiran semacam itu. Bagaimana pula orang akan menduga adanya kekuatan untuk menghadapi pihak Persia di Irak atau Rumawi di Syam kalau di belakangnya tak ada kekuatan Islam dan kaum Muslimin yang terpadu? Bagaimana akan timbul pikiran bahwa ia masih akan tergoda oleh kekuasaan, di Persia atau di Mesir, sementara setiap waktu bala bantuan dari Semenanjung masih sangat diperlukan dan bila bala bantuan itu terlambat datang ia tak akan mampu mengatasi situasi yang sedang dihadapinya itu?
Hal demikian berjalan sepanjang masa pemerintahan Umar, karena perang yang berkecamuk selama itu berubah-ubah terus-menerus. Sudah kita saksikan. sebelum terbunuhnya Raja Persia pernah meminta bantuan Turki dan Cina untuk menghadapi pasukan Muslimin, dan kita saksikan juga Rumawi tak henti-hentinya terus berpikir hendak kembali merebut Mesir lagi. Dengan semua ini, dugaan bahwa Umar mempertahankan Banu Hasyim dan pemuka-pemuka Kuraisy di Medinah karena ia sangat waspada tak dapat diterima, juga tak dapat diterima adanya dugaan bahwa dia masih menyimpan sesuatu dalam hatinya terhadap Banu Hasyim yang dikatakan karena keterlambatannya membaiat Abu Bakr.
Sebenarnya Umar tidak mengingkari bahwa Banu Hasyim, seperti juga yang lain, untuk menduduki kekhalifahan. Tetapi yang ditolaknya jika mereka sampai teperdaya bahwa kekhalifahan itu adalah hak waris mereka dari Rasulullah sallallhu ‘alaihi wasallam. Hal ini terlihat dari kata-katanya kepada Abdullah bin Abbas seperti yang diperkuat oleh beberapa sumber ; “Orang tidak senang menggabungkan kenabian dan kekhalifahan semua pada kalian. Itu sudah menjadi pilihan Kuraisy sendiri, dan sudah tepat sekali.” Oleh karena itu, dalam pesan Umar untuk calon penggantinya kelak Ali bin Abi Talib termasuk salah seorang di antaranya.
Umar menahan Banu Hasyim, sahabat-sahabat besar dan pemuka-pemuka Kuraisy di Medinah, diperlukan untuk memberikan pendapat-pendapat mereka, sebab mereka memang orang-orang berpikiran cemerlang, bijaksana dan cukup berpengalaman —mengingat majelis syura adalah dasar pemerintahan. Kalau Amirulmukminin adalah pemegang keputusan terakhir dalam segala hal, maka untuk itu dialah yang memikul semua tanggung jawab politik negara. Dengan demikian, semua kekuasaan bertumpu di tangannva. Dialah yang menjalankan undang-undang dalam batas-batas Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya; dialah pelaksana, hakim, panglima tinggi angkatan bersenjata. Umarlah yang telah memikul semua tanggung jawab itu. Sejarah pun telah mengabadikan namanya dan menghiasinya dengan lingkaran cahaya keagungan dan kemuliaan.
Kesanggupannya memikul semua tanggung jawab maha besar itu, sungguh membangkitkan rasa kagum dalam hati kita, dan banyak orang bertanya-tanya tentang rahasia kemampuannya yang luar biasa itu Sebenarnya rahasia ini sudah bukan rahasia lagi bagi siapa saja yang benar-benar jujur ingin mengetahui, yaitu kesediaannya mengorbankan kepentingan sendiri serta pengabdiannya dalam menjalankan tugasnya atas dasar kesadaran betapa beratnya tugas itu. Dia tidak melihat kekhalifahan itu dari segi kekuasaan dan yang tampak dari luar, tetapi semua perhatiannya dicurahkan semata untuk menghadapi beban dan tanggung jawab besar itu. Itu sebabnya, kekuasaan kekhalifahan yang mutlak itu tidak sampai membuatnya bertindak sembarangan, begitu juga pamornya yang menyilaukan tidak lalu merasa dirinya orang nomor satu. Begitu besar kesadarannya tentang kewajiban itu. Yang di dalam sejarah masa apa pun belum pernah ada cerita yang dapat menandinginya. Saya rasa belum ada ungkapan yang lebih baik melukiskan kesadaran demikian itu dan kata-katanya sendiri: “Bagaimana saya akan dapat memperhatikan keadaan rakyat kalau saya tidak merasakan apa yang mereka rasakan!?” Perasaan ini menempatkan dirinya sebagai orang-orang yang lemah dan hina, supaya ia dapat merasakan apa yang dirasakan mereka, hak orang yang lemah diambilnya dari orang yang kuat, dan mencegah orang-orang miskin dari bencana kemiskinan.
Kita masih ingat beberapa contoh ketika terjadi tahun kelaparan dulu. Dia sendiri rela begitu menderita. Sepanjang tahun itu ia tidak makan daging dan makanan berlemak, sehingga melihat mukanya yang pucat dan lebam, orang khawatir sekali akan keselamatannya. Untuk melukiskan kekhawatiran mereka yang begitu besar cukup jika mengutip beberapa sumber tentang dia sebagai suatu keajaiban... Menurut sebuah sumber Anas berkata : Ketika itu saya bersama Umar, kemudian Ia masuk ke sebuah kebun. Saya dengar dia berkata—antara saya dengan dia dibatasi dinding kebun itu : “Umar bin Khattab Amirulmukminin? Wah. wah! Hai anak Khattab, takutlah kau kepada Allah, kalau tidak kau akan diazab!” Ada disebutkan konon bahwa pada suatu hari ia memikul sebuah kirbat di atas bahunya, lalu ketika ditegur. Ia berkata : “Hatiku sudah mulai mengagumi diriku; maka aku ingin menundukkannya.”
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 602-605.

PEMINDAHAN DAN PENANGGUNGAN UTANG (1)

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata ; Rasulullah s.a.w. bersabda : “Orang yang mampu membayar utang tapi enggan cepat-cepat membayar, itu adalah dhalim, dan barangsiapa yang kena tipu-daya hendaklah ia ber-reka-daya”. Muttafaq ‘alaih.
--------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Buju', halaman 322-323.

Minggu, 23 Februari 2014

Stop menggunakan kalimat “Semua Akan Indah Pada Waktunya”

“Semua Akan Indah Pada Waktunya..!!!" Sebuah kalimat yang sering sekali kita dengar, kalimat yang kesannya romantis dan penuh harapan, atau juga kalimat untuk menghibur diri yang tidak mendapatkan apa yang diinginkan tepat pada waktunya. Tapi nampaknya seorang muslim harus berhenti menggunakan kalimat tersebut.
Mengapa…?? Karena kalimat tersebut merupakan kutipan ayat bibel, tepatnya Pengkhotbah 3 ayat 11, ”Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.
Bahkan kalimat “indah pada waktunya” menjadi syi’ar agama nashrani yang dinyanyikan dalam berbagai versi lagu rohani.
Ingat sabda Nabi ”sungguh kalian akan mengikuti sunnah- sunnah yang ada pada umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Hingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian akan mengikutinya pula.
“Ketika para Sahabatnya bertanya, ‘wahai Rasululloh, apakah mereka Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, ’jika bukan mereka, siapa lagi?’”(Muttafa qun’alaih)
Maka dari itu, berhentilah memakai kalimat tersebut. Jika kita belum mendapatkan sesuatu yang kita inginkan maka lebih baik katakan “Alhamdulillah ‘Ala Kulli Haal” - segala puji bagi Allah atas segala sesuatu. Wallahu’alam. (Syekh Ali Jaber)

MAKAN DARI YANG DEKAT DAN SOPAN (2)

Salamah bin Al-Akwa r.a. berkata : Seorang makan di depan Rasulullah dengan tangan kiri, maka ditegur oleh Nabi s.a.w : Makanlah dengan tangan kanan. Jawabnya dengan sombong : Saya tidak dapat. Bersabda Nabi s.a.w : Kau tidak dapat. Maka karena sombongnya ia tidak dapat meneruskan suapannya ke dalam mulutnya. (HR. Muslim).
---------------------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 597.

IBADAH HAJI PERPISAHAN

Ibadah haji perpisahan kini sudah selesai dan sudah tiba pula saatnya puluhan ribu orang yang menyertai Nabi dalam ibadah ini akan pulang ke rumah masing-masing. Penduduk Najd pulang mendaki dataran tinggi, penduduk Tihama ke daerah pantai dan penduduk Yaman dan Hadzramaut serta daerah-daerah sekitarnya menuju arah selatan. Nabi dan sahabat-sahabat pun bertolak menuju Medinah.
Bila mereka sudah sampai dan menetap lagi di kota itu, keadaan seluruh semenanjung sudah aman. Tetapi, yang masih selalu menjadi pikiran buat Muhammad ialah soal beberapa daerah yang masih di bawah kekuasaan Rumawi dan Persia di daerah Syam, Mesir dan Irak. Dari pihak seluruh jazirah itu kini sudah tidak ada apa-apa lagi. Orang secara berbondong-bondong datang memeluk agama Allah, perutusan datang berturut-turut ke Yathrib menyatakan kesetiaannya, menyatakan kehendaknya bernaung di bawah bendera Islam, dan semua orang sudah menggabungkan diri kepadanya ketika dalam ibadah haji perpisahan itu. Raja-raja Arab dengan daerahnya masing-masing itu betapa takkan ikhlas kepada Nabi dan kepada agamanya, jika oleh Nabi yang ummi itu mereka dibiarkan tetap dengan kekuasaannya dan dalam kemerdekaannya sendiri pula! Bukankah Bad-han — Gubernur Persia di Yaman — dibiarkannya dalam kekuasaan itu tatkala ia menyatakan keislamannya dan lebih menyukai kesatuan wilayah Arab itu dan membuang penyembahan api Persia? Timbulnya gerakan-gerakan semacam pemberontakan yang diadakan oleh beberapa orang di sepanjang jazirah, tidak sampai akan menghanyutkan Nabi dalam pemikirannya atau akan menimbulkan rasa kuatir dalam hati, setelah ternyata pengaruh agama baru ini sudah tersebar ke segenap penjuru, semua wajah menghadap hanya kepada Allah Yang Mahakuasa, kalbu beriman hanya kepada Allah Yang Mahaesa.
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 558-559.

TAMAN TEH

TAMAN JEPANG. Taman ini berkaitan dengan upacara kebanggan orang Jepang yaitu minum teh. Taman Teh terdiri atas dua bagian, Taman Dalam dan Taman Luar. Selain itu juga terdapat rumah tempat upacara minum teh berlangsung. Semua yang berada di dalam taman ini mulai dari batu, lentera batu dan tempat air memiliki korelasi dan merupakan sebuah kesatuan simbolik.
Taman Dalam adalah taman yang bersifat privat dan hanya dinikmati dari Rumah Teh. Sementara Taman Luar digunakan untuk tempat tunggu bagi tamu. Biasanya Taman Luar dilengkapi dengan tempat duduk yang terbuat dari kayu. Taman ini juqa dilengkapi dengan pemanas yang digunakan di musim dingin. Sebagai simbol penyucian diri sebelum memasuki Rumah Teh, disediakan wadah air untuk tempat tamu membasuh diri.
--------------------------
Tabloid Rumah Edisi 7, I/16 April - 29 April 2003, halaman 13

Sabtu, 22 Februari 2014

MAKAN DARI YANG DEKAT DAN SOPAN (1)

Umar bin Abi Salamah r.a. berkata : Ketika saya masih kecil di bawah asuhan Nabi s.a.w. biasa aku menjulurkan tangan kanan ke dalam nampan, maka Nabi bersabda : Hai anak, bacalah BIMILLAH, dan makanlah dengan tangan kanan dan makanlah dan yang dekat-dekat kepadamu. (HR. Buchary dan Muslim)
---------------------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 597.

Pengumpulan Qur’an Masa Pemerintahan Abu Bakr (8)

Mengapa Usman Menggabungkan Surah Anfal dengan Surah Bara‘ah
Pendapat bahwa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyusun Qur’an semuanya atau sebagiannya dan menyerahkan hal itu kepada umat sesudahnya, memang banyak orang yang berpendapat demikian. Menurut suatu sumber Ibn Abbas berkata : “Aku mengatakan kepada Usman apa alasanmu mengambil Surah Anfal yang dari Masani (Surah yang dibaca berulang-ulang dan jumlah ayatnya di bawah Mi’un) dan Surah Bara’ah yang dari Mi‘un (Surah-surah dengan jumlah ayat lebih dari seratus atau sekitar itu) lalu keduanya kalian gabungkan dan tidak kalian tulis di antaranya Bismillahirrahmanirrahim dan kalian tempatkan pada surah-surah Tiwal (At-Tiwal atau as-Sab’ at-Tiwal yakni tujuh surah yang panjang : Baqarah, Ali Imran, Nisaa’, Ma’idah, An’am, A’raf, Anfal dan Bara’ah bersama-sama karena tidak dipisah dengan basmalah) yang tujuh?
Usman menjawab : Surah yang turun kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menurut jumlah itu. Jika ada wahyu turun ia memanggil orang untuk menuliskannya lalu dikatakan : letakkan ayat-ayat ini dalam surah yang menyebutkan ini dan itu. Surah Anfal termasuk surah yang mula-mula diwahyukan di Medinah. Sedang Bara’ah yang terakhir diwahyukan, dan kisah yang ada di dalamnya sejenis, dan kukira memang dari sana. Sampai Rasulullah wafat tidak dijelaskan kepada kita bahwa dari sana. Oleh karena itu keduanya kugabungkan dan tidak lagi kutulis Bismillahirrahmanirrahim di antaranya, dan keduanya kutempatkan dalam surah-surah Tiwal yang tujuh.”
Pendapat mengenai susunan surah-surah dalam mushaf itu sebenarnya di luar pembahasan bab ini, tetapi hal ini dikemukakan untuk lebih menjelaskan pendapat Qurtubi mengenai Zaid bin Sabit dan usahanya mengumpulkan Qur’an di masa Abu Bakr : “Zaid radiallahu ‘anhu, menyusun surah-surah itu belum teratur setelah dikerjakannya dengan begitu susah payah.”
Pada masa Abu Bakr sudah selesaikah tugas Zaid mengumpulkan Qur’an ataukah terus berlangsung beberapa waktu lagi sampai masa Umar? Masih ada perbedaan pendapat. Dengan bersumber pada Bukhari kita melihat bahwa lembaran-lembaran Qur’an yang dikumpulkan oleh Zaid itu ada pada Abu Bakr sampai Abu Bakr wafat, kemudian ada pada Umar sampai Umar pun wafat, kemudian di tangan Hafsah putri Umar, Ummulmukminin. Keterangan ini menunjukkan bahwa pengumpulan itu sudah selesai pada masa Abu Bakr. Beberapa narasumber berpendapat bahwa pekerjaan itu berlangsung beberapa waktu sampai masa Umar. Memang tidak mudah untuk memutuskan mana dari kedua sumber itu yang lebih sahih, kendati keduanya itu dapat dipadukan, bahwa sebagian besar pengumpulan itu diselesaikan oleh Zaid pada masa Abu Bakr dan lembaran-lembaran yang sudah selesai itu berada pada Khalifah Abu Bakr, dan setelah Abu Bakr wafat diambil oleh Umar, dan setelah Zaid selesai mengumpulkan sisanya. lembaran-lembaran itu ditambahkan ke dalam lembaran-lembaran pertama yang kemudian semuanya berada di tangan Umar. Lembaran-lernbaran itulah yang kemudian menjadi Mushaf al-Imam (Mushaf Usman) masa Usman dan yang kita baca sekarang, dan akan dibaca kaum Muslimin dan yang bukan Muslim sampai hari kiamat.

Abu Bakr yang Paling Berjasa dalam Pengumpulan Qur’an
“Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakr. Dia yang paling besar jasanya dalam mengumpulkan Qur’an,” demikian kata Ali bin Abi Talib, dan demikian pula akan dikatakan oleh setiap Muslim.
Sudah dapat dipastikan bahwa pengumpulan Qur’an itulah pekerjaan Abu Bakr yang terbesar, dan itulah pula yang telah memberi berkah terbanyak kepada Islam, kepada Muslimin dan segenap umat manusia.
Setelah masa Banu Umayyah Jazirah Arab lenyap, segala sarana kekuatan dan kehidupan pun makin mengerut. Kedaulatan Islam runtuh, kaum Muslimin di seluruh dunia tunduk kepada kekuasaan bukan Muslim. Kedaulatan ini sudah di lupakan orang, dan negeri-negerii Arab hampir dilupakan pula. Kalau bukan karena adanya kelembagaan haji, Semenanjung itu pasti hilang ke dalam perut bumi, dan yang hanya kalangan peneliti yang akan sampai ke sana. Tetapi Qur’an, Kitabullah yang mulia ini, akan tetap kekal sampai akhir zaman, Tak ada kepalsuan yang mendekatinya, dari depan dan dari belakang, diturunkan dari Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.

Pengumpulan Qur’an Pekerjaan Terbesar di Masa Abu Bakr
Hendaknya jangan ada anggapan bahwa Perang Riddah atau kedaulatan Islam terabaikan dari jasa Abu Bakr. Kedua soal ini sungguh luar biasa pentingnya. Salah satu pekerjaan itu saja sudah cukup untuk mengabadikan nama orang yang telah melaksanakannya. Andaikata pada kekhalifahannya Abu Bakr hanya menumpas kaum murtad saja, tentu orang semua akan melihat betapa besar dan agungnya tugas yang sudah diselesaikannya itu. Andaikata yang dikerjakannya itu tak lebih dari hanya meletakkan dasar-dasar kedaulatan Islam, niscaya kebesarannya dan kenangan abadi yang telah diukirnya sepanjang sejarah itu akan diakui semua orang. Apabila zamannya itu penuh dengan dua persoalan yang mencapai puncak keagungannya itu, kemudian ditambah dengan pengumpulan Qur’an —yang lebih kekal dan lebih agung dari keduanya— maka itulah karya abadi yang paling berarti, dan mendapat ridla Allah yang hanya diberikan kepada orang-orang yang tulus hati, pencinta kebenaran, yang imannya sudah begitu tinggi; Allah akan mempermudah setiap kebesaran bagi mereka, memberikan jalan yang benar kepada mereka.
Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakr, dengan pahala yang dilimpahkan kepadanya. Sungguh dia adalah salah seorang hamba-Nya yang tulus hati dan murni.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 339-342.

PERDAMAIAN (3)

Dari Abu Humaid Assaidy r.a. ia berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : “Tidak halal bagi seseorang mengambil tongkat kepunyaan saudaranya dengan tanpa kerelaan hatinya”. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim dalam Kitab sahihnya.
----------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Buju', halaman 322.

Jumat, 21 Februari 2014

JIKA DIUNDANG MAKAN LALU DIIKUTI ORANG

Abu Mas’ud Albadry r.a. berkata : Ada seorang mengundang Nabi s.a.w. untuk makan-makan yang dibuat untuk lima orang, tiba-tiba ada orang ikut kepada Nabi s.a.w. dan ketika sampai di muka pintu rumah, Nabi s.a.w. bersabda. ini orang mengikuti kami, maka terserah kepada kamu, jika kau suka mengizinkan kepadanya, kalau tidak, biat ia kembali. Jawab orang yang mengundang : Bahkan saya izinkan ya Rasulullah (HR. Buchary dan Muslim).
---------------------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 596.

MENJALANKAN MANASIK HAJI

Pada hari kedelapan Zulhijjah, yaitu hari Tarwia, Muhammad pergi ke Mina. Selama sehari itu sambil melakukan kewajiban sholat ia tinggal dalam kemahnya itu. Begitu juga malamnya, sampai pada waktu fajar menyingsing pada hari haji. Selesai sholat subuh, dengan menunggang untanya al-Qashwa’ tatkala matahari mulai tersembul ia menuju arah ke gunung ‘Arafat. Arus manusia dari belakang mengikutinya. Bilamana sudah mendekati gunung itu dengan dikelilingi oleh ribuan kaum Muslimin yang mengikuti perjalanannya — ada yang mengucapkan talbiah, ada yang bertakbir, sambil ia mendengarkan mereka itu, dan membiarkan mereka masing-masing.
Di Namira, sebuah desa sebelah timur ‘Arafat, telah pula dipasang sebuah kemah buat Nabi, atas permintaannya. Bila matahari sudah tergelincir, dimintanya untanya Al-Qashwa’ dan ia berangkat lagi sampai di perut wadi di bilangan ‘Urana. Di tempat itulah manusia dipanggilnya sambil ia masih di atas unta, dengan suara lantang; tapi sungguhpun begitu masih diulang oleh Rabi’a bin Umayya bin Khalaf. Setelah mengucapkan syukur dan puji kepada Allah, dengan berhenti pada setiap anak kalimat ia berkata :
“Wahai manusia sekalian! perhatikanlah kata-kataku ini! Aku tidak tahu, kalau-kalau sesudah tahun ini, dalam keadaan seperti ini, tidak lagi aku akan bertemu dengan kamu sekalian.”
“Saudara-saudara! Bahwasanya darah kamu dan harta-benda kamu sekalian adalah suci buat kamu, seperti hari ini dan bulan ini yang suci — sampai datang masanya kamu sekalian menghadap Tuhan. Dan pasti kamu akan menghadap Tuhan; pada waktu itu kamu dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatanmu. Ya, aku sudah menyampaikan ini!”
“Barangsiapa telah diserahi amanat, tunaikanlah amanat itu kepada yang berhak menerimanya.”
“Bahwa semua riba sudah tidak berlaku. Tetapi kamu berhak menerima kembali modalmu. Janganlah kamu berbuat aniaya terhadap orang lain, dan jangan pula kamu teraniaya. Allah telah menentukan bahwa tidak boleh lagi ada riba dan bahwa riba ‘Abbas bin Abd’l-Muttalib semua sudah tidak berlaku.”
“Bahwa semua tuntutan darah selama masa jahiliah tidak berlaku lagi, dan bahwa tuntutan darah pertama yang kuhapuskan ialah darah Ibn Rabi’a bin’l-Harith bin ‘Abd’l-Muttalib.”
“Kemudian daripada itu saudara-saudara. Hari ini nafsu setan yang minta disembah di negeri ini sudah putus buat selama-lamanya. Tetapi, kalau kamu turutkan dia walaupun dalam hal yang kamu anggap kecil, yang berarti merendahkan segala amal perbuatanmu, niscaya akan senanglah dia. Oleh karena itu peliharalah agamamu ini baik-baik.”
“Saudara-saudara, Menunda-nunda berlakunya larangan bulan suci berarti memperbesar kekufuran. Dengan itu orang-orang kafir itu tersesat. Pada satu tahun mereka langgar dan pada tahun lain mereka sucikan, untuk disesuaikan dengan jumlah yang sudah disucikan Tuhan. Kemudian mereka menghalalkan apa yang sudah diharamkan Allah dan mengharamkan mana yang sudah dihalalkan.”
“Zaman itu berputar sejak Allah menciptakan langit dan bumi ini. Jumlah bilangan bulan menurut Tuhan ada dua belas bulan, empat bulan di antaranya ialah bulan suci, tiga bulan berturut-turut dan bulan Rajah itu antara bulan Jumadilakhir dan Sya’ban.”
“Kemudian daripada itu saudara-saudara. Sebagaimana kamu mempunyai hak atas istri kamu, juga istrimu sama mempunyai hak atas kamu. Hak kamu atas mereka ialah untuk tidak mengizinkan orang yang tidak kamu sukai menginjakkan kaki ke atas lantaimu, dan jangan sampai mereka secara jelas membawa perbuatan keji. Kalau sampai mereka melakukan semua itu Tuhan mengizinkan kamu berpisah tempat tidur dengan mereka dan boleh memukul mereka dengan suatu pukulan yang tidak sampai mengganggu. Bila mereka sudah tidak lagi melakukan itu, maka kewajiban kamulah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan sopan-santun. Berlaku baiklah terhadap istri kamu. Mereka itu kawan-kawan yang membantumu, mereka tidak memiliki sesuatu untuk diri mereka. Kamu mengambil mereka sebagai amanat Tuhan, dan kehormatan mereka dihalalkan buat kamu dengan nama Tuhan.”
“Perhatikanlah kata-kataku ini, saudara.saudara. Aku sudah menyampaikan ini. Ada masalah yang sudah jelas kutinggalkan di tangan kamu, yang jika kamu pegang teguh, karnu takkan sesat selama-lamanya —Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.”
Wahai Manusia sekalian! Dengarkan kata-kataku ini dan perhatikan! Kamu akan mengerti, bahwa setiap Muslim adalah saudara Muslim yang lain, dan kaum Muslimin semua bersaudara. Tetapi seseorang tidak dibenarkan (mengambil sesuatu) dari saudaranya, kecuali jika dengan senang hati diberikan kepadanya. Janganlah kamu menganiaya sendiri.”
“Ya Allah! Sudahkah kusampaikan?”
Sementara Nabi mengucapkan itu Rabi’a mengulanginya kalimat demi kalimat, sambil meminta kepada orang banyak itu menjaganya dengan penuh kesadaran. Nabi juga menugaskan dia supaya menanyai mereka misalnya : Rasulullah bertanya “hari apakah ini? Mereka menjawab : Hari Haji Akhar! Nabi bertanya lagi :
“Katakan kepada mereka, bahwa darah dan harta kamu oleh Tuhan disucikan, seperti hari ini yang suci, sampai datang masanya kamu sekalian bertemu Tuhan.”
Setelah sampai pada penutup kata-katanya itu ia berkata lagi :
“Ya, Allah ! Sudahkah kusampaikan?!”
Maka serentak dari segenap penjuru orang menjawab : “Ya!”
Lalu katanya :
“Ya Allah, saksikanlah ini !”
Selesai Nabi mengucapkan pidato ia turun dari al-Qashwa’ untanya itu. Ia masih di tempat itu juga sampai pada waktu sholat dzuhur dan asar. Kemudian menaiki kembali untanya menuju Shakharat. Pada waktu itulah Nabi s.a.w. membacakan firman Tuhan ini kepada mereka :
“Hari inilah Kusempurnakan Agamamu ini untuk kamu sekalian, dengan Kucukupkan nikmat-Ku kepada kamu, dan yang Kusukai Islam inilah menjadi agama kamu.” (QS 5 : 3)

Abu Bakr ketika mendengarkan ayat itu dibaca ia menangis, ia merasa, bahwa risalah Nabi sudah selesai dan sudah dekat pula saatnya Nabi hendak menghadap Tuhan.
Setelah meninggalkan Arafat malam itu Nabi bermalam di Muzdalifa. Pagi-pagi ia bangun dan turun ke Masy’ar’l-Haram. Kemudian ia pergi ke Mina dan dalam perjalanan itu ia melemparkan batu-batu kerikil. Bila sudah sampai di kemah ia menyembelih 63 ekor unta, setiap seekor unta untuk satu tahun umurnya, dan yang selebihnya dari jumlah seratus ekor unta kurban yang dibawa Nabi sewaktu keluar dari Medinah -- disembelih oleh Ali. Kemudian mencukur rambut dan menyelesaikan ibadah hajinya.
Dengan selesainya ibadah haji ini, ada orang yang menamakannya ‘Ibadah haji perpisahan’ (‘Hijjat’l-Wada’) yang lain menyebutkan ‘ibadah haji penyampaian’ (‘Hijjat’l-Balagh’) ada lagi yang mengatakan ‘ibadah haji Islam’ (‘Hijjat’l-Islam). Nama-nama itu memang benar semua. Disebut ‘ibadah haji perpisahan’ karena ini yang penghabisan kali Muhammad melihat Mekah dan Ka’bah. Dengan ibadah haji Islam’. karena Tuhan telah menyempunnakan agama ini kepada umat manusia dan mencukupkan pula nikmat-Nya. ‘Ibadah haji penyampaian’ berarti Nabi telah menyampaikan kepada umat manusia apa yang telah diperintahkan Tuhan kepadanya. Tiada lain Muhammad hanya memberi peringatan dan pembawa berita gembira kepada orang-orang beriman.
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 550-557.

TAMAN BATU DAN PASIR

Taman jenis ini berkembang pada era Muromachi dan menggambarkan filosofi Zen. Di masa ini taman umumnya dipakai oleh para pendeta Zen untuk bermeditasi. Taman jenis ini umumnya bersifat tertutup karena dikelilingi oleh dinding dekoratif yang indah. Dan sesuai namanya, komponen utama dari taman ini adalah pasir dan batu.
Bidang-bidang yang dibentuk oleh pasir putih umumnya bersegi teratur dan pasirnya pun tertata dengan rapi. Menurut tradisi umlah batu yang harus diletakkan di taman ini sebanyak 15 buah yang diatur dalam kelompok dua, tiga, dan lima. Sebagai aksen, pada masing-masing kelompok batu biasanya ditumbuhi lumut.
Pasir memberikan kesan ruang dan kehampaan. Filosotinya adalah, pengujung taman diharapkan membersihkan pikiran yang dipenuhi hal-hal duniawi dan dapat melakukan meditasi dengan baik di dalam taman. Ada juga yang mengatakan bahwa pasir mewakili air (danau atau lautan) dan batu mewakili pulau-pulau Jepang.
--------------------------
Tabloid Rumah Edisi 7, I/16 April - 29 April 2003, halaman 12-13

Kamis, 20 Februari 2014

ORANG PUASA MENGHADAPI MAKANAN

Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : Jika diundang salah seorang kamu harus mendatangi, maka jika ia puasa hendaknya berdo’a, dan jika tidak puasa hendaknya makan. (HR. Muslim)
---------------------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 595.

Masjid Jami' Baitul Mannan Trimulyo Semarang

MASJID JAMI' BAITUL MANNAN
Karangasem Trimulyo
Kecamatan Genuk Semarang

Masjid ini masih terus berbenah diri, dua tahun yang lalu aku sholat jum'at disini dan sekarang kondisinya jauh lebih baik dan lebih bersih.

Pemerintahan Umar bin Khattab (4)

Medinah Menjadi Ibu kota dan Musyawarah Menjadi Dasar Hukum
Andaikata untuk negeri-negeri yang beraneka ragam di Semenanjung itu ia berusaha akan menerapkan satu sistem, pasti akan berkesudahan dengan hal-hal yang tidak diinginkan, baik oleh Umar maupun oleh kaum Muslimin. Penduduk kota tidak akan senang dengan sistem organisasi orang pedalaman, dan orang pedalaman pun tidak akan puas dengan sistem organisasi orang kota. Orang sudah begitu gembira ketika Umar memerintahkan agar orang-orang tawanan dikembalikan kepada keluarga masing-masing, dan tidak lagi menganggap kaum Riddah itu berbahaya. Biarlah mereka turut bergembira, mereka akan lebih berbaur dalam bekerja sama, sehingga kerja sama demikian itu akan mendorong mereka memenuhi panggilan dalam menghadapi keadaan perang dan secara lebih pasti dapat mengatasinya. Dalam pada itu tak ada salahnya keadaan itu berjalan seperti biasa di Yaman dan di luar Yaman di kawasan Semenanjung, dan untuk setiap daerah itu cukup Umar mengirim seorang wakil dari pihaknya untuk memperkuat pemerintahan Medinah dan untuk memungut zakat serta menegakkan ketentuan-ketentuan hukum Islam, mengajar dan memperdalam agama untuk mengatur tata kehidupan mereka sesuai dengan hukum. Di luar itu setiap golongan dan kabilah biarkan menikmati kemerdekaan sendiri sepenuhnya, seperti yang biasa mereka lakukan sejak turun-temurun, dan ikatan-ikatan bersama antara daerah itu secara keseluruhan jangan sampai melampaui kepentingan negara. Bahwa memang sudah demikian keadaannya maka kita harus meminjam istilah hukum internasional masa kita sekarang dan ikatan-ikatan semacam ini kita sebut saja federasi, seperti federasi Amerika Serikat atau Swiss, dan yang menjadi ibu kota federasi ini ialah Medinah.
Yang membuat kemajuannya itu bukan hanya keberhasilannya menumpas kaum murtad. Andaikata tidak terjadi Perang Riddah pun. Medinah dengan sendirinya akan tetap menjadi ibu kota Islam yang pertama, dan akan tetap mendahului semua kehidupan kota dan pedalaman. Itulah yang menjadi tempat Rasulullah berlindung. yang memperkuat dan memberikan pertolongan. Quran diturunkan di sini lebih banyak daripada yang diturunkan di Mekah. Di kota ini pula kaum Muhajirin dan Ansar berkumpul, mendengarkan ajaran-ajaran dan mengenal teladan Rasulullah, yang memperkuat dan membela agama Allah. Di sini pulalah tempat turunnya wahyu dan sumber hukum Islam, tempat kediaman para pendahulu yang pertama menyambut Islam, tempat semua orang Arab kemudian berlindung di bawah panjinya. Kemudian oleh Rasulullah pun dijadikan ibu kotanya. Dan sini ia mengirim utusan-utusan kepada raja-raja dan pemimpin-pemimpin, mengajak mereka bergabung ke dalam agama Allah. Dalam hal demikian, tidak heran jika kota ini yang dijadikan ibu kotanya dan menjadi titik perhatian dari segenap penjuru. Sesudah berhasil menumpas kaum murtad. keberhasilan ini telah dapat memastikan kekuasaannya dan berkembang ke seluruh penjuru Semenanjung. Dengan demikian pusat pemerintahan Islam tetap bertahan sampai kemudian dipindahkan ke Damsyik pada masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Sistem pemerintahan Medinah di masa Umar bin Khattab didasarkan pada pemerintahan masa Rasulullah dan masa Abu Bakr setelah itu. Dasarnya adalah Syura (musyawarah), yang mengacu pada firman Allah : “…. dan persoalan mereka dimusyawarahkan di antara sesama mereka ….” (asy-Syura (42) : 38), dan pada firman-Nya, yang ditujukan kepada Nabi : “….dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala persoalan ….” (Ali Imran (3) : 159). Rasulullah memang selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya, dan terutama dengan Abu Bakr dan Umar. Katanya kepada mereka : “Demi Allah, sekiranya kalian berdua sudah sepakat untuk suatu persoalan, saya tidak akan pernah meninggalkan kalian dalam bermusyawarah.” Seperti yang juga dikatakan oleh Abu Hurairah : “Sasa tak pernah melihat orang yang begitu sering bermusyawarah seperti Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.” Sesudah digantikan oleh Abu Bakr dan memulai langkahnya dengan mengirim Usamah bin Zaid untuk menghadapi Rumawi, ia meminta izin kepada Usamah agar Umar tetap tinggal di Medinah, karena ia diperlukan untuk diajak bermusyawarah bersama sahabat-sahabat yang lain. Begitu juga Umar, musyawarah itu dijadikannya dasar pemerintahannya.

Bentuk Musyawarah
Musyawarah yang berlaku waktu itu bukanlah hendak membatasi wewenang Khalifah seperti dalam sistem parlemen menurut pengertian kita sekarang. Kalangan pemikir yang memberikan pendapat kepada Khalifah tidaklah pula berhak memaksakan pendapat mereka kepadanya. Dengan musyawarah itu kekuasaan penuh tetap di tangan Khalifah. Dia bertanggung jawab kepada Allah, kepada dirinya sendiri dan kepada umat yang telah mengangkatnya. Kalau dia sampai melampaui hak itu dan melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya, dan perhitungan dengan Allah dan dengan dirinya sudah tidak pula dapat menahannya, maka umatlah yang akan meluruskannya dengan mata pedang.
Juga pemilihan dalam bentuk seperti yang kita kenal sekarang bukan pula yang menjadi dasar musyawarah itu. Khalifah juga yang memilih orang-orang yang akan diajak musyawarah, lalu dia yang menentukan pendapat-pendapat mereka; dia sendiri yang boleh menerima atau menolak pendapat-pendapat itu. Kalangan pemikir di masa Rasulullah ialah kaum Muhajirin dan Ansar yang tinggal di Medinah, dan mereka semua orang-orang yang berada di sekitairnya. Mereka mendengarkan pendapat Rasulullah dan memberikan pendapat mereka, dan mereka pun pergi bersama-sama ke medan perang. Pada masa kekhalifahan Abu Bakr, banyak dari mereka yang berangkat ke medan perang di Irak dan Syam. Yang tinggal mendampinginya hanya sahabat-sahabat besar dari kalangan Kuraisy. Begitu, juga hanya pada masa pemerintahan Umar, yang mendampingi tokoh-tokoh sahabat dari Muhajirin dan Anshar, menggodok pendapat-pendapat mereka yang pemecahannya tak terdapat dalam Kitabullah atau dalam Sunah Rasulullah Mereka itu merupakan staf khusus untuk diajak bermusyawarah, terutama Abbas bin Abdul-Muttalib, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Abdur-Rahman bin Auf dan yang setingkat dengan mereka. Tetapi dalam bermusyawarah itu Umar sering mangajak orang banyak. Ia mengajak orang ke Mesjid di Medinah, atau mengajak mereka dalam shalat berjamaah di mana saja mereka berada, kemudian ia menyampaikan masalah yang hendak dibahas bersama itu dan menawarkan kepada siapa saja yang ingin memberikan pendapat. Bila ia menghadapi masalah yang begitu pelik ia mengundang anak-anak muda untuk dimintai pendapatnya, karena ketajaman pikiran mereka. Kalau suatu masalah dari sidang umum itu sudah dapat dipecahkan, maka pelaksanaannya diputuskan. Kalau ada masalah yang belum jelas, dikembalikan kepada staf khususnya, meminta pendapat mereka dan berdiskusi dengan mereka sampai ia merasa puas bahwa apa diyakininya itu benar.
Sesudah terbunuhnya Abu Ubaid di Irak Umar mengajak orang bermusyawarah, meminta pendapat mereka apa yang harus dilakukannya. Pendapat umum mengatakan : Berangkatlah Anda dan bawalah kami bersama Anda. Tetapi staf khususnya berpendapat cukup mengirim salah seorang sahabat Rasulullah memimpin pasukan ke Irak, dan dia sendiri tinggal di Medinah memasok orang itu. Ketika itu ia mengumpulkan orang dan berkata kepada mereka : “Kaum Muslimin berhak mengadakan musyawarah di antara sesama mereka. Saya sendiri tak lebih hanya salah seorang dari kalian, sebelum kalangan pemikir itu membebaskan saya dari ikut pergi. Oleh karena itu saya berpendapat akan tetap tinggal dan akan mengirim orang saja.”
Kita lihat dia sedang dalam perjalanan ke Syam, dan pemimpin-pemimpin militer menemuinya dengan mengatakan bahwa daerah itu sedang dilanda wabah penyakit yang hebat. Ia mengumpulkan mereka dan diajaknya mereka bermusyawarah : Akan meneruskan perjalanannya ke Syam yang sedang dijangkiti wabah ataukah harus kembali ke Medinah? Ternyata mereka saling berbeda pendapat : Ada yang menyarankan agar meneruskan perjalanan, yang lain berpendapat lebih baik kembali, yang berakhir dengan pendapat yang kemudian. Dia dan rombongan kembali keMedinah.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 598-601.

Pengumpulan Qur’an Masa Pemerintahan Abu Bakr (7)

Abu Bakr Lebih Mengutamakan Zaid daripada Abdullah
Kita lansir kata-kata Abdullah bin Mas’ud dan kemarahannya itu untuk membuktikan betapa tepatnya Abu Bakr memilih Zaid bin Sabit untuk mengumpulkan Qur’an yakni dengan kata-kata Abu Bakr kepada Zaid setelah ia yakin dengan pendapat Umar : “Engkau masih muda, cerdas dan kami tidak mencurigaimu. Engkau penulis wahyu untuk Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi sekarang lacaklah Qur’an dan kumpulkanlah.” Atas kata-kata Abu Bakr Anhari yang sudah kita kutip yang mengatakan lebih mengutamakan Zaid daripada Abdullah, Qurtubi menambahkan; “Zaid lebih menguasai Qur’an dariipada Abdullah, sebab ia sudah menyerapnya semua tatkala Rasulullah masih hidup, sedang yang dikuasai Abdullah semasa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam baru sekitar tujuh puluh Surah. Ia belajar sisanya setelah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Orang yang sudah menamatkan dan menguasai Qur’an semasa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup lebih diutamakan untuk mengumpulkan Qur’an dan lebih berhak didahulukan dan dipilih”
Barangkali Abu Bakr memilih Zaid dan mendahulukannya daripada sahabat-sahabat Rasulullah yang lain karena ia masih muda : dia lebih mampu bekerja daripada yang lain, dan karena mudanya pula ia tidak begitu fanatik dengan pendapatnya, tidak begitu membangga-banggakan pengetahuannya. Itulah yang membuatnya mau belajar kepada penghafal-penghafal dan pembaca Qur’an dari kalangan sahabat-sahabat besar. Dalam mengumpulkan Qur’an penelitiannya cukup mendalam tanpa harus mengutamakan apa yang sudah dikuasainya, kendati menurut berita yang mutawatir dia hadir dalam peragaan pembacaan Qur’an yang terakhir, yang dibacakan oleh Jibril kepada Rasulullah untuk kedua kalinya pada tahun kematiannva itu.

Bagaimana Zaid Mencatat Qur’an dalam Mushafnya
Zaid merasakan begitu besar tanggung jawab yang dipikulkan Khalifah kepadanya, tetapi Zaid sangat menghargainya, seperti dikatakannya : “Demi Allah, andaikata aku diberi tugas memindahkan gunung. kiranya bagiku tidaklah akan lebih berat daripada tugas mengumpulkan Qur’an ini.” Bagaimana tak akan merasakan besarnya tanggung jawab itu, sebab dia tahu Abu Bakr hafal Qur’an, Umar, Usman dan Ali halal Qur’an, begitu juga para sahabat besar yang lain, mereka hafal Qur’an atau banyak yang sudah mereka hafal. Bahkan empat orang sudah menerima pelajaran Qur ‘an dari Rasulullah dan mereka tulis dengan ayat-ayat yang tersusun dalam surah-surah, yang lain juga menulis mushaf-mushaf, sebagian sudah lengkap dan yang sebagian lagi belum lengkap, di antaranya Abdullah bin Mas’ud. Semua mereka itu mengawasi, menjaganya serta memperhitungkannya dengan sangat berhati-hati.
Dan masih ada lagi penjagaan yang lebih besar! Penjagaan oleh Pemilik Qur’an, Yang telah mewahyukannya kepada Rasul-Nya, lebih besar dari semua penjagaan itu. Itulah yang membuat ia merasa bahwa memindahkan gunung itu masih akan lebih ringan daripada apa yang ditugaskan Khalifah kepadanya. Dan Zaid bin Sabit percaya benar bahwa dalam mengumpulkan firman-Nya itu Allah mengawasinya selalu. Itulah yang membuatnya sadar betapa agungnya masalah ini, dan dia akan mencurahkan segala kemampuannya tanpa menghiraukan lagi segala macam kesulitan. Ia tak akan meninggalkan setiap kesempatan dalam mengumpulkan segala yang tertulis berupa lempengan-lempengan, tulang tulang bahu, kepingan-kepingan batu putih, pelepah pohon kurma dan dari hafalan orang. Selanjutnya membanding-handingkan semua itu satu sama lain, dan membandingkannya pula dengan mana-mana yang sudah dihafalnya sendiri dari Rasulullah pada saat-saat akhir hidupnya. Dari segala usaha pengumpulan itu tujuannya untuk mencapai apa yang dikehendaki oleh Khalifah Rasulullah dan dapat diterima oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan jalan itu mushaf yang sudah terkumpul itu akan menjadi induk yang akan dapat melegakan hati kaum Muslimin. Sesudah Usman bermaksud hendak menyatukan bacaan itu, mushaf inilah yang dijadikan induknya.
Rasanya tak perlu lagi saya mengatakan bahwa Zaid memang tidak mencatat Qur’an dalam mushafnya itu menurut waktu turunnya sesudah ayat-ayat itu disusun dalam surah-surah menurut perintah Rasulullah, lalu sebagian surah yang turun di Medinah diletakkan dalam surah-surah Mekah. Tetapi Zaid menyusun surah-surah itu seperti yang disusun oleh Rasulullah, kemudian menyalinnya ke dalam lembaran atau ke dalam kulit yang sudah disamak, sesudah selesai ia menyalin dari mushaf yang ada pada Abu Bakr, kemudian yang di tangan Umar lalu yang di tangan Hafsah.

Cara Zaid Menyusun Sesuai dengan Cara-cara Ilmiah yang Berlaku Sekarang
Cara atau metoda apa yang dipakai Zaid dalam pengumpulan itu? Tanpa ragu dapat kita katakan bahwa ia menggunakan cara penelitian ilmiah yang biasa berlaku pada masa kita sekarang. Ia mengikuti cara itu dengan ketelitian yang luar biasa. Abu Bakr sudah menyerukan setiap orang yang punya bagian-bagian Qur’an yang tertulis supaya menyerahkannya kepada Zaid, dan setiap orang yang hafal Qur ‘an supaya menunjukkan kepadanya apa yang sudah dihafalnya itu. Sekarang semua lempengan, tulang, pelepah pohon kurma dan kepingan batu serta semua yang ditulis dari Qur’an oleh sahabat-sahabat Rasulullah sudah cukup banyak terkumpul di tangan Zaid. Ketika itulah kemudian ia menyusunnya, dan membanding-bandingkannya lalu mencocokkannya. Ia tidak akan menetapkan satu ayat pun sebelum benar-benar ia merasa yakin dan pasti sebagaimana diwahyukan kepada Rasulullah.
Disebutkan bahwa ketika Umar bin Khattab membaca sebuah ayat dengan tanda baca berbeda yang diketahui Zaid bin Sabit. Keduanya pun berbeda pendapat. Umar memanggil Ubai bin Ka’b dan menanyakan soal tersebut. Ubai menguatkan bacaan Zaid. Untuk menghilangkan segala keraguan dalam hati Umar ia berkata : “Ketika Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam membacakannya kepadaku engkau masih berdagang gandum.” Umar mengingat-ingat lalu katanya : “Ya benar!” Ia mengikuti Ubai dan mengakui bacaan Zaid. Selanjutnya demikianlah yang dilakukan Zaid setiap ada sahabat yang menentangnya. Dan setiap kali ia menemukan apa yang tertulis dalam lempengan-lempengan, dalam tulang-tulang dan sebagainya yang berbeda, ia berusaha membuktikan dan terus meneliti, tanpa terpengaruh bahwa dia sendiri sudah hafal Qur’an dan dia mengikuti bacaan Rasulullah yang dibacakan kepadanya sebelum ia wafat. Perbedaan pada huruf dalam ayat yang diperselisihkan tadi menunjukkan betapa cermatnya ia meneliti. Dan terbukti bahwa Zaid memang tak pernah mengurangi kegiatannya dalam melaksanakan tugas besar yang telah dipercayakan Abu Bakr kepadanya itu.
Ketelitian dalam mengumpulkan Qur‘an ini erat sekali hubungannya dengan keimanan Zaid kepada Allah. Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala. Sikap acuh tak acuh atau tidak mengindahkan penelitian dalam pengumpulan itu adalah suatu dosa. Mengingat pengabdian Zaid yang begitu tinggi kepada Islam serta persahabatannya dengan Rasulullah yang begitu indah, tak mungkin ia akan bersikap demikian. Kalangan Orientalis yang jujur semua membuktikan ketelitian itu, sampai-sampai Sir William Muir berkata : “Agaknya di seluruh dunia tak ada sebuah kitab pun selain Qur ‘an yang sampai dua belas abad lamanya tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan cermat.”

Susunan Surah-surah dalam Mushaf yang Berurutan
Dalam menyusun surah-surah dengan ayat-ayat yang berurutan itu oleh Zaid memang tidak dilakukan secara teratur dengan menyusun surah-surah dalam mushaf berturut-turut satu demi satu. Tetapi susunan yang kita kenal sekarang ini ialah seperti yang ada pada masa Usman. Memang berbeda dengan yang ada pada masa Nabi. Ada yang mengatakan, bahwa hal ini oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam diserahkan kepada umatnya. Yang lain berkata : Bahkan susunan beberapa surah yang berurutan disebutkan oleh Nabi dan yang sebagian lagi dibiarkan. Yang lain berkata : Bahkan ia menyebutkan semua susunan itu. Ibn Wahb dalam kitabnya al-Jami menuturkan : Aku mendengar Sulaiman bin Bilal mengatakan, aku mendengar Rabi,ah ditanya : Mengapa Baqarah dan Ali Imran yang didahulukan padahal sudah ada sekitar delapan puluh surah yang turun di Medinah? Rabi’ah menjawab : “Kedua surah itu memang didahulukan; Qur an itu disusun dengan sepengetahuan penyusunnya. Mereka sudah sepakat atas dasar pengetahuan itu, dan itulah yang menjadi pegangan kami, dan kami tidak lagi menanyakan mengenai hal itu.” Sejumlah ulama mengatakan bahwa penyusunan surah-surah Qur’an seperti yang ada pada mushaf kita sudah ditentukan (tauqifi) oleh Nabi Sallullahu ‘alaihi wasallam. Mengenai sumber yang menyebutkan adanya perbedaan pada mushaf Ubai, Ali dan Abdullah, ialah sebelum pembacaannya yang terakhir diperagakan, dan bahwa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menyusunkan urutan surah-surah itu untuk mereka, yang sebelum itu tidak tersusun.
Ada beberapa kalangan yang menolak pendapat ini Mereka berpendapat bahwa susunan surah-surah itu bukanlah menurut ketentuan Rasulullah, dengan alasan bahwa Ali bin Abi Talib baru mengumpulkan mushafnya setelah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam wafat, demikian juga Abdullah bin Abbas. Sekiranya surah-surah itu memang sudah disusun oleh Rasulullah tentu Ali dan Abdullah akan melakukannya dan akan dususun seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah. Zaid bin Sabit tidak menyusun surah-surah itu ketika mengumpulkan Qur’an pada masa Abu Bakr. Penyusunan surah-surah semua atau sebagian atas ijtihad para sahabat dan bukan atas perintah Rasulullah.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 335-339.

PERDAMAIAN (2)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda : “Janganlah orang melarang tetangganya menancapkan sebuah kayu pada temboknya”; lantas Abu Hurairah berkata : “Mengapa saya lihat kalian berpaling dari padanya? Demi Allah saya akan melemparkannya di antara pundak-pundak kalian”. Muttafaq ‘alaih.
-------------------------------------
Tarjamah BULUGHUL MARAM, Ibnu Hajar Asqalany, Penerbit : PT. Alma’arif Bandung, Cetakan ke tujuh, 1984, Bab Kitabul Buju', halaman 322.

Rabu, 19 Februari 2014

TIDAK BOLEH MENCELA MAKANAN

Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. tidak pernah mencela makanan selamanya. Jika ia suka dimakannya, dan jika tidak suka ditinggalkannya. (HR. Buchary dan Muslim).

Jabir r.a. berkata : Bahwasannya Nabi s.a.w. menanyakan lauk pauk kepada keluarganya, maka jawab mereka : Tidak ada lauk pauk kecuali cuka. Maka Nabi s.a.w. minta cuka untuk dimakan dengan roti yang dihidangkan kepadanya, sambil bersabda : Sebaik-baiknya lauk pauk yalah cuka, sebaik lauk yalah cuka. (HR. Muslim)
---------------------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 594.

IHRAM DAN TALBIAH

Bilamana mereka sanpai di Dhu’l-Hulaifa, mereka berhenti dan tinggal selama satu malam di sana. Keesokan harinya, bila Nabi sudah mengenakan pakaian ihram kaum Muslimin yang lain juga memakai pakaian Ihram. Mereka semua masing-masing mengenakan kain selubung bagian bawah dan atas. Mereka berjalan semua dengan pakaian yang sama, yaitu pakaian yang sangat sederhana. Dengan demikian mereka telah melaksanakan suatu persamaan dalam arti yang sangat jelas.
Dengan seluruh kalbu Muhammad telah menghadapkan diri kepada Tuhan dengan mengucapkan talbiah yang diikuti pula oleh kaum Muslimin dari belakang : “Labbaika Allahumma labbaika, labbaika la syarika laka labbaika. Alhamdu lillah wan-ni ‘matu wa‘sy-syukru laka labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika.” (“Kupenuhi panggilan-Mu, ya Allah, kupenuhi panggilan-Mu. Kupenuhi panggilan-Mu. Tiada bersekutu Engkau. Kupenuhi panggilan-Mu Puji, nikmat dan syukur kepunyaan-Mu . Kupenuhi panggilan-Mu kupenuhi panggilan-Mu, tiada bersekutu Engkau. Kupenuhi panggilan-Mu.”)
Lembah-lembah dan padang sahara bersahut-sahutan menyambut seruan in, semua turut berseru dengan penuh iman. Ribuan, ya puluhan ribu kafilah itu menyusuri jalan antara Madinat’r-Rasul dengan Kota Mesjid Suci. Ia berhenti pada setiap mesjid, menunaikan kewajiban sambil menyerukan talbiah, sebagai tanda taat dan syukur atas nikmat Allah. Dengan penuh kesabaran ia menantikan saat ibadah haji akbar itu tiba. Dengan hati rindu. dengan jantung berdetak penuh cinta akan Baitullah Padang-padang pasir seluruh jazirah, gunung-gunung, lembah-lembah dan padang tanaman yang segar menghijau, terkejut mendengarnya, dengan kumandangnya yang bersahut-sahutan : suatu hal yang belum pernah dikenal, sebelum Nabi yang ummi ini, Rasul dan Hamba Allah ini datang memberkahinya.

MELEPAS UMRAH
Tatkala rombongan itu sampai di Sarif —suatu tempat antara jalan Mekah dengan Madinah— Muhammad berkata kepada sahabat-sahabatnya : “Barangsiapa di antara kamu tidak membawa binatang kurban dan ingin menjadikan (ihram) ini sebagai umrah, lakukanlah : tetapi yang membawa binatang kurban jangan.”

Bilamana jamaah haji sudah sampai di Mekah pada hari keempat Zulhijjah, Nabi cepat-cepat menuju Ka’bah diikuti oleh kaum Musliniin yang lain. Kemudian ia menyentuh hajar ‘aswad dan menciumnya, lalu bertawaf di Ka’bah sebanyak tujuh kali dan pada kali yang pertama ia berlari-lari seperti yang dilakukan pada waktu umrat’l-qadza’. Setelah melakukan salat di Maqam Ibrahim ia kembali dan sekali lagi mencium hajar ‘aswad. Kemudian ia keluar dari mesjid itu menuju ke sebuah bukit di Shafa, lalu melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa. Selanjutnya Muhammad berseru supaya barangsiapa tidak membawa ternak kurban untuk disembelih, jangan terus mengenakan pakaian ihram. Ada beberapa orang yang masih ragu-ragu. Atas sikap yang masih ragu-ragu ini Nabi marah sekali seraya katanya :
“Apa yang kuperintahkan, lakukanlah.”
Dalam keadaan masih gusar itu Nabi memasuki kubahnya, sehingga ‘Aisyah bertanya :
“Kenapa jadi marah?’’
“Bagaimana takkan marah, aku memerintahkan sesuatu tidak dijalankan.”
Ketika ada salah seorang sahabat menemuinya ia masih dalam keadaan marah.
“Rasulullah”, katanya, “orang yang membuat tuan jadi marah akan masuk neraka.”
Ketika itu Rasul menjawab :
“Tidak kau ketahui, bahwa aku memerintahkan sesuatu kepada mereka tapi mereka masih ragu-ragu? Jika aku menghadapi tugasku, aku takkan pernah mundur! Aku tidak membawa ternak kurban itu ke mari sebelum aku membelinya. Sesudah itu aku melepaskan Ihram seperti mereka juga.” Demikian Muslim melaporkan.
Setelah kaum Muslimin mengetahui, bahwa Rasulullah sampai marah, ribuan mereka segera melepaskan pakaian ihramnya dengan perasaan menyesal sekali. Juga istri-istri Nabi, Fatimah putrinya seperti yang lain juga melepaskan pakaian ihramnya. Yang masih mengenakan ihram hanya mereka yang membawa ternak kurban.

ALI KEMBALI DARI YAMAN
Sementara kaum Muslimin sedang menunaikan ibadah haji, Ali pun kembali dari ekspedisinya ke Yaman. Ia sudah mengenakan pula pakaian ihram sehagai persiapan pergi haji setelah diketahuinya bahwa Rasulullah memimpin jamaah berhaji. Ketika ia menemui Fatimah dan dilihatnya sudah melepaskan kain ihram, hal itu ditanyakannya. Fatimah menerangkan bahwa Nabi memerintahkan mereka supaya melepaskan ihram itu waktu umrah. Ia pun segera pergi menemui Nabi, hendak melaporkan hasil perjalanannya ke Yaman. Selesai laporan itu Nabi berkata :
“Pergilah bertawaf di Ka’bah kemudian lepaskan ihrammu seperti teman-temanmu yang lain.”
“Rasulullah”, kata Ali, “saya sudah mengucapkan ihlal seperti yang tuan ucapkan.”
“Kembalilah dan lepaskan ihrammu seperti dilakukan teman-temamu yang lain.” kata Nabi lagi.
“Rasulullah”, demikian Ali herkata, “ketika saya mengenakan ihram, saya sudah berkata begini : Allahumma Ya Allah, saya berihlal seperti yang dilakukan oleh Nabi-Mu, Hamba-Mu dan Rasul-Mu Muhammad
Nabi bertanya, kalau-kalau dia sudah mempunyai binatang kurban. Setelah oleh Ali dijawab tidak. Muhammad membagikan binatang kurban yang dibawanya itu kepada Ali. Dengan demikian Ali tetap mengenakan ihram dan melakukan manasik haji akbar sampai selesai.
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 548-550.

TAMAN ALAMI (TAMAN NATURAL)

Disebut natural, karena taman ini dirancang sedemikian rupa, sehingga burung-burung dan hewan pengerat (kelinci, marmut) bisa tinggal di dalamnya. Taman ini didominasi oleh hijaunya lumut dan nilainya menjadi sempurna bila terdapat kolam atau aliran air yang asli (bukan buatan). Taman jenis ini umumnya memiliki bangunan kecil semacam gazebo yang dinamai “Azumaya” Konsep taman ini secara keseluruhan adalah menyatu dan menjadi bagian dari alam sekitarnya.
--------------------------
Tabloid Rumah Edisi 7, I/16 April - 29 April 2003, halaman 12

Selasa, 18 Februari 2014

ADAB TATA TERTIB MAKAN (8)

Mu’adz bin Anas r.a. berkata : Rasulullah bersabda : Siapa yang makan kemudian membaca: ALHAMDULILLAHI LADHI ATH’AMANI HADZA WAROZAQONIHI MIN GHOIRO HAULIN MINNI WA LA QUWWATIN. Diampunkan apa yang telah lalu dari dosanya. (Segala puji bagi Allah yang telah memberi makanan ini, dan memberi rizqi pada saya dengan tiada daya dan kekuatan daripadaku). (HR. Abu Dawud dan Attirmidzy).
---------------------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 593.

Pengumpulan Qur’an Masa Pemerintahan Abu Bakr (6)

Pengumpulan Qur’an Masa Usman dan Sebab-sebabnya
Sebelum menguraikan apa yang terjadi setelah pertemuan Abu Bakr, Umar dan penulis wahyu (Zaid bin Sabit), baik juga saya sebutkan bahwa apa yang terjadi pada masa Usman, ternyata telah memperkuat pendapat Umar untuk menghimpun Qur‘an dan menunjukkan tentang benarnya pandangannya itu. Pada masa Umar dan Usman penyebaran Islam sudah makin luas. Para sahabat Rasulullah membacakan dan mengajarkan Qur’an kepada setiap orang yang masuk Islam di negeri-negeri yang baru dimasukinya. Ketika itu lalu timbul perbedaan dalam membaca, yang kemudian perbedaan itu terasa makin besar dan makin beragam, sampai-sampai ada yang berkata kepada temannya : Bacaanku lebih baik dari bacaanmu. Begitu besar persoalannya hingga hampir menimbulkan kekacauan. Mereka berselisih dan bertengkar, saling menuduh kafir dan saling melaknat dengan masing-masing merasa dirinya lebih benar. Ketika itulah tatkala Huzaifah bin Yaman bersama kaum Muslimin yang lain terlibat dalam perang di Armenia dan Azerbaijan, ia melihat pertentangan itu makin menjadi-jadi : mereka saling melaknat. Cepat-cepat ia kembali pulang ke Medinah dan langung menemui Usman sebelum pulang ke rumahnya.
“Cepat selamatkan umat ini sebelum menemui kehancuran,” katanya.
“Mengenai apa?” tanya Usman.
“Tentang Kitabullah,” kata Huzaifah lagi. “Aku mengikuti ekspedisi itu. Aku telah bersama-sama dengan orang-orang dari Irak, dari Syam dan dari Hijaz.” Lalu ia menceritakan mengenai perselisihan yang terjadi sekitar bacaan Qur’an itu. “Saya khawatir,” katanya lebih lanjut, “mereka akan berselisih mengenai Kitab Suci kita seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani.”*) Menurut hemat Usman itu memang berbahaya. Ia mengundang beberapa orang dan persoalan tersebut di kemukakan. Mereka menanyakan pendapatnya. “Menurut pendapatku.” kata Usman, “orang harus sepakat dengan hanya satu bacaan. Kalau sekarang kita berselisih, maka perselisihan generasi sesudah kita akan lebih parah lagi.”
Kalangan pemikir menyetujui pendapatnya itu. Kemudian ia mengutus orang kepada Hafsah dengan permintaan agar mengirimkan mushaf Abu Bakr untuk disalin ke dalam beberapa mushaf. Demikianlah terjadinya pertama kali pengumpulan Mushaf Usman dan penyeragamannya dalam bacaan Qur’an.

Pandangan Umar yang Jujur Mengenai Pengumpulan Qur’an
Perbedaan pada masa Usman itu adalah bukti yang nyata sekali bahwa pandangan Umar memang sejujurnya tatkala ia menyarankan kepada Abu Bakr untuk menghimpun Qur’an. Usman menggunakan mushaf Abu Bakr sebagai pedoman bagi mereka untuk menyeragamkan bacaan. Andaikata Abu Bakr tidak sampai mengumpulkan Qur’an niscaya perselisihan itu akan berlarut-larut, dan bencana akan menimpa kaum Muslimin. Usaha Abu Bakr itu telah menyelamatkan mereka. Karenanya tidaklah berlebihan ketika Ali bin Abi Talib berkata : “Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakr. Orang yang paling besar pahalanya dalam mengumpulkan Qur’an ialah Abu Bakr. Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakr. Dialah yang pertama kali menghimpun Qur’an menjadi dua loh.”
Allah telah melapangkan dada Abu Bakr untuk mengumpulkan Qur‘an setelah berdiskusi dengan Umar. Kemudian ia menugaskan kepada Zaid bin Sabit untuk melacak dan mengumpulkannya. Diriwayatkan bahwa dalam menghadapi hal itu Abdullah bin Mas’ud marah sekali dengan mengatakan : Saudara-saudara Muslimin, aku tidak diikutsertakan dalam penulisan mushaf-mushaf dan mengangkat orang lain. Sungguh, ketika aku sudah masuk Islam dia masih menjadi biang kafir! Yang dimaksud Zaid bin Sabit. Kata-kata ini dihubungkan dengan Abdullah bin Mas’ud ketika Usman menugaskan Zaid mengumpulkan Qur’an dan mengikutkan beberapa orang sahabat. Barangkali Abdullah lebih marah lagi seperti disebutkan oleh Qurtubi ketika mengatakan : “Abu Bakr Anbari berkata : Dalam mengumpulkan Qur‘an Abu Bakr dan Usman lebih suka memilih Zaid daripada Abdullah bin Mas’ud, yang lebih utama daripada Zaid dan sudah lebih dulu masuk Islam, lebih dulu dan lebih besar jasanya; hanya saja mengenai Qur’an Zaid lebih hafal daripada Abdullah.” Ungkapan ini membuat Abdullah bin Mas’ud lebih marah.
Begitu besar kemarahan Abdullah bin Mas’ud itu sampai ia mengatakan : “Aku sudah belajar kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam tujuh puluh Surah sementara Zaid bin Sabit masih bcrkepang dua, bermain-main dengan sesama anak-anak.” Malah ia membakar semangat penduduk Irak untuk tidak membantu pekerjaan ini. Katanya kepada mereka : “Aku mempertahankan **) mushafku : barang siapa mau mempertahankan mushafnya lakukanlah, karena Allah berfirman : “Barang siapa berkhianat, pada hari kiamat ia datang dengan hasil pengkhianatannya.” (Qur’an (3) : 161).
“Pada suatu hari pernah ia berpidato di depan orang banyak dan mengatakan firman tersebut. Pertahankanlah mushaf-mushaf kalian. Bagaimana kalian rnenyuruh aku membaca menurut bacaan Zaid bin Sabit sedang aku sudah belajar dari Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam sekitar tujuh puluh Surah ; ketika itu Zaid bin Sabit yang masih bermain-main dengan anak-anak masih berkepang dua. Demi Allah, begitu Qur’an diwahyukan aku tahu kapan dan untuk apa diwahyukan. Tak ada orang yang lebih tahu dari aku tentang Kitabullah. Aku bukan orang yang terbaik di antara kamu. Kalau aku rnengetahui ada orang yang lebih tahu tentang Kitabullah dan aku yang dapat dicapai dengan unta. niscaya kudatangi dia.”
Beberapa tokoh terpandang dan sahabat-sahabat Nabi merasa tidak senang dengan kata-kata Abdullah bin Mas’ud itu. Mereka menganggapnya mengandung semangat fitnah tanpa alasan. Mengutip dari Abu Darda’ yang berkata : “Kami menganggap Abdullah berperasaan halus, tetapi mengapa ia mendamprat orang-orang terkemuka.” Memang benar Abdullah bin Mas’ud veteran Badr sedang Zaid bin Sabit bukan. Abdullah sudah lebih dulu masuk Islam daripada Zaid bin Sabit dan ayahnya Sabit bin Zaid, dan dia belajar Qur’an dari Rasulullah sekitar tujuh puluh Surah. Tetapi Zaid adalah sekretaris Nabi, dan sampai wafatnya dialah yang menerima Qur’an seluruhnya dari Rasulullah. Kata Qurtubi lagi : “Cukup luas diketahui di kalangan ahli sejarah dan hadis, bahwa Abdullah bin Mas’ud belajar Qur’an berikutnya setelah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Beberapa pemuka mengatakan : “Abdullah bin Mas’ud meninggal sebelum menamatkan Qur’an.” Mushaf ibn Mas’ud masih tanpa Surah Falaq dan Surah Nas.
Catatan :
*) Dalam sebuah sumber yang dicatat oleh Ibn Abi Dawud dalam al-Masahif dengan isnad yang berbeda bahwa Abdullah bin Mas’ud ketika itu sedang membaca Qur’an di mesjid, kemudian datang Huzaifah mengatakan : Orang-orang Kufah membaca menurut bacaan Abdullah bin Mas’ud dan penduduk Basrah menurut bacaan Abu Musa al-Asy’ari. Kalau aku melapor kepada Amirulmukminin pasti kuusulkan supaya (naskah-naskah itu) dihanyutkan. Ibn Mas’ud menjawab : Kalau kaulakukan itu engkaulah oleh Allah yang dihanyutkan tanpa air. Diceritakan juga bahwa Huzaifah mengatakan itu bukan di depan Abdullah bin Mas’ud. Kemudian Abdullah, Huzaifah dan Abu Musa bertemu di rnmah Abu Musa dan Abdullah berkata kepada Huzaifah : Aku mendapat kabar bahwa engkau yang mengatakan —yakni kata-katanya bahwa kalau aku melapor kepada Amirulmukminin pasti kuusulkan supaya mushaf-mushaf itu dihanyutkan. Huzaifah menjawab : Ya, aku tidak senang dikatakan bacaan si polan, lalu mereka berselisih seperti Ahli Kitab.

**) Ungkapan Inni qalun mushafi saya terjemahkan dengan “Aku mempertahankan mushafku” hanya menurut konteks, yang mungkin terasa sangat sederhana. Saya menemui kesukaran menerjemahkan kata galun, yang umumnya berarti ‘khianat’, demikian juga dalam pengertian Qur‘an. Jika dihubungkan dengan ayat Qur‘an berikutnya terasa tak sejalan dengan kata-kata Abdullah bin Mas’ud itu. Kutipan yang pertama dengan lafaz bima gallan seperti dalam TQ. 3: 161 sedang ketika berpidato di depan orang banyak dengan lafaz bima gulla yang secara harfiah berarti “terbelenggu,” yang berkonotasi “menahan, tak mau memberi, bakhil’ (TQ 5: 64); “sangat haus”.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 332-335.