"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Senin, 24 Februari 2014

Pemerintahan Umar bin Khattab (5)

Sikap Umar terhadap Banu Hasyim dan Pemuka-pemuka Kuraisy
Menurut pendapatnya. sistem musyawarah adalah dasar yang harus diterapkan di seluruh negara. Diperintahkannya itu kepada para pejabat dan pemimpin-pemimpin militer. Kepada Abu Ubaid ketika dikirim ke Irak ia berkata: “Dengarkanlah dari sahabat-sahabat Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dan ajaklah mereka bersama-sama dalam hal ini. Janganlah cepat-cepat berijtihad sebelum Anda teliti benar-benar. Ini adalah perang, dan yang cocok untuk perang hanya orang yang tenang, yang pandai melihat kesempatan.” Begitu juga yang ia perlakukan terhadap pejabat-pejabat yang lain, yang bertugas dalam perang ataupun yang lain.
Ada pihak yang beranggapan bahwa kalangan tua-tua dari kerabat Rasulullah di antara yang memberikan pendapat kepada Umar, tetapi tak ada di antara mereka yang diangkat oleh Umar untuk memimpin pasukan. Juga tak ada di antara mereka yang diangkat menduduki jabatan di negeri Arab atau di tempat lain yang sudah dibebaskan. Mereka yang beranggapan demikian ada pula yang menduga bahwa dalam hati Umar masih ada sesuatu terhadap Banu Hasim sesudah melihat sikap mereka dulu terhadap pengangkatan Abu Bakr. Tetapi saya tidak berada di pihak yang berpendapat demikian. Menurut hemat saya, tertundanya Banu Hasyim dalam pembaiatan Abu Bakr itu masih dipertanyakan. Sekiranva cerita tertundanya mereka itu benar, niscaya pengaruhnya akan ada dalam hati Umar selama masa kekhalifahannya. Semua mereka sesudah itu membaiat Abu Bakr. Setelah kemudian Abu Bakr berpesan agar digantikan oleh Umar tak ada dari Banu Hasyim yang menentangnya, bahkan merekalah yang mula-mula membaiat. Dan selama kekhalifahannya itu pula mereka mendapat kehormatan yang tidak diperoleh oleh kaum Muslimin yang lain. Kehormatan demikian itu akan kita lihat begitu jelas ketika kita berbicara tentang ‘sekretariat negara’ dan ‘anggaran’ yang begitu menonjol dalam kehidupan dan adat-istiadat kaum Muslimin, yang sampai sekarang pengaruhnya masih ada. Tidak jarang Umar menampilkan kerabat Nabi karena ia menghormati dan menghargai mereka. Juga sudah kita lihat pada musim kelaparan ia meminta pertolongan Allah dengan mengajak Abbas, paman Rasulullah, dan ia meminta Ali bin Abi Talib menggantikannya di Medinah ketika ia pergi ke Syam untuk mengadakan perjanjian damai Baitulmukadas. Sering sekali ia memuji jasa Abbas, pengetahuan dan budi pekertinya. Menjelang kematiannya Umar berpesan kepada majelis syura enam orang untuk calon kekhalifahan, di antaranya Ali bin Abi Talib. Tidak mungkin orang yang dalam hatinya menyimpan dendam kepada Banu Hasyim akan melakukan hal ini.
Jadi mengapa ia tidak menunjuk mereka dalam pimpinan pasukan, dan tak seorang pun di antara yang diangkat untuk kawasan negeri-negeri Arab dan daerah-daerah yang baru dibebaskan? Barangkali orang akan kaget kalau dikatakan : Mereka tidak diangkat justru karena kekerabatannya dengan Rasulullah. Ini berarti sejalan dengan kata-katanya pada suatu hari kepada Ibn Abbas : “Saya melihat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat yang lain tetapi bukan kalian... Saya tidak tahu, kalian dijauhkan dari tugas itu padahal kalian ahli dalam bidangnya, ataukah ia khawatir karena kekerabatan kalian kepadanya lalu kalian akan mendapat kecaman, tetapi kecaman sudah suatu keharusan.”
Sebagian orang berpendapat bahwa kata-kata ini—kalaupun benar dari Umar—hanya suatu alasan yang mengandung tenggang rasa saja, alasan yang di dalamnya tersembunyi maksud Umar yang sangat waspada terhadap Banu Hasyim dan para sahabat besar serta pemuka-pemuka Kuraisy lainnya. Mereka yang berpendapat demikian beranggapan bahwa ia ingin membiarkan mereka semua tetap tinggal di Medinah, dan menjadi staf penasihatnya. Dia khawatir kalau mereka tersebar ke daerah-daerah dengan memegang kekuasaan, mereka akan tergoda oleh rasa yang teristimewa, lalu melakukan pembangkangan terhadap kekuasaan Medinah, dengan mengandalkan dukungan daerah-daerah setempat yang berada di bawah wewenang mereka dengan tujuan tertentu. Mereka yang beranggapan demikian ini mengatakan bahwa Umar dulu memecat Khalid bin Walid karena terdorong oleh kewaspadaan itu juga. Pejabat-pejabatnya yang ditempatkan di berbagai daerah sangat diperhitungkan, sedikit saja merasa curiga cepat-cepat mereka dipecat, sehingga jangan ada yang tergerak hatinya bahwa di daerahnya itu dialah yang berkuasa.
Andaikata dugaan ini benar, Umar tidak salah dan kebijakannya itu pun tak perlu dikritik. Kewaspadaan terhadap orang yang diberi kekuasaan mengurus umat, terutama dalam keadaan yang begitu genting yang sedang mengepung kaum Muslimin waktu itu. Tetapi saya tidak melihat ada yang dapat dicerna dengan anggapan semacam ini. Ini tidak sesuai dengan sifat Umar yang sudah terkenal, suka berterus terang dan tegas. Juga tidak sesuai dengan solidaritas kaum Muslimin yang sudah terkenal pada waktu-waktu permulaan itu, ditambah pula dengan iman mereka kepada Allah dan Rasul-Nya yang sudah begitu kuat dan mantap. Di samping itu, bahaya yang sedang mengancam mereka layak sekali akan menjauhkan mereka dari pikiran semacam itu. Bagaimana pula orang akan menduga adanya kekuatan untuk menghadapi pihak Persia di Irak atau Rumawi di Syam kalau di belakangnya tak ada kekuatan Islam dan kaum Muslimin yang terpadu? Bagaimana akan timbul pikiran bahwa ia masih akan tergoda oleh kekuasaan, di Persia atau di Mesir, sementara setiap waktu bala bantuan dari Semenanjung masih sangat diperlukan dan bila bala bantuan itu terlambat datang ia tak akan mampu mengatasi situasi yang sedang dihadapinya itu?
Hal demikian berjalan sepanjang masa pemerintahan Umar, karena perang yang berkecamuk selama itu berubah-ubah terus-menerus. Sudah kita saksikan. sebelum terbunuhnya Raja Persia pernah meminta bantuan Turki dan Cina untuk menghadapi pasukan Muslimin, dan kita saksikan juga Rumawi tak henti-hentinya terus berpikir hendak kembali merebut Mesir lagi. Dengan semua ini, dugaan bahwa Umar mempertahankan Banu Hasyim dan pemuka-pemuka Kuraisy di Medinah karena ia sangat waspada tak dapat diterima, juga tak dapat diterima adanya dugaan bahwa dia masih menyimpan sesuatu dalam hatinya terhadap Banu Hasyim yang dikatakan karena keterlambatannya membaiat Abu Bakr.
Sebenarnya Umar tidak mengingkari bahwa Banu Hasyim, seperti juga yang lain, untuk menduduki kekhalifahan. Tetapi yang ditolaknya jika mereka sampai teperdaya bahwa kekhalifahan itu adalah hak waris mereka dari Rasulullah sallallhu ‘alaihi wasallam. Hal ini terlihat dari kata-katanya kepada Abdullah bin Abbas seperti yang diperkuat oleh beberapa sumber ; “Orang tidak senang menggabungkan kenabian dan kekhalifahan semua pada kalian. Itu sudah menjadi pilihan Kuraisy sendiri, dan sudah tepat sekali.” Oleh karena itu, dalam pesan Umar untuk calon penggantinya kelak Ali bin Abi Talib termasuk salah seorang di antaranya.
Umar menahan Banu Hasyim, sahabat-sahabat besar dan pemuka-pemuka Kuraisy di Medinah, diperlukan untuk memberikan pendapat-pendapat mereka, sebab mereka memang orang-orang berpikiran cemerlang, bijaksana dan cukup berpengalaman —mengingat majelis syura adalah dasar pemerintahan. Kalau Amirulmukminin adalah pemegang keputusan terakhir dalam segala hal, maka untuk itu dialah yang memikul semua tanggung jawab politik negara. Dengan demikian, semua kekuasaan bertumpu di tangannva. Dialah yang menjalankan undang-undang dalam batas-batas Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya; dialah pelaksana, hakim, panglima tinggi angkatan bersenjata. Umarlah yang telah memikul semua tanggung jawab itu. Sejarah pun telah mengabadikan namanya dan menghiasinya dengan lingkaran cahaya keagungan dan kemuliaan.
Kesanggupannya memikul semua tanggung jawab maha besar itu, sungguh membangkitkan rasa kagum dalam hati kita, dan banyak orang bertanya-tanya tentang rahasia kemampuannya yang luar biasa itu Sebenarnya rahasia ini sudah bukan rahasia lagi bagi siapa saja yang benar-benar jujur ingin mengetahui, yaitu kesediaannya mengorbankan kepentingan sendiri serta pengabdiannya dalam menjalankan tugasnya atas dasar kesadaran betapa beratnya tugas itu. Dia tidak melihat kekhalifahan itu dari segi kekuasaan dan yang tampak dari luar, tetapi semua perhatiannya dicurahkan semata untuk menghadapi beban dan tanggung jawab besar itu. Itu sebabnya, kekuasaan kekhalifahan yang mutlak itu tidak sampai membuatnya bertindak sembarangan, begitu juga pamornya yang menyilaukan tidak lalu merasa dirinya orang nomor satu. Begitu besar kesadarannya tentang kewajiban itu. Yang di dalam sejarah masa apa pun belum pernah ada cerita yang dapat menandinginya. Saya rasa belum ada ungkapan yang lebih baik melukiskan kesadaran demikian itu dan kata-katanya sendiri: “Bagaimana saya akan dapat memperhatikan keadaan rakyat kalau saya tidak merasakan apa yang mereka rasakan!?” Perasaan ini menempatkan dirinya sebagai orang-orang yang lemah dan hina, supaya ia dapat merasakan apa yang dirasakan mereka, hak orang yang lemah diambilnya dari orang yang kuat, dan mencegah orang-orang miskin dari bencana kemiskinan.
Kita masih ingat beberapa contoh ketika terjadi tahun kelaparan dulu. Dia sendiri rela begitu menderita. Sepanjang tahun itu ia tidak makan daging dan makanan berlemak, sehingga melihat mukanya yang pucat dan lebam, orang khawatir sekali akan keselamatannya. Untuk melukiskan kekhawatiran mereka yang begitu besar cukup jika mengutip beberapa sumber tentang dia sebagai suatu keajaiban... Menurut sebuah sumber Anas berkata : Ketika itu saya bersama Umar, kemudian Ia masuk ke sebuah kebun. Saya dengar dia berkata—antara saya dengan dia dibatasi dinding kebun itu : “Umar bin Khattab Amirulmukminin? Wah. wah! Hai anak Khattab, takutlah kau kepada Allah, kalau tidak kau akan diazab!” Ada disebutkan konon bahwa pada suatu hari ia memikul sebuah kirbat di atas bahunya, lalu ketika ditegur. Ia berkata : “Hatiku sudah mulai mengagumi diriku; maka aku ingin menundukkannya.”
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 602-605.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar