"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Kamis, 20 Februari 2014

Pengumpulan Qur’an Masa Pemerintahan Abu Bakr (7)

Abu Bakr Lebih Mengutamakan Zaid daripada Abdullah
Kita lansir kata-kata Abdullah bin Mas’ud dan kemarahannya itu untuk membuktikan betapa tepatnya Abu Bakr memilih Zaid bin Sabit untuk mengumpulkan Qur’an yakni dengan kata-kata Abu Bakr kepada Zaid setelah ia yakin dengan pendapat Umar : “Engkau masih muda, cerdas dan kami tidak mencurigaimu. Engkau penulis wahyu untuk Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi sekarang lacaklah Qur’an dan kumpulkanlah.” Atas kata-kata Abu Bakr Anhari yang sudah kita kutip yang mengatakan lebih mengutamakan Zaid daripada Abdullah, Qurtubi menambahkan; “Zaid lebih menguasai Qur’an dariipada Abdullah, sebab ia sudah menyerapnya semua tatkala Rasulullah masih hidup, sedang yang dikuasai Abdullah semasa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam baru sekitar tujuh puluh Surah. Ia belajar sisanya setelah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Orang yang sudah menamatkan dan menguasai Qur’an semasa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup lebih diutamakan untuk mengumpulkan Qur’an dan lebih berhak didahulukan dan dipilih”
Barangkali Abu Bakr memilih Zaid dan mendahulukannya daripada sahabat-sahabat Rasulullah yang lain karena ia masih muda : dia lebih mampu bekerja daripada yang lain, dan karena mudanya pula ia tidak begitu fanatik dengan pendapatnya, tidak begitu membangga-banggakan pengetahuannya. Itulah yang membuatnya mau belajar kepada penghafal-penghafal dan pembaca Qur’an dari kalangan sahabat-sahabat besar. Dalam mengumpulkan Qur’an penelitiannya cukup mendalam tanpa harus mengutamakan apa yang sudah dikuasainya, kendati menurut berita yang mutawatir dia hadir dalam peragaan pembacaan Qur’an yang terakhir, yang dibacakan oleh Jibril kepada Rasulullah untuk kedua kalinya pada tahun kematiannva itu.

Bagaimana Zaid Mencatat Qur’an dalam Mushafnya
Zaid merasakan begitu besar tanggung jawab yang dipikulkan Khalifah kepadanya, tetapi Zaid sangat menghargainya, seperti dikatakannya : “Demi Allah, andaikata aku diberi tugas memindahkan gunung. kiranya bagiku tidaklah akan lebih berat daripada tugas mengumpulkan Qur’an ini.” Bagaimana tak akan merasakan besarnya tanggung jawab itu, sebab dia tahu Abu Bakr hafal Qur’an, Umar, Usman dan Ali halal Qur’an, begitu juga para sahabat besar yang lain, mereka hafal Qur’an atau banyak yang sudah mereka hafal. Bahkan empat orang sudah menerima pelajaran Qur ‘an dari Rasulullah dan mereka tulis dengan ayat-ayat yang tersusun dalam surah-surah, yang lain juga menulis mushaf-mushaf, sebagian sudah lengkap dan yang sebagian lagi belum lengkap, di antaranya Abdullah bin Mas’ud. Semua mereka itu mengawasi, menjaganya serta memperhitungkannya dengan sangat berhati-hati.
Dan masih ada lagi penjagaan yang lebih besar! Penjagaan oleh Pemilik Qur’an, Yang telah mewahyukannya kepada Rasul-Nya, lebih besar dari semua penjagaan itu. Itulah yang membuat ia merasa bahwa memindahkan gunung itu masih akan lebih ringan daripada apa yang ditugaskan Khalifah kepadanya. Dan Zaid bin Sabit percaya benar bahwa dalam mengumpulkan firman-Nya itu Allah mengawasinya selalu. Itulah yang membuatnya sadar betapa agungnya masalah ini, dan dia akan mencurahkan segala kemampuannya tanpa menghiraukan lagi segala macam kesulitan. Ia tak akan meninggalkan setiap kesempatan dalam mengumpulkan segala yang tertulis berupa lempengan-lempengan, tulang tulang bahu, kepingan-kepingan batu putih, pelepah pohon kurma dan dari hafalan orang. Selanjutnya membanding-handingkan semua itu satu sama lain, dan membandingkannya pula dengan mana-mana yang sudah dihafalnya sendiri dari Rasulullah pada saat-saat akhir hidupnya. Dari segala usaha pengumpulan itu tujuannya untuk mencapai apa yang dikehendaki oleh Khalifah Rasulullah dan dapat diterima oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan jalan itu mushaf yang sudah terkumpul itu akan menjadi induk yang akan dapat melegakan hati kaum Muslimin. Sesudah Usman bermaksud hendak menyatukan bacaan itu, mushaf inilah yang dijadikan induknya.
Rasanya tak perlu lagi saya mengatakan bahwa Zaid memang tidak mencatat Qur’an dalam mushafnya itu menurut waktu turunnya sesudah ayat-ayat itu disusun dalam surah-surah menurut perintah Rasulullah, lalu sebagian surah yang turun di Medinah diletakkan dalam surah-surah Mekah. Tetapi Zaid menyusun surah-surah itu seperti yang disusun oleh Rasulullah, kemudian menyalinnya ke dalam lembaran atau ke dalam kulit yang sudah disamak, sesudah selesai ia menyalin dari mushaf yang ada pada Abu Bakr, kemudian yang di tangan Umar lalu yang di tangan Hafsah.

Cara Zaid Menyusun Sesuai dengan Cara-cara Ilmiah yang Berlaku Sekarang
Cara atau metoda apa yang dipakai Zaid dalam pengumpulan itu? Tanpa ragu dapat kita katakan bahwa ia menggunakan cara penelitian ilmiah yang biasa berlaku pada masa kita sekarang. Ia mengikuti cara itu dengan ketelitian yang luar biasa. Abu Bakr sudah menyerukan setiap orang yang punya bagian-bagian Qur’an yang tertulis supaya menyerahkannya kepada Zaid, dan setiap orang yang hafal Qur ‘an supaya menunjukkan kepadanya apa yang sudah dihafalnya itu. Sekarang semua lempengan, tulang, pelepah pohon kurma dan kepingan batu serta semua yang ditulis dari Qur’an oleh sahabat-sahabat Rasulullah sudah cukup banyak terkumpul di tangan Zaid. Ketika itulah kemudian ia menyusunnya, dan membanding-bandingkannya lalu mencocokkannya. Ia tidak akan menetapkan satu ayat pun sebelum benar-benar ia merasa yakin dan pasti sebagaimana diwahyukan kepada Rasulullah.
Disebutkan bahwa ketika Umar bin Khattab membaca sebuah ayat dengan tanda baca berbeda yang diketahui Zaid bin Sabit. Keduanya pun berbeda pendapat. Umar memanggil Ubai bin Ka’b dan menanyakan soal tersebut. Ubai menguatkan bacaan Zaid. Untuk menghilangkan segala keraguan dalam hati Umar ia berkata : “Ketika Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam membacakannya kepadaku engkau masih berdagang gandum.” Umar mengingat-ingat lalu katanya : “Ya benar!” Ia mengikuti Ubai dan mengakui bacaan Zaid. Selanjutnya demikianlah yang dilakukan Zaid setiap ada sahabat yang menentangnya. Dan setiap kali ia menemukan apa yang tertulis dalam lempengan-lempengan, dalam tulang-tulang dan sebagainya yang berbeda, ia berusaha membuktikan dan terus meneliti, tanpa terpengaruh bahwa dia sendiri sudah hafal Qur’an dan dia mengikuti bacaan Rasulullah yang dibacakan kepadanya sebelum ia wafat. Perbedaan pada huruf dalam ayat yang diperselisihkan tadi menunjukkan betapa cermatnya ia meneliti. Dan terbukti bahwa Zaid memang tak pernah mengurangi kegiatannya dalam melaksanakan tugas besar yang telah dipercayakan Abu Bakr kepadanya itu.
Ketelitian dalam mengumpulkan Qur‘an ini erat sekali hubungannya dengan keimanan Zaid kepada Allah. Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala. Sikap acuh tak acuh atau tidak mengindahkan penelitian dalam pengumpulan itu adalah suatu dosa. Mengingat pengabdian Zaid yang begitu tinggi kepada Islam serta persahabatannya dengan Rasulullah yang begitu indah, tak mungkin ia akan bersikap demikian. Kalangan Orientalis yang jujur semua membuktikan ketelitian itu, sampai-sampai Sir William Muir berkata : “Agaknya di seluruh dunia tak ada sebuah kitab pun selain Qur ‘an yang sampai dua belas abad lamanya tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan cermat.”

Susunan Surah-surah dalam Mushaf yang Berurutan
Dalam menyusun surah-surah dengan ayat-ayat yang berurutan itu oleh Zaid memang tidak dilakukan secara teratur dengan menyusun surah-surah dalam mushaf berturut-turut satu demi satu. Tetapi susunan yang kita kenal sekarang ini ialah seperti yang ada pada masa Usman. Memang berbeda dengan yang ada pada masa Nabi. Ada yang mengatakan, bahwa hal ini oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam diserahkan kepada umatnya. Yang lain berkata : Bahkan susunan beberapa surah yang berurutan disebutkan oleh Nabi dan yang sebagian lagi dibiarkan. Yang lain berkata : Bahkan ia menyebutkan semua susunan itu. Ibn Wahb dalam kitabnya al-Jami menuturkan : Aku mendengar Sulaiman bin Bilal mengatakan, aku mendengar Rabi,ah ditanya : Mengapa Baqarah dan Ali Imran yang didahulukan padahal sudah ada sekitar delapan puluh surah yang turun di Medinah? Rabi’ah menjawab : “Kedua surah itu memang didahulukan; Qur an itu disusun dengan sepengetahuan penyusunnya. Mereka sudah sepakat atas dasar pengetahuan itu, dan itulah yang menjadi pegangan kami, dan kami tidak lagi menanyakan mengenai hal itu.” Sejumlah ulama mengatakan bahwa penyusunan surah-surah Qur’an seperti yang ada pada mushaf kita sudah ditentukan (tauqifi) oleh Nabi Sallullahu ‘alaihi wasallam. Mengenai sumber yang menyebutkan adanya perbedaan pada mushaf Ubai, Ali dan Abdullah, ialah sebelum pembacaannya yang terakhir diperagakan, dan bahwa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menyusunkan urutan surah-surah itu untuk mereka, yang sebelum itu tidak tersusun.
Ada beberapa kalangan yang menolak pendapat ini Mereka berpendapat bahwa susunan surah-surah itu bukanlah menurut ketentuan Rasulullah, dengan alasan bahwa Ali bin Abi Talib baru mengumpulkan mushafnya setelah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam wafat, demikian juga Abdullah bin Abbas. Sekiranya surah-surah itu memang sudah disusun oleh Rasulullah tentu Ali dan Abdullah akan melakukannya dan akan dususun seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah. Zaid bin Sabit tidak menyusun surah-surah itu ketika mengumpulkan Qur’an pada masa Abu Bakr. Penyusunan surah-surah semua atau sebagian atas ijtihad para sahabat dan bukan atas perintah Rasulullah.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 335-339.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar