Rasulullah dalam perjalanan dakwahnya memberikan kisi-kisi bagaimana cara menghadapi Yahudi, dan oleh amirulmukminin Umar bin Khattab kisi-kisi itu pun dilanjutkan demi sebuah persatuan akidah di Semenanjung.
Yahudi Bani Qainuqa’
Setelah mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi yang ada di Yathrib (Madinah) atas landasan kebebasan dan persekutuan yang kuat, salah satunya dengan Yahudi Bani Qainuqa’. Yahudi Bani Qainuqa’ adalah komunitas Yahudi pertama yang mengangkangi Piagam Madinah dan menyatakan perang terhadap kaum Muslimin setelah perang Badr disebabkan karena kedengkian kaum Yahudi secara sengit dan terbuka.
Bani Qainuqa’ menebar tipu daya ke tengah-tengah kaum Muslim dan mencari gara-gara. Seorang wanita arab datang membawa barang lalu menjual dipasar kaum Yahudi Banu Qainuqa’. Ia duduk ditempat di tempat tukang emas. Sekelompok yahudi mendatangi hendak membuka cadarnya. Tentu saja muslimah itu berontak. Si tukang emas diam-diam mengaitkan ujung baju wanita itu ke punggungnya sehingga ketika berdiri auratnya terbuka. Meledaklah tawa sekumpulan Yahudi Banu Qainuqa’. Sementara muslimah itu menjerit malu, seorang muslim yang melihat serentak menyerang dan membunuh si tukang emas. Orang-orang Yahudi tak terima lalu mengeroyok si muslim hingga meninggal. Keluarga muslim tersebut meminta bantuan Nabi, dan Nabi mengerahkan pasukan. Selama 15 hari Yahudi Banu Qainuqa’ DIKEPUNG sampai MENYERAH tanpa syarat (Syawal 2 H). Muncullah Abdullah ibn Ubayy ibn Salul memohon keringanan kaumnya, tapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tak menggubrisnya. Lalu ia memaki dan secara kurang ajar memasukkan tangannya ke saku baju besi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam murka dan berusaha melepaskan diri. Tetapi Abdullah ibn Ubay ibn Salul terus meminta keringanan hukuman kaumnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengumpulkan Yahudi itu dan memberi keringanan, dan beliau memerintahkan Ubadah ibn al-Shamit (seorang Anshar dari suku Khazraj, salah satu dari 12 orang yang berbaiat saat “Bai’atul ‘Aqabah al-Ula”, sejak sebelum ke-Islam-annya keluarga Ubadah telah terikat perjanjian dengan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’) untuk mengungsikan (bahasa kasarnya mengusir) mereka dari Madinah. Dengan diusirnya Bani Qainuqa’ kaum Yahudi yang tersisa di pinggiran Madinah menjadi lemah. Sebagian besar mereka tinggal jauh dari pusat kota, di Khaibar atau di Umm al-Qura.
Yahudi Bani Nadhir
Bani Nadhir merupakan satu di antara tiga kabilah besar Yahudi yang mendiami benteng di luar Madinah. Nabi mendatangi benteng itu — yang tidak jauh dari Quba’— dengan 10 orang Muslimin terkemuka (Abu Bakr, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Talib dan beberapa sahabat lain) untuk meminta bantuan kepada Bani Nadhir terkait diat dua pria yang terbunuh secara tak sengaja oleh ‘Amr bin Umayya itu dan tidak diketahuinya pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan perlindungan kepada mereka.
Setelah dijelaskan maksud kedatangannya, mereka memperlihatkan sikap gembira dan dengan senang hati bersedia mengabulkan. Akan tetapi, sementara sebagian mereka sedang asyik bercakap-cakap dengan dia, dilihatnya yang lain sedang berkomplot. Salah seorang dari mereka pergi menyisih ke suatu tempat dan tampaknya mereka sedang mengingatkan kematian Ka’b bin Asyraf. Salah seorang dari mereka itu [‘Amr bin Jihasy bin Ka’b] tampak memasuki rumah tempat Muhammad sedang duduk-duduk bersandar di dinding. Ketika itulah ia merasa curiga sekali, lebih-lebih lagi karena persekongkolan mereka dan percakapan mereka itu telah didengarnya. Perihal peristiwa ini Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman ingatlah ni’mat Allah atas kamu tatkala satu kaum hendak mengulurkan kepada kamu tangan mereka (buat mengganggu), lalu Allah halangi tangan mereka daripada (sampai) kepada kamu; dan berbaktilah kepada Allah, dan kepada Allah-lah hendaknya Mu’minin berserah diri.” (TQS 5 : 11).
Kemudian Nabi memanggil Muhammad ibn Maslamah, dan katanya : “Pergilah kepada Yahudi Banu Nadzir dan katakan kepada mereka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus aku kepada kamu sekalian supaya kamu keluar dari negeri ini. Kamu telah melanggar perjanjian yang sudah kubuat dengan kamu dengan maksudmu hendak mengkhianati aku. Aku memberikan waktu sepuluh hari kepada kamu. Barangsiapa yang masih terlihat sesudah itu akan dipenggal lehernya.”
Yahudi Banu Nadzir sekarang merasa putus asa dan kebingungan Atas keterangan itu mereka tidak dapat membela diri lagi, mereka tidak menjawab apa-apa lagi: kecuali katanya kepada Ibn Maslamah : “Muhammad, kami tidak menduga hal ini akan datang dari orang golongan Aus.” Ini adalah suatu isyarat tentang persekutuan mereka dengan pihak Aus dahulu dalam perang dengan Khazraj. Tetapi Ibn Maslamah hanya menjawab : “Hati orang sudah berubah.”
Selama beberapa hari golongan ini sudah bersiap-siap. Tetapi dalam pada itu tiba-tiba datang pula dua orang suruhan Abdullah bin Ubayy dengan mengatakan : “Jangan ada orang yang mau meninggalkan rumah-rumah kamu dan harta-benda kamu. Tetaplah bertahan dalam benteng kamu sekalian. Dan golonganku sendiri ada dua ribu orang dan selebihnya dan golongan Arab yang akan bergabung dengan kita dalam benteng dan mereka akan bertahan sampai titik darah penghabisan, sebelum ada pihak lain menyentuh kamu.”
Banu Nadzir mengadakan perundingan atas keterangan Ibn Ubayy itu. Mereka tambah bingung. Ada yang sama sekali tidak percaya kepada Ibn Ubayy. Bukankah dulu pernah ia menjanjikan Banu Qainuqa’ seperti yang dijanjikannya kepada Banu Nadzir sekarang, tetapi tiba waktunya ia cuci tangan dan menghilang meninggalkan mereka? Juga mereka mengetahui, bahwa Banu Quraidzah takkan dapat membela mereka mengingat adanya suatu perjanjian dengan pihak Muhammad. Di samping itu, kalau mereka keluar dari kampung mereka itu ke Khaibar atau ke tempat lain yang berdekatan mereka masih akan dapat kembali ke Yathrib bila kurma mereka nanti sudah berbuah; mereka akan memetik buah kurma itu lalu kembali ke tempat mereka semula. Mereka tidak akan mengalami banyak kerugian.
“Tidak”, kata Huyayy bin Akhtab pemimpin mereka. “Malah kita yang harus mengirim pesan kepada Muhammad : bahwa kita tidak akan meninggalkan kampung kita dan harta-benda kita. Terserah apa yang akan diperbuat. Kita hanya tinggal memperbaiki kubu kita; kita akan memasuki tempat ini sesuka hati kita. Kita akan membiasakan memakai jalan-jalan kita, kita pindahkan batu-batu ke tempat itu. Persediaan makanan kita cukup buat setahun, air pun tidak pernah terputus. Muhammad tidak akan mengepung kita setahun penuh.”
Tetapi sepuluh hari sudah lampau. Mereka tidak juga keluar dari perkampungan itu. Dengan membawa senjata pihak Muslimin selama dua belas malam bertempur melawan mereka dan Ali bin Abi Talib menjadi pembawa bendera. Ketika itu bila sudah tampak Muslimin di jalan-jalan atau di rumah-rumah, mereka mundur ke rumah berikutnya sesudah rumah-rumah itu mereka robohkan. Kemudian Muhammad memerintahkan sahabat-sahabatnya menebangi pohon-pohon kurma kepunyaan orang-orang Yahudi itu, lalu membakarnya. Dengan demikian orang-orang Yahudi itu tidak akan terlalu terikat pada harta-bendanya lagi dan tidak akan terlalu bersemangat mau berperang.
Banu Nadzir pun DIKEPUNG, Rabi'ul Awwal 4 H. Dengan tidak sabar orang-orang Yahudi itu berteriak : “Muhammad! Tuan melarang orang berbuat kerusakan. Tuan cela orang yang berbuat begitu. Tetapi kenapa pohon-pohon kurma ditebangi dan dibakar?!”
Dalam hal ini firman Tuhan turun : “Mana pun pohon kurma yang kamu tebang atau kamu biarkan berdiri dengan batangnya, adalah dengan izin Allah juga, dan karena Ia hendak mencemoohkan mereka yang melanggar hukum itu.” (TQS 59 : 5) (Menebang atau merusak pohon atau hasil tanaman lainnya dalam perang sekalipun, dilarang dalam hukum Islam. Tetapi dalam suatu strategi perang untuk mengadakan tekanan terhadap musuh, dalam batas-batas tertentu dibolehkan)
Sia-sia saja rupanya pihak Yahudi Bani Nadhir itu menunggu adanya bantuan dari Abdullah bin Ubayy atau pertolongan yang mungkin datang dari salah satu golongan Arab. Sekarang mereka yakin, bahwa mereka hanya akan beroleh nasib buruk saja apabila terus bersitegang hendak berperang. Setelah ternyata mereka dalam putus asa dan ketakutan, mereka pun MENYERAH meminta damai kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, meminta jaminan keamanan atas harta-benda, darah serta anak-anak keturunan mereka; sampai mereka keluar dari Medinah. Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengabulkan permintaan mereka; asal mereka, keluar dari kota itu: Setiap tiga orang diberi seekor unta dengan muatan, harta-benda; persediaan makanan dan minuman sesuka hati mereka. Di luar itu tidak ada. Pihak Yahudi menerima. Mereka dipimpin oleh Huyayy bin Akhtab.
Dalam perjalanan itu mereka ada yang berhenti di Khaibar, yang lain meneruskan perjalanan sampai ke Adhri’at di bilangan Syam. Harta benda yang mereka tinggalkan menjadi barang rampasan Muslimin yang terdiri dari hasil bumi, senjata berupa 50 buah baju besi, 340 bilah pedang di samping tanah milik orang-orang Yahudi itu. Tetapi tanah ini tidak dapat dianggap sebagai rampasan perang; oleh karenanya tak dapat dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin, melainkan khusus di tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang nantinya akan ditentukan sendiri menurut kebijaksananya. Dan tanah itu kemudian dibagi-bagikan kepada golongan Muhajirin yang pertama di luar golongan Anshar, setelah dikeluarkan bagian khusus yang hasilnya akan menjadi hak fakir miskin. Dengan demikian kaum Muhajirin itu tidak perlu lagi harus menerima bantuan kaum Anshar dan ini pun sudah menjadi harta kekayaan mereka. Dari pihak Anshar yang turut mendapat bagian hanya Abu Dujana dan Sahl bin Hunaif, yang sudah terdaftar sebagai orang miskin.
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan bagian kepada mereka ini seperti kepada kaum Muhajirin.
Dan golongan Yahudi Banu Nadzir sendiri tak ada yang masuk Islam kecuali dua orang (Yamin ibn Umair dan Abu Sa’d ibn Wahb). Mereka masuk Islam karena harta mereka, yang kemudian mereka peroleh kembali.
Tidak begitu sulit orang akan menilai arti kemenangan Muslimin serta pengosongan Banu Nadzir dari Medinah itu, setelah kita kemukakan betapa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam memperhitungkan, bahwa adanya mereka di tempat itu akan memberikan semangat dalam menimbulkan bibit-bibit fitnah, akan mengajak orang-orang munafik itu mengangkat kepala setiap mereka melihat pihak Muslimin mendapat bencana dan mengancam timbulnya perang saudara bila saja ada musuh menyerang kaum Muslimin.
Tentang perginya Banu Nadzir itu Surah Hasyr (59) ini turun : “Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang bersikap munafik, yang berkata kepada saudara-saudaranya yang tak beriman dan kalangan Ahli Kitab : Kalau kamu diusir ke luar, niscaya kami pun akan keluar bersama kamu, dan tidak sekali-kali kami akan dipengaruhi oleh siapa pun menghadapi persoalanmu ini: dan kalau kamu dipengaruhi niscaya kami pun akan membelamu. Tetapi Tuhan mengetahui, bahwa mereka adalah pendusta belaka. Kalaupun mereka ini diusir ke luar, mereka pun tidak akan ikut bersama-sama keluar, juga kalau mereka ini diperangi, mereka pun tidak akan turut membantu, dan kalaupun mereka sampai membantu, niscaya mereka akan lari mengundurkan diri, lalu mereka ini tidak mendapat pertolongan. Sungguh dalam hati mereka kamu sangat ditakuti lebih dari Allah. Demikian itulah, sebab mereka adalah golongan yang tidak mengerti.” (TQS 59 : 11 – 13)
Kemudian Surah itu dilanjutkan dengan memberi keterangan tentang iman dan kekuasaannya. Iman hanya kepada Allah semata-mata. Bagi jiwa manusia, yang tahu harga diri dan kehormatan. dirinya, yang dikenalnya hanyalah kekuasaan Tuhan.
“Dialah Allah. Tiada tuhan selain Dia. Maha mengetahui segala yang gaib dan yang nyata. Dia Pengasih dan Penyayang. Dialah Allah. Tiada Tuhan selain Dia. Maha Raja, Maha Kudus, Pembawa Keselamatan, Keamanan, Penjaga segalanya, Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Agung. Maha Suci Allah dan segala yang mereka persekutuan. Dialah Allah. Pencipta, Pengatur, Pembentuk rupa, Pada-Nyalah ada Asma Yang Indah. Segala yang ada di langit dan di bumi berbakti kepada-Nya. Dan Dia Mahakuasa, Mahabijaksana.” (TQS 59 : 22 - 24)
Yahudi Bani Quraizhah
Baru saja Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan senjata dan mandi, tiba-tiba Jibril datang menyuruh beliau bergerak ke Bani Quraizhah. Maka dikumandangkanlah seruan kepada penduduk Madinah. Setelah tiga ratus prajurit bersiap, bendera diserahkan kepada Ali bin Abi Talib dan Nabi berjalan dibelakangnya. Merka mengepung Bani Quraizhah selama 25 hari, Dzul Qo'dah 5 H.
Yahudi Bani Quraizhah telah melanggar nota perjanjian dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyatakan perang. Mereka lebih mendengar hasutan pimpinan pasukan gabungan dalam perang Khandaq, Abu Sufyan dan Huyayy bin Akhtab pemimpin Bani Nadhir. Atas perbuatannya itu Banu Quraizhah harus dibasmi. Dalam hal ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan supaya diserukan kepada segenap orang : “Barangsiapa yang tetap patuh kepada Rasulullah, jangan shalat Ashar kecuali di perkampungan Banu Quraizhah.”
Bani Quraizhah tinggal dalam benteng-benteng yang begitu kukuh seperti perbentengan Bani Nadzir, tetapi kendatipun benteng-benteng itu dapat melindungi mereka, namun mereka tidak tahan menghadapi kepungan pihak Muslimin. Persediaan bahan makanan kini berada di tangan penduduk Medinah, setelah pasukan gabungan Quraisy, kabilah Arab dan gabungan Yahudi yang dikomandoi Huyayy bin Akhtab meninggalkan tempat tersebut.
Selama pengepungan dua puluh lima malam telah terjadi beberapa kali bentrokan dengan saling melempar anak panah dan batu. Selama dalam kepungan itu Banu Quraizhah sama sekali tidak berani keluar dari kubu-kubu mereka. Setelah terasa lelah dan yakin pula bahwa mereka tidak akan dapat tertolong dari bencana dan mereka pasti akan jatuh ke tangan kaum Muslimin apabila masa pengepungan berjalan lama. Berada dalam kepungan, Bani Quraizhah mulai dirasuki ketakutan luar biasa, maka mereka mengutus orang kepada Rasul dengan permintaaan “supaya mengirimkan Abu Lubabah kepada kami untuk kami mintai pendapatnya sehubungan dengan masalah kami ini.” Sebenarnya Abu Lubabah ini golongan Aus yang termasuk sahabat baik mereka.
Begitu mereka melihat kedatangan Abu Lubabah, mereka memberikan sambutan yang luar biasa. Kaum wanita dan anak-anak segera meraung pula, menyambutnya dengan ratap tangis. Ia merasa iba sekali melihat mereka. Perundingan tak membuahkan hasil apa-apa, Abu Lubabah pun kembali.
Setelah berunding antara sesama mereka. Bani Quraizhah mengirimkan utusan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan meminta diijinkan mereka pergi ke Adhri’at dengan meninggalkan harta-benda mereka. Tetapi ternyata usul ini ditolak. Mereka harus tunduk kepada keputusan. Dalam hal ini mereka lalu mengirim orang kepada Aus dengan pesan : “Tuan-tuan hendaknya dapat membantu saudara-saudaramu ini; seperti yang pernah dilakukan oleh Khazraj terhadap saudara-saudaranya.”
Sebuah rombongan dari kalangan Aus segera berangkat menemui Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Ya Rasulullah”, kata mereka memulai, “dapatkah permintaan kawan-kawan sepersekutuan kami itu dikabulkan seperti permintaan kawan-kawan sepersekutuan Khazraj dulu yang juga sudah dikabulkan.”
“Saudara-saudara dari Aus”, kata Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “dapatkah kamu menerima kalau kuminta salah seorang dari kamu menengahi dengan teman-teman sepersekutuanmu itu?”
“Tentu sekali”, jawab mereka.
“Kalau begitu”, katanya lagi, “katakan kepada mereka memilih siapa saja yang mereka kehendaki.”
Dalam hal ini pihak Yahudi lalu memilih Sa’d bin Mu’adz (seorang Anshar dari suku Aus, 31 tahun ia masuk Islam dan dalam usia 37 tahun ia menemui syahidnya setelah beberapa hari dirawat setelah perang Khandaq dan keputusannya terhadap nasib Yahudi Khaibar). Saat itu Sa’d bin Mu’adz sedang dirawat di tenda darurat depan masjid Nabi akibat terluka parah setelah terkena anak panah di Khandaq. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh supaya ia dijemput dan dibawa oleh kaumnya menghadap ke Bani Quraizhah.
Mata Bani Quraizhah seolah-olah sudah tertutup dari nasib yang sudah ditentukan mereka itu, sehingga mereka samasekali lupa akan kedatangan Sa’d tatkala pertama kali mereka melanggar nota penjanjian dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat perang Khandaq berkecamuk, lalu kala itu mereka diberi peringatan, juga tatkala mereka memaki-maki Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di depannya serta mencerca kaum Muslimin tidak pada tempatnya.
Sa’d lalu membuat persetujuan dengan kedua belah pihak itu. Masing-masing hendaknya dapat menerima keputusan yang akan diambilnya. Setelah persetujuan demikian diberikan, kepada Banu Quraizhah diperintahkan supaya turun dan meletakkan senjata. Keputusan ini mereka laksanakan. Seterusnya Sa’d memutuskan, supaya mereka yang terjun melakukan kejahatan perang dijatuhi hukuman mati, harta-benda dibagi, wanita dan anak-anak supaya ditawan.
Mendengar keputusan itu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Demi yang menguasai diriku. Keputusanmu itu diterima oleh Tuhan dan oleh orang-orang beriman, dan dengan itu aku diperintahkan.”
Tak ada wanita yang dibunuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali seorang sebagai kisas karena telah melempar kepala Khallad ibn Suwaid dengan batu penggilingan hingga meninggal.
Orang-orang Yahudi Bani Quraizhah tidak menduga akan menerima putusan hukuman demikian dari Sa’d bin Mu’adz teman sepersekutuannya itu. Bahkan tadinya mereka mengira ia akan bertindak seperti Abdullah bin Ubayy terhadap Banu Qainuqa’. Mungkin teringat oleh Sa’d, bahwa kalau pihak pasukan gabungan Quraisy, kabilah Arab dan gabungan Yahudi yang menang karena pengkhianatan Banu Ouraizhah itu, kaum Muslimin pasti akan dikikis habis, akan dibunuh dan dianiaya. Maka balasannya seperti yang sedang mengancam kaum Muslimin sendiri.
Ada beberapa orang dari Bani Quraizhah yang masuk Islam sehingga selamatlah jiwa, keluarga dan harta mereka. Selamat pula anggota Bani Quraizhah yang waktu itu tak ada di tempat karena suatu alasan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berketetapan hanya memberi hukuman kepada mereka yang bertindak melanggar perjanjian dengan kaum Muslimin. Harta ganimah dibagi sesuai ketentuan, para tawanan dikirim ke Najd, Tihamah dan Syiria.
Yahudi Bani Khaibar
Sekembalinya dari Hudaibiya — menurut sebuah sumber ia hanya tinggal lima belas malam, sumber lain menyatakan satu bulan. Disuruhnya supaya orang bersiap-siap untuk menyerbu Khaibar, dengan syarat hanya mereka yang ikut ke Hudaibiya saja yang boleh menyerbu, juga harus sukarela tanpa ada rampasan perang yang akan dibagikan.
Sebanyak seribu enam ratus orang dengan seratus kavaleri Muslimin itu sekarang berangkat lagi. Mereka semua percaya akan adanya pertolongan Tuhan, mereka masih ingat akan firman Tuhan dalam Surah al-Fath yang turun semasa Hudaibiya.
“Orang-orang yang tinggal di belakang itu akan berkata ketika kamu berangkat mengambil harta rampasan perang : Biarlah kami turut bersama-sama kamu. Mereka hendak mengubah perintah Tuhan. Katakanlah : Kamu tidak akan turut bersama-sama kami. Begitulah Allah telah menyatakan sejak dulu. Nanti mereka akan berkata lagi : Tetapi kamu dengki kepada kami. Tidak. Mereka yang mengerti hanya sedikit saja.” (TQS. 48 : 15)
Jarak antara Khaibar dengan Medinah itu mereka tempuh dalam waktu tiga hari. Dengan tiada mereka rasakan ternyata malamnya mereka telah berada di depan perbentengan Khaibar. Keesokan harinya bila pekerja-pekerja Khaihar berangkat kerja ke ladang-ladang dengan membawa sekop dan keranjang, setelah melihat pasukan Muslimin, mereka berlarian sambil berteriak-teriak :
“Muhammad dengan pasukannya!”
Ketika mendengar suara mereka itu Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :
“Khaibar binasa. Apabila kami sampai di halaman golongan ini, maka pagi itu amat buruk buat mereka yang telah diberi peringatan itu.”
Akan tetapi Yahudi Khaibar memang sudah menanti-nantikan Muhammad akan menyerang mereka. Mereka ingin mencari jalan membebaskan diri. Sebagian mereka ini ada yang menyarankan supaya cepat-cepat dibentuk sebuah blok, yang terdiri dari mereka dan Yahudi Wadi’l-Qura dan Taima’ yang akan langsung menyerbu Yathrib (Medinah) tanpa menggantungkan diri kepada kabilah-kabilah Arab yang lain. Sedang yang sebagian lagi berpendapat supaya masuk saja bersekutu dengan Rasul, kalau-kalau kebencian terhadap mereka dapat terhapus dari hati kaum Muslimin — terutama dari pihak Anshar — setelah dalam kenyataan Huyayy bin Akhtab dan segolongan Yahudi lainnya terlibat dalam usaha menghasut kabiiah-kabilah Arab untuk menyerang Medinah dan secara kekerasan mengadakan perang Parit/ Khandaq/ Ahzab. Akan tetapi semangat kedua belah pihak sudah memuncak, sehingga sebelum terjadi perang pihak Muslimin sudah lebih dulu berhasil menewaskan pemimpin-pemimpin Khaibar masing-masing Sallam bin Abi’l-Huqaiq dan Yasir ibn Razzam.
Kelompok-kelompok Yahudi di Khaibar ini merupakan koloni Israil yang terkuat yang paling kaya dan paling besar pula persenjataannya. Di samping itu pihak Muslimin pun sudah yakin sekali, bahwa selamanya Yahudi tetap menjadi duri dalam daging seluruh jazirah, maka selama itu pula persaingan antara agama Musa dengan agama baru ini akan jadi panjang tanpa dapat mencapai suatu penyelesaian. Dengan demikian mereka terjun menyabung nyawa tanpa ragu-ragu lagi.
Nabi berangkat ditemani dua penunjuk jalan. “Bawa kami ke tempat antara Khaibar dan Syria.” Siasat ini dimaksudkan Nabi untuk mencegah Yahudi lari ke utara lalu bersekongkol atau meminta bantuan kepada sekutu-sekutu mereka dari Ghathafan. Nabi membawa pasukan hingga ke lembah al-Raji’ dekat Khaibar.
Abdullah bin Ubayy bin Salul, pemimpin kaum munafiq, segera mengirim pesan kepada Yahudi Khaibar.
Dengan persiapan senjata yang cukup kaum Muslimin sekarang sudah berada di depan perbentengan Khaibar. Yahudi juga sedang berunding dengan sesama mereka. Pemimpin mereka Sallam bin Misykam menyarankan, supaya harta-benda dan sanak keluarga mereka dimasukkan ke dalam benteng Watih dan Sulaim, bahan makanan dan perlengkapan dimasukkan ke dalam benteng Na’im. Perajurit dan barisan penggempur dimasukkan ke dalam benteng Natat dan Sallam bin Misykam sendiri bersama-sama mereka, mengerahkan mereka dalam peperangan.
Sekarang kedua belah pihak sudah berhadap-hadapan di sekitar benteng Natat dan pertempuran mati-matian sudah pula dimulai. Dalam hal ini sampai ada yang berkata : “Yang luka-luka dari pihak Muslimin sebanyak lima puluh orang. Apalagi jumlah yang luka-luka dari pihak Yahudi.”
Setelah Sallam bin Misykam tewas, maka pimpinan pasukan dipegang oleh Harith bin Abi Zainab. Ia keluar dari benteng Na’im itu dengan maksud hendak menggempung pasukan Muslimin. Tetapi oleh Khazraj ia dapat dihalau dan dipaksa kembali mundur ke bentengnya. Pihak Muslimin lalu memperketat kepungannya atas benteng-benteng Khaibar itu sedang pihak Yahudi mati-matian mempertahankan dengan keyakinan, bahwa kekalahan mereka menghadapi Muhammad berarti suatu penumpasan terakhir terhadap Banu Israil di negeri-negeri Arab.
Hal ini berlangsung selama beberapa hari. Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam menyerahkan bendera kepada Abu Bakr supaya memasuki benteng Na’im. Tetapi setelah terjadi pertempuran sehari penuh ia kembali tanpa berhasil menaklukkan benteng itu. Keesokan harinya pagi-pagi Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskan Umar bin’l- Khattab. Dan pertempuran terjadi lebih sengit, tetapi dia pun mengalami nasib yang sama seperti Abu Bakr. Keesokan harinya Ali bin Abi Talib pun dipanggil Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam seraya katanya :
“Pegang bendera ini dan bawa terus sampai Tuhan memberikan kemenangan kepadamu.”
Ali berangkat membawa bendera itu. Setelah ia berada dekat dari benteng, penghuni benteng itu keluar menghadapinya dan seketika itu juga pertempuran pun terjadi. Salah seorang Yahudi dapat memukulnya dan perisai yang di tangannya terlempar. Tetapi Ali segera menyambar daun pintu yang ada di benteng dan dengan memperisaikan daun pintu yang masih di tangan itu ia terus bertempur. Benteng itu akhirnya dapat didobraknya. Kemudian daun pintu tadi dijadikannya jembatan dan dengan “jembatan” ini kaum Muslimin dapat menyeberang masuk ke dalam benteng itu. Akan tetapi benteng Na’im ini baru jatuh setelah komandannya, Harith bin Abi Zainab terbunuh. Hal ini menunjukkan betapa sebenarnya pihak Yahudi itu mati-matian bertempur dan betapa pula pihak Muslimin juga mati-matian mengepung dan menyerbu.
Setelah benteng Na’im jatuh, sekarang pihak Muslimin menaklukkan benteng Qamush setelah lebih dulu terjadi pertempuran sengit karena persediaan bahan makanan pada mereka (Muslimin) sudah tidak mencukupi lagi terpaksa ada beberapa orang yang datang kepada Muhammad mengeluh, dan minta sesuatu sekadar dapat menyambung hidup, dan oleh karena tidak ada sesuatu yang dapat diberikannya kepada mereka itu, maka mereka diizinkan makan daging kuda. Dalam pada itu salah seorang dari pihak Muslimin melihat ada sekawanan kambing memasuki salah satu benteng Yahudi itu Dua ekor kambing di antaranya dapat mereka tangkap, lalu mereka sembelih dan mereka makan bersama-sama.
Kemudian setelah mereka menaklukkan benteng Sha’b bin Mu’adh, kebutuhan mereka sekarang sudah tidak begitu mendesak lagi, sebab ternyata di tempat ini persediaan makanan cukup banyak, yang akan memungkinkan lagi mereka meneruskan perjuangan melawan Yahudi dan mengepung benteng-benteng yang ada lainnya. Sementara itu tidak sejengkal tanah pun atau sebuah benteng pun mau diserahkan kepada pihak Yahudi sebelum mereka benar-benar mempertahankannya secara heroik dan setelah dengan tenaga mereka berusaha membendung serangan Muslimin itu. Dengan terlebih dulu menyiapkan persenjataan dan perlengkapan untuk berperang.
Demikianlah perang antara Yahudi dan Muslimin itu terjadi sangat seru sekali, ditambah lagi ketahanan benteng-benteng Yahudi ketika itu memang sangat kuat dan keras.
Sekarang pihak Muslimin mengepung benteng Zubair. Pengepungan ini tampaknya cukup lama disertai dengan pertempuran yang sengit pula. Sungguhpun begitu mereka tidak juga berhasil menaklukkannya. Baru setelah akhirnya saluran air ke benteng itu diputuskan, pihak Yahudi terpaksa keluar dan dengan mati-matian mereka memerangi kaum Muslimin sekalipun mereka itu akhirnya lari juga. Dengan demikian benteng-benteng itu satu demi satu jatuh ke tangan Muslimin yang berakhir pada benteng Watih dan Sulalim dalam kelompok perbentengan Katiba, dua buah benteng terakhir yang kukuh dan kuat.
Sejak itulah perasaan putus asa mulai merayap ke dalam hati mereka. Kini mereka minta damai. Semua harta-benda mereka di dalam benteng-benteng asy-Syiqq, Natat dan Katiba diserahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk disita, asal nyawa mereka diselamatkan. Permohonan ini oleh Muhammad diterima. Dibiarkannya mereka itu tinggal di kampung halaman mereka, yang menurut hukum penaklukan sudah berada di bawah kekuasaannya. Mereka akan mendapat separuh hasil buah-buahan daerah itu sebagai imbalan atas tenaga kerja mereka.
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukan Yahudi Khaibar tidak sama seperti terhadap Yahudi Banu Qainuqa’ dan Banu Nadzir tatkala mereka dikosongkan dari kampung halaman itu; sebab dengan jatuhnya Khaibar itu ia sudah merasa terjamin dari adanya bahaya Yahudi dan yakin pula bahwa mereka samasekali tidak akan bisa lagi mengadakan perlawanan. Di samping itu di Khaibar terdapat pula beberapa perkebunan, ladang dan kebun-kebun kurma. Semua ini masih memerlukan tenaga-tenaga ahli yang cukup banyak untuk mengolahnya dan yang akan dapat pula mengurus pengolahan itu dengan cara yang sebaik-baiknya. Kendatipun pengikut-pengikut Medinah terdiri dari penduduk yang bercocok tanam, tanah mereka pun sangat pula memerlukan tenaga mereka, namun mengingat, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga sangat memerlukan tentara untuk angkatan perangnya, maka ia tidak suka membiarkan mereka semua itu dalam bercocok tanam. Dalam pada itu orang-orang Yahudi Khaibar tetap bekerja meskipun kekuasaan politik mereka sudah runtuh demikian rupa yang juga mempengaruhi kegiatan mereka, sehingga dari segi pertanian dan perkebunan pun cepat sekali Khaibar mengalami kemunduran dan kehancuran; padahal sudah begitu baik Nabi memperlakukan penduduk daerah itu, di samping Abdullah bin Rawaha utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka yang cukup adil, setiap tahun mengadakan pembagian hasil dengan mereka. Demikian baiknya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukan penduduk Yahudi Khaibar itu sehingga tatkala kaum Muslimin menyerbu mereka, dan di antara barang-barang rampasan perang itu terdapat juga ada beberapa buah kitab Taurat, ketika oleh pihak Yahudi diminta, maka oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan supaya kitab-kitab itu diserahkan kembali kepada mereka. Ia tidak sampai berbuat seperti yang pernah dilakukan oleh pihak Rumawi ketika menaklukkan Yerusalem. Kitab-kitab suci itu oleh mereka dibakar dan diinjak-injak dengan telapak kaki. Juga ia tidak melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh pihak Nasrani dalam perang menindas kaum Yahudi Andalusia (Spanyol). Kitab-kitab Taurat itu oleh mereka juga dibakar.
Yahudi Fadak
Setelah Yahudi Khaibar minta damai selama Muslimin mengepung mereka di perbentengan Watih dan Sulalim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus orang kepada penduduk Fadak (Fadak ialah sebuah desa daerah koloni Yahudi di Hijaz, tidak jauh dari Medinah) dengan maksud supaya mereka mau menerima ajakannya atau menyerahkan harta-benda mereka. Mengetahui peristiwa yang sudah terjadi di Khaibar, penduduk Fadak sudah merasa ketakutan sekali. Persetujuan diadakan dengan menyerahkan separuh harta mereka tanpa pertempuran. Kalau daerah Khaibar menjadi milik Muslimin karena mereka yang telah berjuang membebaskannya, maka Fadak untuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam karena pihak Muslimin tidak memperolehnya dengan pertempuran.
Yahudi Taima’, Yahudi Bahrain, Yahudi Bani Ghazia dan Bani ‘Aridz
Selesai semua itu Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkemas-kemas hendak kembali ke Medinah melalui Wadi’l-Oura (ialah sebuah wadi atau lembah terletak antara Medinah dengan Syam). Akan tetapi pihak Yahudi daerah ini sudah menyiapkan diri hendak menyerang Muslimin. Dan pertempuran segera pecah. Tetapi mereka juga terpaksa menyerah dan minta damai seperti halnya dengan pihak Khaibar. Sebaliknya golongan Yahudi Taima’ mereka bersedia membayar jizya (pajak) tanpa terjadi peperangan atau pertempuran.
Dengan demikian semua orang Yahudi tunduk kepada kekuasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berakhir pulalah semua kekuasaan mereka di seluruh jazirah. Dari jurusan utara ke Syam sekarang Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sudah tidak kuatir lagi, sama halnya seperti dulu, dari jurusan selatan juga ia sudah tidak kuatir lagi setelah adanya Perjanjian Hudaibiya.
Dengan habisnya kekuasaan Yahudi itu, maka kebencian pihak Muslimin —terutama kaum Anshar— terhadap kepada mereka jadi berkurang sekali. Bahkan mereka menutup mata terhadap beberapa orang Yahudi yang kembali ke Yathrib. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri bersama-sama dengan orang-orang Yahudi yang sedang berkabung terhadap kematian Abdullah bin Ubayy dan menyatakan turut berdukacita pula kepada anaknya. Kepada Mu’adz bin Jabal pun dipesannya untuk tidak membujuk orang-orang Yahudi itu dari agama Yahudinya. Juga pajak jizya tidak dikenakan kepada orang-orang Yahudi Bahrain meskipun mereka tetap berpegang pada keyakinan agama mereka. Dengan Yahudi Banu Ghazia dan Banu ‘Aridz dibuat pula persetujuan bahwa mereka akan memperoleh dhimma (perlindungan) dan kepada mereka dikenakan pula pajak.
Menggalang Persatuan Akidah di Semenanjung
Ketika mula-mula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Medinah ia sudah mengadakan persetujuan damai dengan pihak Yahudi. Setelah mereka melanggar persetujuan itu dan berusaha mengkhianatinya, mereka dikeluarkan dari Medinah. Juga dari beberapa tempat pemukiman mereka di Semenanjung mereka dikeluarkan setelah mereka melancarkan permusuhan kepadanya. Bukankah ini sudah suatu bukti bahwa keberadaan orang-orang Yahudi di pemukiman-pemukiman mereka itu tidak patut dihormati, dan berdamai dengan mereka merupakan suatu kebijakan demi kepentingan negara pada periode pertama di Yasrib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menggantikan kebijakan itu dengan kebijakan lain setelah melihat kepentingan negara yang utama tak dapat ditegakkan dengan itu! Menurut pendapat Umar ibn Khattab di masa pemerintahannya, kepentingan negara yang utama harus menyatukan akidah di seluruh Semenanjung itu. Oleh karenanya, langkah pertama yang diambilnya begitu ia memegang jabatan, mengeluarkan kaum Nasrani Najran dari Semenanjung dan memerintahkan Ya’la bin Umayyah supaya jangan ada orang yang teperdaya dari agamanya, dan mengeluarkan mereka yang masih berpegang pada agama mereka. Mereka diberi tanah di Irak seperti tanah mereka di Najran. Mereka harus diperlakukan dengan baik. Begitu juga terhadap orang-orang Yahudi di Khaibar dan di Fadak, mereka agar dipindahkan dari tempat-tempat mereka ke Syam dan memberi ganti uang sesuai dengan harganya, dan jangan sampai ada yang diganggu. Dengan demikian seluruh Semenanjung itu bersih dari segala keyakinan selain Islam. Sekarang tegaklah sudah dasar-dasar kesatuan yang dimaksud oleh Amirulmukminin.
Di riwayatkan dalam sebuah hadis dari Umar bin Khattab r.a. katanya bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Saya mesti akan mengeluarkan orang Yahudi dan Nasrani dari Jazirah Arab ini sehingga tidak akan saya biarkan menetap kecuali orang Muslim.” (HR. Muslim No. 1083).
Gambaran ini jelas sekali mengenai faktor yang mendorong Umar mengeluarkan Yahudi dan Nasrani dari Semenanjung Arab itu. Dalam hal ini dia tidak melanggar dan tidak keluar dari ketentuan sunah. Perjanjian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pihak Yahudi dan Nasrani tidak merupakan suatu ketentuan hukum yang sudah tetap, tetapi sebagai suatu kebijakan yang dapat berubah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tak ada salahnya jika sesudah itu juga berubah. Umar mengadakan perubahan karena peristiwa-peristiwa yang terjadi waktu itu dan adanya perluasan pembebasan. Karena hasratnya yang begitu besar ingin menerapkan tali persatuan di Semenanjung maka perubahan itu boleh berlaku. Umar tidak mau membeku pada suatu zaman sementara zaman itu sendiri berubah, dan akan membahayakan kepentingan negara dan kebijakannya yang utama. Apatah yang akan di lakukannya sementara dengan sendirinya waktu dibatasi, berakhir dengan berakhirnya waktu itu dan tidak akan ada pembaruan, kecuali jika Amirulmukminin menghendakinya!
Hendaknya jangan ada orang yang menyangka bahwa saya menghubung-hubungkan hal yang tak terlintas dalam pikiran Umar sendiri mengenai persatuan bangsa Arab itu. Kalangan sejarawan sudah sependapat bahwa dalam mengeluarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu ia berpegang pada yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia mengatakan : “Tidaklah akan bertemu dua agama di negeri-negeri Arab.” Apa yang disebutkan oleh Balazuri dan yang lain bahwa menurut pendapat Umar, penduduk Najran bertambah banyak, dan ia khawatir mereka akan mengganggu Islam, maka dikeluarkanlah mereka, dengan memerintahkan kepada pejabat-pejabatnya di Irak dan Syam agar kepada mereka diberikan ganti tanah dan memperlakukan mereka sebaik-baiknya. Andaikata mereka dikeluarkan karena melanggar perjanjian tentu tidak akan bersikap begitu lemah lembut kepada mereka dan tidak pula memperlakukan begitu baik.
Untuk memperkukuh dasar-dasar persatuan itu di negeri-negeri Arab itu tidak cukup hanya dengan melarang ada agama lain di luar Islam, kalau di antara penduduknya masih ada diskriminasi yang akan membuat mereka merasa lebih banyak mendapat kebebasan dan lebih terhormat dari yang lain. dan kalau tak ada persamaan sejati sebagai tanda adanya kerja sama di antara mereka. Beberapa diskriminasi itu masih dirasakan karena adanya kaum Riddah dan peperangan yang sudah berhasil ditumpas. Jika Umar memang menginginkan persatuan itu benar-benar terwujud, diskriminasi itu harus dihilangkan dengan menghilangkan segala penyebabnya lebih dulu. Oleh karena itu ia mencabut ketentuan di masa Abu Bakr yang melarang mereka ikut berperang di barisan Muslimin! Juga memerintahkan para tawanan Arab dikembalikan kepada keluarga mereka dan memberikan kebebasan kembali kepada mereka, sebab ia tidak senang tawanan perang di kalangan Arab akan dijadikan suatu kebiasaan. Dengan demikian ia telah membuka era baru yang membuat hati semua orang Arab merasa senang — lepas dari daerah-daerah mereka masing-masing di Semenanjung itu. Mereka merasa bahwa mereka adalah satu “bangsa” dengan tujuan bersama dalam bimbingan suatu politik yang umum dan kepentingan yang utama di bawah pengawasan Amirulmukminin.
-------------------------
Pustaka :
Terjemah Hadis Shahih Muslim Jilid 3, Penerbit Pustaka Al-Husna Jakarta 1983, Cetakan Kedua.
Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), Dr. Muhammad Husain Haekal, Ph.D, Penerbit : P.T. Pustaka Litera Antar Nusa Jakarta-Bogor, Cetakan Kesebelas, Januari 1990.
Rijal Haolar Rasul (Karakteristik Perihidup 60 Shahabat Rasulullah), Khalid Muhammad Khalid, Penerbit : CV. Penerbit Diponegoro Bandung, Cetakan keduapuluh 2006.
Taht Râyah al-Rasûl (Perang Muhammad), Dr. Nizar Abazhah, Penerbit Zaman Jakarta, Cetakan Pertama 1432 H / 2011 M.
Al-Faruq ‘Umar (Umar bin Khattab), Dr. Muhammad Husain Haekal, Ph.D, Penerbit : P.T. Pustaka Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011.
Yahudi Bani Qainuqa’
Setelah mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi yang ada di Yathrib (Madinah) atas landasan kebebasan dan persekutuan yang kuat, salah satunya dengan Yahudi Bani Qainuqa’. Yahudi Bani Qainuqa’ adalah komunitas Yahudi pertama yang mengangkangi Piagam Madinah dan menyatakan perang terhadap kaum Muslimin setelah perang Badr disebabkan karena kedengkian kaum Yahudi secara sengit dan terbuka.
Bani Qainuqa’ menebar tipu daya ke tengah-tengah kaum Muslim dan mencari gara-gara. Seorang wanita arab datang membawa barang lalu menjual dipasar kaum Yahudi Banu Qainuqa’. Ia duduk ditempat di tempat tukang emas. Sekelompok yahudi mendatangi hendak membuka cadarnya. Tentu saja muslimah itu berontak. Si tukang emas diam-diam mengaitkan ujung baju wanita itu ke punggungnya sehingga ketika berdiri auratnya terbuka. Meledaklah tawa sekumpulan Yahudi Banu Qainuqa’. Sementara muslimah itu menjerit malu, seorang muslim yang melihat serentak menyerang dan membunuh si tukang emas. Orang-orang Yahudi tak terima lalu mengeroyok si muslim hingga meninggal. Keluarga muslim tersebut meminta bantuan Nabi, dan Nabi mengerahkan pasukan. Selama 15 hari Yahudi Banu Qainuqa’ DIKEPUNG sampai MENYERAH tanpa syarat (Syawal 2 H). Muncullah Abdullah ibn Ubayy ibn Salul memohon keringanan kaumnya, tapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tak menggubrisnya. Lalu ia memaki dan secara kurang ajar memasukkan tangannya ke saku baju besi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam murka dan berusaha melepaskan diri. Tetapi Abdullah ibn Ubay ibn Salul terus meminta keringanan hukuman kaumnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengumpulkan Yahudi itu dan memberi keringanan, dan beliau memerintahkan Ubadah ibn al-Shamit (seorang Anshar dari suku Khazraj, salah satu dari 12 orang yang berbaiat saat “Bai’atul ‘Aqabah al-Ula”, sejak sebelum ke-Islam-annya keluarga Ubadah telah terikat perjanjian dengan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’) untuk mengungsikan (bahasa kasarnya mengusir) mereka dari Madinah. Dengan diusirnya Bani Qainuqa’ kaum Yahudi yang tersisa di pinggiran Madinah menjadi lemah. Sebagian besar mereka tinggal jauh dari pusat kota, di Khaibar atau di Umm al-Qura.
Yahudi Bani Nadhir
Bani Nadhir merupakan satu di antara tiga kabilah besar Yahudi yang mendiami benteng di luar Madinah. Nabi mendatangi benteng itu — yang tidak jauh dari Quba’— dengan 10 orang Muslimin terkemuka (Abu Bakr, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Talib dan beberapa sahabat lain) untuk meminta bantuan kepada Bani Nadhir terkait diat dua pria yang terbunuh secara tak sengaja oleh ‘Amr bin Umayya itu dan tidak diketahuinya pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan perlindungan kepada mereka.
Setelah dijelaskan maksud kedatangannya, mereka memperlihatkan sikap gembira dan dengan senang hati bersedia mengabulkan. Akan tetapi, sementara sebagian mereka sedang asyik bercakap-cakap dengan dia, dilihatnya yang lain sedang berkomplot. Salah seorang dari mereka pergi menyisih ke suatu tempat dan tampaknya mereka sedang mengingatkan kematian Ka’b bin Asyraf. Salah seorang dari mereka itu [‘Amr bin Jihasy bin Ka’b] tampak memasuki rumah tempat Muhammad sedang duduk-duduk bersandar di dinding. Ketika itulah ia merasa curiga sekali, lebih-lebih lagi karena persekongkolan mereka dan percakapan mereka itu telah didengarnya. Perihal peristiwa ini Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman ingatlah ni’mat Allah atas kamu tatkala satu kaum hendak mengulurkan kepada kamu tangan mereka (buat mengganggu), lalu Allah halangi tangan mereka daripada (sampai) kepada kamu; dan berbaktilah kepada Allah, dan kepada Allah-lah hendaknya Mu’minin berserah diri.” (TQS 5 : 11).
Kemudian Nabi memanggil Muhammad ibn Maslamah, dan katanya : “Pergilah kepada Yahudi Banu Nadzir dan katakan kepada mereka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus aku kepada kamu sekalian supaya kamu keluar dari negeri ini. Kamu telah melanggar perjanjian yang sudah kubuat dengan kamu dengan maksudmu hendak mengkhianati aku. Aku memberikan waktu sepuluh hari kepada kamu. Barangsiapa yang masih terlihat sesudah itu akan dipenggal lehernya.”
Yahudi Banu Nadzir sekarang merasa putus asa dan kebingungan Atas keterangan itu mereka tidak dapat membela diri lagi, mereka tidak menjawab apa-apa lagi: kecuali katanya kepada Ibn Maslamah : “Muhammad, kami tidak menduga hal ini akan datang dari orang golongan Aus.” Ini adalah suatu isyarat tentang persekutuan mereka dengan pihak Aus dahulu dalam perang dengan Khazraj. Tetapi Ibn Maslamah hanya menjawab : “Hati orang sudah berubah.”
Selama beberapa hari golongan ini sudah bersiap-siap. Tetapi dalam pada itu tiba-tiba datang pula dua orang suruhan Abdullah bin Ubayy dengan mengatakan : “Jangan ada orang yang mau meninggalkan rumah-rumah kamu dan harta-benda kamu. Tetaplah bertahan dalam benteng kamu sekalian. Dan golonganku sendiri ada dua ribu orang dan selebihnya dan golongan Arab yang akan bergabung dengan kita dalam benteng dan mereka akan bertahan sampai titik darah penghabisan, sebelum ada pihak lain menyentuh kamu.”
Banu Nadzir mengadakan perundingan atas keterangan Ibn Ubayy itu. Mereka tambah bingung. Ada yang sama sekali tidak percaya kepada Ibn Ubayy. Bukankah dulu pernah ia menjanjikan Banu Qainuqa’ seperti yang dijanjikannya kepada Banu Nadzir sekarang, tetapi tiba waktunya ia cuci tangan dan menghilang meninggalkan mereka? Juga mereka mengetahui, bahwa Banu Quraidzah takkan dapat membela mereka mengingat adanya suatu perjanjian dengan pihak Muhammad. Di samping itu, kalau mereka keluar dari kampung mereka itu ke Khaibar atau ke tempat lain yang berdekatan mereka masih akan dapat kembali ke Yathrib bila kurma mereka nanti sudah berbuah; mereka akan memetik buah kurma itu lalu kembali ke tempat mereka semula. Mereka tidak akan mengalami banyak kerugian.
“Tidak”, kata Huyayy bin Akhtab pemimpin mereka. “Malah kita yang harus mengirim pesan kepada Muhammad : bahwa kita tidak akan meninggalkan kampung kita dan harta-benda kita. Terserah apa yang akan diperbuat. Kita hanya tinggal memperbaiki kubu kita; kita akan memasuki tempat ini sesuka hati kita. Kita akan membiasakan memakai jalan-jalan kita, kita pindahkan batu-batu ke tempat itu. Persediaan makanan kita cukup buat setahun, air pun tidak pernah terputus. Muhammad tidak akan mengepung kita setahun penuh.”
Tetapi sepuluh hari sudah lampau. Mereka tidak juga keluar dari perkampungan itu. Dengan membawa senjata pihak Muslimin selama dua belas malam bertempur melawan mereka dan Ali bin Abi Talib menjadi pembawa bendera. Ketika itu bila sudah tampak Muslimin di jalan-jalan atau di rumah-rumah, mereka mundur ke rumah berikutnya sesudah rumah-rumah itu mereka robohkan. Kemudian Muhammad memerintahkan sahabat-sahabatnya menebangi pohon-pohon kurma kepunyaan orang-orang Yahudi itu, lalu membakarnya. Dengan demikian orang-orang Yahudi itu tidak akan terlalu terikat pada harta-bendanya lagi dan tidak akan terlalu bersemangat mau berperang.
Banu Nadzir pun DIKEPUNG, Rabi'ul Awwal 4 H. Dengan tidak sabar orang-orang Yahudi itu berteriak : “Muhammad! Tuan melarang orang berbuat kerusakan. Tuan cela orang yang berbuat begitu. Tetapi kenapa pohon-pohon kurma ditebangi dan dibakar?!”
Dalam hal ini firman Tuhan turun : “Mana pun pohon kurma yang kamu tebang atau kamu biarkan berdiri dengan batangnya, adalah dengan izin Allah juga, dan karena Ia hendak mencemoohkan mereka yang melanggar hukum itu.” (TQS 59 : 5) (Menebang atau merusak pohon atau hasil tanaman lainnya dalam perang sekalipun, dilarang dalam hukum Islam. Tetapi dalam suatu strategi perang untuk mengadakan tekanan terhadap musuh, dalam batas-batas tertentu dibolehkan)
Sia-sia saja rupanya pihak Yahudi Bani Nadhir itu menunggu adanya bantuan dari Abdullah bin Ubayy atau pertolongan yang mungkin datang dari salah satu golongan Arab. Sekarang mereka yakin, bahwa mereka hanya akan beroleh nasib buruk saja apabila terus bersitegang hendak berperang. Setelah ternyata mereka dalam putus asa dan ketakutan, mereka pun MENYERAH meminta damai kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, meminta jaminan keamanan atas harta-benda, darah serta anak-anak keturunan mereka; sampai mereka keluar dari Medinah. Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengabulkan permintaan mereka; asal mereka, keluar dari kota itu: Setiap tiga orang diberi seekor unta dengan muatan, harta-benda; persediaan makanan dan minuman sesuka hati mereka. Di luar itu tidak ada. Pihak Yahudi menerima. Mereka dipimpin oleh Huyayy bin Akhtab.
Dalam perjalanan itu mereka ada yang berhenti di Khaibar, yang lain meneruskan perjalanan sampai ke Adhri’at di bilangan Syam. Harta benda yang mereka tinggalkan menjadi barang rampasan Muslimin yang terdiri dari hasil bumi, senjata berupa 50 buah baju besi, 340 bilah pedang di samping tanah milik orang-orang Yahudi itu. Tetapi tanah ini tidak dapat dianggap sebagai rampasan perang; oleh karenanya tak dapat dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin, melainkan khusus di tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang nantinya akan ditentukan sendiri menurut kebijaksananya. Dan tanah itu kemudian dibagi-bagikan kepada golongan Muhajirin yang pertama di luar golongan Anshar, setelah dikeluarkan bagian khusus yang hasilnya akan menjadi hak fakir miskin. Dengan demikian kaum Muhajirin itu tidak perlu lagi harus menerima bantuan kaum Anshar dan ini pun sudah menjadi harta kekayaan mereka. Dari pihak Anshar yang turut mendapat bagian hanya Abu Dujana dan Sahl bin Hunaif, yang sudah terdaftar sebagai orang miskin.
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan bagian kepada mereka ini seperti kepada kaum Muhajirin.
Dan golongan Yahudi Banu Nadzir sendiri tak ada yang masuk Islam kecuali dua orang (Yamin ibn Umair dan Abu Sa’d ibn Wahb). Mereka masuk Islam karena harta mereka, yang kemudian mereka peroleh kembali.
Tidak begitu sulit orang akan menilai arti kemenangan Muslimin serta pengosongan Banu Nadzir dari Medinah itu, setelah kita kemukakan betapa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam memperhitungkan, bahwa adanya mereka di tempat itu akan memberikan semangat dalam menimbulkan bibit-bibit fitnah, akan mengajak orang-orang munafik itu mengangkat kepala setiap mereka melihat pihak Muslimin mendapat bencana dan mengancam timbulnya perang saudara bila saja ada musuh menyerang kaum Muslimin.
Tentang perginya Banu Nadzir itu Surah Hasyr (59) ini turun : “Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang bersikap munafik, yang berkata kepada saudara-saudaranya yang tak beriman dan kalangan Ahli Kitab : Kalau kamu diusir ke luar, niscaya kami pun akan keluar bersama kamu, dan tidak sekali-kali kami akan dipengaruhi oleh siapa pun menghadapi persoalanmu ini: dan kalau kamu dipengaruhi niscaya kami pun akan membelamu. Tetapi Tuhan mengetahui, bahwa mereka adalah pendusta belaka. Kalaupun mereka ini diusir ke luar, mereka pun tidak akan ikut bersama-sama keluar, juga kalau mereka ini diperangi, mereka pun tidak akan turut membantu, dan kalaupun mereka sampai membantu, niscaya mereka akan lari mengundurkan diri, lalu mereka ini tidak mendapat pertolongan. Sungguh dalam hati mereka kamu sangat ditakuti lebih dari Allah. Demikian itulah, sebab mereka adalah golongan yang tidak mengerti.” (TQS 59 : 11 – 13)
Kemudian Surah itu dilanjutkan dengan memberi keterangan tentang iman dan kekuasaannya. Iman hanya kepada Allah semata-mata. Bagi jiwa manusia, yang tahu harga diri dan kehormatan. dirinya, yang dikenalnya hanyalah kekuasaan Tuhan.
“Dialah Allah. Tiada tuhan selain Dia. Maha mengetahui segala yang gaib dan yang nyata. Dia Pengasih dan Penyayang. Dialah Allah. Tiada Tuhan selain Dia. Maha Raja, Maha Kudus, Pembawa Keselamatan, Keamanan, Penjaga segalanya, Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Agung. Maha Suci Allah dan segala yang mereka persekutuan. Dialah Allah. Pencipta, Pengatur, Pembentuk rupa, Pada-Nyalah ada Asma Yang Indah. Segala yang ada di langit dan di bumi berbakti kepada-Nya. Dan Dia Mahakuasa, Mahabijaksana.” (TQS 59 : 22 - 24)
Yahudi Bani Quraizhah
Baru saja Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan senjata dan mandi, tiba-tiba Jibril datang menyuruh beliau bergerak ke Bani Quraizhah. Maka dikumandangkanlah seruan kepada penduduk Madinah. Setelah tiga ratus prajurit bersiap, bendera diserahkan kepada Ali bin Abi Talib dan Nabi berjalan dibelakangnya. Merka mengepung Bani Quraizhah selama 25 hari, Dzul Qo'dah 5 H.
Yahudi Bani Quraizhah telah melanggar nota perjanjian dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyatakan perang. Mereka lebih mendengar hasutan pimpinan pasukan gabungan dalam perang Khandaq, Abu Sufyan dan Huyayy bin Akhtab pemimpin Bani Nadhir. Atas perbuatannya itu Banu Quraizhah harus dibasmi. Dalam hal ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan supaya diserukan kepada segenap orang : “Barangsiapa yang tetap patuh kepada Rasulullah, jangan shalat Ashar kecuali di perkampungan Banu Quraizhah.”
Bani Quraizhah tinggal dalam benteng-benteng yang begitu kukuh seperti perbentengan Bani Nadzir, tetapi kendatipun benteng-benteng itu dapat melindungi mereka, namun mereka tidak tahan menghadapi kepungan pihak Muslimin. Persediaan bahan makanan kini berada di tangan penduduk Medinah, setelah pasukan gabungan Quraisy, kabilah Arab dan gabungan Yahudi yang dikomandoi Huyayy bin Akhtab meninggalkan tempat tersebut.
Selama pengepungan dua puluh lima malam telah terjadi beberapa kali bentrokan dengan saling melempar anak panah dan batu. Selama dalam kepungan itu Banu Quraizhah sama sekali tidak berani keluar dari kubu-kubu mereka. Setelah terasa lelah dan yakin pula bahwa mereka tidak akan dapat tertolong dari bencana dan mereka pasti akan jatuh ke tangan kaum Muslimin apabila masa pengepungan berjalan lama. Berada dalam kepungan, Bani Quraizhah mulai dirasuki ketakutan luar biasa, maka mereka mengutus orang kepada Rasul dengan permintaaan “supaya mengirimkan Abu Lubabah kepada kami untuk kami mintai pendapatnya sehubungan dengan masalah kami ini.” Sebenarnya Abu Lubabah ini golongan Aus yang termasuk sahabat baik mereka.
Begitu mereka melihat kedatangan Abu Lubabah, mereka memberikan sambutan yang luar biasa. Kaum wanita dan anak-anak segera meraung pula, menyambutnya dengan ratap tangis. Ia merasa iba sekali melihat mereka. Perundingan tak membuahkan hasil apa-apa, Abu Lubabah pun kembali.
Setelah berunding antara sesama mereka. Bani Quraizhah mengirimkan utusan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan meminta diijinkan mereka pergi ke Adhri’at dengan meninggalkan harta-benda mereka. Tetapi ternyata usul ini ditolak. Mereka harus tunduk kepada keputusan. Dalam hal ini mereka lalu mengirim orang kepada Aus dengan pesan : “Tuan-tuan hendaknya dapat membantu saudara-saudaramu ini; seperti yang pernah dilakukan oleh Khazraj terhadap saudara-saudaranya.”
Sebuah rombongan dari kalangan Aus segera berangkat menemui Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Ya Rasulullah”, kata mereka memulai, “dapatkah permintaan kawan-kawan sepersekutuan kami itu dikabulkan seperti permintaan kawan-kawan sepersekutuan Khazraj dulu yang juga sudah dikabulkan.”
“Saudara-saudara dari Aus”, kata Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “dapatkah kamu menerima kalau kuminta salah seorang dari kamu menengahi dengan teman-teman sepersekutuanmu itu?”
“Tentu sekali”, jawab mereka.
“Kalau begitu”, katanya lagi, “katakan kepada mereka memilih siapa saja yang mereka kehendaki.”
Dalam hal ini pihak Yahudi lalu memilih Sa’d bin Mu’adz (seorang Anshar dari suku Aus, 31 tahun ia masuk Islam dan dalam usia 37 tahun ia menemui syahidnya setelah beberapa hari dirawat setelah perang Khandaq dan keputusannya terhadap nasib Yahudi Khaibar). Saat itu Sa’d bin Mu’adz sedang dirawat di tenda darurat depan masjid Nabi akibat terluka parah setelah terkena anak panah di Khandaq. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh supaya ia dijemput dan dibawa oleh kaumnya menghadap ke Bani Quraizhah.
Mata Bani Quraizhah seolah-olah sudah tertutup dari nasib yang sudah ditentukan mereka itu, sehingga mereka samasekali lupa akan kedatangan Sa’d tatkala pertama kali mereka melanggar nota penjanjian dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat perang Khandaq berkecamuk, lalu kala itu mereka diberi peringatan, juga tatkala mereka memaki-maki Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di depannya serta mencerca kaum Muslimin tidak pada tempatnya.
Sa’d lalu membuat persetujuan dengan kedua belah pihak itu. Masing-masing hendaknya dapat menerima keputusan yang akan diambilnya. Setelah persetujuan demikian diberikan, kepada Banu Quraizhah diperintahkan supaya turun dan meletakkan senjata. Keputusan ini mereka laksanakan. Seterusnya Sa’d memutuskan, supaya mereka yang terjun melakukan kejahatan perang dijatuhi hukuman mati, harta-benda dibagi, wanita dan anak-anak supaya ditawan.
Mendengar keputusan itu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Demi yang menguasai diriku. Keputusanmu itu diterima oleh Tuhan dan oleh orang-orang beriman, dan dengan itu aku diperintahkan.”
Tak ada wanita yang dibunuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali seorang sebagai kisas karena telah melempar kepala Khallad ibn Suwaid dengan batu penggilingan hingga meninggal.
Orang-orang Yahudi Bani Quraizhah tidak menduga akan menerima putusan hukuman demikian dari Sa’d bin Mu’adz teman sepersekutuannya itu. Bahkan tadinya mereka mengira ia akan bertindak seperti Abdullah bin Ubayy terhadap Banu Qainuqa’. Mungkin teringat oleh Sa’d, bahwa kalau pihak pasukan gabungan Quraisy, kabilah Arab dan gabungan Yahudi yang menang karena pengkhianatan Banu Ouraizhah itu, kaum Muslimin pasti akan dikikis habis, akan dibunuh dan dianiaya. Maka balasannya seperti yang sedang mengancam kaum Muslimin sendiri.
Ada beberapa orang dari Bani Quraizhah yang masuk Islam sehingga selamatlah jiwa, keluarga dan harta mereka. Selamat pula anggota Bani Quraizhah yang waktu itu tak ada di tempat karena suatu alasan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berketetapan hanya memberi hukuman kepada mereka yang bertindak melanggar perjanjian dengan kaum Muslimin. Harta ganimah dibagi sesuai ketentuan, para tawanan dikirim ke Najd, Tihamah dan Syiria.
Yahudi Bani Khaibar
Sekembalinya dari Hudaibiya — menurut sebuah sumber ia hanya tinggal lima belas malam, sumber lain menyatakan satu bulan. Disuruhnya supaya orang bersiap-siap untuk menyerbu Khaibar, dengan syarat hanya mereka yang ikut ke Hudaibiya saja yang boleh menyerbu, juga harus sukarela tanpa ada rampasan perang yang akan dibagikan.
Sebanyak seribu enam ratus orang dengan seratus kavaleri Muslimin itu sekarang berangkat lagi. Mereka semua percaya akan adanya pertolongan Tuhan, mereka masih ingat akan firman Tuhan dalam Surah al-Fath yang turun semasa Hudaibiya.
“Orang-orang yang tinggal di belakang itu akan berkata ketika kamu berangkat mengambil harta rampasan perang : Biarlah kami turut bersama-sama kamu. Mereka hendak mengubah perintah Tuhan. Katakanlah : Kamu tidak akan turut bersama-sama kami. Begitulah Allah telah menyatakan sejak dulu. Nanti mereka akan berkata lagi : Tetapi kamu dengki kepada kami. Tidak. Mereka yang mengerti hanya sedikit saja.” (TQS. 48 : 15)
Jarak antara Khaibar dengan Medinah itu mereka tempuh dalam waktu tiga hari. Dengan tiada mereka rasakan ternyata malamnya mereka telah berada di depan perbentengan Khaibar. Keesokan harinya bila pekerja-pekerja Khaihar berangkat kerja ke ladang-ladang dengan membawa sekop dan keranjang, setelah melihat pasukan Muslimin, mereka berlarian sambil berteriak-teriak :
“Muhammad dengan pasukannya!”
Ketika mendengar suara mereka itu Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :
“Khaibar binasa. Apabila kami sampai di halaman golongan ini, maka pagi itu amat buruk buat mereka yang telah diberi peringatan itu.”
Akan tetapi Yahudi Khaibar memang sudah menanti-nantikan Muhammad akan menyerang mereka. Mereka ingin mencari jalan membebaskan diri. Sebagian mereka ini ada yang menyarankan supaya cepat-cepat dibentuk sebuah blok, yang terdiri dari mereka dan Yahudi Wadi’l-Qura dan Taima’ yang akan langsung menyerbu Yathrib (Medinah) tanpa menggantungkan diri kepada kabilah-kabilah Arab yang lain. Sedang yang sebagian lagi berpendapat supaya masuk saja bersekutu dengan Rasul, kalau-kalau kebencian terhadap mereka dapat terhapus dari hati kaum Muslimin — terutama dari pihak Anshar — setelah dalam kenyataan Huyayy bin Akhtab dan segolongan Yahudi lainnya terlibat dalam usaha menghasut kabiiah-kabilah Arab untuk menyerang Medinah dan secara kekerasan mengadakan perang Parit/ Khandaq/ Ahzab. Akan tetapi semangat kedua belah pihak sudah memuncak, sehingga sebelum terjadi perang pihak Muslimin sudah lebih dulu berhasil menewaskan pemimpin-pemimpin Khaibar masing-masing Sallam bin Abi’l-Huqaiq dan Yasir ibn Razzam.
Kelompok-kelompok Yahudi di Khaibar ini merupakan koloni Israil yang terkuat yang paling kaya dan paling besar pula persenjataannya. Di samping itu pihak Muslimin pun sudah yakin sekali, bahwa selamanya Yahudi tetap menjadi duri dalam daging seluruh jazirah, maka selama itu pula persaingan antara agama Musa dengan agama baru ini akan jadi panjang tanpa dapat mencapai suatu penyelesaian. Dengan demikian mereka terjun menyabung nyawa tanpa ragu-ragu lagi.
Nabi berangkat ditemani dua penunjuk jalan. “Bawa kami ke tempat antara Khaibar dan Syria.” Siasat ini dimaksudkan Nabi untuk mencegah Yahudi lari ke utara lalu bersekongkol atau meminta bantuan kepada sekutu-sekutu mereka dari Ghathafan. Nabi membawa pasukan hingga ke lembah al-Raji’ dekat Khaibar.
Abdullah bin Ubayy bin Salul, pemimpin kaum munafiq, segera mengirim pesan kepada Yahudi Khaibar.
Dengan persiapan senjata yang cukup kaum Muslimin sekarang sudah berada di depan perbentengan Khaibar. Yahudi juga sedang berunding dengan sesama mereka. Pemimpin mereka Sallam bin Misykam menyarankan, supaya harta-benda dan sanak keluarga mereka dimasukkan ke dalam benteng Watih dan Sulaim, bahan makanan dan perlengkapan dimasukkan ke dalam benteng Na’im. Perajurit dan barisan penggempur dimasukkan ke dalam benteng Natat dan Sallam bin Misykam sendiri bersama-sama mereka, mengerahkan mereka dalam peperangan.
Sekarang kedua belah pihak sudah berhadap-hadapan di sekitar benteng Natat dan pertempuran mati-matian sudah pula dimulai. Dalam hal ini sampai ada yang berkata : “Yang luka-luka dari pihak Muslimin sebanyak lima puluh orang. Apalagi jumlah yang luka-luka dari pihak Yahudi.”
Setelah Sallam bin Misykam tewas, maka pimpinan pasukan dipegang oleh Harith bin Abi Zainab. Ia keluar dari benteng Na’im itu dengan maksud hendak menggempung pasukan Muslimin. Tetapi oleh Khazraj ia dapat dihalau dan dipaksa kembali mundur ke bentengnya. Pihak Muslimin lalu memperketat kepungannya atas benteng-benteng Khaibar itu sedang pihak Yahudi mati-matian mempertahankan dengan keyakinan, bahwa kekalahan mereka menghadapi Muhammad berarti suatu penumpasan terakhir terhadap Banu Israil di negeri-negeri Arab.
Hal ini berlangsung selama beberapa hari. Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam menyerahkan bendera kepada Abu Bakr supaya memasuki benteng Na’im. Tetapi setelah terjadi pertempuran sehari penuh ia kembali tanpa berhasil menaklukkan benteng itu. Keesokan harinya pagi-pagi Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskan Umar bin’l- Khattab. Dan pertempuran terjadi lebih sengit, tetapi dia pun mengalami nasib yang sama seperti Abu Bakr. Keesokan harinya Ali bin Abi Talib pun dipanggil Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam seraya katanya :
“Pegang bendera ini dan bawa terus sampai Tuhan memberikan kemenangan kepadamu.”
Ali berangkat membawa bendera itu. Setelah ia berada dekat dari benteng, penghuni benteng itu keluar menghadapinya dan seketika itu juga pertempuran pun terjadi. Salah seorang Yahudi dapat memukulnya dan perisai yang di tangannya terlempar. Tetapi Ali segera menyambar daun pintu yang ada di benteng dan dengan memperisaikan daun pintu yang masih di tangan itu ia terus bertempur. Benteng itu akhirnya dapat didobraknya. Kemudian daun pintu tadi dijadikannya jembatan dan dengan “jembatan” ini kaum Muslimin dapat menyeberang masuk ke dalam benteng itu. Akan tetapi benteng Na’im ini baru jatuh setelah komandannya, Harith bin Abi Zainab terbunuh. Hal ini menunjukkan betapa sebenarnya pihak Yahudi itu mati-matian bertempur dan betapa pula pihak Muslimin juga mati-matian mengepung dan menyerbu.
Setelah benteng Na’im jatuh, sekarang pihak Muslimin menaklukkan benteng Qamush setelah lebih dulu terjadi pertempuran sengit karena persediaan bahan makanan pada mereka (Muslimin) sudah tidak mencukupi lagi terpaksa ada beberapa orang yang datang kepada Muhammad mengeluh, dan minta sesuatu sekadar dapat menyambung hidup, dan oleh karena tidak ada sesuatu yang dapat diberikannya kepada mereka itu, maka mereka diizinkan makan daging kuda. Dalam pada itu salah seorang dari pihak Muslimin melihat ada sekawanan kambing memasuki salah satu benteng Yahudi itu Dua ekor kambing di antaranya dapat mereka tangkap, lalu mereka sembelih dan mereka makan bersama-sama.
Kemudian setelah mereka menaklukkan benteng Sha’b bin Mu’adh, kebutuhan mereka sekarang sudah tidak begitu mendesak lagi, sebab ternyata di tempat ini persediaan makanan cukup banyak, yang akan memungkinkan lagi mereka meneruskan perjuangan melawan Yahudi dan mengepung benteng-benteng yang ada lainnya. Sementara itu tidak sejengkal tanah pun atau sebuah benteng pun mau diserahkan kepada pihak Yahudi sebelum mereka benar-benar mempertahankannya secara heroik dan setelah dengan tenaga mereka berusaha membendung serangan Muslimin itu. Dengan terlebih dulu menyiapkan persenjataan dan perlengkapan untuk berperang.
Demikianlah perang antara Yahudi dan Muslimin itu terjadi sangat seru sekali, ditambah lagi ketahanan benteng-benteng Yahudi ketika itu memang sangat kuat dan keras.
Sekarang pihak Muslimin mengepung benteng Zubair. Pengepungan ini tampaknya cukup lama disertai dengan pertempuran yang sengit pula. Sungguhpun begitu mereka tidak juga berhasil menaklukkannya. Baru setelah akhirnya saluran air ke benteng itu diputuskan, pihak Yahudi terpaksa keluar dan dengan mati-matian mereka memerangi kaum Muslimin sekalipun mereka itu akhirnya lari juga. Dengan demikian benteng-benteng itu satu demi satu jatuh ke tangan Muslimin yang berakhir pada benteng Watih dan Sulalim dalam kelompok perbentengan Katiba, dua buah benteng terakhir yang kukuh dan kuat.
Sejak itulah perasaan putus asa mulai merayap ke dalam hati mereka. Kini mereka minta damai. Semua harta-benda mereka di dalam benteng-benteng asy-Syiqq, Natat dan Katiba diserahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk disita, asal nyawa mereka diselamatkan. Permohonan ini oleh Muhammad diterima. Dibiarkannya mereka itu tinggal di kampung halaman mereka, yang menurut hukum penaklukan sudah berada di bawah kekuasaannya. Mereka akan mendapat separuh hasil buah-buahan daerah itu sebagai imbalan atas tenaga kerja mereka.
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukan Yahudi Khaibar tidak sama seperti terhadap Yahudi Banu Qainuqa’ dan Banu Nadzir tatkala mereka dikosongkan dari kampung halaman itu; sebab dengan jatuhnya Khaibar itu ia sudah merasa terjamin dari adanya bahaya Yahudi dan yakin pula bahwa mereka samasekali tidak akan bisa lagi mengadakan perlawanan. Di samping itu di Khaibar terdapat pula beberapa perkebunan, ladang dan kebun-kebun kurma. Semua ini masih memerlukan tenaga-tenaga ahli yang cukup banyak untuk mengolahnya dan yang akan dapat pula mengurus pengolahan itu dengan cara yang sebaik-baiknya. Kendatipun pengikut-pengikut Medinah terdiri dari penduduk yang bercocok tanam, tanah mereka pun sangat pula memerlukan tenaga mereka, namun mengingat, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga sangat memerlukan tentara untuk angkatan perangnya, maka ia tidak suka membiarkan mereka semua itu dalam bercocok tanam. Dalam pada itu orang-orang Yahudi Khaibar tetap bekerja meskipun kekuasaan politik mereka sudah runtuh demikian rupa yang juga mempengaruhi kegiatan mereka, sehingga dari segi pertanian dan perkebunan pun cepat sekali Khaibar mengalami kemunduran dan kehancuran; padahal sudah begitu baik Nabi memperlakukan penduduk daerah itu, di samping Abdullah bin Rawaha utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka yang cukup adil, setiap tahun mengadakan pembagian hasil dengan mereka. Demikian baiknya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukan penduduk Yahudi Khaibar itu sehingga tatkala kaum Muslimin menyerbu mereka, dan di antara barang-barang rampasan perang itu terdapat juga ada beberapa buah kitab Taurat, ketika oleh pihak Yahudi diminta, maka oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan supaya kitab-kitab itu diserahkan kembali kepada mereka. Ia tidak sampai berbuat seperti yang pernah dilakukan oleh pihak Rumawi ketika menaklukkan Yerusalem. Kitab-kitab suci itu oleh mereka dibakar dan diinjak-injak dengan telapak kaki. Juga ia tidak melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh pihak Nasrani dalam perang menindas kaum Yahudi Andalusia (Spanyol). Kitab-kitab Taurat itu oleh mereka juga dibakar.
Yahudi Fadak
Setelah Yahudi Khaibar minta damai selama Muslimin mengepung mereka di perbentengan Watih dan Sulalim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus orang kepada penduduk Fadak (Fadak ialah sebuah desa daerah koloni Yahudi di Hijaz, tidak jauh dari Medinah) dengan maksud supaya mereka mau menerima ajakannya atau menyerahkan harta-benda mereka. Mengetahui peristiwa yang sudah terjadi di Khaibar, penduduk Fadak sudah merasa ketakutan sekali. Persetujuan diadakan dengan menyerahkan separuh harta mereka tanpa pertempuran. Kalau daerah Khaibar menjadi milik Muslimin karena mereka yang telah berjuang membebaskannya, maka Fadak untuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam karena pihak Muslimin tidak memperolehnya dengan pertempuran.
Yahudi Taima’, Yahudi Bahrain, Yahudi Bani Ghazia dan Bani ‘Aridz
Selesai semua itu Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkemas-kemas hendak kembali ke Medinah melalui Wadi’l-Oura (ialah sebuah wadi atau lembah terletak antara Medinah dengan Syam). Akan tetapi pihak Yahudi daerah ini sudah menyiapkan diri hendak menyerang Muslimin. Dan pertempuran segera pecah. Tetapi mereka juga terpaksa menyerah dan minta damai seperti halnya dengan pihak Khaibar. Sebaliknya golongan Yahudi Taima’ mereka bersedia membayar jizya (pajak) tanpa terjadi peperangan atau pertempuran.
Dengan demikian semua orang Yahudi tunduk kepada kekuasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berakhir pulalah semua kekuasaan mereka di seluruh jazirah. Dari jurusan utara ke Syam sekarang Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sudah tidak kuatir lagi, sama halnya seperti dulu, dari jurusan selatan juga ia sudah tidak kuatir lagi setelah adanya Perjanjian Hudaibiya.
Dengan habisnya kekuasaan Yahudi itu, maka kebencian pihak Muslimin —terutama kaum Anshar— terhadap kepada mereka jadi berkurang sekali. Bahkan mereka menutup mata terhadap beberapa orang Yahudi yang kembali ke Yathrib. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri bersama-sama dengan orang-orang Yahudi yang sedang berkabung terhadap kematian Abdullah bin Ubayy dan menyatakan turut berdukacita pula kepada anaknya. Kepada Mu’adz bin Jabal pun dipesannya untuk tidak membujuk orang-orang Yahudi itu dari agama Yahudinya. Juga pajak jizya tidak dikenakan kepada orang-orang Yahudi Bahrain meskipun mereka tetap berpegang pada keyakinan agama mereka. Dengan Yahudi Banu Ghazia dan Banu ‘Aridz dibuat pula persetujuan bahwa mereka akan memperoleh dhimma (perlindungan) dan kepada mereka dikenakan pula pajak.
Menggalang Persatuan Akidah di Semenanjung
Ketika mula-mula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Medinah ia sudah mengadakan persetujuan damai dengan pihak Yahudi. Setelah mereka melanggar persetujuan itu dan berusaha mengkhianatinya, mereka dikeluarkan dari Medinah. Juga dari beberapa tempat pemukiman mereka di Semenanjung mereka dikeluarkan setelah mereka melancarkan permusuhan kepadanya. Bukankah ini sudah suatu bukti bahwa keberadaan orang-orang Yahudi di pemukiman-pemukiman mereka itu tidak patut dihormati, dan berdamai dengan mereka merupakan suatu kebijakan demi kepentingan negara pada periode pertama di Yasrib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menggantikan kebijakan itu dengan kebijakan lain setelah melihat kepentingan negara yang utama tak dapat ditegakkan dengan itu! Menurut pendapat Umar ibn Khattab di masa pemerintahannya, kepentingan negara yang utama harus menyatukan akidah di seluruh Semenanjung itu. Oleh karenanya, langkah pertama yang diambilnya begitu ia memegang jabatan, mengeluarkan kaum Nasrani Najran dari Semenanjung dan memerintahkan Ya’la bin Umayyah supaya jangan ada orang yang teperdaya dari agamanya, dan mengeluarkan mereka yang masih berpegang pada agama mereka. Mereka diberi tanah di Irak seperti tanah mereka di Najran. Mereka harus diperlakukan dengan baik. Begitu juga terhadap orang-orang Yahudi di Khaibar dan di Fadak, mereka agar dipindahkan dari tempat-tempat mereka ke Syam dan memberi ganti uang sesuai dengan harganya, dan jangan sampai ada yang diganggu. Dengan demikian seluruh Semenanjung itu bersih dari segala keyakinan selain Islam. Sekarang tegaklah sudah dasar-dasar kesatuan yang dimaksud oleh Amirulmukminin.
Di riwayatkan dalam sebuah hadis dari Umar bin Khattab r.a. katanya bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Saya mesti akan mengeluarkan orang Yahudi dan Nasrani dari Jazirah Arab ini sehingga tidak akan saya biarkan menetap kecuali orang Muslim.” (HR. Muslim No. 1083).
Gambaran ini jelas sekali mengenai faktor yang mendorong Umar mengeluarkan Yahudi dan Nasrani dari Semenanjung Arab itu. Dalam hal ini dia tidak melanggar dan tidak keluar dari ketentuan sunah. Perjanjian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pihak Yahudi dan Nasrani tidak merupakan suatu ketentuan hukum yang sudah tetap, tetapi sebagai suatu kebijakan yang dapat berubah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tak ada salahnya jika sesudah itu juga berubah. Umar mengadakan perubahan karena peristiwa-peristiwa yang terjadi waktu itu dan adanya perluasan pembebasan. Karena hasratnya yang begitu besar ingin menerapkan tali persatuan di Semenanjung maka perubahan itu boleh berlaku. Umar tidak mau membeku pada suatu zaman sementara zaman itu sendiri berubah, dan akan membahayakan kepentingan negara dan kebijakannya yang utama. Apatah yang akan di lakukannya sementara dengan sendirinya waktu dibatasi, berakhir dengan berakhirnya waktu itu dan tidak akan ada pembaruan, kecuali jika Amirulmukminin menghendakinya!
Hendaknya jangan ada orang yang menyangka bahwa saya menghubung-hubungkan hal yang tak terlintas dalam pikiran Umar sendiri mengenai persatuan bangsa Arab itu. Kalangan sejarawan sudah sependapat bahwa dalam mengeluarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu ia berpegang pada yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia mengatakan : “Tidaklah akan bertemu dua agama di negeri-negeri Arab.” Apa yang disebutkan oleh Balazuri dan yang lain bahwa menurut pendapat Umar, penduduk Najran bertambah banyak, dan ia khawatir mereka akan mengganggu Islam, maka dikeluarkanlah mereka, dengan memerintahkan kepada pejabat-pejabatnya di Irak dan Syam agar kepada mereka diberikan ganti tanah dan memperlakukan mereka sebaik-baiknya. Andaikata mereka dikeluarkan karena melanggar perjanjian tentu tidak akan bersikap begitu lemah lembut kepada mereka dan tidak pula memperlakukan begitu baik.
Untuk memperkukuh dasar-dasar persatuan itu di negeri-negeri Arab itu tidak cukup hanya dengan melarang ada agama lain di luar Islam, kalau di antara penduduknya masih ada diskriminasi yang akan membuat mereka merasa lebih banyak mendapat kebebasan dan lebih terhormat dari yang lain. dan kalau tak ada persamaan sejati sebagai tanda adanya kerja sama di antara mereka. Beberapa diskriminasi itu masih dirasakan karena adanya kaum Riddah dan peperangan yang sudah berhasil ditumpas. Jika Umar memang menginginkan persatuan itu benar-benar terwujud, diskriminasi itu harus dihilangkan dengan menghilangkan segala penyebabnya lebih dulu. Oleh karena itu ia mencabut ketentuan di masa Abu Bakr yang melarang mereka ikut berperang di barisan Muslimin! Juga memerintahkan para tawanan Arab dikembalikan kepada keluarga mereka dan memberikan kebebasan kembali kepada mereka, sebab ia tidak senang tawanan perang di kalangan Arab akan dijadikan suatu kebiasaan. Dengan demikian ia telah membuka era baru yang membuat hati semua orang Arab merasa senang — lepas dari daerah-daerah mereka masing-masing di Semenanjung itu. Mereka merasa bahwa mereka adalah satu “bangsa” dengan tujuan bersama dalam bimbingan suatu politik yang umum dan kepentingan yang utama di bawah pengawasan Amirulmukminin.
-------------------------
Pustaka :
Terjemah Hadis Shahih Muslim Jilid 3, Penerbit Pustaka Al-Husna Jakarta 1983, Cetakan Kedua.
Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), Dr. Muhammad Husain Haekal, Ph.D, Penerbit : P.T. Pustaka Litera Antar Nusa Jakarta-Bogor, Cetakan Kesebelas, Januari 1990.
Rijal Haolar Rasul (Karakteristik Perihidup 60 Shahabat Rasulullah), Khalid Muhammad Khalid, Penerbit : CV. Penerbit Diponegoro Bandung, Cetakan keduapuluh 2006.
Taht Râyah al-Rasûl (Perang Muhammad), Dr. Nizar Abazhah, Penerbit Zaman Jakarta, Cetakan Pertama 1432 H / 2011 M.
Al-Faruq ‘Umar (Umar bin Khattab), Dr. Muhammad Husain Haekal, Ph.D, Penerbit : P.T. Pustaka Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar