"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Minggu, 25 Maret 2012

Perintah untuk Ta'at pada ALLAH dan Rasulullah

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ اللَّـهَ وَأَطِيعُوا۟ الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوٓا۟ أَعْمٰلَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada rasul dan Janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. (QS. 47 : 33).

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَصَدُّوا۟ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ ثُمَّ مَاتُوا۟ وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَن يَغْفِرَ اللَّـهُ لَهُمْ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah kemudian mereka mati dalam keadaan kafir, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampun kepada mereka. (QS. 47 : 34).

فَلَا تَهِنُوا۟ وَتَدْعُوٓا۟ إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّـهُ مَعَكُمْ وَلَن يَتِرَكُمْ أَعْمٰلَكُمْ
Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu. (QS. 47 : 35).

إِنَّمَا الْحَيَوٰةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۚ وَإِن تُؤْمِنُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا يَسْـَٔلْكُمْ أَمْوٰلَكُمْ
Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu. (QS. 47 : 36).

إِن يَسْـَٔلْكُمُوهَا فَيُحْفِكُمْ تَبْخَلُوا۟ وَيُخْرِجْ أَضْغٰنَكُمْ
Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu. (QS. 47 : 37).

هٰٓأَنتُمْ هٰٓؤُلَآءِ تُدْعَوْنَ لِتُنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ اللَّـهِ فَمِنكُم مَّن يَبْخَلُ ۖ وَمَن يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَن نَّفْسِهِۦ ۚ وَاللَّـهُ الْغَنِىُّ وَأَنتُمُ الْفُقَرَآءُ ۚ وَإِن تَتَوَلَّوْا۟ يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوٓا۟ أَمْثٰلَكُم
Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berhendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini). (QS. 47 : 38).

Tafsir Ayat
QS. 47 : 33. Taat kepada Allah ialah melaksanakan hanyalah perintah Allah. Adapun perintah manusia, jika tidak berlawanan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, bolehlah dia diikuti. Tetapi jika berlawanan, maka diwaktu itu yang wajib ditaati hanyalah perintah Allah. Karena Nabi ﷺ bersabda : "Tidak ada ta'at kepada makhluk di dalam mendurhakai Khaliq."
Adapun menta'ati perintah Rasul adalah karena taat kepada perintah Allah jua. Kalau bukan Allah yang memerintahkan, niscaya yang akan kita ta'ati hanya satu, perintah Allah semata-mata.
"... dan Janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu." Suatu amalan menjadi batal itu artinya tidak lagi diterima Allah, karena amalan itu telah bercampur aduk dengan yang lain, tidak lagi persis menurut yang diturunkan oleh Allah dan Rasul.
Misalnya kita mengerjakan sholat Ashar sebagai suatu kewajiban yang diperintahkan oleh Allah dengan tata cara yang telah Rasul ajarkan, sebab Rasul ﷺ bersabda : "Sholatlah kamu sebagaimana kamu lihat aku sholat."
Tetapi sholat yang kita kerjakan di waktu ashar menjadi batal apabila tidak menurut contoh yang diajarkan Nabi, semisal raka'atnya menjadi lima atau niat sholat bukan karena Allah dan sebagainya.

Latar Belakang Turunnya Ayat
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Shahabat Rasulullah ada yang menganggap tidak menjadi dosa berbuat ma’siat setelah mengucapkan “la ilaha ilallah”. Hal ini didasarkan kepada sesuatu ketetapan bahwa amal seseorang tidak akan diterima kalau diikuti dengan syirik”. Ayat ini (S. 47 : 33) turun berkenaan dengan peristiwa di atas yang memberikan petunjuk bagaimana caranya taat kepada Allah. Setelah turun ayat ini (S. 47 : 33) para shahabat berhati-hati dalam melaksanakan amalnya. Diriwayatkan oleh lbnu Abi Hatim dan Muhammad bin Nashar al-Marwazi di dalam Kitabush Shalat yang bersumber dari Abil ‘Aliyah.

QS. 47 : 34. "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah kemudian mereka mati dalam keadaan kafir,...". Itulah suatu sikap hidup yang sangat malang dan buruk sekali. Sudah terang kafir, tidak mau percaya seruan yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ. Apalagi disertai sikap dengan aksi menantang gerak-gerik Rasulullah ﷺ menyebarkan ajaran yang beliau terima dari Allah. Sikap membantah dan melawan yang keras dibawa sampai ajalnya. Mati dalam keadaan melawan, mati dalam keadaan kafir.
"..., maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampun kepada mereka". Putusan Allah sangatlah keras.

QS. 47 : 35. "Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu". Inilah disiplin yang keras terhadap orang yang beriman, bila berhadapan dengan orang-orang yang disebut penentang jalan Allah ta'ala. Tunjukkan sikap bahwa kita manusia yang mempunyai pendirian. Jangan takut menghadapi orang yang demikian, sebab kita lebih tinggi disi Allah karena yang kita pertahankan ialah agama Allah, ta'at kepada Allah dan ta'at kepada Rasulullah ﷺ. Dan Allah menjamin bahwa tidak akan membiarkan amalan kita terlantar.

QS. 47 : 36. "Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau...". Ungkapan yang tepat dalam hal-ikhwal dunia. Ini yang telah diungkapkan oleh al-Qur'an. Tidak ada yang sungguh-sungguh, tidak lebih daripada sandiwara, tetapi tidak boleh dipandang enteng. Allah pun menunjukkan jalan yang harus di tempuh agar etiket dan protokol terlalu mengikat kita, permainan jangan dianggap memberatkan diri.
".... Dan jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu". Yang sangat penting dibawa ke tengah medan dakwah oleh orang beriman ialah rasa iman dan takwa kepada Allah, karena iman dan takwa sangat mempengaruhi pertumbuhan pribadi seseorang. Allah jamin orang yang beriman dan bertakwa akan menguasai jalannya dan menganugerahkan suri-tauladan, sebab hatinya yang ikhlas kepada Allah.

QS. 47 : 37. "Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu". Ini pun sebagai akibat dari dunia yang penuh dengan permainan dan sendau-gurau, lambat laun Allah akan memunculkan kebusukan mereka.

QS. 47 : 38. "Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah....". Inilah perangai manusia yang lemah, jika diri tidak dikendalikan oleh iman dan takwa seperti disebut dalam ayat-ayat sebelumnya.
".... Maka di antara kamu ada orang yang kikir,...". Jika diminta pengurbanan akan diam 1000 bahasa ! 
", dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri....". Bahwa orang yang kikir, bakhil dan pelit bukanlah menguntungkan dirinya, melainkan merugikannya. Orang bakhil menjadi buah olok-olok orang dan menurunkan derajat martabatnya.
".... Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berhendak (kepada-Nya);...". Allah memberi peringatan bahwa sebenarnya Allah-lah yang kaya raya. Adapun kita manusia tidaklah mempunyai apa-apa. Apabila kekayaan emas dan perak dan uang, dia yang punya akan timbullah bakhil. Tetapi apabila dia insafi tidak ada yang dia punyai, bahkan nyawanya sendiri dan raganya tidak juga dia yang empunya.
"...; dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini)". Kalau keshalehan tidak ada lagi, janganlah heran kalau hancur semua. Dan sebelum hancur janganlah heran jika Allah menyerahkannya kepada tangan lain yang sanggup memimpinnya, yang mendahulukan keperluan bersama daripada kepentingan pribadi.  
---------------
Bibliography :
Tafsir Al-Azhar Juzu' XXVI, Prof Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Penerbit Pustaka Islam Surabaya, cetakan ketiga 1984, halaman 120 - 127. 
Al Qur'aan dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Depag, Pelita II/ 1978/ 1979, halaman 834 - 835.
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke -5, 1985, halaman 461.
Tulisan Arab Al-Qur'an.  

DI BAWAH ASUHAN ABU TALIB, PAMANNYA

Pengasuhan Muhammad dipegang oleh Abu Talib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith. tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abd’l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu Talib.

PERJALANAN PERTAMA KE SYAM
Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abd’l-Muttalih juga, karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas. suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru dua belas tahun - mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa Muhammad. Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas menyatakan akan menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan sikap ragu-ragu dalam hati Abu Talib.
Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah itu melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadi’l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala cerita orang-orang Arab dari penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buah-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkan dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia.
Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa. kecerdasan dan ketajaman otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?
Tampaknya Abu Talib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa. Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga. kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan Ukaz. Majanna dan Dhu’l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu’allaqat. *) Pendengarannya terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek-moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato - di antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega.
Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalah-Nya itu. Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Al-Mu’allaqat nama yang diberikan kepada tujuh buah kumpulan puisi Arab pra Islam, yang dianggap terbaik, oleh tujuh penyair: Imr’l-Qais, Tarafa, Zuhair, Labid, ‘Antara, ‘Amr ibn Kulthum dan Harith ibn Hilizza, Mu’allaqat berarti yang digantungkan’ yakni sajak-sajak yang ditulis dengan tinta emas (almudhahhab) di atas kain lina (A).
-------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 55 - 57

RUQAYYAH

Ruqayyah dilahirkan setelah kakaknya Zainab. Tidak beberapa lama kemudian lahirlah adiknya yang bernama Ummu Kultsum. Mereka tumbuh sejajar dengan berkumpul dan saling berkasih sayang.
Setelah Zainab dinikahi oleh Abu A1-’Ash bin Rabi’, sedangkan umur Ruqayyah dan Ummu Kulstum mendekati usia kawin, maka datanglah kepada Nabi utusan dari keluarga Abdul Muththalib yang mewakilkan Abu Thalib, dia melamar kedua putrinya yakni Ruqayyah dan Ummu Kuitsum untuk kedua anak Abdul ‘Uzza bin Abdul Muthalib (Abu Lahab) yakni Utbah dan Utaibah.
Ketika itu Muhammad belum diangkat menjadi Nabi, maka Muhammad menerima lamaran tersebut, maka beliau meminta tangguh kepada utusan tersebut untuk mengutarakan kepada keluarganya dan kedua putrinya yang memiliki kepentingan dalam hal itu.
Khadijah diam karena takut mengutarakan pendapatnya, khawatir akan menyebabkan kemarahan suaminya, atau beliau juga khawatir kalau-kalau suaminya menduga bahwa dia berkeinginan memutuskan hubungan kekerabatan antara suaminya dengan keluarganya.
Begitu pula dua gadis putri Rasulullah juga diam karena malu. Begitulah keadaannya, maka terlaksanalah akad nikah, sang ayah memberkahi kedua putrinya yang disayanginya dan menyerahkan penjagaannya kepada Allah.
Sebentar kemudian, Muhammad s.a.w. menerima risalah dari Rabb-nya dan mengajak kepada dien yang haq. Kemudian berkumpullah orang-orang Quraisy untuk membicarakan tentang Rasulullah s.a.w. Berkata salah seorang di antara mereka, “Sesungguhnya kalian telah memberi peluang kepada Muhammad terhadap kepentingannya, maka kembalikanlah kedua putrinya agar dia sibuk mengurusi mereka..!” Maka Abu Lahabpun mengembalikan istri dari kedua anaknya yakni kedua putri Rasulullah s.a.w. dengan mengatakan kepada kedua putranya, “Kepalaku haram atas kepala kalian jika kalian tidak mau menceraikan kedua putri Muhammad.’
Maka kembalilah kedua putri Rasulullah kepada yang punya sebelum sempurna menjadi istri dari kedua anak Abu Lahab. Abu Lahab dan istrinya (tukang pembawa kayu bakar) tidak cukup berhenti sampai disitu, bahkan sampai pada tahap menyakiti Rasulullah s.a.w. hingga Allah menurunkan ayat : “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. “ (Al-Lahab : 1-5).
Akan tetapi rumah tangga mukmin tiada akan bertambah dengan ujian dan bala’ di jalan Allah melainkan semakin kokoh dan tegar. Maka Muhammad berkata kepada istrinya yang setia sejak beliau diangkat menjadi nabi : “Telah berlalu masa untuk tidur wahai Khadijah..!”

Sayyidah Khadijah menjaga betul pendidikan tersebut, sehingga beliau tetapkan jiwanya untuk berdiri mendampingi suaminya Nabi yang mulia, maka beliau selalu meneguhkan hati Rasulullah s.a.w., dan meringankan kesedihan yang menimpa beliau hingga lenyaplah kesedihannya itu.”
Begitu pula anda mendapatkan Ruqayyah dan Ummu Kultsum sesuai dengan apa yang dikehendaki ayahnya. Sehingga mereka berdua merasa nikmat dengan berbagi rasa dengan kedua orang tuanya menempuh segala macam gangguan dan rintangan di jalan Allah.
Maka luputlah persangkaan “pembawa kayu bakar” dan suaminya (Abu Lahab), begitu pula orang-orang musyrik Quraisy karena ternyata Rasulullah s.a.w. tidak menderita dengan dikembalikannya (diceraikannya) kedua putri beliau. Rasulullah s.a.w. tidak merasa mendapat kesulitan dengan diceraikannya kedua putri beliau, justru hal itu berarti Allah menyelamatkan kedua putrinya dari ujian hidup bersama kedua anak Abu Lahab dan istrinya pembawa kayu bakar. Bahkan Allah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik daripada kedua anak Abu Lahab. Allah gantikan dengan seorang suami yang shalih, mulia dan termasuk di antara delapan orang yang paling awal masuk Islam, dialah Utsman bin ‘Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdi Syams. Beliau juga termasuk salah satu dari sepuluh sahabat yang mendapatkan kabar gembira masuk jannah.” Dari segi nasab beliau adalah pemuda yang paling mulia nasabnya di Quraisy.
Utsman bin ‘Affan menikahi Ruqayyah sehingga membuat orang-orang Quraisy tidak bisa tidur karena jengkel dan sekaligus tercengang dengan keadaan kelompok kecil dari manusia yang berada di sekitar Muhammad dan mereka tidak ragu-ragu untuk mengikuti beliau dengan darah dan jiwa mereka.
Maka meningkatlah gangguan orang-orang Quraisy terhadap kaum muslimin. Kaum muslimin betul-betul mendapat perlakuan buruk dari mereka. Sampai akhimya Rasulullah memberi ijin kepada para sahabat untuk hijrah ke Habsyah dalam rangka menyelamatkan diennya sehingga tidak terkena gangguan. Utsman bin Affan adalah orang pertama yang berhijrah ke Habsyah, sedangkan istri beliau Ruqayyah turut menyertainya di saat belum lama dilangsungkannya pernikahan antara keduanya.’
Maka pemuda Umayyah (Utsman bin ‘Affan) meninggalkan negeri nenek moyangnya dan mengikuti izzahnya, beliau tinggalkan pula manusia yang paling dia cintai dalam rangka berhijrah ke negeri yang jauh untuk hidup dalam keterasingan, akan tetapi yang menghibur hatinya adalah karena beliau disertai oleh putri dari penghulu anak Adam Ruqayyah sehingga apa yang beliau alami terasa ringan. Ruqayyah berkata kepada suaminya : “Allah menyertai kita dan orang-orang yang berada di sekitar Baitul ‘Atiq.”
Negeri Habsyah yang rajanya adalah Najasyi memberi kelonggaran kepada kaum muhajirin yang pertama, sehingga mereka tinggal di sana dengan nyaman dan merdeka untuk beribadah kepada Allah tanpa ada yang mengusik mereka dan mengganggu posisi mereka melainkan mata-mata Quraisy yang mengikuti mereka hingga mendatangi raja Najasyi dan berita tentang keadaan keluarga mereka di Makkah yang masih menghadapi intimidasi dan siksaan dari orang-orang Quraisy.
Kemudian berlalulah masa yang cukup lama sementara para muhajirin senantiasa mengikuti perkembangan situasi dengan cara mendengar berita-berita tentang Rasul dan para sahabatnya dalam memerangi thaghut musyrikin Quraisy. Maka tatkala mereka mendengar tentang masuk islamnya Hamzah bin Abdul Muththalib dan Umar bin Khaththab, serta tahapan dakwah telah naik kepada tahapan yang baru timbul keinginan mereka untuk kembali ke Makkah karena kerinduan mereka terhadap keluarga dan kampung halaman.
Utsman bin ‘Affan dan Ruqayyah termasuk dari mereka yang rindu untuk kembali ke Makkah. Akan tetapi belum lagi keduanya menginjakkan kakinya di negeri Makkah ternyata kekejaman semakin meningkat, bahkan mereka mendengar sendiri suara kaum musyrikin menghalang-halangi dan mengancam mereka dengan siksa dan pembantaian. Maka sebagian kaum muhajirin masuk dengan jaminan Walid bin Mughirah Al-Makhzumi dan yang lain dengan jaminan Abu Thalib bin Abdul Muthalib.
Ruqayyah adalah orang yang paling sedih di antara yang kembali karena wafatnya ibu beliau Khadijah , akan tetapi beliau senantiasa bersabar terhadap takdir dan qadha’ dari Allah dan Ruqayyah dikenal sebagai seorang gadis yang mujahadah dan sabar
Tidak lama setelah tinggalnya Ruqayyah di Makkah kaum muslimin berhijrah ke Madinah bersama Rasulullah . Maka Ruqayyah turut serta berhijrah bersama suaminya menuju negeri hijrah yang baru dan di negeri inilah beliau melahirkan putranya yang bernama Abdullah. Beliau merasa bahagia dengan kelahiran tersebut sehingga hilanglah penderitaan yang telah lampau. Akan tetap kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama, sebab putra yang dicintai meninggal di saat berumur enam bulan tatkala dipatuk ayam jantan. Karena musibah yang berat tersebut mengakibatkan Ruqayyah jatuh sakit demam. Suami yang mengasihinya merawat beliau dan menggantikan tugas-tugasnya. Tidak lama kemudian yakni hanya beberapa hari kemudian Utsman mendengar suara panggilan jihad dan seruan untuk keluar ke Badar. Timbullah keinginan Utsman untuk menjawab panggilan yang agung tersebut Akan tetapi Rasulullah memerintahkan kepada beliau untuk tetap tinggal di sisi istrinya untuk merawat dan membantunya.
Semakin lama sakitnya semakin bertambah parah sakit beliau dan suaminya yang setia berada di sampingnya, hingga Ruqayyah wafat dalam keadaan ridha dan diridhai. Maka beliau menghadap Rabb-nya sedangkan beliau menjadi profil seorang istri yang sabar dan seorang muhajirah. Beliau juga menjadi teladan yang cemerlang bagi wanita yang suci dan pengasih.
-------------------------------------------------------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 112 – 116

SABAR (5)

Abu Zaid (Usamah) bin Zaid bin Haritsah r.a. kekasih Rasulullah s.a.w. berkata: Salah seorang putri Nabi s.a.w. mengutus seseorang untuk memberi tahu kepada Nabi sa.w. bahwa putranya sakit hampir mati, diharap datang. Maka Nabi sa.w. mengembalikan pesuruh itu sambil berkata: Kirim salam dan katakan padanya, sungguh terserah kepada Allah untuk memberi atau mengambil kembali, dan segala sesuatu tergantung pada ajal yang ditentukan baginya, hendaklah sabar dan mengharap pahala dari Allah. Kemudian pesuruh itu kembali, minta dengan sangat sambil bersumpah (Demi Allah) supaya Nabi suka datang. Maka pergilah Nabi bersama Sa’ad bin ‘Ubadah dan Mu’adz bin Djabal dan Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan beberapa orang lainnya. Maka dibawalah anak yang sakit itu kepada Rasulullah lalu didudukkan dipangkuannya, sedang nafas anak itu tersengal-sengal (terengah-engah). Maka jatuhlah air mata Nabi s.a.w. kemudian Sa’ad bertanya Apakah air mata itu? (Mengapakah engkau menangis sedang kau melarang meratap?) Jawab Nabi: Air mata itu bukti rahmat yang telah diletakkan Allah dalam hati (perasaan) hamba-Nya. Sesungguhnya Allah akan merahmati (kasih) pada hamba-hamba-Nya yang belas kasih pada sesamanya. (HR. Buchary, Muslim).

Hadits ini memberikan pengertian bahwa sekadar keluar air mata dalam kematian tidak apa-apa, tetapi yang dilarang ialah menangis dengan suara keras, juga keluarnya air mata di luar kekuasaan manusia, yang pasti Allah tidak akan menuntut sesuatu yang diluar kekuasaan manusia. Juga keluar air mata itu tidak menyalahi kesabaran.
------------------------------------------------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 53-54.

BANGSA YANG MAU BEKERJA SAMA DENGAN MUSUH-MUSUH AGAMA DEMI MENGHANCURKAN ISLAM

Allah berfirman QS. Al-Maidah : 80, yang artinya :
”Kamu melihat sebagian besar dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka, dan mereka akan kekal dalam siksaan.”

Bangsa Yahudi, di dalam upaya menghancurkan Islam dan Rasulullah saw. bahu-membahu dengan kalangan bangsa Arab yang masih musyrik dan kafir. Mereka mengadakan fakta perjanjian untuk memerangi Nabi dan membangkitkan semangat golongan Musyrikin bangsa Arab untuk terus melakukan perang melawan beliau.
Bangsa Yahudi pada dasarnya tahu bahwa ajaran yang dibawa Rasulullah sama esensinya dengan yang dibawa para Nabi Bani Israil. Mereka tahu bahwa Rasulullah beriman kepada Allah, Tuhan yang juga mereka sembah, Rasulullah pun beriman kepada kitab suci mereka, bahkan menjadi saksi akan kebenaran para Nabi mereka. Para Nabi Bani Israil pun telah memberikan kesaksiannya dan kabar gembira akan munculnya Nabi akhir zaman yang dijanjikan.
Bangsa Yahudi pun juga tahu bahwa golongan Musyrik bangsa Arab tidak menyembah Allah, tidak beriman kepada kitab suci mereka dan tidak pula beriman kepada rasul-rasul mereka. Karena itu mereka tidak bahu membahu memusuhi musuh Allah dan Rasul-Nya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Sebagai contoh, seorang tokoh pendeta Yahudi, bernama Ka’ab bin Asyraf pergi ke Mekkah dan menghasut kaum Musyrikin sehingga berhasillah membujuk mereka untuk memerangi Rasulullah pada perang Ahzab. Perang yang terjadi bulan Syawal tahun 5 Hijriyah ini dan golongan musuh Islam terdiri dari kaum Musyrikin Mekkah, bangsa Yahudi Khaibar, suku-suku bangsa Arab yang masih menyembah berhala (Ghotfan, Murrah dan Asyja’).
Perang Ahzab diceritakan dalam Al-Qur’an pada surat Al Ahzab ayat 10. Bangsa Yahudi yang melakukan persekongkolan dengan musuh-musuh Islam, bahkan musuh bagi agama mereka sendiri adalah karena dorongan kedengkian dan kebencian kepada Islam. Akibat dari sikap mereka yang penuh kebencian pada kebenaran mereka rela untuk memberikan angin kepada musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya, asalkan dapat menghancurkan kebenaran yang tidak diinginkannya. *)
----------------------------------------------
*) Praktek-praktek kejahatan Zionisme yang terselubung menggunakan berbagai cara dan metode dengan merangkul berbagai idiologi-idiologi baik marxisme, kapitalisme, Nasionalisme. Dengan demikian seluruh sarana dan potensi yang ada dimanfaatkan untuk menghancurkan kekuatan Islam, red.

76 Karakter Yahudi dalam Al-Qur’an karya Syaikh Mustafa Al-Maraghi, penyusun Drs. M. Thalib, Penerbit CV. Pustaka Mantiq Solo, cetakan pertama April 1989, halaman 189 - 191

Sabtu, 17 Maret 2012

Orang-Orang Mu’min Pasti Menang

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَنصُرُوا۟ اللَّـهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. 47 : 7).

وَالَّذِينَ كَفَرُوا۟ فَتَعْسًا لَّهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمٰلَهُمْ
Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka. (QS. 47 : 8).

ذٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا۟ مَآ أَنزَلَ اللَّـهُ فَأَحْبَطَ أَعْمٰلَهُمْ
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quraan) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka. (QS. 47 : 9).

أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى الْأَرْضِ فَيَنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عٰقِبَةُ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۚ دَمَّرَ اللَّـهُ عَلَيْهِمْ ۖ وَلِلْكٰفِرِينَ أَمْثٰلُهَا
Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. (QS. 47 : 10).

ذٰلِكَ بِأَنَّ اللَّـهَ مَوْلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَأَنَّ الْكٰفِرِينَ لَا مَوْلَىٰ لَهُمْ
Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada mempunyai pelindung. (QS. 47 : 11).

إِنَّ اللَّـهَ يُدْخِلُ الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ الصّٰلِحٰتِ جَنّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا الْأَنْهٰرُ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا۟ يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعٰمُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ
Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka. (QS. 47 : 12).

وَكَأَيِّن مِّن قَرْيَةٍ هِىَ أَشَدُّ قُوَّةً مِّن قَرْيَتِكَ الَّتِىٓ أَخْرَجَتْكَ أَهْلَكْنٰهُمْ فَلَا نَاصِرَ لَهُمْ
Dan betapa banyaknya negeri-negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka; maka tidak ada seorang penolongpun bagi mereka. (QS. 47 : 13).

أَفَمَن كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّهِۦ كَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ وَاتَّبَعُوٓا۟ أَهْوَآءَهُم
Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (syaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya? (QS. 47 : 14).

مَّثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِى وُعِدَ الْمُتَّقُونَ ۖ فِيهَآ أَنْهٰرٌ مِّن مَّآءٍ غَيْرِ ءَاسِنٍ وَأَنْهٰرٌ مِّن لَّبَنٍ لَّمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُۥ وَأَنْهٰرٌ مِّنْ خَمْرٍ لَّذَّةٍ لِّلشّٰرِبِينَ وَأَنْهٰرٌ مِّنْ عَسَلٍ مُّصَفًّى ۖ وَلَهُمْ فِيهَا مِن كُلِّ الثَّمَرٰتِ وَمَغْفِرَةٌ مِّن رَّبِّهِمْ ۖ كَمَنْ هُوَ خٰلِدٌ فِى النَّارِ وَسُقُوا۟ مَآءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَآءَهُمْ
(Apakah) perumpamaan (penghuni) syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dan air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, akan samakah dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya? (QS. 47 : 15).

Tafsir Ayat 
QS. 47 : 7. Ayat ini merupakan sambungan dari ayat sebelumnya. Bahwa dikatakan dalam tiap-tiap peperangan semua pihak ingin keluar dengan kemenangan, tetapi datangnya kemenangan adalah sesudah menempuh ujian utama, yaitu tentang tujuan peperangan itu sendiri, "... dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang hak dari Tuhan mereka ...". (TQS. Muhammad (47) : 3).
Ketika sadar siapa kita dan siapa Allah, karena kita hamba yang kecil, tetapi mesti mempunyai semangat besar. Walaupun kecil kita ingin menolong, dengan menegakkan dan menggerakkan agama Allah, menjadikan Allah ingatan selalu. Ber-tajarrud (menbentengi diri dari pengaruh yang lain dan menunjukkan diri kepada yang satu saja), tak mempersekutukan-Nya dengan yang lain, baik lahir maupun batin. Menghadirkan sepenuh cinta kita berpadu kepada-Nya. Maka segala suruhan-Nya adalah benar, lalu kerjakan. Dan larangan-Nya benar, lalu kita tinggalkan sama sekali. Maka jika ada percobaan manusia hendak menukar peraturan Allah dengan peraturan manusia, atau "mempeti-eskan" peraturan Allah, lalu menggantikannya dengan peraturan manusia yang sangat berjauhan dengan kehendak Allah, wajiblah kita membela Allah, menolong Allah. Tidak berpangku tangan, mesti beramal bukan menunggu, berjuang bukan berpeluk tangan, yakin dan tidak ragu-ragu.
Pertolongan dari Allah akan datang kepada orang yang memperjuangkan agama Allah. Karena agama Allah bukanlah semat-semat sholat, puasa dan zakat. Setiap orang Islam yang mempelajari agamanya dengan seksama dan teliti akan tahu bahwa Islam itu bukan ibadah semata, tetapi mengandung juga ajaran ekonomi, politik, sosial dan kenegaraan.
Diujung ayat dijelaskan pula, "... dan meneguhkan kedudukanmu." Niat semula hendak menolong Allah, sebab itu Allah pun menolong pula. Oleh sebab itu kemenangan barulah permulaan, bukan kesudahan. Karena pekerjaan selanjutnya adalah mengisi kemenangan dengan tetap menolong Allah, bukan menolong yang selain-Nya. Tidak larut dengan diri sendiri dalam kegembiraan, memperturutkan hawa nafsu dan keduniawian.

QS. 47 : 8. "Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka". Kafir disini ialah orang yang tidak percaya bahwa hidup di dunia ini ada cita-cita, ada ideologi dan yang mereka tuju dalam peperangan/perjuangan hidup hanyalah mendapat keuntungan harta-benda ghanimah.

QS. 47 : 9. "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quraan)...". Ajaran yang tinggi dan mulia, cita-cita yang tinggi dan murni, pengurbanan diri sendiri untuk kepentingan bersama, biar mati asal cita-cita tercapai dan perkataan lain yang muluk-muluk, mereka tidak percaya dari lubuk hati sanubari, mereka anggap itu omong kosong belaka. Sekadar menyenangkan hati teman-teman, kata-kata tersebut diatas boleh juga dihafalkan. Meskipun hanya dari kerongkongan ke atas, tidak datang dari lubuk hati.
"... lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka". Orang-orang seperti inilah yang mudah berkelit, mudah khianat dan memutar-balikkan pendirian.

QS. 47 : 10. "Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka;...". Orang-orang seperti ini tidaklah mempunyai program yang jelas di dalam hidup. Itulah sebab Allah memberi peringatan kepada orang lain untuk menjadikan mereka perbandingan. Jangan sampai terperosok berbuat demikian.
"...; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu". Dalam ayat ini dianjurkan mereka untuk melihat akibat yang diderita oleh orang yang semacam itu, karena akhirnya Allah menjatuhkan hukuman kepada orang yang seperti itu. Dan orang-orang kafir, yang tidak mempunyai kepercayaan dan keyakinan akan samalah nasibnya dengan "Si Pengadu Untung" tersebut; sama dalam kegagalan, sama dalam kecewanya pengharapan.

QS. 47 : 11. "Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman ...". Tanda dan bukti Allah melindungi orang yang beriman ialah cita-cita mereka senantiasa hidup. Kalau mereka beroleh kemenangan dalam perjuangan, mereka bersyukur karena percaya bahwa Allah akan memikulkan tanggung-jawab yang maha besar. Membangun iman dan takwa kepada ilahi. Sebaliknya jika mereka kalah, diterimanya kekalahan itu dengan tidak kehilangan akal. Sebab yakin hanya jasmani yang kalah jarena terdapat beberapa kekurangan yang menyebabkan kalah, dan memandang kekalahan sebagai ujian untuk meneguhkan iman kepada Tuhan, lalu berusaha untuk membuat amalan yang lebih baik, sehingga perjuangan selanjutnya tidak akan kalah lagi.
Mereka tidak mengenal putus asa, melainkan bertambah dekat kepada Tuhan. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Allah adalah pelindung dari orang-orang yang beriman.
"... dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada mempunyai pelindung". Oleh karena orang-orang kafir tidak percaya akan kebenaran, bahkan menolak akan nilai-nilai kebenaran, dan kepercayaan mereka hanyalah kepada benda yang terbentang dihadapan mata mereka, tidaklah ada nilai hidup mereka dan tidaklah pernah orang yang semacam ini menentukan corak dari kehidupan. 

QS. 47 : 12. "Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai....". Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, selalu berjuang dalam menegakkan iman dan amal salehnya, dia menghadapi berbagai penderitaan, sebagaimana yang diderita oleh Nabi-nabi dan Rasul-rasul. Orang seperti ini wajarlah mendapat ganjaran berupa kurnia dari Allah sebagai obat dari kepayahannya.
"... Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang...". Binatang ternak hanya memikirkan sekitar makan. Kerjanya hanyalah makan belaka. Orang yang tidak mempunyai cita-cita yang tertentu dalam hidupnya, asal sudah cukup makan, hatinya sudah senang. Orang seperti ini jadilah dia tumpuan penghinaan dan pandangan rendah.
"... Dan neraka adalah tempat tinggal mereka". Ancaman neraka-lah yang pantas untuk orang yang pikirannya hanya sekedar cari makan dengan kehilangan cita-cita.

QS. 47 : 13. "Dan betapa banyaknya negeri-negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu...". Mekkah adalah negeri tempat Nabi Muhammad s.a.w. dilahirkan sangatlah lemah jika dibandingkan dengan negeri-negeri lain yang disebut oleh al-Qur'an, negeri yang penduduknya begitu pongah melawan dan menentang seruan Tuhan. Seumpamanya kaum 'Aad yang ahli membangun, kaum Tsamud yang dapat mendirikan rumah-rumah indah di puncak-puncak bukit. Demikian juga negeri-negeri kaum-kaum yang sejaman dengan Rasulullah ﷺ seperti Parsepolis di Iran, Athena di Yunani dan Mohenjodari di Pakistan. Semuanya adalah negeri besar dan hebat, berkebudayaan dan berseni tinggi, agar mereka menjadi peringatan akan sikap melawan kebenaran yang diserukan Tuhan.
".... Kami telah membinasakan mereka; maka tidak ada seorang penolongpun bagi mereka". Besarnya kebudayaan dan peradaban tidaklah berdaya untuk mempertahankan diri jika Allah menghendaki hancur. 

Latar Belakang Turunnya
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Rasulullah keluar dari suatu guha menoleh ke Mekah sambil berkata “Engkau bumi Allah yang paling aku cintai. Sekiranya penduduknya tidak mengusirku, tentu aku tidak akan keluar”. Maka turunlah ayat ini (S. 47 : 13) yang menegaskan bahwa ada negeri lain yang lebih kuat dari pada itu (Mekah) yang telah dihancurkan dan tidak ada yang dapat menolongnya. Diriwayatkan oleh Abu Ya’la yang bersumber dari Ibnu Abbas.

QS. 47 : 14. "Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (syaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?". Sebagian orang bekerja dan berusaha menurut pengetahuan yang dapat dipertanggung-jawabkan, menurut keyakinan yang teguh kepada Allah, sedang sebagian lagi hanya menuruti angan-angan, meraba-raba dan berkhayal yang tidak-tidak, sehingga yang buruk disangka baik, ukuran ilmu tidak ada, hanya menurutkan emosi dan kebodohan angan-angannya. Kalau datang nasehat jalan yang benar tidak mau menerima, baginya yang benar hanyalah kata hawa nafsunya, dunia dan syaithannya.
Kedua golongan tersebut niscaya tak serupa, bagi orang yang berhitung dengan akal sehat akan mengatakan yang selamat sampai kepada yang dituju hanyalah yang pertama, sedang yang kedua gagal di tengah jalan.

QS. 47 : 15. "(Apakah) perumpamaan (penghuni) syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dan air yang tiada berubah rasa dan baunya,...". Bagi orang-orang yang bertakwa dijanjikan syurga yang airnya mengalir dan rasanya enak tiada berubah rasa. Rasulullah sendiri menghimpun perkataan yang ringkas tentang nikmat syurga; "Hal-Ikhwal yang mata belum pernah melihat, telinga belum pernah mendengar dan belum pernah tergambar di hati manusia." (HR. Ahmad dan Al-Mawardi).
"..., sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, ...". Keistimewaan syurga yang kedua, mengalir sungai susu yang rasanya enak dan tidak membosankan bila meminumnya.
", sungai-sungai dan khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; ...". Keistimewaan syurga yang ketiga, mengalir sungai khamr (arak) dan madu yang Allah jualah menciptakannya.
"...; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan ...". Inilah hidangan ahli syurga, berupa buah-buahan yang serupa dengan makanan dunia, tetapi jauh beda kenikmatannya.
"... dan ampunan dari Tuhan mereka, ...". Inilah nikmat terpenting dari segala nikmat.
", akan samakah dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?. Akhirnya diujung ayat datang pertanyaan Allah, samakah orang yang mendapatkan syurga dan neraka dengan diberi minuman air yang menggelegak hingga memotong-motong usus mereka?
---------------
Bibliography :
Al Qur'aan dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Depag, Pelita II/ 1978/ 1979, halaman 831 - 832.
Tafsir Al-Azhar Juzu' XXVI, Prof Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Penerbit Pustaka Islam Surabaya, cetakan ketiga 1984, halaman 84-97. 
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 460 – 461.
Tulisan Arab Al-Qur'an  

DI BAWAH ASUHAN ABD’L-MUTTALIB, KAKEKNYA

Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya. Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang membawanya pulang ke tempat keluarganya tapi tidak menjumpainya. Ia mendatangi Abd’l-Muttalib dan memberitahukan bahwa Muhammad telah sesat jalan ketika berada di hulu kota Mekah. Lalu Abd’l-Muttalib pun menyuruh orang mencarinya, yang akhirnya dikembalikan oleh Waraqa bin Naufal, demikian setengah orang berkata.
Kemudian Abd’l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu - pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin Mekah - diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka’bah, dan anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang datang, maka didudukkannya ia di sampingnya di atas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk itu.
Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar.
Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang-lebar tentang ayah tercinta itu, yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari pihak ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi menceritakan kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.

AMINAH WAFAT
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa’ (sebuah desa antara Medinah dengan Juhfa, jaraknya 23 mil (37 km) dari Madinah), ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.
Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari ibunda keluhan duka kehilangan ayahnda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri di hadapannya, ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.
Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Muttalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya, sehingga di dalam Quran pun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: “Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakan-Nya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkan-Nya jalan itu?” (QS. 93 : 6 – 7)

ABD’L-MUTTALIB WAFAT
Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abd’l-Muttalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal, dalam usia delapan puluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ke tempat peraduan terakhir.
Bahkan sesudah itu pun ia masih tetap mengenangkannya, sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali, mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian sampai pamannya itu pun akhirnya meninggal.
Sebenarnya kematian Abd’l-Muttalib ini merupakan pukulan berat bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang seperti dia: mempunyai keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya itu yang akan dapat meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang kaya hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu maka Keluarga Umayya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu diinginkan itu, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dan pihak Keluarga Hasyim.
-------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 53 - 55

ZAINAB AL-KUBRA

Zainab dilahirkan sepuluh tahun sebelum diangkat ayah beliau sebagai Nabi. Beliau putri pertama Rasulullah dari ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid .
Zainab tumbuh dalam keluarga nubuwwah dengan meneguk akhlak dan kebiasaan kedua orang tuanya secara langsung. Muhammad s.a.w. diutus sebagai rahmat untuk sekalian alam yang memiliki akhlak yang agung. Sedangkan Khadijah adalah sayyidah wanita seluruh alam. Maka tumbuhlah Zainab menjadi teladan yang utama dalam seluruh sifat-sifat yang terpuji.
Hampir sempurnalah sifat kewanitaan Zainab, sehingga putra dari bibinya yang bernama Abul ‘Ash bin Rabi’ salah seorang yang terpandang di Makkah dalam hal kemuliaan dan harta berhasrat untuk melamar beliau. Dia adalah pemuda Quraisy yang tulus dan bersih, nasabnya bertemu dengan Nabi dari jalur bapaknya, yakni Abdi Manaf bin Qushai. Adapun dari jalur ibu, nasabnya bertemu dengan Zainab pada kakek mereka berdua yakni Khuwailid. Karena ibunya adalah Halah binti Khuwailid saudari Khadijah yang merupakan istri dari nabi kita Muhammad s.a.w..
Abul ‘Ash mengenal betul tentang kepribadian dan sifat Zainab karena dia sering berkunjung ke rumah bibinya yakni Khadijah. Begitu pula Zainab dan kedua orang tuanya juga telah mengenal bagusnya Abu A1-’Ash. Oleh karena itu diterimalah lamaran dari pemuda yang telah diridhai Nabi s.a.w. dan Khadijah juga oleh Zainab.
Maka masuklah Zainab ke dalam rumah tangga suaminya yakni Abu A1-’Ash. Dalam usianya yang masih muda, Zainab mampu mengatur rumah tangga suaminya hingga menumbuhkan kebahagiaan dan ketenteraman. Allah mengkaruniai dalam perkawinan ini dua orang anak yang bernama Ali dan Umamah. Maka semakin sempurnalah kebahagiaan rumah tangga dengan kehadiran keduanya, dalam rumah penuh dengan kebahagiaan dan kenikmatan.
Pada suatu saat ketika Abul ‘Ash berada dalam suatu perjalanan, terjadilah peristiwa besar dalam sejarah kehidupan manusia. Yaitu diangkatnya Muhammad sebagai Nabi dengan membawa risalah. Bersegeralah Zainab menyambut seruan dakwah yang haq yang dibawa oleh orang tuanya yakni Rasulullah s.a.w.. Beliau jadikan dienullah sebagai pedoman hidup dan undang-undang yang mana beliau berjalan di atasnya.
Tatkala suaminya kembali dari bepergian, Zainab menceritaka perubahan yang terjadi pada kehidupannya yang mana bersamaan dengan kepergiaan suaminya muncullah dien yang baru dan lurus. Beliau menduga bahwa suaminya akan bersegera menyatakan keislamannya. Akan tetapi beliau mendapatkan bahwa suaminya mensikapi kabar tersebut dengan diam dan tidak bereaksi.
Kemudian Zainab mencoba dengan segala cara untuk meyakinkan suaminya, namun dia menjawab, “Demi Allah, bukannya saya tidak percaya dengan ayahmu, hanya saja saya tidak ingin di katakan bahwa aku telah menghina kaumku dan mengkafirkan agama nenek moyangku karena ingin mendapatkan keridhaan istriku”.
Hal itu rnerupakan pukulan yang telak bagi Zainab karena suaminya tidak mau masuk Islam. Maka isi rumah tangga menjadi guncang dan gelisah. Dan tiba-tiba kegembiraan berubah menjadi kesengsaraan.
Zainabpun tinggal di Makkah di rumah suaminya dan tidak ada seorangpun di sekelilingnya yang dapat meringankan penderitaannya karena jauhnya dirinya dengan kedua orang tuanya Ayahnya telah berhijrah ke Madinah A1-Munawarah bersama sahabat-sahabatnya sedangkan ibunya telah menghadap Ar-Rafiiqul A’la dan saudari-saudarinyapun telah menyusul ayahnya di bumi hijrah. Tatkala pecah perang Badar, kaum musyrikin mengajak Abu Al- ‘Ash keluar bersama mereka untuk memerangi kaum muslimin. Akhirnya nasib suaminya adalah menjadi tawanan kaum muslimin.
TatkaIa Abu A1-’Ash dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w., maka Rasulullah s.a.w. bersabda kepada para sahabat : “Perlakukanlah tawanan ini dengan baik.”
Ketika itu Zainab mengutus seseorang untuk menebus suamiya dengan harta yang dibayarkan kepada ayah beliau beserta kalung yang dihadiahkan ibu beliau yakni Khadijah tatkala pernikahannya dengan Abu Al-’Ash. Tiada henti-hentinya Rasulullah s.a.w. memandang kalung tersebut sehingga menghanyutkan hati beliau untuk mengenang istrinya yang setia yakni Khadijah yang telah menghadiahkan kalung tersebut kepada putrinya. Yang mana Zainab tidak mendapatkan sesuatu yang lebih berharga untuk menebus suami yang dicintainya, juga putra bibi yang dekat dengannya. Hal ini mengetuk hati Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya karena betapa mengharukan kisah tersebut. Setelah Rasulullah beberapa saat terdiam Nabi s.a.w. bersabda dengan lembut dan santun: “Jika kalian melihatnya (sebagai kebaikan), maka bebaskanlah tawanan tersebut dan kembalikanlah harta tebusannya, maka lakukanlah! “
Para sahabat semuanya berkata: “Baik ya Rasulullah.”
Selanjutnya Rasulullah s.a.w. mengambil janji dari Abu Al-’Ash agar membiarkan jalan Zainab (untuk hijrah) karena Islam telah memisahkan hubungan antara keduanya.
Maka kembalilah Abu Al-’Ash menuju Makkah sementara Zainab menyambutnya dengan riang gembira. Akan tetapi Abu Al-’Ash datang dalam keadaan lesu ada tersirat rasa kesedihan, kemudian dia berkata kepada istrinya sedangkan kepalanya tertunduk, “Aku datang untuk berpisah wahai Zainab!.. Maka berubahlah sikap Zainab dan riang gembira menjadi sedih serta meneteskan air mata. Beliau bertanya dengan terbata-bata, “Hendak ke mana? dan untuk keperluan apa wahai suamiku yang kucintai?’ Berkatalah Abu A1-’Ash sedangkan kedua matanya menatap wajah Zainab, “Bukan saya yang akan pergi wahai Zainab... akan tetapi kamulah yang akan pergi. Karena ayahmu telah meminta kepadaku agar aku mengembalikanmu kepadanya karena Islam telah memisahkan hubungan di antara kita. Aku juga telah berjanji akan menyuruhmu untuk menyusul ayahmu, dan tidak mungkin bagiku untuk memungkiri janji.
Maka keluarlah Zainab dari Makkah, meninggalkan Abu Al ‘Ash dengan perpisahan yang sangat mengharukan. Akan tetapi orang-orang Quraisy menghalangi hijrah beliau mereka mencegah dan mengancam beliau. Ketika itu beliau sedang hamil dan akhirnya gugurlah kandungannya. Selanjutnya beliau kembali ke Makkah dan Abu Al-’Ash merawatnya hingga kekuatannya pulih kembali. Kemudian beliau keluar pada suatu hari di saat orang-orang Quraisy lengah perhatiannya. Beliau keluar bersama saudara Abu A1-’Ash yang bernama Kinanah bin Ar-Rabi’ hingga sampai kepada Rasulullah s.a.w. dengan aman.
Berlalulah masa selama enam tahun beserta peristiwa-peristiwa besar yang menyertainya, sedang Zainab berada dalam naungan ayahnya di Madinah. Beliau hidup dengan optimis tak kenal putus asa, yakni berusaha agar Allah melapangkan dada Abu Al-’Ash untuk Islam.
Pada bulan Jumadil Ula tahun 6 Hijriyah, tiba-tiba Abu A1-’Ash mengetuk pintu Zainab, kemudian Zainab membuka pintu tersebut. Seolah-olah beliau tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sehingga beliau ingin mendekat dengannya, namun beliau menahan dirinya karena seharusnyalah dipastikan tentang akidahnya, karena akidah adalah yang pertama dan yang terakhir.
Abu Al-’Ash menjawab, “Kedatanganku bukanlah untuk menyerah, akan tetapi saya keluar untuk berdagang membawa barang-barangku dan juga milik orang-orang Quraisy, namun tiba-tiba saya bertemu denga pasukan ayahmu yang di dalamnya ada Zaid bin Haritsah bersama 170 tentara. Selanjutnya mereka mengambil barang-barang yang saya bawa dan akupun melarikan diri dan sekarang aku mandatangimu dengan sembunyi-sembunyi untuk meminta perlindunganmu
Zainab yang memiliki akidah yang bersih berkata dengan rasa sedih dan iba, “Marhaban wahai putra bibi.. Marhaban wahai ayah Ali dan Umamah.
Tatkala Rasulullah selesai shalat shubuh, dan dalam kamar Zainab berteriak dengan suara yang keras, Wahai manusia sesungguhnya aku melindungi Abu A1-’Ash bin Rabi’. Maka keluarlah Rasulullah seraya bersabda: “Wahai manusia apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?”
Mereka menjawab, “Benar ya Rasulullah.”
Beliau bersabda:
“Ada pun demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tiadalah aku mengetahui hal ini sedikit pun hingga saya mendengar sebagaimana yang kalian dengar. Dan orang-orang yang beriman adalah tangan bagi selain mereka sehingga berhak memberikan perlindungan kepada orang yang dekat dengannya, dan sungguh kita telah melindungi orang yang dilindungi oleh Zainab. “
Kemudian masuklah Rasulullah s.a.w. menemui putri beliau Zainab kemudian bersabda : “Muliakanlah tempatnya dan janganlah dia berbuat bebas kepadamu, karena kamu tidak halal baginya.”
Selanjutnya Zainab memohon ayahnya agan mau mengembalikan harta dan barang-barang Abu A1-’Ash. Maka keluarlah Rasulullah s.a.w. menuju tempat di mana para sahabat sedang duduk-duduk. Beliau bersabda :“Sesungguhnya laki-laki ini sudah kalian kenal. Kalian telah mengambil hartanya, maka jika kalian rela kembalikanlah harta itu kepadanya dan, saya menyukai hal itu, namun jika kalian menolaknya maka itu adalah fai’ (rampasan) yang Allah karuniakan kepada kalian dan apa yang. telah Allah berikan kepada kalian maka kalian lebih berhak terhadapnya.”
Para sahabat menjawab dengan serentak, “Bahkan kami akan mengembalikan seluruhnya ya Rasulullah.” Maka merekapun mengembalikan seluruh hartanya seolah-olah dia tidak pernah kehilangan sama seka1i.”
Selanjutnya Abu Al-’Ash pergi meninggalkan Zainab, dia menuju Makkah dengan membawa sebuah tekad. Tatkala orang-orang Quraisy melihat kedatangannya dengan membawa dagangan mereka beserta labanya, maka mulailah Abu Al-’Ash mengembalikan setiap yang berhak, kemudian beliau berdiri dan berseru, “Wahai orang-orang Quraisy masih adakah di antara kalian yang hartanya masih berada di tanganku dan belum diambil?” Mereka menjawab, “Tidak.. .semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, sungguh kami dapatkan bahwa anda adalah seorang yang setia janji dan mulia.” Kemudian di tempat inilah Abu Al-’Ash berkata “Adapun aku, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Demi Allah tiada yang menghalangi diriku untuk masuk Islam (tatkala di Madinah) melainkan karena saya khawatir kalian menyangka bahwa saya hanyalah ingin melarikan harta kalian. Maka tatkala Allah mengembalikan barang-barang kalian dan sudah aku laksanakan tanggung jawabku maka akupun masuk Islam.
Abu A1-’Ash bertolak ke Madinah sebagai seorang muslim. Beliau berhijrah menuju Allah Rasul-Nya, dan di sanalah beliau bertemu orang yang dia cintai yakni Muhammad dan para sahabatnya. Akhirnya Rasulullah s.a.w. mengembalikan Zainab kepada Abu Al-‘Ash sehingga berkumpullah keduanya. Mereka bangun rumah tangga sebagaimana sebelumnya dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Akan tetapi berkumpulnya mereka sekarang dalam akidah yang satu yang tidak dikotori oleh apapun.
Berlalulah masa selama satu tahun, kemudian tibalah saatnya perpisahan yang tidak lagi akan bertemu di dunia yang fana ini, sebab Sayyidah Zainab wafat pada tahun 8 Hijriyah karena sakit yang masih membekas pada saat keguguran ketika beliau berhijrah. Abu Al-’Ash menangisi beliau hingga menyebabkan orang-orang sekitar beliau turut menangis. Kemudian datanglah Ayah Zainab ‘Aluihish Shalatu Wassalam dalam keadaan sedih dan mengucapkan selamat tinggal lalu bersabda kepada para wanita : “Basuhlah dengan bilangan yang ganjil, tiga atau lima kali, dan yang terakhir dengan kapur barus atau sejenisnya. Apabila kalian selesai memandikan beritahukanlah kepadaku.” Tatkala mereka telah selesai memandikannya beliau memberikan kain penutup dan bersabda: “Pakaikanlah ini kepadanya.“
Semoga Allah merahmati Zainab Al-Kubra binti Rasulullah s.a.w. yang telah bersabar, berjuang dan bermujahadah, semoga Allah membalas amalan beliau seluruhnya dengan balasan yang baik.
-------------------------------------------------------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 105 – 111

SABAR (4)

Anas r.a. berkata: Ketika makin berat penyakit Rasulullah, beliau sering pingsan oleh sakaratil-maut maka Fatimah berkata : Alangkah berat penderitaan ayah. Jawab Nabi s.a.w.: Tiada lagi ayah menderita kesukaran sesudah hari ini. Kemudian setelah Rasulullah meninggal, Fatimah berkata: Wahai ayah kau telah menyambut panggilan Tuhan, wahai ayah sorga jannatul-firdaus tempatnya, wahai ayah kepada Malaikat Jibril kami menyampaikan berita kematiannya. Kemudian tatkala Rasulullah dikubur, Fatimah berkata kepada kami Sampai hatikah kamu menyiratkan (menaburkan) tanah di atas Rasulullah? (HR. Buchary).
------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 52.

BANGSA YANG ULAMANYA TIDAK PEDULI KEMUNKARAN DI TENGAH MASYARAKATNYA

Allah berfirman QS. Al-Maidah : 79, yang artinya :
”Mereka tidak mau saling mencegah kemunkaran yang mereka lakukan. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”

Bangsa Yahudi sudah sangat egoistis dan apriori satu dengan lainnya. Tidak seorang pun di antara mereka mau perduli dengan kemunkaran yang dilakukan oleh temannya biarpun sangat keji dan berbahaya. Mencegah kemunkaran adalah upaya untuk menegakkan nilai-nilai agama dan membentengi masyarakat dari perbuatan yang menghancurkan. Bilamana kemunkaran tidak lagi dicegah dengan gigih, maka timbullah keberanian orang berbuat dosa terang-terangan. Dalam keadaan semacam ini rakyat awam akan beramai-ramai turut serta melakukan perbuatan-perbuatan buruk, sehingga kemunkaran menjadi lumrah. Jika kemunkaran sudah menjadi lumrah, maka selanjutnya agama musnah dan tidak akan ada keberanian pada orang-orang yang baik untuk menyampaikan kebenaran.
Bagaimana proses kemunkaran itu merajalela di tengah bangsa Yahudi, hal ini disebutkan dalam hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Mas’ud, katanya : “Rasulullah saw. bersabda : “Sesungguhnya pertama kali rongrongan yang menimpa Bani Israil adalah semula ada seorang yang bertemu dengan sesamanya lalu mengingatkan : “Wahai saudara, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah perbuatan anda ini karena tidak halal anda lakukan.” Kemudian besoknya bertemu lagi dan temannya itu masih berbuat seperti kemarin, lalu ia tidak mau mengingatkannya lagi agar ia tidak (menjadikan hasil kerjanya yang haram) sebagai makannya, minumannya dan kebiasaannya. Tatkala mereka (para pendeta) membiarkan kemunkaran tersebut, maka Allah menutup hati mereka yang satu dengan yang lainnya.” Kemudian Nabi membacakan ayat-ayat ini (78- 81). Kemudian beliau bersabda “Jangan sekali-kali ! Demi Allah teruskanlah amar maruf dan nahi munkar, kemudian cegahlah tangan orang yang berbuat dhalim dan kembalikanlah dia kepada kebenaran dan belalah kebenaran itu dengan pengorbanan. Atau (kalau kamu berdiam diri saja) niscaya Allah menutup hati kamu, yang satu dengan yang lainnya. Kemudian Allah melaknat kamu seperti Allah telah melaknat mereka”.
Perilaku ulama Yahudi yang membiarkan kemunkaran berkembang sedikit demi sedikit, sehingga merajalela di tengah masyarakat mereka dicela dan dikecam oleh Allah. Karena sikap berdiam diri mereka terhadap kemunkaran yang dilakukan oleh warga masyarakat mereka sama dengan setuju dengan perbuatan-perbuatan dosa. Ayat ini memperingatkan kita tentang betapa buruknya perangai ulama Yahudi, sehingga mereka menjadi bangsa yang bobrok dan terkutuk.
----------------------------------------------
76 Karakter Yahudi dalam Al-Qur’an karya Syaikh Mustafa Al-Maraghi, penyusun Drs. M. Thalib, Penerbit CV. Pustaka Mantiq Solo, cetakan pertama April 1989, halaman 189 - 191

Minggu, 04 Maret 2012

Kezaliman dan Kebodohan Manusia ialah Mau Menerima Amanah, tetapi Tidak Melaksanakannya

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ اتَّقُوا۟ اللَّـهَ وَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا
Hai orang-orang yang beriman berbaktilah kepada Allah, dan ‘ucapkanlah perkataan yang beres, (QS. 33 : 70).

يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمٰلَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّـهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Supaya Ia bereskan untuk kamu ‘amal-’amal kamu, dan Ia ampunkan bagi kamu dosa-dosa kamu; karena barangsiapa ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya ia jaya satu kejayaan yang besar. (QS. 33 : 71).

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسٰنُ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Sesungguhnya Kami telah tawarkan “amanat” itu kepada langit dan bumi dan gunung-gunung, maka mereka enggan memikulnya dan mereka khawatir di tentangnya, tetapi dipikul dia oleh manusia; sesungguhnya (manusia) itu penganiaya (diri), bodoh, (QS. 33 : 72).

لِّيُعَذِّبَ اللَّـهُ الْمُنٰفِقِينَ وَالْمُنٰفِقٰتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكٰتِ وَيَتُوبَ اللَّـهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنٰتِ ۗ وَكَانَ اللَّـهُ غَفُورًا رَّحِيمًۢا
Supaya (berakibat) Allah menyiksa munafiqin dan munafiqat, dan musyrikin dan musyrikat, dan Ia ampunkan Mu’minin dan Mu’minat, karena adalah Allah, Pengampun, Penyayang.(QS. 33 : 73).
------------------------------------
Bibliography :
Tafsir Qur'an Al-Furqan, A. Hassan, Penerbit Al Ikhwan Surabaya, Cetakan Kedua 1986, halaman 832 - 833.
Tulisan Arab Al-Qur'an  

MASA PENYUSUAN MUHAMMAD

YANG MENYUSUKAN
Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang Keluarga Sa’d yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Mekah. Adat demikian ini masih berlaku pada bangsawan-bangsawan Mekah. Pada hari kedelapan sesudah dilahirkan anak itu pun dikirimkan ke pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa’d. Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan.
Sekalipun Thuwaiba hanya beberapa hari saja menyusukan, namun ia tetap memelihara hubungan yang baik sekali selama hidupnya. Setelah wanita itu meninggal pada tahun ketujuh sesudah ia hijrah ke Medinah, untuk meneruskan hubungan baik itu ia menanyakan tentang anaknya yang juga menjadi saudara susuan. Tetapi kemudian ia mengetahui bahwa anak itu juga sudah meninggal sebelum ibunya.
Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa’d yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari sang ayah. Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka harapkan.

HALIMAH BINTI ABI-DHUA’IB
Akan tetapi Halimah binti Abi-Dhua’ib yang pada mulanya menolak Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lain pun tidak menghiraukannya. Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Mekah, Halimah berkata kepada Harith bin Abd’l-’Uzza suaminya: “Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga.”
“Baiklah,” jawab suaminya. “Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita.”
Halimah kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi bersama-sama dengan teman-temannya di pedalaman. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunya pun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.
Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima’, putrinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan, dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikuatirkan dari adanya serangan wabah Mekah.
Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

CERITA MEMBEDAH DADA
Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang sambil berlari dan berkata kepada ibu bapanya: Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil dibalik-balikan.”
Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata: “Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia, demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan: “Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku di bedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”
Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Mekah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah hadits Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sehab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan - seperti cerita Halimah kepada Aminah - ketika ia dibawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu. Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata : “Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya. Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dan mereka dengan membawa anak itu. Demikian juga cerita yang dibawa oleh Tabari. tapi ini masih diragukan; sebab dia menyebutkan Muhammad dalam usianya itu, lalu kembali menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelum kenabiannya dan usianya empat puluh tahun.
Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah-tengah Keluarga Sa’d itu sampai mencapai usia lima tahun. Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada ihunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya.
Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat.-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai menganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik. Barangkali yang lain pun akan berkata : Baginya tidak diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkan supaya menjalankan risalah-Nya. Dermenghem berpendapat, bahwa cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi: “Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?” (QS. 94 : 1-3)
Apa yang telah diisyaratkan Quran itu adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala beban karena Risalah yang berat itu.
Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh Quran upaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan ekspresi Quran tentang kaum Musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.

MUHAM
MAD DI PEDALAMAN
Muhammad tinggal pada Keluarga Sa’d sampai mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia mengatakan kepada teman-temannya kemudian: “Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa’d bin Bakr.”
Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibn Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih-sayang dan hormat selama hidupnya itu.
Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk ibu Halimah sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaima’ putrinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta’if dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya. Ia dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita itu.
-------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 50 - 53

SABAR (3)

Abu Jahja (Shuhaib) bin Sinan Arrumy r.a. berkata : Bersabda Rasulullah s.a.w.: Sangat mengagumkan keadaan seorang mu’min, sebab segala keadaannya untuk ia sangat baik, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mu’min: Jika mendapat ni’mat ia bersyukur, maka syukur itu lebih baik baginya, dan bila menderita kesusahan sabar, maka kesabaran itu lebih baik baginya. (QS Muslim).

Mensyukuri suatu ni’mat berarti memupuk ni’mat dan menimbulkan pahala yang lebih besar dan keni’matan dunia yang telah diterima. Demikian pula jika menderita bala’ kesusahan, lalu sabar, maka pahala kesabaran merubah suasana bala’ menjadi keni’matan sebab pahala yang tersedia baginya, jauh lebih besar daripada penderitaannya.
------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 52.

BANGSA YANG DILAKNAT OLEH NABI-NABINYA

Allah berfirman QS. Al-Maidah : 78, yang artinya :
”Orang-orang kafir dan Bani Israil telah dilaknati melalui lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”

Bangsa Yahudi di samping membunuh beberapa orang Nabi mereka sendiri, mereka juga telah menjadikan beberapa orang Nabi dan orang-orang yang shaleh sebagai tempat untuk dimintai berkat, kekuatan ghaib dan disembah sebagai Tuhan. Ringkasnya, mereka telah membuat tuhan lain di samping Allah.
Perbuatan sesat yang mereka lakukan ini mereka ajarkan pula kepada kalangan awam, bahkan kepada bangsa-bangsa lain. Kesesatan mereka yang telah begitu hebat menyebabkan mereka mengabaikan ajaran-ajaran Zabur dan Injil maupun Taurat.
Akibat dari pelanggaran itulah, maka Nabi Dawud mengutuk mereka, karena larangan bekerja pada hari Sabat telah mereka langgar. Begitu juga Nabi Isa as. telah melaknat mereka, karena terus menerus menolak ajaran agama dan berkecimpung dosa.
Dalam sejarah ummat manusia, di Barat maupun di Timur, hanyalah bangsa Yahudi yang banyak dikutuk dan dilaknat oleh berbagai bangsa di dunia. Ayat ini memberikan gambaran yang jelas kepada kita bahwa Nabi-Nabi pun merasa jengkel membimbing bangsa Yahudi, karena keras kepala mereka menolak kebenaran. Oleh karena itu adalah sangat patut kalau ummat manusia pada umumnya bersama-sama mengutuk bangsa Yahudi dimanapun kita berada.
--------
76 Karakter Yahudi dalam Al-Qur’an karya Syaikh Mustafa Al-Maraghi, penyusun Drs. M. Thalib, Penerbit CV. Pustaka Mantiq Solo, cetakan pertama April 1989, halaman 188 - 189

Sabtu, 03 Maret 2012

Larangan Menyakiti Nabi dan Rasul

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَكُونُوا۟ كَالَّذِينَ ءَاذَوْا۟ مُوسَىٰ فَبَرَّأَهُ اللَّـهُ مِمَّا قَالُوا۟ ۚ وَكَانَ عِندَ اللَّـهِ وَجِيهًا
Hai orang-orang yang beriman! janganlah kamu jadi seperti mereka yang menyakiti Musa, lalu Allah selamatkan dia dari apa yang mereka katakan; dan adalah ia, di sisi Allah, orang yang terhormat. (QS. 33. : 69).
-------------------------------
Bibliography :
Tafsir Qur'an Al-Furqan, A. Hassan, Penerbit Al Ikhwan Surabaya, Cetakan Kedua 1986, halaman 832.
Tulisan Arab Al-Qur'an  

Masjid AZZAINURI Banaran Jambu Ambarawa

Masjid Az-Zainuri Banaran Ambarawa
Masjid AZZAINURI
Banaran Jambu - Ambarawa

Masjid ini berada tepat di jalan Raya Ambarawa - Secang.

SABAR (2)

Abu Said (Sa’ad) bin Malik bin Sinan Al.Chudry berkata : Ada beberapa orang dari sahabat Anshor datang minta kepada Rasulullah s.a.w. maka diberi oleh Rasulullah, kemudian minta pula dan diberi oleh Rasulullah, sehingga habis apa yang ada padanya. Dan setelah habis semua yang ditangan Nabi s.a.w., beliau bersabda kepada mereka : Apa saja yang akan membawa kebaikanmu tidak akan aku sembunyikan dari kamu, dan siapa yang memelihara kesopanan dirinya, Allah akan memelihara kesopanannya dan siapa yang merasa cukup, maka Allah akan mencukupinya; dan siapa yang berlatih kesabaran, maka Allah akan menyabarkannya. Dan tiada seorang yang mendapat kurnia (pemberian) Allah yang lebih baik atau lebih dari kesabaran.
(HR. Buchary, Muslim).

Hadits ini memberi pengertian bahwa kesopanan diri dan kesabaran itu terjadi dengan latihan dan usaha perjuangan melawan hawa nafsu, tidak semata-mata datang tanpa usaha ikhtiar. Dan Allah disamping ikhtiar usaha kita itu, akan membantu (menolong) sehingga terlaksana. Sebab kejadian manusia mempunyai bakat untuk menerima kebaikan dan kejahatan hampir bersamaan. Karena itu agama menganjurkan manusia supaya berjihad melawan hawa nafsu kejahatannya, justru untuk kepentingannya sendiri.
------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 51.

KELAHIRAN MUHAMMAD

PERKAWINAN ABDULLAH DENGAN AMINAH
USIA Abd’l-Muttalib sudah hampir mencapai tujuh puluh tahun atau lebih tatkala Abraha mencoba menyerang Mekah dan menghancurkan Rumah Purba. Ketika itu umur Abdullah anaknya sudah dua puluh empat tahun, dan sudah tiba masanya dikawinkan. Pilihan Abd’l-Muttalib jatuh kepada Aminah binti Wahab bin Abd Manaf bin Zuhra, - pemimpin suku Zubra ketika itu - yang sesuai pula usianya dan mempunyai kedudukan terhormat. Maka pergilah anak-beranak itu hendak mengunjungi keluarga Zuhra. Ia dengan anaknya menemui Wahab dan melamar putrinya. Sebagian penulis sejarah berpendapat bahwa ia pergi menemui Uhyab, paman Aminah, sebab waktu itu ayahnya sudah meninggal dan dia di bawah asuhan pamannya. Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah itu, Abd’l-Muttalib juga kawin dengan Hala, putri pamannya. Dan perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi dan yang seusia dengan dia.
Abdullah dengan Aminah tinggal selama tiga hari di rumah Aminah, sesuai dengan adat kebiasaan Arab bila perkawinan dilangsungkan di rumah keluarga pengantin putri. Sesudah itu mereka pindah bersama-sama ke keluarga Abd’l-Muttalib. Tak berapa lama kemudian Abdullah pun pergi dalam suatu usaha perdagangan ke Suria dengan meninggalkan istri yang dalam keadaan hamil. Tentang ini masih terdapat beberapa keterangan yang berbeda-beda : adakah Abdullah kawin lagi selain dengan Aminah; adakah wanita lain yang datang menawarkan diri kepadanya? Rasanya tak ada gunanya menyelidiki keterangan-keterangan semacam ini. Yang pasti ialah Abdullah adalah seorang pemuda yang tegap dan tampan. Bukan hal yang luar biasa jika ada wanita lain yang ingin menjadi istrinya selain Aminah. Tetapi, setelah perkawinannya dengan Aminah itu hilanglah harapan yang lain walaupun untuk sementara. Siapa tahu, barangkali mereka masih menunggu ia pulang dari perjalanannya ke Syam untuk menjadi istrinya di samping Aminah.
Dalam perjalanannya itu Abdullah tinggal bersama beberapa bulan. Dalam pada itu ia pergi juga ke Gaza dan kembali lagi. Kemudian ia singgah ke tempat saudara-saudara ibunya di Medinah sekadar beristirahat sesudah merasa letih selama dalam perjalanan. Sesudah itu ia akan kembali pulang dengan kafilah ke Mekah. Akan tetapi kemudian ia menderita sakit di tempat saudara-saudara ibunya itu. Kawan-kawannya pun pulang lebih dulu meninggalkan dia. Dan merekalah yang menyampaikan berita sakitnya itu kepada ayahnya setelah mereka sampai di Mekah.

KEMATIAN ABDULLAH DAN PENINGGALANNYA
Begitu berita sampai kepada Abd’l-Muttalib ia mengutus Harith - anaknya yang sulung - ke Medinah supaya membawa kembali bila ia sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah ia mengetahui bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan pula, sebulan sesudah kafilahnya berangkat ke Mekah. Kembalilah Harith kepada keluarganya dengan membawa perasaan pilu atas kematian adiknya itu. Rasa duka dan sedih menimpa hati Abd’l-Muttalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya. Demikian juga Abd’l-Muttalib sangat sayang kepadanya Sehingga penebusannya terhadap Sang Berhala yang demikian rupa belum pernah terjadi di kalangan masyarakat Arab sebelum itu.
Peninggalan Abdullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Umm Ayman - yang kemudian menjadi pengasuh Nabi. Boleh jadi peninggalan serupa itu bukan berarti suatu tanda kekayaan; tapi tidak juga merupakan suatu kemiskinan. Di samping itu umur Abdullah yang masih dalam usia muda belia sudah mampu bekerja dan berusaha mencapai kekayaan. Dalam pada itu ia memang tidak mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih hidup itu.

KELAHIRAN MUHAMMAD (TAHUN 570 M)

Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti wanita lain ia pun melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abd’l-Muttalib di Ka’bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki. Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya, karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnva bayi itu lalu dibawanya ke Ka’bah. Ia diberi nama Muhammad. Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab, tapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa’d (Banu Sa’d), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan Arab di Mekah.
Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ibn Abbas juga mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu lima belas tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga beberapa tahun sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga puluh tahun, dan ada juga yang menaksir sampai tujuh puluh tahun.
Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya. Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat dalam bulan Safar, sebagian lagi mengatakan dalam bulan Rajab, sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadhan.
Kelainan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan. Satu pendapat mengatakan pada malam kedua Rabiul Awal, atau malam kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya mengatakan, bahwa dia dilahinkan pada tanggal dua belas Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.
Selanjutnya terdapat perbedaan pendapat mengenai waktu kelahirannya, yaitu siang atau malam. demikian juga mengenai tempat kelahirannya di Mekah. Caussin de Perceval dalam Essai sur l’Histoire des Arabes menyatakan, bahwa Muhammad dilahirkan bulan Agustus 570, yakni Tahun Gajah, dan bahwa dia dilahirkan di Mekah di rumah kakeknya Abd’l-Muttalib.
Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abd’l-Muttalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek-moyang. “Kuinginkan dia akan menjadi orang yang Terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi,” jawab Abd’l-Muttalib.
-------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 46 - 49

Pakaian Muslimah

Syarat-syarat pakaian seorang wanita Muslimah :
  1. Hendaknya pakaian itu menutupi seluruh anggota tubuh secara sempurna, termasuk wajah dan kedua telapak tangan. Sungguh aneh, ada wanita yang menutupi secara sempurna anggota tubuh bagian atasnya saja, sedangkan pada bagian bawahnya ia hanya mengenakan rok sebatas lututnya atau mungkin lebih mini lagi. Dengan demikian, daerah betis atau kakinya tampak begitu jelas pada saat ia berjalan atau mengendarai kendaraan seperti motor, mobil, dan sebagainya. ini jelas bukan busana wanita muslimah. Menurut syari’at Islam, pakaian wanita itu harus menutupi seluruh tubuh, dari ujung kepala sampai ujung kaki atau paling tidak sampai menyentuh tanah. Di samping itu, untuk lebih sempurna, hendaklah memakai kaos kaki.
  2. Hendaknya pakaian itu tidak berwarna-warni yang mencolok sehingga dapat memancing perhatian orang lain.
  3. Hendaknya pakaian itu tebal (tidak transparan) sehingga permukaan kulit benar-benar tertutup rapat.
  4. Hendaknya pakaian itu tidak ketat sehingga tidak menampakkan bentuk dan lekukan tubuh. Sungguh memprihatinkan, kini banyak wanita yang mengenakan busana dengan model-model ketat. Merek dengan sengaja ingin memperlihatkan lekuk-lekuk bagian tubuhnya seperti dada, pinggang, pinggul, dan sebagainya Mereka sama sekali tidak merasa malu memakai pakaian semacam itu di depan saudaranya, ayahnya, dan kerabat-kerabat lainnya. Dan yang lebih parah lagi, ada yang memakainya ketika ia pergi ke pasar atau tempat-tempat umum yang biasanya tempat berkumpulnya kaum lelaki. Tak sedikit pun mereka merasa risi atau malu. Wahai saudariku, hendaklah engkau bertobat kepada Allah dan tinggalkan pakaian semacam itu jika engkau sedang memakainya. Berilah peringatan saudarimu yang telah terperangkap oleh mode-mode yang menyesatkan itu.
  5. Hendaknya pakaian itu tidak dibubuhi parfum yang baunya dapat menusuk hidung orang lain. Perhatikan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : “Sesungguhnya wanita jika memakai wangi-wangian kemudian pergi melewati suatu majlis, maka ia telah begini, begini. (Maksudnya, telah berzina).” (HR. Ashhabus Sunan). Wangi-wangian yang dimaksud dalam hadits di atas bersifat umum, termasuk parfum yang dipakai untuk badan.
  6. Hendaknya pakaian itu tidak menyerupai pakaian laki-laki.
  7. Hendaknya pakaian itu tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir.
  8. Hendaknya pakaian itu tidak dimaksudkan untuk memperoleh sanjungan atau mencari popularitas.
Setiap syarat yang disebutkan di atas berdasarkan dalil-dalil syar’i. Namun, karena terbatasnya ruang silakan engkau cari sendiri dalam buku-buku berikut :
a. Syuruuthu Hijaabil Mar’atil Muslimah terbitan Dar Ibnul Mubarak.
b. Kadzaalika: Al Hijaab, limadza?
c. Ukhti Al Muslimah min Amriki bil Hijab, terbitan Dar Thayyibah.
--------------------------------
BAHAYA MODE, Khalid Bin Abdurrahman Asy-Syayi, Penerbit Gema Insani Press Jakarta 12740, Cetakan ketujuh 1419 H / 1999 M, halaman 37 - 39

BANGSA YANG BERANI MEMBUNUH NABI-NABINYA

Allah berfirman QS. Al-Maidah : 71, yang artinya :
”Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencana pun (terhadap mereka dengan membunuh Nabi-Nabi itu), maka (karena itu) mereka menjadi buta dan pekak, kemudian Allah menerima taubat mereka, kemudian kebanyakan dari mereka itu buta dan tuli (lagi). Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.”

Sebagian besar bangsa Yahudi menutup mata dan telinganya dari menerima nasehat kebenaran. Mereka buta terhadap ayat-ayat Allah yang tercantum dalam kitab-kitab suci mereka. Bangsa Yahudi menutup telinga sehingga tidak mau mendengar nasehat yang dibawa oleh para rasul mereka. Semakin sering para rasul itu memperingatkan kedurhakaan, kedhaliman dan kesesatan yang mereka lakukan selalu saja mereka abaikan.
Sikap mental mereka yang begitu bobrok membuat mereka berani membunuh para Nabi yang membawa petunjuk dan bimbingan hidup kepada mereka. Mereka telah membunuh Nabi Zakaria dan Nabi Yahya. Bahkan mereka berusaha membunuh Nabi Isa, tetapi gagal.
Akibat kebobrokan moral mereka, kemudian Allah menurunkan adzab kepada mereka, sehingga mereka dijadikan bangsa yang hina dan selama berabad-abad silih berganti dijajah oleh berbagai bangsa. Mereka pernah dijajah bangsa Parsi, kemudian bangsa Romawi, sehingga mereka hidup dalam perbudakan.
Kedurhakaan bangsa Yahudi sehingga berani membunuh Nabi-Nabi mereka sendiri menjadi petunjuk puncak kebobrokan moral mereka. Karena itu tidaklah heran jika terhadap manusia biasa bangsa Yahudi bertindak sangat biadab, penuh kebuasan dan kelaliman yang tak terkirakan. Adanya kebiadaban yang mereka lakukan terhadap rakyat Palestina selama kurang lebih 70 tahun akhir-akhir ini dapat kita jadikan sebagai bukti kebobrokan moral mereka. Karena itu wajib kita bersikap waspada terhadap setiap gerak-gerik bangsa Yahudi dan bersiap diri untuk menghadapi kebiadaban mereka. Tanpa kita memiliki persiapan moril maupun kekuatan menghancurkan kebiadaban bangsa Yahudi, maka kaum Muslimin akan dijadikan budak mereka.
--------
76 Karakter Yahudi dalam Al-Qur’an karya Syaikh Mustafa Al-Maraghi, penyusun Drs. M. Thalib, Penerbit CV. Pustaka Mantiq Solo, cetakan pertama April 1989, halaman 186 - 187