Sistem Pemerintahan dan Perkembangannya di Negeri Arab
SEPERTI sudah kita lihat, masa pemerintahan Umar adalah masa perang dan penaklukan, dengan kemenangan yang selalu berada di pihak Muslimin. Kedaulatan mereka itu meluas sampai mendekati Afganistan dan Cina di sebelah timur, Anatolia dan Laut Kaspia di utara, Tunis dan sekitarnya di Afrika Utara di bagian barat dan kawasan Nubia di selatan. Di samping itu, mengadakan perluasan sampai daerah-daerah itu di luar keinginan Umar atau Abu Bakr pendahulunya. Politik Umar ialah hendak menggabungkan semua ras Arab ke dalam satu kesatuan yang membentang dari Teluk Aden di selatan sampai ke ujung utara di pedalaman Samawah—Irak dan Syam termasuk ke dalam kesatuan itu—karena kekuasaan di sana berada di tangan Arab Banu Lakhm dan Banu Gassan. Tetapi sesudah semua itu selesai, ia ingin hanya sampai di perbatasan itu, jangan melampaui. Angan-angannya, sekiranya antara dia dengan Persia dibatasi oleh sebuah gunung dari api, masing-masing tidak saling berbaur, dan antara dia dengan Rumawi dibatasi oleh sebuah bendungan yang akan merintangi mereka kembali ke tanah yang sudah dibebaskan itu. Tetapi beberapa peristiwa sering lebih kuat dari manusia, dan peristiwa-peristiwa itulah yang telah mendorong Muslimin meneruskan langkah pembebasan itu dan sudah sampai sejauh daerah-daerah yang kita lihat.
Penaklukan ini telah membuat dunia ketika itu bingung, begitu juga para sejarawan yang telah memperinci semua peristiwa dan berusaha menyelidiki sebab-sebabnya. Segala penyebab yang berhubungan dengan kejiwaan prajurit-prajurit Muslimin dan dengan kejiwaan lawan mereka —Rumawi dan Persia—. Di samping itu, ada faktor lain yang memberi dampak besar maka penaklukan itu berlanjut, yaitu sistem pemerintahan di Semenanjung Arab. Selama dua puluh tahun sesudah Rasul hijrah sistem ini telah mengalami perkembangan yang memungkinkan orang-orang Arab menghadapi peristiwa-peristiwa sejarah yang luar biasa dengan tenang dan pasti, yang membuat mereka makin percaya diri, merasa lebih kuat, dengan keyakinan bahwa mereka mengemban sebuah misi yang harus disampaikan kepada dunia, dan dunia pun harus mendengarkan. Oleh karena itu tak ada kekuasaan yang dapat merintanginya, tak ada kekuatan yang mampu menghadangnya dalam meneruskan misinya itu.
Sistem pemerintahan ini bukanlah sebuah hasil pemikiran rasional, juga bukan karena salah satu karya para ahli hukum dan para anggota dewan pembuat undang-undang yang mengadakan pertemuan dan membahasnya lalu berakhir dengan dituangkannya ke dalam suatu keputusan, kemudian Rasulullah atau para penggantinya memerintahkan agar dilaksanakan. Tidak! Pemerintahan yang baru tumbuh ini berkembang begitu cepat, pertumbuhan dari mulai bayi, menjadi masa anak-anak sampai masa muda remaja. Oleh karenanya, mau tak mau siapa pun yang memegang kekuasaan akan melihat keadaan itu sejalan dengan kondisi pertumbuhannya, dan perhatiannya pertama-tama akan diarahkan pada segalanya untuk mengatur pusat kekuatan yang mendorong lahirnya kondisi dan pertumbuhan itu, dan akan bekerja untuk mempererat segala ikatan antarsemua komponen pemerintahan serta menggalang adanya kerja sama yang serasi. Kekuatan pendorong yang memancar dari negeri-negeri Arab ini sebelum lahirnya penyatuan itu, atau lahirnya sebuah sistem yang mantap, kemudian menyebar kepada bangsa-bangsa lain. Sebelum dikenal bangsa ini, sistem kesatuan yang stabil sudah lebih dulu dikenal oleh negara-negara tetangga. Sistem pemerintahan Persia sudah digelar di Irak, dan sistem pemerintahan Bizantium sudah pula berjalan di Syam. Tak pernah terlintas dalam pikiran orang Medinah hendak meniru salah satu sistem itu, dan tak ada pula yang berusaha hendak menggariskan di atas kertas sebuah sistem pemerintahan yang sepenuhnya model Arab, atau sepenuhnya Islam, yang akan diterapkan dalam kedaulatan negeri-negeri di dekatnya atau yang jauh. Jika ada di antara mereka yang sempat berpikir ke arah seperti ini, niscaya selama bertahun-tahun mereka hanya akan membuat corat-coret lalu menghapusnya kembali kemudian mencatatnya lagi sebelum dapat disesuaikan dengan sistem ini—suatu kesatuan yang berlaku di semua kawasan yang beraneka ragam itu. Dalam masa pembebasan yang begitu luas dengan langkah yang begitu cepat, sudah tentu tak akan ada lagi kesempatan untuk mengerjakan semua itu, dan tak akan mampu. Masa pembebasan, sesuai dengan sifatnya, merupakan masa kerja keras yang dibawa oleh berbagai peristiwa waktu itu. Kalau pembebasan itu berlangsung begitu cepat seperti yang terjadi di masa-masa Abu Bakr dan Umar, sistem itu seharusnya akan berjalan menurut bawaan kekuasaan yang biasa berlaku, tidak lagi pada logikanya, dan dalam perkembangannya kekuasaan itu akan sejalan dengan pola pembebasan, yang tidak akan mendahului dan tidak pula tertinggal.
Perbedaan kebijakan Abu Bakr dengan Umar
Itulah semua yang sudah terjadi. Negeri-negeri Arab itu bergabung semua ke dalam panji Islam, setelah pembebasan Mekah dan Ta’if. Utusan-utusan berturut-turut berdatangan dari segenap penjuru Semenanjung Arab ke Medinah menyatakan diri di hadapan Rasulullah, mereka menerima Islam, dan Rasulullah pun mengirimkan wakil-wakilnya ke pelbagai kawasan itu untuk mengajarkan seluk-beluk agama kepada mereka serta memungut sedekah dari mereka, dengan membiarkan kekuasaan di negeri-negeri mereka tetap di tangan pemimpin-pemimpin mereka sendiri, yang sudah menerima Islam seperti sebelum itu. Mereka meneruskan kebiasaan mereka yang sudah turun-temurun, setelah diadakan perubahan sesuai dengan ajaran Islam. Setelah Rasulullah berpulang ke rahmatullah dan penduduk Medinah mengangkat Abu Bakr sebagai Khalifah, ia mengirimkan wakil-wakilnya untuk memungut zakat seperti yang berlaku di masa Nabi. Hal ini tidak diterima baik oleh orang-orang Arab itu dan merasa tidak senang, sebab menurut anggapan mereka, ini berarti mengurangi kemerdekaan politik dan kebebasan mereka sebagai warga. Mereka bersikeras menolak. Itulah yang menyebabkan timbulnya ‘Perang Riddah’ yang berakhir dengan kemenangan Abu Bakr dan stabilnya kekuasaan di Medinah. Kemenangan inilah yang telah melapangkan jalan sampai terwujudnya persatuan politik di negeri-negeri Arab. Sesudah Umar memegang pimpinan menggantikan Abu Bakr, perhatiannya dicurahkan untuk mengatur persatuan itu demikian rupa sehingga tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa dalam revolusi rohani yang agung itu dialah mahkotanya, dan dalam sendi-sendi pemerintahan yang kuat di dunia dialah penegaknya.
Pada masa itulah Islam mulai tersebar dan menjadi stabil. Orang yang mengatur ketentuan itu serta ajaran-ajarannya telah mewakili sistem yang bertalian dengan pribadi orang itu, dengan sikap dan langkahnya dan segala peraturan yang dibuatnya. Sikap dan langkah Rasulullah sudah merupakan ketentuan jiwa Islam dan menjadi titik tolak yang akan mencerminkan peradaban masyarakat Islam. Pencerminan ini berkembang sejalan dengan waktu, terpengaruh oleh keadaan lingkungan. namun tetap berpegang pada batas-batas yang sudah ditentukan oleh Qur’an untuk kehidupan rohani dan peradaban. Kalaupun sistem politik di Semenanjung itu tetap berjalan, yang pada masa Rasulullah tidak berubah seperti sebelum itu, kehidupan peradabannya terbawa oleh perintah dan larangan Quran dengan pengaruhnva yang begitu dalam terhadap apa yang terjadi kemudian. Sesudah berhasil menumpas kaum murtad dan membuka era baru mempersatukan politik di negeri-negeri Arab, wajarlah bila Abu Bakr kemudian mengaturnya dan meletakkan dasar-dasarnya. Tetapi ketika langkahnya merintis pembebasan dan kedaulatan di Irak dan di Syam sudah dimulai. Perang Riddah belum lagi berakhir. Dalam menekuni organisasi yang akan disesuaikan dengan pola yang baru ini di negeri-negeri yang masih dilanda pergolakan di beberapa tempat, dan keadaan persatuan yang stabil belum lagi memuaskan benar, sudah tentu di luar kemampuan Khalifah pertama itu untuk menghadapi Persia dan Rumawi.
Sungguhpun begitu, persatuan dan kesatuan politik di negeri-negeri Arab sejak itu berangsur-angsur mulai teratur. Tidak heran, bila di negeri-negeri tetangga berlaku peraturan-peraturan yang sama, perbedaan-perbedaan dalam kehidupan kota di antara mereka pun akan hilang dan segala rintangan sudah tak akan ada lagi. Demikian juga apabila cita-cita yang luhur dan tujuan bersama kelompok-kelompok bangsa bertetangga itu sudah tercapai, penggabungan mereka lambat laun juga akan menjadi soal biasa. Sejak menjadi suatu masyarakat Muslim persatuan orang-orang Arab itu dalam akidah, kebiasaan dan hubungan sosial terbentuk. Adanya larangan riba, minum minuman keras, makan bangkai, darah, daging babi dan segala yang disembelih tidak dengan nama Allah, pembatasan dalam poligami, larangan mengubur anak perempuan hidup-hidup, pengaturan hubungan sosial serta penertiban waris, sernua itu membuat mereka dalam arti hidup perkotaan menjadi harmonis, hal yang tak pernah mereka rasakan sebelum itu. Ditambah lagi dengan adanya persatuan akidah dan ibadah di antara mereka, di samping persatuan ras dan bahasa, membuat mereka makin kuat. Sesudah kaum Riddah berhasil ditumpas dan kaum Muslimin bertolak ke lrak dan Syam, dan berita-berita kemenangan yang mereka capai serta kesiapan mereka menghadap Persia dan Rumawi bersipongan di udara, keikutsertaan mereka dalam perang dan kemenangan yang mereka peroleh membuat persatuan Arab itu bertambah kuat. Sekarang mereka merasakan perlunya saling bantu dan bersatu agar kemenangan tetap berada di pihak mereka karena mereka pula yang akan memetik buahnya.
Oleh karena itu kita lihat mereka yang oleh Abu Bakr dilarang ikut serta dalam perang Irak dan Syam —karena keterlibatan mereka dalam Perang Riddah— dari berbagai kabilah dan daerah itu mereka ingin sekali ikut berperang, berjuang di jalan Allah. Mereka mengharap akan mendapat bagian rampasan perang seperti yang diperoleh mereka yang tetap bertahan dalam Islam dan sejak semula sudah ikut dalam berbagai perjuangan. Kalau di samping itu semua ditambah lagi dengan kedatangan Islam yang telah membimbing mereka, mengantarkan mereka kepada suatu cita-cita luhur yang telah menerangi jalan mereka, memperlihatkan kepada keagungan dan keindahan iman dan membuat mereka mencintai mati syahid di jalan Allah, mengertilah kita bagaimana persatuan di Semenanjung itu makin hari makin bertambah harmonis dan kukuh serta bagaimana pula hal itu mengarah menjadi suatu kesatuan politik yang integral, dan berangsur-angsur menuju kepada kematangannya.
Sudah tentu para penanggung jawab masalah Islam di Semenanjung itu adalah poros dan sendi persatuan itu dengan kekuatan kepribadian mereka masing-masing, ajaran-ajaran dan teladan yang mereka berikan. Nabi yang orang Arab dengan risalah Islam yang dibawanya itu adalah sumber dan inti persatuan itu, dan Khalifahnya yang pertama dialah yang telah menumpas segala anasir yang mencoba mengadakan perlawanan. Begitu juga tatkala tanggung jawab berpindah ke tangan Umar. persatuan di Semenanjung itu sudah mulai tampak dan celah-celah tabir. Sekarang tak ada jalan lain haruslah diselesaikan, selama usahanya untuk memperkuat dasar-dasar itu tidak akan memperlemah orang yang harus memikul beban tanggungjawab yang dipikulkan di pundaknya itu.
Tetapi Umar bin Khattab bukan orangnya untuk menjadi lemah. Ia mempunyai kepribadian yang kuat sekalii. Banyak sekali penampilannya yang sudah begitu jelas, serta pengaruhnya yang dapat kita raba, sebelum dan sesudah Islam. Hal ini tampak lebih jelas lagi sesudah kaum Muslimin hijrah ke Medinah. Umar sebagai pendamping (wazir) Rasulullah. seperti juga Abu Bakr. Dalam beberapa hal Umar berbeda pendapat dengan Rasulullah. yang beberapa pendapatnya kemudian dibenarkan oleh Qur’an, seperti halnya dengan masalah tawanan Perang Badr. Di samping itu, keteguhan imannya kepada Allah dan Rasul-Nva membuatnya sebagai Muslim pertama yang tunduk jika wahyu turun kendati berlawanan dengan pendapatnya, dan yang pertama pula meneladani Rasulullah. jika ada suatu masalah dalam pengalamannya. Umar juga banyak berbeda dengan Abu Bakr, selama masa kekhalifahannya. Kalau Abu Bakr bersikeras dengan pendapatnya Umar pun tunduk, sebab Abu Bakr adalah yang bertanggung jawab. Tetapi ketaatannya itu tak pernah sampai menghilangkan kepribadiannya. Dalam meneladani Rasulullah ia tidak melupakan pula untuk membedakan antara Sunah Rasulullah sallaallahu ‘alaihi wasallam yang berlaku abadi dengan peristiwa-peristiwa yang berlaku sementara. Bukan tidak mungkin ia masih akan mengoreksinya dan meminta mempertimbangkan pertimbangkan kembali tanpa menganggap hal itu aneh, dengan keyakinan bahwa kalau Rasulullah masih diberi panjang umur, niscaya ia masih akan mengoreksinya dan masih akan memintanya mempertimbangkan kembali.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 590-595.
SEPERTI sudah kita lihat, masa pemerintahan Umar adalah masa perang dan penaklukan, dengan kemenangan yang selalu berada di pihak Muslimin. Kedaulatan mereka itu meluas sampai mendekati Afganistan dan Cina di sebelah timur, Anatolia dan Laut Kaspia di utara, Tunis dan sekitarnya di Afrika Utara di bagian barat dan kawasan Nubia di selatan. Di samping itu, mengadakan perluasan sampai daerah-daerah itu di luar keinginan Umar atau Abu Bakr pendahulunya. Politik Umar ialah hendak menggabungkan semua ras Arab ke dalam satu kesatuan yang membentang dari Teluk Aden di selatan sampai ke ujung utara di pedalaman Samawah—Irak dan Syam termasuk ke dalam kesatuan itu—karena kekuasaan di sana berada di tangan Arab Banu Lakhm dan Banu Gassan. Tetapi sesudah semua itu selesai, ia ingin hanya sampai di perbatasan itu, jangan melampaui. Angan-angannya, sekiranya antara dia dengan Persia dibatasi oleh sebuah gunung dari api, masing-masing tidak saling berbaur, dan antara dia dengan Rumawi dibatasi oleh sebuah bendungan yang akan merintangi mereka kembali ke tanah yang sudah dibebaskan itu. Tetapi beberapa peristiwa sering lebih kuat dari manusia, dan peristiwa-peristiwa itulah yang telah mendorong Muslimin meneruskan langkah pembebasan itu dan sudah sampai sejauh daerah-daerah yang kita lihat.
Penaklukan ini telah membuat dunia ketika itu bingung, begitu juga para sejarawan yang telah memperinci semua peristiwa dan berusaha menyelidiki sebab-sebabnya. Segala penyebab yang berhubungan dengan kejiwaan prajurit-prajurit Muslimin dan dengan kejiwaan lawan mereka —Rumawi dan Persia—. Di samping itu, ada faktor lain yang memberi dampak besar maka penaklukan itu berlanjut, yaitu sistem pemerintahan di Semenanjung Arab. Selama dua puluh tahun sesudah Rasul hijrah sistem ini telah mengalami perkembangan yang memungkinkan orang-orang Arab menghadapi peristiwa-peristiwa sejarah yang luar biasa dengan tenang dan pasti, yang membuat mereka makin percaya diri, merasa lebih kuat, dengan keyakinan bahwa mereka mengemban sebuah misi yang harus disampaikan kepada dunia, dan dunia pun harus mendengarkan. Oleh karena itu tak ada kekuasaan yang dapat merintanginya, tak ada kekuatan yang mampu menghadangnya dalam meneruskan misinya itu.
Sistem pemerintahan ini bukanlah sebuah hasil pemikiran rasional, juga bukan karena salah satu karya para ahli hukum dan para anggota dewan pembuat undang-undang yang mengadakan pertemuan dan membahasnya lalu berakhir dengan dituangkannya ke dalam suatu keputusan, kemudian Rasulullah atau para penggantinya memerintahkan agar dilaksanakan. Tidak! Pemerintahan yang baru tumbuh ini berkembang begitu cepat, pertumbuhan dari mulai bayi, menjadi masa anak-anak sampai masa muda remaja. Oleh karenanya, mau tak mau siapa pun yang memegang kekuasaan akan melihat keadaan itu sejalan dengan kondisi pertumbuhannya, dan perhatiannya pertama-tama akan diarahkan pada segalanya untuk mengatur pusat kekuatan yang mendorong lahirnya kondisi dan pertumbuhan itu, dan akan bekerja untuk mempererat segala ikatan antarsemua komponen pemerintahan serta menggalang adanya kerja sama yang serasi. Kekuatan pendorong yang memancar dari negeri-negeri Arab ini sebelum lahirnya penyatuan itu, atau lahirnya sebuah sistem yang mantap, kemudian menyebar kepada bangsa-bangsa lain. Sebelum dikenal bangsa ini, sistem kesatuan yang stabil sudah lebih dulu dikenal oleh negara-negara tetangga. Sistem pemerintahan Persia sudah digelar di Irak, dan sistem pemerintahan Bizantium sudah pula berjalan di Syam. Tak pernah terlintas dalam pikiran orang Medinah hendak meniru salah satu sistem itu, dan tak ada pula yang berusaha hendak menggariskan di atas kertas sebuah sistem pemerintahan yang sepenuhnya model Arab, atau sepenuhnya Islam, yang akan diterapkan dalam kedaulatan negeri-negeri di dekatnya atau yang jauh. Jika ada di antara mereka yang sempat berpikir ke arah seperti ini, niscaya selama bertahun-tahun mereka hanya akan membuat corat-coret lalu menghapusnya kembali kemudian mencatatnya lagi sebelum dapat disesuaikan dengan sistem ini—suatu kesatuan yang berlaku di semua kawasan yang beraneka ragam itu. Dalam masa pembebasan yang begitu luas dengan langkah yang begitu cepat, sudah tentu tak akan ada lagi kesempatan untuk mengerjakan semua itu, dan tak akan mampu. Masa pembebasan, sesuai dengan sifatnya, merupakan masa kerja keras yang dibawa oleh berbagai peristiwa waktu itu. Kalau pembebasan itu berlangsung begitu cepat seperti yang terjadi di masa-masa Abu Bakr dan Umar, sistem itu seharusnya akan berjalan menurut bawaan kekuasaan yang biasa berlaku, tidak lagi pada logikanya, dan dalam perkembangannya kekuasaan itu akan sejalan dengan pola pembebasan, yang tidak akan mendahului dan tidak pula tertinggal.
Perbedaan kebijakan Abu Bakr dengan Umar
Itulah semua yang sudah terjadi. Negeri-negeri Arab itu bergabung semua ke dalam panji Islam, setelah pembebasan Mekah dan Ta’if. Utusan-utusan berturut-turut berdatangan dari segenap penjuru Semenanjung Arab ke Medinah menyatakan diri di hadapan Rasulullah, mereka menerima Islam, dan Rasulullah pun mengirimkan wakil-wakilnya ke pelbagai kawasan itu untuk mengajarkan seluk-beluk agama kepada mereka serta memungut sedekah dari mereka, dengan membiarkan kekuasaan di negeri-negeri mereka tetap di tangan pemimpin-pemimpin mereka sendiri, yang sudah menerima Islam seperti sebelum itu. Mereka meneruskan kebiasaan mereka yang sudah turun-temurun, setelah diadakan perubahan sesuai dengan ajaran Islam. Setelah Rasulullah berpulang ke rahmatullah dan penduduk Medinah mengangkat Abu Bakr sebagai Khalifah, ia mengirimkan wakil-wakilnya untuk memungut zakat seperti yang berlaku di masa Nabi. Hal ini tidak diterima baik oleh orang-orang Arab itu dan merasa tidak senang, sebab menurut anggapan mereka, ini berarti mengurangi kemerdekaan politik dan kebebasan mereka sebagai warga. Mereka bersikeras menolak. Itulah yang menyebabkan timbulnya ‘Perang Riddah’ yang berakhir dengan kemenangan Abu Bakr dan stabilnya kekuasaan di Medinah. Kemenangan inilah yang telah melapangkan jalan sampai terwujudnya persatuan politik di negeri-negeri Arab. Sesudah Umar memegang pimpinan menggantikan Abu Bakr, perhatiannya dicurahkan untuk mengatur persatuan itu demikian rupa sehingga tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa dalam revolusi rohani yang agung itu dialah mahkotanya, dan dalam sendi-sendi pemerintahan yang kuat di dunia dialah penegaknya.
Pada masa itulah Islam mulai tersebar dan menjadi stabil. Orang yang mengatur ketentuan itu serta ajaran-ajarannya telah mewakili sistem yang bertalian dengan pribadi orang itu, dengan sikap dan langkahnya dan segala peraturan yang dibuatnya. Sikap dan langkah Rasulullah sudah merupakan ketentuan jiwa Islam dan menjadi titik tolak yang akan mencerminkan peradaban masyarakat Islam. Pencerminan ini berkembang sejalan dengan waktu, terpengaruh oleh keadaan lingkungan. namun tetap berpegang pada batas-batas yang sudah ditentukan oleh Qur’an untuk kehidupan rohani dan peradaban. Kalaupun sistem politik di Semenanjung itu tetap berjalan, yang pada masa Rasulullah tidak berubah seperti sebelum itu, kehidupan peradabannya terbawa oleh perintah dan larangan Quran dengan pengaruhnva yang begitu dalam terhadap apa yang terjadi kemudian. Sesudah berhasil menumpas kaum murtad dan membuka era baru mempersatukan politik di negeri-negeri Arab, wajarlah bila Abu Bakr kemudian mengaturnya dan meletakkan dasar-dasarnya. Tetapi ketika langkahnya merintis pembebasan dan kedaulatan di Irak dan di Syam sudah dimulai. Perang Riddah belum lagi berakhir. Dalam menekuni organisasi yang akan disesuaikan dengan pola yang baru ini di negeri-negeri yang masih dilanda pergolakan di beberapa tempat, dan keadaan persatuan yang stabil belum lagi memuaskan benar, sudah tentu di luar kemampuan Khalifah pertama itu untuk menghadapi Persia dan Rumawi.
Sungguhpun begitu, persatuan dan kesatuan politik di negeri-negeri Arab sejak itu berangsur-angsur mulai teratur. Tidak heran, bila di negeri-negeri tetangga berlaku peraturan-peraturan yang sama, perbedaan-perbedaan dalam kehidupan kota di antara mereka pun akan hilang dan segala rintangan sudah tak akan ada lagi. Demikian juga apabila cita-cita yang luhur dan tujuan bersama kelompok-kelompok bangsa bertetangga itu sudah tercapai, penggabungan mereka lambat laun juga akan menjadi soal biasa. Sejak menjadi suatu masyarakat Muslim persatuan orang-orang Arab itu dalam akidah, kebiasaan dan hubungan sosial terbentuk. Adanya larangan riba, minum minuman keras, makan bangkai, darah, daging babi dan segala yang disembelih tidak dengan nama Allah, pembatasan dalam poligami, larangan mengubur anak perempuan hidup-hidup, pengaturan hubungan sosial serta penertiban waris, sernua itu membuat mereka dalam arti hidup perkotaan menjadi harmonis, hal yang tak pernah mereka rasakan sebelum itu. Ditambah lagi dengan adanya persatuan akidah dan ibadah di antara mereka, di samping persatuan ras dan bahasa, membuat mereka makin kuat. Sesudah kaum Riddah berhasil ditumpas dan kaum Muslimin bertolak ke lrak dan Syam, dan berita-berita kemenangan yang mereka capai serta kesiapan mereka menghadap Persia dan Rumawi bersipongan di udara, keikutsertaan mereka dalam perang dan kemenangan yang mereka peroleh membuat persatuan Arab itu bertambah kuat. Sekarang mereka merasakan perlunya saling bantu dan bersatu agar kemenangan tetap berada di pihak mereka karena mereka pula yang akan memetik buahnya.
Oleh karena itu kita lihat mereka yang oleh Abu Bakr dilarang ikut serta dalam perang Irak dan Syam —karena keterlibatan mereka dalam Perang Riddah— dari berbagai kabilah dan daerah itu mereka ingin sekali ikut berperang, berjuang di jalan Allah. Mereka mengharap akan mendapat bagian rampasan perang seperti yang diperoleh mereka yang tetap bertahan dalam Islam dan sejak semula sudah ikut dalam berbagai perjuangan. Kalau di samping itu semua ditambah lagi dengan kedatangan Islam yang telah membimbing mereka, mengantarkan mereka kepada suatu cita-cita luhur yang telah menerangi jalan mereka, memperlihatkan kepada keagungan dan keindahan iman dan membuat mereka mencintai mati syahid di jalan Allah, mengertilah kita bagaimana persatuan di Semenanjung itu makin hari makin bertambah harmonis dan kukuh serta bagaimana pula hal itu mengarah menjadi suatu kesatuan politik yang integral, dan berangsur-angsur menuju kepada kematangannya.
Sudah tentu para penanggung jawab masalah Islam di Semenanjung itu adalah poros dan sendi persatuan itu dengan kekuatan kepribadian mereka masing-masing, ajaran-ajaran dan teladan yang mereka berikan. Nabi yang orang Arab dengan risalah Islam yang dibawanya itu adalah sumber dan inti persatuan itu, dan Khalifahnya yang pertama dialah yang telah menumpas segala anasir yang mencoba mengadakan perlawanan. Begitu juga tatkala tanggung jawab berpindah ke tangan Umar. persatuan di Semenanjung itu sudah mulai tampak dan celah-celah tabir. Sekarang tak ada jalan lain haruslah diselesaikan, selama usahanya untuk memperkuat dasar-dasar itu tidak akan memperlemah orang yang harus memikul beban tanggungjawab yang dipikulkan di pundaknya itu.
Tetapi Umar bin Khattab bukan orangnya untuk menjadi lemah. Ia mempunyai kepribadian yang kuat sekalii. Banyak sekali penampilannya yang sudah begitu jelas, serta pengaruhnya yang dapat kita raba, sebelum dan sesudah Islam. Hal ini tampak lebih jelas lagi sesudah kaum Muslimin hijrah ke Medinah. Umar sebagai pendamping (wazir) Rasulullah. seperti juga Abu Bakr. Dalam beberapa hal Umar berbeda pendapat dengan Rasulullah. yang beberapa pendapatnya kemudian dibenarkan oleh Qur’an, seperti halnya dengan masalah tawanan Perang Badr. Di samping itu, keteguhan imannya kepada Allah dan Rasul-Nva membuatnya sebagai Muslim pertama yang tunduk jika wahyu turun kendati berlawanan dengan pendapatnya, dan yang pertama pula meneladani Rasulullah. jika ada suatu masalah dalam pengalamannya. Umar juga banyak berbeda dengan Abu Bakr, selama masa kekhalifahannya. Kalau Abu Bakr bersikeras dengan pendapatnya Umar pun tunduk, sebab Abu Bakr adalah yang bertanggung jawab. Tetapi ketaatannya itu tak pernah sampai menghilangkan kepribadiannya. Dalam meneladani Rasulullah ia tidak melupakan pula untuk membedakan antara Sunah Rasulullah sallaallahu ‘alaihi wasallam yang berlaku abadi dengan peristiwa-peristiwa yang berlaku sementara. Bukan tidak mungkin ia masih akan mengoreksinya dan meminta mempertimbangkan pertimbangkan kembali tanpa menganggap hal itu aneh, dengan keyakinan bahwa kalau Rasulullah masih diberi panjang umur, niscaya ia masih akan mengoreksinya dan masih akan memintanya mempertimbangkan kembali.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 590-595.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar