Nabi s.a.w. menganggap bahwa dunia ini merupakan tempat singgah yang ditempuh musafir selama hidupnya, kemudian berpindah ke akhirat, maka bukan termasuk tuntunan beliau dan juga para sahabat untuk mengokohkan tempat tinggal (rumah), meluaskan dan menghiasinya. Tempat singgah yang paling baik bagi musafir ialah bisa menjaga penghuninya dari panas dan dingin, menutupi pandangan mata, menghalangi masuknya binatang, tidak dikhawatirkan akan runtuh karena beban yang terlalu berat, tidak menjadi sarang ular karena bentuknya yang terlalu luas, tidak diterobos angin yang bisa mengganggu penghuninya dan tidak pula berada di tempat yang terlalu tinggi, tetapi pertengahan diantara semua itu.
Tempat tinggal (rumah) harus semerbak oleh aroma yang wangi. Begitu pula tempat tinggal yang bermanfa'at bagi badan dan yang bisa menjaga kesehatan.
Luas rumah atau bilik Rasulullah s.a.w. dengan ‘Aisyah r.a. ummil Mukminin sekitar 6 atau 7 dzira’ di blok Bani Najjar salah satu suku Anshar di Madinah.. Dindingnya terbuat dari tanah dan atapnya dari pelepah kurma. Langit-langitnya rendah hingga orang yang berdiri disitu bisa menyentuhnya. Bagian luar bilik dilapisi dengan kain kasar yang tebal agar terlindung dari hujan. Pintunya hanya satu daun, terbuat dari kayu jati dan menghadap ke barat.
Perabot atau furniture yang ada di dalam rumah Nabi s.a.w. hanyalah pembaringan atau kasur (yang terbuat dari kulit yang diisi dengan sabut kurma (HR. Muslim No. 1195)) beserta tikarnya, bantal yang terbuat dari kulit berisi serabut, beberapa perkakas atau alat yang tergantung seperti kantung kulit, bejana air, mangkung untuk minum air. Bahkan tidak berlentera sebagai penerangan di malam hari, ataupun lukisan sekedar penghias dinding, seperti yang diceritakan Abu Thalhah al-Anshori (HR. Muslim No. 1209)
Bilik ini adalah madrasahnya ‘Aisyah r.a. berguru pada Rasulullah, bilik yang senantiasa dihiasi keutamaan berupa sholat sunah (seperti yang diceritakan Zaid bin Tsabit r.a. (HR. Bukhari & Muslim), dan pintunya sepanjang hayat Rasulullah s.a.w. hampir tak pernah menolak kedatangan siapa pun untuk berguru.
Catatan :
1 dzira’ = 1 hasta = 1 lengan (panjang lengan dari siku sampai ujung jari tengah). (Muhajirin Anshor)
Tempat tinggal (rumah) harus semerbak oleh aroma yang wangi. Begitu pula tempat tinggal yang bermanfa'at bagi badan dan yang bisa menjaga kesehatan.
Luas rumah atau bilik Rasulullah s.a.w. dengan ‘Aisyah r.a. ummil Mukminin sekitar 6 atau 7 dzira’ di blok Bani Najjar salah satu suku Anshar di Madinah.. Dindingnya terbuat dari tanah dan atapnya dari pelepah kurma. Langit-langitnya rendah hingga orang yang berdiri disitu bisa menyentuhnya. Bagian luar bilik dilapisi dengan kain kasar yang tebal agar terlindung dari hujan. Pintunya hanya satu daun, terbuat dari kayu jati dan menghadap ke barat.
Perabot atau furniture yang ada di dalam rumah Nabi s.a.w. hanyalah pembaringan atau kasur (yang terbuat dari kulit yang diisi dengan sabut kurma (HR. Muslim No. 1195)) beserta tikarnya, bantal yang terbuat dari kulit berisi serabut, beberapa perkakas atau alat yang tergantung seperti kantung kulit, bejana air, mangkung untuk minum air. Bahkan tidak berlentera sebagai penerangan di malam hari, ataupun lukisan sekedar penghias dinding, seperti yang diceritakan Abu Thalhah al-Anshori (HR. Muslim No. 1209)
Bilik ini adalah madrasahnya ‘Aisyah r.a. berguru pada Rasulullah, bilik yang senantiasa dihiasi keutamaan berupa sholat sunah (seperti yang diceritakan Zaid bin Tsabit r.a. (HR. Bukhari & Muslim), dan pintunya sepanjang hayat Rasulullah s.a.w. hampir tak pernah menolak kedatangan siapa pun untuk berguru.
Catatan :
1 dzira’ = 1 hasta = 1 lengan (panjang lengan dari siku sampai ujung jari tengah). (Muhajirin Anshor)
Jika diasumsikan hasta orang arab 50 cm, maka luas rumah atau bilik Rasulullah 6 atau 7 dzira’ hanya seluas 3 atau 3,5 meter persegi. Jauh lebih kecil dari rumah sederhana tipe 21, bahkan masih lebih luas dari rumah tipe RSS.
-------------------------
Terjemahan Hadis Shahih Muslim Jilid 3, Penerbit Pustaka Al-Husna, Cetakan Kedua 1983.
Minhajus Shalihin, Izzuddin Bulyqe, Penerbit PT. Bina Ilmu Surabaya, Cetakan Pertama 1987.
Mukhtashar Zadul-Ma'ad, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerbit Pustaka Azzam Jakarta, Cetakan Pertama Pebruari 1999, halaman 313 - 314.
‘Aisyah Ummil Mukminin r.a., Sulaiman an-Nadawi, Penerbit QisthiPress, Cetakan Ketiga Juni 2012, halaman 31-32.
-------------------------
Terjemahan Hadis Shahih Muslim Jilid 3, Penerbit Pustaka Al-Husna, Cetakan Kedua 1983.
Minhajus Shalihin, Izzuddin Bulyqe, Penerbit PT. Bina Ilmu Surabaya, Cetakan Pertama 1987.
Mukhtashar Zadul-Ma'ad, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerbit Pustaka Azzam Jakarta, Cetakan Pertama Pebruari 1999, halaman 313 - 314.
‘Aisyah Ummil Mukminin r.a., Sulaiman an-Nadawi, Penerbit QisthiPress, Cetakan Ketiga Juni 2012, halaman 31-32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar