"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Selasa, 28 Februari 2017

Dirimu dan Allah

Standar yang sebenarnya adalah hubungan antara dirimu dan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jangan sampai banyaknya pujian orang menipu dirimu dan jangan sampai banyaknya celaan orang merugikan dirimu. Yang jadi tolak ukur adalah keridhoan Allah terhadapmu dan Allah mau menerima amalmu.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, pengasuh web IslamQA. (Twitter : @almonajjid) - Twit Ulama

Membaca Surat Al Ikhlas, Sebagai Wirid Usai Shalat

Sesuai shalat dianjurkan membaca surat Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Naas masing-masing sekali. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata,
 
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقْرَأَ الْمُعَوِّذَاتِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan padaku untuk membaca mu’awwidzaat  di akhir shalat (sesudah salam).” (HR. An Nasai no. 1336 dan Abu Daud no. 1523. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud mu’awwidzaat adalah surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Naas sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani. (Fathul Bari, 9/62)

Kajian selengkapnya di  rumaysho.com 

Senin, 27 Februari 2017

Balasan Sesuai Perbuatan

Barangsiapa berlemah lembut kepada hamba-hamba Allah, maka Allah akan berlemah lembut kepadanya
Barangsiapa mengasihi mereka maka Allah pun akan mengasihinya
Barangsiapa yang berbuat baik kepada mereka, maka Allah pun akan berbuat baik kepadanya
Barangsiapa yang berderma kepada mereka, Allah akan memberinya
Barangsiapa yang memberikan manfaat pada mereka, Allah punkan memberikan manfaat kepadanya
Barangsiapa yang menutup aib mereka, Allahpun kan menutupi aibnya

Syeikh Jamaz al-Jamaz, Pengajar di Madrasah Imam Ashim, Syaqra. Situs beliau aljamaz.com. (Twitter : @jamaz55) - Twit Ulama

Larangan Bagi Siapa yang Makan Bawang Putih atau Merah untuk Apa Saja Masuk Masjid

Ibn Umar رضي الله عنهما berkata : Bersabda Nabi : Siapa yang makan dari pohon ini (bawang putih) maka jangan mendekat masjid kami. (HR. Buchary dan Muslim).

Anas r.a. berkata : Bersabda Nabi : Siapa yang makan dari pohon ini (bawang putih), maka jangan mendekati kami dan jangan sholat bersama kami. (HR. Buchary dan Muslim).

Jabir r.a. berkata : Bersabda Nabi : Siapa yang makan bawang mentah putih atau merah, maka hendaknya menjauh dari kami dan meninggalkan masjid kami. (HR. Buchary dan Muslim).

Dalam riwayat Muslim : Siapa yang makan bawang merah atau putih dan kucai maka jangan mendekati masjid kami, karena Malaikat terganggu dan apa-apa yang biasa terganggu daripadanya anak Adam.

Umar bin Alkhottob رَضِيَ اللََّهُ عَنْه  dalam khutbah jum’ah berkata : Hai sekalian manusia, kamu makan dua pohon yang tidak sedap baunya yaitu bawang mentah merah dan putih, sungguh saya telah melihat Rasulullah ﷺ jika mendapat baunya di masjid, menyuruh orangnya supaya keluar ke Baqie’, maka siapa yang makan itu hendaknya dimatikan baunya dengan dimasak. (HR. Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 522-524.

Minggu, 26 Februari 2017

Dengan Rahmat-Mu

Rahmat Allah lebih luas dari semua dosa (yang dilakukan seorang hamba -pent). Orang yang diharamkan (dari rahmat Allah) adalah dia yang berharap rahmat tersebut sementara ia malah menghampiri sebab-sebab datangnya azab.
 
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ۚفَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ

“dan rahmat-Ku luas meliputi segala sesuatu,maka aku akan memberikan nya bagi mereka yang bertaqwa” (QS. al-A’raf : 156)

Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi, Ulama yang juga menjabat sebagai Peneliti Ilmiah di Departemen Masalah Islam di Riyadh, Arab Saudi. (Twitter : @abdulaziztarefe) - Twit Ulama

Sabtu, 25 Februari 2017

Ampunan Yang Tiada Henti

Sungguh betapa lembutnya Allah terhadap hamba-Nya yang berdosa, Ia tutupi sang hamba ketika bermaksiat namun Ia janjikan baginya ampunan apabila hamba tersebut meminta ampunan.
 
وَمَن يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّـهَ يَجِدِ اللَّـهَ غَفُورًا رَّحِيمًا

Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
. (QS. An-Nisaa' : 110)

Dr. Abdullah al-Ju'aitsin Dosen ilmu hadits di Universitas Ibnu Su'ud, da'I di kementrian agama Saudi Arabia (Twitter : @aboali1406) - Twit Ulama

Dilarang Bertengkar dan Mengeraskan Suara di Masjid

Amru bin Syu’aib r.a. dari ayahnya dari neneknya رَضِيَ اللََّهُ عَنْه  berkata : Rasulullah melarang jual-beli di masjid, dan juga mencari binatang yang hilang, dan menyanyikan saja’ sya’ir di dalamnya. (HR. Abu Dawud dan Attirmidzy).

Assa’ib bin Yazid رَضِيَ اللََّهُ عَنْه
berkata : Ketika saya di masjid tiba-tiba saya dilempar orang, dan ketika saya lihat tiba-tiba Umar bin Alkhottob رَضِيَ اللََّهُ عَنْه maka ia memanggil saya dan berkata : Panggilkan kemari dua orang itu. Maka saya panggil dua orang itu. Dan ditanya oleh Umar رَضِيَ اللََّهُ عَنْه : Dari manakah kamu berdua? Jawab keduanya : Dari Tha’if. Berkata Umar رَضِيَ اللََّهُ عَنْه : Andaikan kamu orang sini, niscaya saya pukul. Kamu berani mengangkat suara di masjid Rasulullah ﷺ (HR. Buchary).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 522.

Jumat, 24 Februari 2017

Jangan Saling Mencari Aib

Dalam Al Bidayah wan Nihayah karya Imam Ibnu Katsir disebutkan sebuah kisah. Satu ketika Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejjelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Lalu ia memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah engkau pernah ikut memerangi bangsa romawi?” Aku menjawab, “Tidak”.
Ia bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”
Kemudia ia berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?!”. Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu.”
Saudaraku, setelah kita dilarang untuk saling memata-matai, selanjutnya kita dilarang untuk saling mengumbar aib. Kedua hal ini sangat berkaitan erat. Karena biasanya jikalau kita sudah terjangkit perbuatan buruk gemar memata-matai kehidupan saudara kita maka kita akan terpancing untuk mencari-cari aib keburukannya. Padahal sudah jelas manusia bukanlah makhluk yang bersih dari kesalahan.
Begitu banyak nasihat Rasulullah ﷺ yang mengingatkan kita bahwasanya sesama muslim itu terdapat ikatan persaudaraan. Ikatan persaudaraan yang nilai atau derajatnya lebih tinggi dibandingkan persaudaraan yang diikat karena pertalian darah, suku bangsa atau Negara. Karena persaudaraan sesame muslim itu diikat dengan iman.
Oleh karena itulah sesama muslim dilarang untuk saling menyakiti dengan cara apapun. Baik dengan cara bisikan hati, ucapan lisan, atau perbuatan. Sebaliknya, sesama muslim justru diperintahkan untuk saling mencintai, saling melindungi, saling membela.
Seorang muslim berhak untuk di-tabayun-kan atas kesalahpahamannya. Seorang muslim berhak untuk dibaiksangkai atas perbuatannya yang dalam pandangan kita adalah keliru. Seorang muslim berhak untuk mendapatkan rasa aman dari perkataan dan perbuatan sesamanya.
Bukankan Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang siapakah muslim yang paling utama. Kemudian, beliau menjawab, “Yaitu orang yang bisa menjaga lisan dan tangannya dari perbuatan buruk terhadap saudaranya.” (HR. Bukhari. – shahih).
Dalam hadits yang lain, Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa perbuatan mencari- cari aib orang lain apalagi membukanya dan menyebarkannya adalah perbuatan orang yang tidak memiliki iman di dalam hatinnya. Bahkan tergolong kepada golongan orang munafik, karena cirri kemunafikan adalah hanya menyatakan iman dengan ucapan, tanpa menghadirkan iman di dalam hatinya.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Wahai sekalian manusia yang beriman dengan lidahnya, (namun) belum masuk iman ke dalam hatinya, janganlah kalian mengumpat orang- orang islam dan janganlah membuka aib mereka. Sesungguhnya orang yang membuka aib saudaranya yang muslim, maka Allah akan membuka aibnya. Dan siapa yang aibnya dibuka oleh Allah, maka Allah akan membukanya sekalipun di dalam rumahnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi.– Hasan Gharib menurut Imam Tirmidzi).
Jikalau Allah membuka aib-aib kita, maka sungguh tiada seorang pun atau sesuatu apapun yang bisa menutupinya. Tak ada yang bisa menyelamatkan kita. Sedikitpun kita tak akan bisa mengelak. Namun sebaliknya, jikalau Allah menyelamatkan kita sebagai balasan atas sikap kita yang membela, menolong dan menutupi aib sesama muslim, maka sungguh tak ada yang bisa menghalanginya.
Mencari-cari dan membuka aib orang lain adalah perbuatan tercela. Bahkan jangankan aib orang lain, membuka aib diri sendiri saja adalah perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ. Beliau bersabda, “Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari , kemudian di pagi harinya ia berkata: “Wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu- padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya.” (HR. Bukhari Muslim, — Shahih).
Namun, penting untuk dipahami bahwa maksud menutupi aib sesama muslim itu bukan berarti menutup-nutupi perbuatan muslim yang berbuat kezhaliman. Apalagi jika itu adalah perbuatan jahat yang sudah seharusnya diadili dan mendapatkan hukuman. Tolong-menolong hendaknya dilakukan dalam kebaikan, tidak dalam kejahatan.
Khususnya apabila seseorang dimintai kesaksian didepan hukum mengenai perbuatan salah atau jahat saudaranya yang merugikan orang lain bahkan orang banyak, maka wajib baginya untuk memberikan kesaksian sejujur mungkin, bukan menutup-nutupi kebenaran yang ia ketahui dengan alasan solidaritas, kesetiakawanan atau persaudaraan. Justru, memberikan kesaksian yang sejujurnya demi tegaknya keadilan, itu adalah sikap solidaritas dan persaudaraan yang hakiki.
Lantas, bagaimana wujud menutupi aib saudara itu? Misalnya adalah ketika ada beberapa orang membicarakan aib orang lain, maka kita mencegah hal itu dengan cara menegur mereka atau membelikkan pembicaraan secara halus agar mereka tidak kebablasan membicarakan aib orang yang sedang dibicarakan itu.
Demikian juga jika kita mengetahui salah seorang saudara kita memiliki aib berupa perbuatan maksiat yang tidak merugikan orang lain, seperti meminum khamar. Maka, wujud menutupi aibnya itu adalah dengan tidak menceritakannya kepada orang lain. Akan tetapi, tetap menasehati dan mengingatkannya agar bertaubat kepada Allah Swt dan meninggalkan perbuatan maksiatnya itu.
Ada keteladanan yang amat mulia dicontohan oleh Rasulullah ﷺ. Ketika itu, usai menunaikan shalat Ashar di Masjid Quba, salah seorang sahabat mengundang Rasulullah dan jamaah singgah ke rumahnya untuk menikmati sajian daging unta. Ketika sedang makan-makan, tiba-tiba tercium aroma kurang sedap. Rupanya ada salah seorang dari yang hadir yang buang angin. Para sahabatpun saling menoleh.
Rasulullah Nampak kurang berkenan dengan keadaan itu. Maka, ketika waktu shalat Maghrib hampir tiba, sebelum bubar, Rasulullah ﷺ berkata, “Barangsiapa yang makan daging unta, hendaklah ia berwudhu.” Mendengar perintah Rasulullah itu, maka semua yang hadirpun mengambil air wudhu. Sehingga terhindarlah aib orang yang buang angin. Karena jika Rasulullah tidak memberikan perintah tersebut, amat mudahlah hadirin mengetahui siapa yang buang angin tadi.
Tentang aib yang dirahasiakan, ada satu kisah terkenal yang ditulis oleh Syaikh DR. Muhammad Al’ Ariifi dalam bukunya yang berjudul, Fi Bathni al Hut. Berikut ini kisahnya ;
Ketika itu Bani Israil ditimpa musim kemarau yang berkepanjangan. Mereka pun berkumpul mendatangi Nabi mereka. Mereka berkata, “Wahai Kalimallah, berdoalah kepada Rabbmu agar Dia menurunkan hujan kepada kami.” Maka berangkatlah Nabi Musa عليه السلام bersama kaumnya menuju padang pasir yang luas bersama lebih dari 70 ribu orang. Mulailah mereka berdoa dengan kondisi yang lusuh penuh debu, haus dan lapar.
Musa berdoa, “Wahai Tuhan kami, turunkanlah hujan kepada kami, tebarkanlah rahmat-Mu, kasihilah anak- anak dan orang-orang yanmg mengandung, hewan-hewan dan orang-orang tua yang rukuk dan sujud.”
Setelah itu langit tetap saja terang benderang. Mataharipun bersinar makin terik. Kemudian, Musa عليه السلام berdoa lagi, “Wahai Tuhanku berilah kami hujan.”
Allah pun berfirman kepada Musa عليه السلام, “Bagaimana Aku akan menurunkan hujan kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat sejak 40 tahun yang lalu. Keluarkanlah ia di depan manusia agar dia berdiri di depan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian.”
Maka, Musa عليه السلام pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, “Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun, keluarlah dihadapan kami, karena engkaulah hujan tak kunjung turun.”
Seorang laki- laki melirik ke kanan dan kiri. Tak seorangpun yang keluar di depan manusia, saat itu pula ia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud. Ia berkata dalam hatinya, “kalau aku keluar ke depan manusia, maka akan terbuka rahaiaku. Kalau aku tidak berterus terang, maka hujanpun tak akan turun.”
Maka, kepalanya tertunduk malu dan menyesal. Air matanya pun menetes, sambil berdoa didalam hati kepada Allah, “Ya Allah, aku telah bermaksiat kepadamu selama 40 tahun, selama itu pula Engkau menutupi aibku. Sungguh sekarang aku bertobat kepada- Mu, maka terimalah taubatku.”
Belum sempat ia mengakhiri doanya maka awan- awan tebalpun bergumpal. Semakin tebal menghitam lalu turunlah hujan. Nabi Musa عليه السلام pun keheranan dan berkata, “Ya Allah, Engkau telah turunkan hujan kepada kami, padahal tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia.”
Allah berfirman, “Aku menurunkan hujan karena seorang hamba yang karenanya hujan tak kunjung turun.”
Musa عليه السلام berkata. “Ya Allah, tunjukka padaku hamba yang taat itu.”
Lalu Allah berfirman, “Wahai Musa, Aku tidak membuka aibnya padahal ia bermaksiat kepada-Ku, maka apakah Aku akan membuka aibnya sedangkan ia taat (taubat) kepada- Ku?!”
Saudaraku, jelas sudah bahwa mencari-cari dan membuka aib orang lain adalah perbuatan yang amat tercela. Semoga kita tergolong orang-orang yang lebih sibuk mencari aib diri sendiri untuk kemudian memperbaikinya. Daripada mencari-cari aib orang lain apalagi tanpa memperbaikinya.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Seseorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara, dia tidak boleh berbuat dzalim dan aniaya kepada saudaranya. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang membebaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak.” (Muttafaq 'alaih. –Shahih).
Ditulis oleh : KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym); Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.

Amalan Sebelum Tidur

Sebelum tidur, amalkan beberapa amalan penting nan mudah ini:
(1) Berwudhu,
(2) Shalat witir,
(3) Membaca ayat kursi,
(4) Berdoa sebelum tidur,
(5) Membaca surat al-Mulk,
(6) Memaafkan orang lain,
(7) Bertaubat dari kesalahan,
(8) Pasang alarm untuk shalat subuh

Dr. Hasan al-Husaini seraong Da’i dari Bahrain, anggota majelis ulama negara-teluk teluk 10/7/2013. (Twitter : @7usaini) - Twit Ulama

Suami Menceraikan Istri

Di dalam al-Qur'an surat al-Baqarah (2) : 231, الله سبحانه وتعالى menasehati orang beriman untuk tidak berbuat zalim perihal masa 'iddah, dalam firman-Nya :

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوا۟ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُۥ ۚ وَلَا تَتَّخِذُوٓا۟ ءَايٰتِ اللَّـهِ هُزُوًا ۚ وَاذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ اللَّـهِ عَلَيْكُمْ وَمَآ أَنزَلَ عَلَيْكُم مِّنَ الْكِتٰبِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِۦ ۚ وَاتَّقُوا۟ اللَّـهَ وَاعْلَمُوٓا۟ أَنَّ اللَّـهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Dan apabila kamu menceraikan isteri, lalu (hampir) sampai 'iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang patut atau ceraikanlah mereka dengan cara yang patut (pula). Dan janganlah kamu rujuki mereka untuk memudaratkannya, karena dengan demikian kamu melanggar (hukum-hukum Allah). Dan barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai permainan, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu dan apa-apa yang Dia turunkan atasmu yaitu kitab dan hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (231).

Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu 'Abbas رضي الله عنهما dikemukakan, seorang laki-laki yang menceraikan isterinya, kemudian merujuknya sebelum habis masa 'iddahnya terus menceraikannya lagi dengan maksud menyusahkan dan mengikat isterinya agar tidak bisa kawin dengan yang lain. Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS. 2 : 231). (HR. Ibnu Jarir).
Dalam suatu riwayat lain yang bersumber dari as-Suddi dikemukakan bahwa turunnya ayat ini (QS. 2 : 231) berkenaan dengan Tsabit bin Yasar al-Anshari yang men-thalaq isterinya, dan setelah  hampir habis masa 'iddahnya ia meruju' lagi, dan menceraikannya lagi dengan maksud menyakiti isterinya. (HR. Ibnu Jarir).
Dalam suatu riwayat lain yang bersumber dari Abid-Darda رَضِيَ اللََّهُ عَنْه dikemukakan bahwa seorang laki-laki menthalaq isterinya, kemudian berkata : "Sebenarnya aku hanya main-main saja". Kemudian ia memerdekakan hambanya, tetapi tidak lama kemudian ia berkata : "Aku hanya main-main saja". Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS. 2 : 231) sebagai teguran akan perbuatan seperti itu (HR. Ibnu Abi Umar).

Tafsir Ayat
QS. 2 : 231. "Dan apabila kamu menceraikan isteri, lalu (hampir) sampai 'iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang patut atau ceraikanlah mereka dengan cara yang patut (pula). Dan janganlah kamu rujuki mereka untuk memudaratkannya, karena dengan demikian kamu melanggar (hukum-hukum Allah). Dan barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai permainan, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu dan apa-apa yang Dia turunkan atasmu yaitu kitab dan hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".

Ayat diatas menuturkan cara yang mesti dilakukan oleh suami yang telah menjatuhkan talak kepada istrinya sebagai penjelasan bagi ayat-ayat sebelumnya. Adapun sebab turunnya ayat ini ada dua riwayat masing-masing dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abbas رضي الله عنهما dan As-Sudi. Ibnu Jarir dan Ibnu Abbas رضي الله عنهما menceritakan bahwa pada masa Rasulullah ﷺ ada seorang laki-laki yang mentalak istrinya. Kemudian sebelum masa iddah istrinya itu habis dia merujuknya kembali. Setelah itu dijatuhkannya talak lagi kemudian merujuknya kembali. Hal ini dilaksanakan untuk menyakiti dan menganiaya istrinya tersebut, maka turunlah ayat di atas.
As-Sudi menceritakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tindakan seorang sahabat dari golongan Ansar, yaitu Sabit bin Yasar yang telah mentalak istrinya. Setelah masa iddah istrinya tinggal dua atau tiga hari lagi ia rujuk kepada istrinya tersebut, kemudian dijatuhkannya talak kembali dengan tujuan untuk menyusahkan istrinya itu. Maka turunlah ayat ini melarang perbuatan itu.
Apabila seorang suami telah menjatuhkan talak kepada istrinya, maka ketika masa iddah dari istrinya itu telah hampir berakhir hendaklah ia memilih salah satu dari dua pilihan yaitu melakukan rujuk atau tetap bercerai dengan cara yang baik. Karena dengan habisnya iddah maka putuslah perkawinan suami istri. Hal mana berarti bekas istrinya itu bebas memilih jodoh yang lain.
Selanjutnya ayat ini melarang seorang suami melakukan rujuk kepada istrinya dengan tujuan untuk menyakiti dan menganiaya. Larangan الله سبحانه وتعالى ini selain menggambarkan tingkah laku masyarakat pada masa jahiliah di mana suami menjatuhkan talak kepada istrinya, tanpa batas tertentu dan setiap akan mendekati akhir dari masa iddah suami melakukan rujuk kembali dan demikianlah seterusnya. Juga menjadi penjelasan dari tindakan sahabat Sabit bin Yasar yang telah diuraikan dalam hal sebab turunnya ayat ini. Suami yang berbuat demikian adalah menganiaya dirinya sendiri, suatu perbuatan yang dapat menimbulkan permusuhan dengan kaum kerabat keluarga istrinya dan juga dibenci oleh masyarakat, dan akhirnya nanti ia tidak luput dari kemurkaan Allah.
Dalam ayat ini الله سبحانه وتعالى melarang manusia mempermainkan hukum-hukum-Nya termasuk hukum-hukum yang mengatur hubungan suami istri untuk membawa manusia kepada hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Ketentuan-ketentuan itu merupakan suatu nikmat dari Allah yang wajib diingat dan diamalkan sebagai tanda bersyukur kepada-Nya.
Tak ada perselisihan ulama dalam lingkungan mazhab empat tentang sahnya talak yang dijatuhkan oleh suami dengan jalan main-main (tidak sungguh-sungguh).
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ  :

ثلاث جدهن جد و هزلهن جد : النكاح و الطلاق و الرجعة

Ada tiga masalah jika dilakukan dengan sungguh-sungguh jadinya sungguh-sungguh dan jika dilakukan dengan cara bermain-main maka jadinya sungguh-sungguh juga; yaitu nikah, talak dan rujuk. (HR Arba'ah kecuali An Nisa'i dari Abu Hurairah)

Bersetubuh dengan istri yang masih dalam iddah raj`i haram hukumnya menurut mazhab Syafii karena sahnya raj`i adalah dengan ucapan (lafal). Sedang menurut mazhab Hanafi dan Hambali, persetubuhan dianggap rujuk meskipun tanpa lafal dan ucapan.
---------------
Bibliography :
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 80 - 81.
Al Qur'an Terjemahan Indonesia, Tim DISBINTALAD (Drs. H.A. Nazri Adlany, Drs. H. Hanafie Tamam dan Drs. H.A. Faruq Nasution); Penerbit P.T. Sari Agung Jakarta, cetakan ke tujuh 1994, halaman 66.
Tafsir Al-Quran Kemenag Online    

Kamis, 23 Februari 2017

Ucapan Lembut

Amru bin Ma'di berkata : Perkataan yang lembut akan melembutkan hati yang lebih keras dari batu, sebaliknya perkataan yang kasar akan mengeraskan hati yang lebih lembut dari sutera.
وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

“Jika engkau keras dan berhati kasar maka mereka akan berpaling darimu” (QS. Ali Imran: 159)

Syaikh Prof.Dr. Sa'ud Al-Funaisan, Profesor bidang Syariah Universitas Imam Muhammad bin Su'ud, Riyadh. (Twitter : @saudAlfunaysan) - Twit Ulama

Dilarang Jual-Beli dan Mengumumkan Kehilangan di Masjid

Abu Hurairah رَضِيَ اللََّهُ عَنْه telah mendengar Rasulullah bersabda : Siapa yang mendengar orang mencari kehilangannya di dalam masjid, maka hendaknya dikatakan kepadanya : Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu, karena masjid ini tidak dibangun untuk itu. (HR. Muslim).

Abu Hurairah رَضِيَ اللََّهُ عَنْه berkata : Bersabda Rasulullah : Jika kamu melihat orang jual-beli di masjid, maka katakan kepadanya : Semoga Allah tidak menguntungkan daganganmu. Dan jika kamu melihat orang yang mencari barangnya yang hilang di dalam Masjid, maka katakan : Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu. (HR. Attirmidzy).

Buraidah رَضِيَ اللََّهُ عَنْه berkata : Seorang mencari binatangnya yang hilang di masjid sambil berkata : Siapakah yang menemukan untaku yang merah? Maka disabdakan oleh Nabi : Semoga kau tidak dapat. Masjid ini hanya dibangun untuk ibadat saja. (HR. Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 521-522.

Rabu, 22 Februari 2017

Seburuk-buruk Manusia

Seburuk-buruk manusia adalah suatu kaum yang menikmati karunia Allah kemudian kafir dengannya dan berpaling dari jalan-Nya. Allah Ta'ala berfirman :

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِندَ اللَّـهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (QS. al-Anfal: 55)

Dr. Khalid Al-Mushlih, dosen fiqh pada Universitas Al-Qashim, sekaligus menantu Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. (Twitter : @Dr_almosleh) - Twit Ulama

Selasa, 21 Februari 2017

Pengaruh Perkataan

Amru bin Ma'di berkata: Perkataan yang lembut akan melembutkan hati yang lebih keras dari batu, sebaliknya perkataan yang kasar akan mengeraskan hati yang lebih lembut dari sutera.
وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

“Jika engkau keras dan berhati kasar maka mereka akan berpaling darimu” (QS. Ali Imran: 159)

Syaikh Prof.Dr. Sa'ud Al-Funaisan, Profesor bidang Syariah Universitas Imam Muhammad bin Su'ud, Riyadh. (Twitter : @saudAlfunaysan) - Twit Ulama

Perintah Membersihkan Masjid dari Kotoran

‘Aisyah رَضِيَ اللََّهُ عَنْه berkata : Rasulullah melihat ingus di tembok qiblat, maka dikoreknya. (HR. Buchary dan Muslim).

Anas رَضِيَ اللََّهُ عَنْه berkata : Rasulullah bersabda : Sesungguhnya masjid ini tidak layak untuk tempat kencing dan lain-lain kotoran, hanya semata-mata untuk dzikrullah dan bacaan Qur’an. (HR. Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 520.

Senin, 20 Februari 2017

Ahlullah

Rasulullah :"Barangsiapa membaca Al-Qur'an dan mengamalkannya, menghalalkannya yang halal dan mengharamkan yang haram, maka Allah memasukkannya ke dalam surga dan dia boleh memberi syafaat 10 orang keluarganya yang sudah pasti masuk neraka." (Hadist Riwayat At-Tarmidzi).

Para penghafal Qur'an merupakan orang yang dimuliakan oleh Allah swt.  Seperti sabda Rasulullah ﷺ : "Sesungguhnya Allah memiliki kerabat-kerabatnya di kalangan manusia" lalu mereka bertanya : "Siapakah mereka ya Rasulullah?" Jawab Baginda : "Mereka adalah ahli Al-Qur'an, merekalah kerabat Allah (Ahlullah) dan orang-orang pilihannya" (Hadist Riwayat Ibnu Majah)

Renungkanlah wahai sahabat... mari sama-sama kita buat niat kembali kepada ALLOH tanpa ngicipin neraka...
Yang ALLOH lihat niatmu, kesungguhanmu dalam berproses...
bukan hasilnya...  (Salman Al-Jugjawy

Hukuman Yang Berat

Ibnul Jauzy رحمه الله mengatakan, “Seorang Bani Israil mengatakan, “Ya Rabb, betapa sering aku bermaksiat pada-Mu, namun mengapa Engkau tidak menghukumku (dengan turunnya musibah-pen)?” Dikatakan kepadanya, “Betapa banyak Aku menghukum dirimu namun kamu tidak sadar. Bukankah Aku telah menghalangimu merasakan kelezatan bermunajat kepada-Ku?”

Sungguh, hukuman yang berat!

Syeikh Naif al-Yahya (Twitter : @Naif_ALYahya) - Twit Ulama  

Musholla Baitul Huda Mintojiwo Semarang

Musholla Baitul Huda
Jl. Mintojiwo Dalam II
Kelurahan Gisikdrono - Kecamatan Semarang Barat
Kotamadia Semarang

Musholla ini berada tidak jauh dari fasilitas pendidikan, SD Muhammadiyah 12 dan TK 'Aisyiyah Bustanul Athfal 23 Jl. Mintojiwo II / 2 Semarang

Minggu, 19 Februari 2017

Dengan Pertolongan-Mu

Jika seorang yang dizhalimi tidak mendapat seorang penolongpun, dan tidak ia dapati seorang hakim yang dapat menyelesaikan perkaranya, maka angkatlah suara dan mohonlah hakmu kepada Allah, dan jangan memberontak (jika yang menzhalimi penguasa -pent). “Allah tidak menyukai ucapan buruk (maksudnya doa untuk perkara kejelekan), (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya” (QS. Ali Imran : 148)

Dr. Abdul Aziz Tharifi, ulama yang mengampu berbagai majelis di Riyadh Saudi Arabia, Kepala Bidang Riset dan Penelitian Kementerian Urusan Islam. (Twitter : @AbdulazizTarifi) - Twit Ulama

Larangan Meludah di Masjid

Anas رَضِيَ اللََّهُ عَنْه berkata : Rasulullah bersabda : Meludah di masjid itu dosa, dan tebusannya ialah mengubur (menanam) ludah itu. (HR. Buchary dan Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 520.

Sabtu, 18 Februari 2017

Engkaulah Yang Maha Lembut

Sungguh betapa lembutnya Allah terhadap hamba-Nya yang berdosa, Ia tutupi sang hamba ketika bermaksiat namun Ia janjikan baginya ampunan apabila hamba tersebut meminta ampunan.
وَمَن يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّـهَ يَجِدِ اللَّـهَ غَفُورًا رَّحِيمًا

Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisaa' : 110)

Dr. Abdullah al-Ju'aitsin Dosen ilmu hadits di Universitas Ibnu Su'ud, da'i di kementrian agama Saudi Arabia. (Twitter : @aboali1406) - Twit Ulama

Jumat, 17 Februari 2017

Makruh Mengendarai Binatang yang Makan Kotoran

Ibn Umar رضي الله عنهما berkata : Rasulullah telah melarang mengendarai unta yang makan kotoran (tahi). (HR. Abu Dawud).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 519.

Istighfar

Nabi ﷺ bersabda :
طُوْبَى ِلمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيْفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيْرًا

"Sungguh beruntung seseorang yang mendapati pada catatan amalnya istighfar yang banyak" (HR Ibnu Maajah no 3818, dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani رحمه الله)
----------
FP : Ma'had 'Umar bin Khattab Yogyakarta

Binasa Media Orang Musyrik Untuk Mencaci Nabi ﷺ

Orang-orang musyrik dulu membuat media untuk mencaci Nabi ﷺ. Abu Lahab berdiri di tengah pasar Ukaz sambil berseru, “Wahai sekalian manusia, sungguh Muhammad itu sesat, jangan sampai dia menyesatkan kalian”. Binasa Abu Lahab dan medianya, dan tetap kekal Muhammad ﷺ dan risalahnya.

Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi (Twitter : @abdulaziztarefe) - Twit Ulama   

Perihal Men-Thalaq

Di dalam al-Qur'an surat al-Baqarah (2) : 230, Allah ta'ala menasehati suami yang beriman perihal menthalaq isterinya, dalam firman-Nya :

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۥ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللَّـهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّـهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Maka jika suami menthalaknya (talak tiga), maka tidak halal baginya sesudah itu sehingga dia kawin dengan laki-laki lainnya. Kemudian jika dia menceraikannya, maka tidak ada halangan buat mereka berdua untuk kawin kembali jika keduanya yakin bahwa mereka dapat menegakkan hukum-hukum Allah. Demikianlah hukum-hukum Allah dijelaskan-Nya bagi kaum yang mengetahui. (230).

Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat yang bersumber dari Muqatil bin Hibban dikemukakan bahwa turunnya ayat ini (QS. 2 : 230) berkenaan dengan pengaduan 'Aisyah binti Abdur-rahman bin 'Atik kepada Rasulullah ﷺ bahwa ia telah dithalaq oleh suaminya yang kedua (Abdurrahman bin Zubair al-Quradzi) dan akan kembali kepada suaminya yang pertama (Rifa'ah bin Wahab bin 'Atik) yang telah menthalaq "bain" kepadanya. 'Aisyah binti Abdur-rahman bin 'Atik berkata : "Abdurrahman bin Zubair al-Quradzi telah menthalaq saya sebelum menggauli. Apakah saya boleh kembali kepada suami yang pertama?. Nabi ﷺ menjawab : "Tidak kecuali kamu telah digauli suamimu yang kedua".
Kejadian ini membenarkan seorang suami yang telah menthalaq "bain" isterinya, mengawini kembali isterinya itu, setelah isterinya itu digauli dan dicerai oleh suaminya yang kedua. (HR. Ibnul Mundzir).

Catatan :
Thalaq "bain" ialah thalaq yang tidak bisa dirujuk (setelah 3 thalaq), kecuali kalau si isteri telah kawin dulu dengan yang lain.

Tafsir Ayat
QS. 2 : 230. "Maka jika suami menthalaknya (talak tiga), maka tidak halal baginya sesudah itu sehingga dia kawin dengan laki-laki lainnya. Kemudian jika dia menceraikannya, maka tidak ada halangan buat mereka berdua untuk kawin kembali jika keduanya yakin bahwa mereka dapat menegakkan hukum-hukum Allah. Demikianlah hukum-hukum Allah dijelaskan-Nya bagi kaum yang mengetahui".

Imam Syafii رحمه الله mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang diperbolehkan melalui imbalan harta bukan talak namanya.
Sedangkan selain Imam Syafii رحمه الله meriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibrahim ibnu Sa'd ibnu Abu Waqqas pernah bertanya kepadanya mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, kemudian pihak istri minta khulu' darinya. Pertanyaannya, "Bolehkah suami tersebut mengawininya kembali?" Ibnu Abbas menjawab, "Ya, boleh. Khulu' bukanlah talak. Allah menyebutkan masalah talak pada permulaan ayat dan akhirnya, sedangkan masalah khulu' disebutkan-Nya di antara keduanya. Maka khulu' bukan merupakan sesuatu yang dianggap (sebagai talak)." Kemudian Ibnu Abbas r.a. membacakan firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229); Firman-Nya: Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230)
Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang kesimpulannya menyatakan bahwa khulu' bukanlah talak, melainkan fasakh nikah.
Hal yang sama dikatakan pula oleh suatu riwayat dari Usman ibnu Affan r.a. dan Ibnu Umar رضي الله عنهما. Juga merupakan pendapat yang dikatakan oleh Tawus dan Ikrimah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Saur, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Syafii dalam qaul qadimnya, dan sesuai dengan makna lahiriah ayat yang bersangkutan.
Pendapat yang kedua mengenai masalah khulu' mengatakan bahwa khulu' adalah talak bain, kecuali jika lelaki yang bersangkutan berniat lebih dari itu.

Imam Malik رحمه الله meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Jahman maula Bani Aslam, dari Ummu Bakr Al-Aslamiyyah, bahwa ia pernah meminta khulu' dari suaminya yang bernama Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid. Lalu keduanya datang menghadap Usman ibnu Affan, mengadukan perkara tersebut. Maka Khalifah Usman mengatakan, "Talak satu. Kecuali jika kamu menyebutkan bilangannya, maka talak yang jatuh menurut apa yang kamu sebutkan."
Imam Syafii رحمه الله mengatakan bahwa ia tidak mengenal perawi yang bernama Jahman tersebut. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, ia mengatakan bahwa asar ini daif.
Hal yang sama diriwayatkan pula melalui Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, dan ibnu Umar. Dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Ata, Syuraih, Asy-Sya'bi, Ibrahim, dan Jabir ibnu Zaid. Juga dikatakan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, dan teman-temannya; serta As-Sauri, Al-Auza'i, Abu Usman Al-Batti, dan Imam Syafii dalam qaul jadid-nya.
Hanya mazhab Hanafi mengatakan, "Manakala Mukhali' berniat dengan khulu'-nya itu menjatuhkan sekali talak atau dua kali atau memutlakkannya, maka yang terjadi adalah talak satu bainah. Jika pihak suami berniat menjatuhkan tiga talak, maka yang jatuh adalah tiga talak."
Imam Syafii رحمه الله mempunyai pendapat lain dalam masalah khulu', yaitu manakala khulu' terjadi bukan dengan lafaz talak dan lagi tidak ada bayyinah (bukti/saksi), maka hal tersebut bukan dinamakan sebagai suatu masalah sama sekali.
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq ibnu Rahawaih dalam salah satu riwayat darinya yang terkenal mengatakan, wanita yang meminta khulu' mempunyai idah sama dengan idah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru' jika ia termasuk wanita yang berhaid.
Hal ini telah diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Ibnu Umar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Sulaiman ibnu Yasar dan Urwah, Salim, Abu Salamah, Umar ibnu Abdul Aziz, Ibnu Syihab, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Abu Iyad, Khal-las Ibnu Umar, Qatadah, Sufyan, As-Sauri, Al-Auza'i, Al-Lais ibnu Sa'd, dan Abul Ubaid.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya. Kesimpulan pendapat mereka dalam masalah ini menyatakan bahwa khulu' adalah talak. Karena itu, wanita yang meminta khulu' dikategorikan sebagaimana wanita-wanita lainnya yang diceraikan.
Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita yang meminta khulu' dari suaminya melakukan idahnya hanya dengan sekali haid untuk membersihkan rahimnya.
Ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Nafi', dari Ibnu Umar رضي الله عنهما, bahwa Ar-Rabi' meminta khulu' kepada suaminya, lalu paman Ar-Rabi' datang kepada Khalifah Usman r.a. (mengadukan hal tersebut). Lalu Usman r.a. berkata, "Hendaklah ia melakukan idah selama sekali haid."
Ibnu Abu Syaibah mengatakan bahwa Ibnu Umar mengatakan, "Hendaklah wanita yang khulu' melakukan idahnya selama tiga kali haid." Hingga Khalifah Usman sendiri mengatakan hal yang sama, dan Ibnu Umar selalu memfatwakan demikian dan mengatakan, "Usman adalah orang yang paling terpilih dan paling alim di antara kami."
Telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa idah wanita yang meminta khulu' kepada suaminya adalah sekali haid.
Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dari Lais, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mukhtali'ah (wanita yang meminta khulu') idahnya adalah sekali haid.
Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Aban ibnu Usman beserta semua orang yang telah disebutkan di atas dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa khulu' adalah fasakh. Mereka mengatakan demikian berdalilkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi; masing-masing dari keduanya mengatakan :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ الْبَغْدَادِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ: أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Bahr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, dari Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Bahwa istri Sabit ibnu Qais meminta khulu' dari suaminya di masa Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ. memerintahkan kepadanya agar melakukan idah sekali haid.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi garib. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah secara mursal.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Turmuzi:

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى، عَنْ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَهُوَ مَوْلَى آلِ طَلْحَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ: أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ - أَوْ أُمِرَتْ -أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, dari Sufyan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman (yaitu maula keluarga Talhah), dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa ia pernah meminta khulu' di masa Rasulullah ﷺ. Maka Nabi ﷺ memerintahkan kepadanya —atau dia diperintahkan— untuk melakukan idah sekali haid.

Imam Turmuzi mengatakan, yang sahih adalah disebutkan bahwa ia diperintahkan untuk melakukan idah sekali haid.
Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَلَمَةَ النَّيْسَابُورِيُّ، حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنِي عبادة بن الوليد بن عبادة بن الصامت، عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَ: قُلْتُ لَهَا: حَدِّثِينِي حَدِيثَكِ. قَالَتِ: اخْتَلَعْتُ مِنْ زَوْجِي، ثُمَّ جِئْتُ عُثْمَانَ، فَسَأَلْتُ: مَاذَا عَلَيَّ مِنَ الْعِدَّةِ؟ قَالَ: لَا عِدَّةَ عَلَيْكِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ حَدِيثَ عَهْدٍ بِكِ فَتَمْكُثِينَ عِنْدَهُ حَتَّى تَحِيضِي حَيْضَةً. قَالَتْ: وَإِنَّمَا تَبِعَ فِي ذَلِكَ قَضَاءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرْيَمَ الْمُغَالِيَةِ، وَكَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ، فَاخْتَلَعَتْ مِنْهُ
.
telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Salamah An-Naisaburi, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Ubadah ibnu Walid ibnu Ubadah ibnus Samit, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa Ubadah pernah berkata kepada Ar-Rabi', "Ceritakanlah kepadaku kisah tentang dirimu." Ar-Rabi' menjawab, "Aku pernah meminta khulu' dari suamiku. Kemudian aku datang kepada Khalifah Us'man dan menanyakan kepadanya berapa lama idah yang harus aku jalani. Maka Khalifah Usman menjawab, 'Tiada idah atas dirimu, kecuali jika suamimu baru saja menggaulimu, maka kamu tinggal padanya selama sekali haid'." selanjutnya Ar-Rabi' mengatakan bahwa sesungguhnya dia dalam masalah ini hanyalah mengikut kepada peradilan yang telah diputuskan oleh Rasulullah ﷺ terhadap Maryam Al-Mugaliyah. Maryam pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu ia meminta khulu' darinya.
Ibnu Luhai'ah menceritakan dari Abul Aswad, dari Abu Salamah dan Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada istri Sabit ibnu Qais ketika meminta khulu' dari suaminya agar melakukan 'iddah sekali haid.
Lelaki yang meng-khulu' istrinya tidak boleh merujuki istrinya yang meminta khulu' dalam 'iddahnya tanpa seizin dari pihak si istri. Demikianlah menurut para imam yang empat dan jumhur ulama, karena si istri telah memiliki dirinya sendiri berkat tebusan yang telah ia berikan kepada pihak suami.
Telah diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Aufa, Mahan Al-Hanafi, dan Sa'id ibnul Musayyab serta Az-Zuhri, bahwa mereka mengatakan, "Jika pihak suami mengembalikan lagi tebusan tersebut kepada pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan merujuki istrinya selagi dalam idahnya tanpa perlu ada kerelaan dari pihak si istri." Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Saur rahimahullah.
Sufyan As-Sauri mengatakan, "Jika khulu' terjadi bukan dengan memakai lafaz talak, maka hal ini namanya perpisahan, dan tidak ada jalan lagi bagi pihak suami untuk merujukinya. Jika pihak suami menyebutnya dengan memakai kalimat talak, maka dialah yang lebih berhak merujuki istrinya selagi masih berada dalam idahnya." Pendapat inilah yang dikatakan oleh Daud ibnu Ali Az-Zahiri.
Semua ulama sepakat bahwa lelaki yang meng-khulu' istrinya berhak mengawini istrinya selagi masih dalam idah.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barra telah meriwayatkan dari sejumlah ulama, bahwa suami tidak boleh merujuki istrinya yang telah di-khulu', sebagaimana tidak boleh pula bagi lelaki lain yang ingin mengawininya. Pendapat ini syaz (menyendiri) lagi tidak dapat diterima.
Apakah si suami boleh menjatuhkan talak lainnya kepada mukhtali'ah di masa idahnya? Sehubungan dengan masalah ini ada tiga pendapat di kalangan ulama.
Pendapat pertama: mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh melakukan demikian, karena pihak istri telah memiliki dirinya sendiri dan terpisah dari dia. Hal inilah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Abu Saur.
Pendapat kedua. Imam Malik mengatakan, "Jika talak diikutkan dengan khulu' tanpa ada tenggang waktu di antara keduanya, maka talaknya sah. Tetapi jika si suami diam sebentar di antara keduanya (lafaz khulu' dan lafaz talak), maka talaknya tidak jatuh." Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat ini mirip dengan apa yang diriwayatkan dari sahabat Usman r.a.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa talak jatuh atas diri si istri yang meminta khulu' dalam keadaan apa pun selagi si istri masih berada dalam idahnya. Pendapat ini merupakan pegangan Abu Hanifah dan semua teman-temannya serta As-Sauri dan Al-Auza'i.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih, Tawus, Ibrahim, Az-Zuhri, Al-Hakim, Al-Hakam, dan Hammad ibnu Abu Sulaiman. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan Abu Darda. Ibnu Abdul Bar mengatakan, hal tersebut masih belum terbukti bersumberkan dari keduanya (Ibnu Mas'ud dan Abu Darda).

Firman Allah Swt.:

{تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}

Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229)

Yakni syariat-syariat yang telah ditetapkan-Nya bagi kalian merupakan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya. Seperti yang dijelaskan di dalam hadis sahih yang mengatakan:

إِنِ اللَّهَ حَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَفَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَرَّمَ مَحَارِمَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ، فَلَا تَسْأَلُوا عَنْهَا

Sesungguhnya Allah telah menggariskan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia telah menetapkan fardu-fardu-Nya, maka janganlah kalian melalaikannya; dan Dia telah mengharamkan hal-hal yang haram, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia membiarkan banyak hal karena kasihan kepada kalian tanpa melupakannya, maka janganlah kalian menanyakan tentangnya.

Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa menggabungkan tiga kali talak dalam satu kalimat hukumnya haram. Seperti yang dikatakan oleh mazhab Maliki dan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Karena sesungguhnya hal yang diberlakukan di kalangan mereka, talak itu dijatuhkan hanya sekali talak, karena berdasarkan kepada firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229) Kemudian Allah Swt. berfirman: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggar-nya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229)

Hal ini diperkuat oleh mereka dengan sebuah hadis dari Mahmud ibnu Labid yang diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunan-nya. Disebutkan bahwa:

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ مَخْرَمَةَ بْنِ بُكَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ قَالَ: أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ جَمِيعًا فَقَامَ غَضْبَانَ، ثُمَّ قَالَ: "أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟! " حَتَّى قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا أَقْتُلُهُ؟

telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Makhramah ibnu Bukair, dari ayahnya, dari Mahmud ibnu Labid yang menceritakan: Diceritakan kepada Rasulullah Saw. tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya tiga kali talak sekaligus. Maka beliau berdiri dalam keadaan emosi dan bersabda, "Apakah Kitabullah dipermainkan, sedangkan aku masih ada di antara kalian? Hingga ada seorang lelaki yang bangkit dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya!"
Akan tetapi, di dalam sanad hadis ini terdapat inqita'.

Firman Allah Swt.:

{فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ}

Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230)

Yaitu apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dalam talak yang ketiga, sesudah dua talak yang mendahuluinya jauh sebelum itu, maka si istri tidak halal lagi bagi suaminya sebelum kawin dengan lelaki yang lain, yakni hingga suaminya yang baru menyetubuhinya dalam perkawinan yang benar. Seandainya si istri disetubuhi oleh lelaki yang lain bukan dalam nikah, sekalipun si istri adalah milkul yamin (budak perempuan), maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama, karena bukan suami. Demikian pula seandainya kawin dengan suami yang baru, tetapi belum disetubuhi oleh suami yang baru, maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama.
Telah terkenal di kalangan kebanyakan ulama fiqih, bahwa Sa'id ibnul Musayyab pernah mengatakan, "Maksud yang dituju telah berhasil untuk men-tahlil-kan (menghalalkan) si istri bagi suaminya yang pertama hanya dengan melakukan akad nikah dengan lelaki yang lain." Akan tetapi, kesahihan pendapat ini dari dia masih perlu dipertimbangkan, sekalipun Asy-Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar telah meriwayatkannya dari dia di dalam kitab Al-Istiikar-nya.
Dikatakan demikian karena Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan:

حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنَ مَرْثَدٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ رَزِينٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا الْبَتَّةَ، فَيَتَزَوَّجُهَا زَوْجٌ آخَرُ فَيُطَلِّقُهَا، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَرْجِعُ إِلَى الْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا

telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Salim ibnu Razin, dari Salim ibnu Abdullah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar رضي الله عنهما, dari Nabi ﷺ tentang seorang lelaki yang menikahi seorang wanita, lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya dengan talak tiga kali. Kemudian wanita itu dikawin oleh lelaki lain dan langsung diceraikan sebelum disetubuhinya. Hal ini ditanyakan kepada Nabi ﷺ, "Bolehkah si wanita tersebut kembali kepada suaminya yang pertama?" Nabi ﷺ menjawab: Tidak boleh, sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya dan si suami yang baru mencicipi pula madu kecilnya.

Hal yang sama disebutkan pula di dalam riwayat Ibnu Jarir.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Untuk itu dia mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ، سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ رَزِينٍ يُحَدِّثُ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، يَعْنِي: ابْنَ عُمَرَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي الرَّجُلِ تَكُونُ لَهُ الْمَرْأَةُ فَيُطَلِّقُهَا، ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَتَرْجِعُ إِلَى زَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "حتى يَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ

telah menceritakan kepada karai Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Salim ibnu Razin menceritakan hadis berikut dari Salim ibnu Abdullah (yakni Ibnu Umar), dari Sa'ib ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan masalah seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu istrinya itu ditalaknya. Kemudian si istri dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhinya, lalu si istri kembali kepada suaminya yang pertama. Maka Nabi ﷺ bersabda: (Tidak boleh) sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya.

Demikian pula menurut riwayat Imam Nasai, dari Amr ibnu Ali Al-Fallas dan Ibnu Majah, dari Muhammad ibnu Basysyar Bandar; keduanya menceritakan hadis ini dari Muhammad Ibnu Ja'far Gundar, dari Syu'bah dengan lafaz yang sama.
Apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnul Musayyab dari Ibnu Umar secara marfu' bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab sendiri, seperti yang disebutkan di atas tadi. Maka mustahil bila dia menentang riwayatnya sendiri yang ada sandarannya dengan riwayat yang tidak ada sandarannya.
Imam Ahmad meriwayatkan pula —begitu pula Imam Nasai dan Imam Ibnu Jarir— hadis ini melalui jalur Sufyan As-Sauri:

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ، عَنْ رَزِينِ بْنِ سُلَيْمَانَ الْأَحْمَرِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن الرَّجُلِ يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا فَيَتَزَوَّجُهَا آخَرُ، فَيُغْلِقُ الْبَابَ وَيُرْخِي السِّتْرَ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: هَلْ تَحِلُّ لِلْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ

dari Alqamah ibnu Marsad, dari Razin ibnu Sulaiman Al-Ahmari, dari Ibnu Umar yang menceritakan: Nabi ﷺ pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang menceraikan istrinya sebanyak tiga kali talak, lalu si istri dikawini oleh lelaki lain, dan suaminya yang baru itu menutup pintu rumahnya serta menurunkan kain kelambunya. Setelah itu dia menceraikannya sebelum menggaulinya. Maka apakah si istri halal bagi suaminya yang pertama? Nabi ﷺ menjawab, "Tidak, sebelum si wanita itu mencicipi madu kecil (suami baru)nya."

Demikianlah menurut lafaz Imam Ahmad dan menurut suatu riwayat dari Ahmad, yakni Sulaiman ibnu Razin.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَزِيدَ الْهَنَائِيُّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ فَطَلَّقَهَا ثَلَاثًا فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ رَجُلًا فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا حَتَّى يَكُونَ الْآخَرُ قَدْ ذَاقَ مِنْ عُسَيْلَتِهَا وَذَاقَتْ مِنْ عُسَيْلَتِهِ

telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yazid Al-Hana'i, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu ia menceraikannya dengan tiga kali talak. Sesudah itu bekas istri kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi suaminya yang baru ini menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Apakah wanita tersebut boleh dikawini lagi oleh suaminya yang pertama? Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu mencicipi madu kecilnya dan dia mencicipi pula madu kecil suaminya yang baru.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad ibnu Ibrahim Al-Anmati, dari Hisyam ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, lalu ia menceritakan hadis ini.
Menurut kami, Muhammad ibnu Dinar ibnu Sandal yang dikenal dengan sebutan Abu Bakar Al-Azdi, lalu At-Ta-i, lalu Al-Basri, yang juga dikenal dengan sebutan Ibnu Abul Furat, para ahli hadis berselisih pendapat mengenai dirinya. Di antara mereka ada yang menilainya lemah, ada pula yang menilainya kuat dan hadisnya dapat diterima serta dinilai baik. Akan tetapi, Imam Abu Daud menyebutkan bahwa dia mengalami masa pikun sebelum meninggal dunia.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ الْعَسْقَلَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شَيْبَانُ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي الْحَارِثِ الْغِفَارِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَرْأَةِ يُطَلِّقُهَا زَوْجُهَا ثَلَاثًا فَتَتَزَوَّجُ زَوْجًا غَيْرَهُ، فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَيُرِيدُ الْأَوَّلُ أَنْ يُرَاجِعَهَا، قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ الْآخَرُ عُسَيْلَتَهَا

telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Adam ibnu Abu Ayas Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syaiban, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abul Haris Al-Gifari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda sehubungan dengan wanita yang diceraikan tiga kali talak oleh suaminya, lalu wanita itu dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhi, kemudian suaminya yang pertama hendak menikahinya kembali: Tidak boleh, sebelum suami barunya merasakan madu kecilnya.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui jalur lain dari Syaiban (yaitu Ibnu Abdur Rahman) dengan lafaz yang sama. Abu Haris orangnya tidak terkenal.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:

حَدَّثَنَا ابْنُ مُثَنَّى، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَجُلًا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا، فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا، فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَحِلُّ لِلْأَوَّلِ؟ فَقَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ مِنْ عُسَيْلَتِهَا كَمَا ذَاقَ الْأَوَّلُ

telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa ada seorang lelaki menceraikan istrinya dengan tiga kali talak. Kemudian si istri kawin lagi dengan lelaki lain yang juga menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Lalu Rasulullah ﷺ ditanya, "Apakah si wanita itu halal bagi suaminya yang pertama?" Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan madu kecilnya sebagaimana suaminya yang pertama telah merasakannya.
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim serta Imam Nasai melalui banyak jalur dari Ubaidillah ibnu Umar Al-Umari, dari Al-Qasim ibnu Abu Bukair, dari bibinya, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama.
Jalur yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:


حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْهَبَّارِيُّ، وَسُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ، وَأَبُو هِشَامٍ الرِّفَاعِيُّ قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَتْ رَجُلًا غَيْرَهُ، فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ 
يُوَاقِعَهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ حَتَّى يَذُوقَ الْآخَرُ عُسَيْلَتَهَا وَتَذُوقَ عُسَيْلَتَهُ

telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Hubari dan Sufyan ibnu Waki' serta Abu Hisyam Ar-Rifa'i. Semuanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya, lalu si istri kawin lagi dengan lelaki yang lain, kemudian suami yang baru ini memasukinya, setelah itu menceraikannya, padahal ia belum menyetubuhinya. Apakah si wanita tersebut halal bagi suaminya yang pertama? Rasulullah ﷺ bersabda: Wanita itu tidak halal bagi suaminya yang pertama sebelum suaminya yang baru merasakan kemanisannya dan dia pun merasakan kemanisan suaminya yang baru itu.

Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Musaddad dan Imam Nasai, dari Abu Kuraib; keduanya dari Abu Mu'awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazim yang tuna netra) dengan lafaz yang sama.
Jalur lain disebutkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ يَتَزَوَّجُهَا الرَّجُلُ فَيُطَلِّقُهَا، فَتَتَزَوَّجُ رَجُلًا فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Ala Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyam, dari ayahnya, dari 'Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai seorang wanita yang dikawini oleh seorang lelaki, lalu diceraikannya. Setelah itu si wanita tersebut kawin lagi dengan lelaki yang lain, dan suaminya yang baru ini pun menceraikannya pula sebelum menggaulinya, maka apakah wanita tersebut halal dikawin lagi oleh suaminya yang pertama? Nabi ﷺ menjawab: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan kemanisannya.
Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Fudail, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, semuanya dari Hisyam dengan sanad ini.
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui jalur Abu Mu'awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazm), dari Hisyam dengan lafaz yang sama. Imam Muslim menyendiri dalam dua jalur lainnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Abdullah ibnu Mubarak, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari 'Aisyah secara marfu' dengan lafaz yang sama atau yang semisal dengannya. Riwayat ini sanadnya berpredikat jayyid (baik).
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari istri ayahnya (yaitu Aminah Ummu Muhammad), dari Aisyah, dari Nabi ﷺ dengan lafaz yang semisal.
Konteks hadits di atas merupakan kependekan dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:


حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ هِشَامٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيَّ تَزَوَّجَ امْرَأَةً ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَتَزَوَّجَتْ آخَرَ فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّهُ لَا يَأْتِيهَا، وَأَنَّهُ لَيْسَ مَعَهُ إِلَّا مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَقَالَ: "لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ

Telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Hisyam ibnu Urwah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari 'Aisyah secara marfu', dari Nabi ﷺ. Telah menceritakan pula kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari 'Aisyah r.a., bahwa Rifa'ah Al-Qurazi kawin dengan seorang wanita, lalu ia menceraikannya. Kemudian si wanita itu datang kepada Nabi ﷺ dan menceritakan kepadanya bahwa dia (suami yang baru) belum menggauli dirinya, dan bahwa apa yang dimilikinya tiada lain mirip dengan ujung kain baju (yakni tidak dapat ereksi). Maka Nabi ﷺ bersabda: Tidak boleh, sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu.
Imam Bukhari dalam jalur sanad ini menyendiri dalam periwayatannya.
Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: دَخَلَتِ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ -وَأَنَا وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -فَقَالَتْ: إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِي الْبَتَّةَ، وَإِنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ تَزَوَّجَنِي، وَإِنَّمَا عِنْدُهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ، وَأَخَذَتْ هُدْبَةً مِنْ جِلْبَابِهَا، وَخَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ بِالْبَابِ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ، أَلَا تَنْهَى هَذِهِ عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ! فَمَا زَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى التَّبَسُّمِ، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كَأَنَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ، لَا حَتَّى 
تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ

telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadis berikut: Istri Rifa'ah Al-Qurazi masuk menemui Nabi ﷺ Ketika itu aku dan Abu Bakar sedang bersamanya. Lalu istri Rifa'ah berkata, "Sesungguhnya Rifa'ah telah menceraikanku habis-habisan, dan sesungguhnya Abdur Rahman ibnuz Zubair menikahiku, tetapi apa yang ada padanya hanyalah seperti ujung kain baju," seraya memegang ujung kain jilbabnya. Ketika itu Khalid ibnu Sa'id ibnul As berada di dekat pintu rumah Nabi ﷺ karena belum mendapat izin untuk masuk. Maka ia berkata, "Wahai Abu Bakar, mengapa engkau tidak menghentikan wanita yang berbicara blakblakan ini di depan Rasulullah ﷺ?" Tiada yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ kecuali hanya tersenyum, lalu bersabda, "Seakan-akan kamu ingin kembali kepada Rifa'ah. Tidak boleh, sebelum kamu merasakan kemanisannya dan dia merasakan pula kemanisanmu."
Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui hadis Abdullah ibnul Mubarak dan Imam Muslim melalui hadits Abdur Razzaq, serta Imam Nasai melalui hadis Yazid ibnu Zurai'. Ketiga-tiganya meriwayatkan hadis ini dari Ma'mar dengan lafaz yang sama.
Menurut hadits Abdur Razzaq yang ada pada Imam Muslim disebutkan:

أن رِفَاعَةَ طَلَّقَهَا آخِرَ ثَلَاثِ تَطْلِيقَاتٍ

Bahwa Rifa'ah menceraikannya dengan tiga kali talak.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Jamaah selain Imam Abu Daud melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah dan Imam Bukhari melalui jalur Uqail, serta Imam Muslim melalui jalur Yunus ibnu Yazid. Yang ada pada riwayat Imam Muslim disebutkan talak terakhir, yaitu yang ketiga. Imam Nasai meriwayatkannya melalui jalur Ayyub ibnu Musa, dan Saleh ibnu Abul Akhdar; semuanya dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah dengan lafaz yang sama.
Imam Malik meriwayatkan:

عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الزُّبَيْرِ: أَنَّ رِفَاعَةَ بْنَ سِمْوَالٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ تَمِيمَةَ بِنْتَ وَهْبٍ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثًا، فَنَكَحَتْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ، فَاعْتَرَضَ عَنْهَا فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَمَسَّهَا، فَفَارَقَهَا، فَأَرَادَ رِفَاعَةُ أَنْ يَنْكِحَهَا، وَهُوَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ الَّذِي كَانَ طَلَّقَهَا، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَهَاهُ عَنْ تَزْوِيجِهَا، وَقَالَ: "لَا تَحِلُّ لَكَ حَتَّى تَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ

dari Al-Miswar ibnu Rifa'ah Al-Qurazi, dari Az-Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, bahwa Rifa'ah ibnu Samuel menceraikan istrinya yang bernama Tamimah binti Wahb di masa Rasulullah ﷺ dengan tiga kali talak. Lalu Tamimah kawin lagi dengan Abdur Rahman ibnu Zubair. Akan tetapi, Tamimah berpaling darinya dan ia tidak mampu menyentuhnya. Maka Abdur Rahman ibnuz Zubair menceraikannya. Ketika Rifa'ah ibnu Samuel (yaitu suami pertama yang telah menceraikannya) hendak mengawininya kembali, maka hal tersebut diceritakan kepada Rasulullah ﷺ. Lalu Rasulullah ﷺ melarang Rifa'ah mengawininya seraya bersabda: Dia tidak halal bagimu sebelum dia merasakan kemanisan (suami baru) nya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Malik di dalam kitab Muwatta', dari Imam Malik. Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat inqita'.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Tahman dan Abdullah ibnu Wahb, dari Malik, dari Rifa'ah, dari Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, dari ayahnya yang me-rafa-kan hadits ini.

Tujuan utama perkawinan baru dengan lelaki lain ialah hendaknya perkawinan tersebut didasari rasa cinta yang sesungguhnya kepada wanita yang bersangkutan dan akan membina rumah tangga yang lestari dengannya sebagaimana yang telah disyariatkan dalam ketentuan perkawinan.
Imam Malik mensyaratkan selain ini, hendaknya suami yang baru menyetubuhinya dalam keadaan yang diperbolehkan. Untuk itu seandainya suami yang baru menyetubuhinya di masa ia sedang ihram atau sedang berpuasa atau sedang i'tikaf atau sedang haid atau sedang nifas, atau pihak suami barunya sedang puasa atau sedang ihrarn atau sedang melakukan i'tikaf, maka si istri masih belum diperbolehkan untuk dikawini oleh suami pertamanya.
Demikian pula jika suami barunya itu adalah seorang kafir zimmi yang tidak halal bagi seorang muslim menikahinya, karena nikah dengan orang kafir hukumnya batil menurut mazhab Maliki.
Menurut Al-Hasan Al-Basri melalui riwayat yang dikemukakan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr, dari Al-Hasan, disyaratkan hendaknya suaminya yang baru itu mengeluarkan air mani dalam persetubuhannya. Seakan-akan pendapat ini berpegang kepada makna yang terkandung di dalam sabda Rasulullah ﷺ yang mengatakan: Sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu.
Berdasarkan pengertian ini, maka pihak wanita diharuskan pula mengalami inzal (ejakulasi).
Akan tetapi, makna yang dimaksud dengan istilah 'usailah bukanlah air mani, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Nasai melalui Aisyah r.a., bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

"أَلَا إِنَّ الْعُسَيْلَةَ الْجِمَاعُ"

Ingatlah, sesungguhnya 'usailah adalah jimak (persetubuhan).

Jika suami yang baru hanya bertujuan untuk menghalalkan si wanita untuk dikawin lagi oleh suami pertamanya, hal ini disebutkan dengan istilah 'penghapus talak' yang dikecam dan dilaknat oleh banyak hadis. Untuk itu apabila suami yang baru mengutarakan maksud yang sebenarnya (yakni hanya sebagai penghapus talak) secara terang-terangan dalam akad nikahnya, maka nikahnya batal menurut kesepakatan jumhur para imam.

Firman Allah Swt.:

{فَإِنْ طَلَّقَهَا}

Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya. (Al-Baqarah: 230)

Yakni suami yang baru sesudah menggaulinya.

{فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا}

maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali. (Al-Baqarah: 230)

Yaitu dia dan bekas suami yang pertama.

{إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ}

jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 230)

Maksudnya, kembali membangun rumah tangga secara makruf. Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah jika keduanya menduga bahwa perkawinan mereka kali ini bukanlah palsu.

{وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ}

Itulah hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 230)

Yakni syariat-syariat dan ketentuan-ketentuan hukum-Nya.

{يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ}

diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Al-Baqarah: 230)

Para Imam رحمه الله berselisih pendapat dalam masalah bila seorang lelaki menceraikan istrinya dengan sekali atau dua kali talak, lalu si lelaki membiarkannya hingga masa 'iddahnya habis. Kemudian si wanita itu kawin dengan lelaki lain dan bersetubuh dengannya, setelah itu ia dicerai kembali hingga habis masa 'iddahnya. Selanjutnya ia dikawini oleh suami pertamanya, maka apakah kembali lagi kepadanya apa yang tersisa dari tiga talaknya, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Malik رحمه الله, Imam Syafii رحمه الله, dan Imam Ahmad ibnu Hambal رحمه الله? Hal ini juga merupakan pendapat segolongan sahabat. Ataukah suami yang kedua dianggap telah menghapuskan semua talak yang terjadi sebelumnya? Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan kembali lagi dikawini oleh suami pertama, maka kembali pula kepadanya talak tiga secara utuh, seperti yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah dan semua temannya. Alasan mereka mengatakan, apabila suami yang kedua dapat menghapuskan tiga talak, terlebih lagi bila talak yang dihapuskan itu kurang dari tiga.
---------------
Bibliography :
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 79.
Tafsir Ibnu Katsir Online

Al Qur'an Terjemahan Indonesia, Tim DISBINTALAD (Drs. H.A. Nazri Adlany, Drs. H. Hanafie Tamam dan Drs. H.A. Faruq Nasution); Penerbit P.T. Sari Agung Jakarta, cetakan ke tujuh 1994, halaman 66.

Kamis, 16 Februari 2017

Musuh Yang Nyata

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuhmu maka ambillah dia sebagai musuh” (QS. Faathir : 6). Ibnu Katsir رحمه الله berkata setelah ayat ini : Kita memohon kepada Allah agar Dia juga menjadikan kita sebagai musuh syaitan.

Dr. Shalah Budair, imam dan khatib Masjid Nabawi Asy Syarif dan Hakim di mahkamah agung Madinah Nabawiyah. (Twitter : @slah1971) - Twit Ulama

Terkadang Perlu Melihat Kebawah

Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah nikmat Allah kepada kalian”(QS. al-Ahzab : 9). Nabi ﷺ bersabda, “lihatlah kepada orang yang ada di bawah kalian, agar kalian tidak menyepelekan nikmat Allah.

Fahad Al-Kundari, imam masjid besar negara Kuwait, dan insya Allah recital Al-Qur’an beliau telah masyhur. (Twitter : @fahadalkandri) - Twit Ulama

Rabu, 15 Februari 2017

Berdzikir Mengingat-Mu

Sekiranya dzikir (mengingat) Allah hanya memiliki manfaat bahwa Allah akan mengingat kita tatkala kita mengingatNya, maka keutamaan ini sudah cukup.
“ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu” (QS. al-Baqarah : 152).
Barangsiapa yang diingat oleh Allah, maka Dia akan membuatnya bahagia, menolongnya, merahmatinya, dan mengampuni kesalahannya.

Dr. Khalid Al-Mushlih, dosen fiqh pada Universitas Al-Qashim, Saudi Arabia, salah satu murid senior sekaligus menantu Syaikh Utsaimin رحمه الله. (Twitter : @Dr_almosleh) - Twit Ulama

Makruh Menggantungkan Genta pada Binatang

Abu Hurairah رَضِيَ اللََّهُ عَنْه berkata : Bersabda Rasulullah : Para Malaikat tidak akan mengikuti rombongan yang ada anjing atau genta-(kelontong)-nya. (HR. Muslim).

Abu Hurairah رَضِيَ اللََّهُ عَنْه berkata : Bersabda Nabi : Genta itu daripada suling syaithon. (HR. Abu Dawud).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 518.

Selasa, 14 Februari 2017

Rahmat Allah Itu Luas

Rahmat Allah lebih luas dari semua dosa (yang dilakukan seorang hamba -pent). Orang yang diharamkan (dari rahmat Allah) adalah dia yang berharap rahmat tersebut sementara ia malah menghampiri sebab-sebab datangnya azab.
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ۚفَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ

“dan rahmat-Ku luas meliputi segala sesuatu,maka aku akan memberikan nya bagi mereka yang bertaqwa” (QS. al-A’raf : 156)

Syaikh Abdul Aziz Ath-Tharifi, Ulama yang juga menjabat sebagai Peneliti Ilmiah di Departemen Masalah Islam di Riyadh, Arab Saudi. (Twitter : @abdulaziztarefe) - Twit Ulama

Senin, 13 Februari 2017

‪#‎CintaMulia‬

Hari kasih sayang cuma sehari ? Mau disayangnya cuma sehari aja ?
Itu bukan hari kasih sayang, tapi hari kemaksiatan yang berkedok kasih sayang. Mana ada kasih sayang yang membawa pada kehancuran.
Kasih sayang harusnya membawa kepada kemuliaan, bukan kepada kemurkaan.
Kasih sayang itu membawa kebahagiaan dunia akhirat, bukan pada kesenangan sesaat.
Kecintaan Allah kepada kita saja setiap waktu, jadi cinta kita kepada-Nya seharusnya tak lekang oleh waktu.
Cinta lebih dari sekedar rasa, dia adalah ibadah. Tak perlu hari khusus untuk merayakannya.

Hijab Alila; 13 Pebruari 2015 M, jam 21 : 19 WIB.

Nasihat Abu Hurairah

“Sesungguhnya rumah yang terasa lapang oleh penghuninya, malaikat mendatanginya, dan syaithan menjauhinya adalah karena banyak dibacakan al-Qur'an di dalamnya”. Yaitu: Sesungguhnya bacaan al-Qur'an dapat berefek seperti itu.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid (Twitter : @almonajjid) - Twit Ulama

Bagaikan Bara

Note Trip, 16 Jumadil Awwal 1438 H. Hari-hari belakangan ini nama-nama seperti Rizieq Shihab, Ma'ruf Amin, Bachtiar Nashir adalah nama-nama yang jadi bahan olok-olok oleh penista agama dan kroninya, dijatuhkan dengan berbagai cara, agar penista agama selamat.
Jauh sebelum itu Abdullah Gymnastiar sempat jadi bulan-bulanan media tatkala menikahi isteri keduanya. Tapi sungguh jauh hari ke belakang, 5 tahun, 10 tahun bahkan selepas masa proklamasi. Upaya menghinakan orang-orang yang didepan nama mereka terdapat sebutan Habib, Kyai Haji, Da'i, Ustadz, Ulama dan Guru tidak pernah surut. Tidak berbatas pesona, apakah ia ulama yang dikenal dalam skala nasional ataupun sekelas kampung. Yang penting bagi mereka jadi bahan olok-olokan.
Maka direkayasalah fitnah kecil hingga besar, dilancarkanlah propaganda, disusun berbagai konspirasi buruk agar jatuh kredibilitas ulama, agar agama Islam juga turut terdiskreditkan karenanya.
Kini sasaran mereka terus melebar siapapun yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, siapa saja yang melakukan amalan yang mendatangkan cintanya Allah dan Rasul-Nya tak luput dari bidikan. Lagi-lagi tujuannya sama, mencemooh mereka-mereka yang disebut Rasulullah sebagai "Saudaraku" lebih dari 1400 tahun yang lalu.
Maka peganglah Kitabullah dan Sunnah dengan sungguh-sungguh wahai jiwa-jiwa yang rindu panggilan "Wahai Saudaraku" dari lisan sang Nabi.

Haram Memelihara Anjing

Ibn Umar رضي الله عنهما berkata : Rasulullah bersabda : Siapa yang memelihara anjing selain anjing buruan atau penjaga ternak, maka akan mengurangi pahalanya pada tiap hari dua Qiroth. (HR. Buchary dan Muslim).

Abu Hurairah رَضِيَ اللََّهُ عَنْه berkata : Rasulullah bersabda : Siapa yang memelihara anjing, maka akan mengurangi amalnya pada tiap hari satu Qiroth, kecuali anjing untuk menjaga tanaman dan ternak. (HR. Buchary dan Muslim).

Dan dalam riwayat Muslim : Siapa yang memelihara anjing bukan untuk memburu atau menjaga ternak atau menjaga kebun (sawah), maka akan berkurang pahalanya tiap hari dua qiroth
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 517.

Minggu, 12 Februari 2017

Seruan Untuk Umat

Allah berfirman:
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَىٰ دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). (QS. Yunus: 25)

Renungilah ayat ini, Allah menjadikan ajakan menuju surga-Nya dalam konteks umum. Adapun hidayah untuk menggapai surga, hanya Allah berikan untuk hamba- hamba-Nya yang terpilih. Allah memberi taufik kepada orang-orang yang Dia kehendaki.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, pengasuh web IslamQA. (Twitter : @almonajjid) - Twit Ulama

Cinta Dan Takut Kepada Allah

Cinta dan takut merupakan dua kata yang hati kita tidak akan lepas darinya. Baik ketika kita masih kecil, remaja, dewasa, bahkan ketika sudah tua. Namun terkadang kita masih saja salah mengartikan dan menyalurkan cinta dan takut pada sesuatu yang terlarang dalam agama. Oleh karena itu wajib bagi kita untuk mempelajarinya agar tidak terjatuh pada perkara yang haram. Marilah kita luangkan sejenak waktu, untuk mempelajari sekelumit tentangnya.
Ibadah itu tidak hanya shalat, puasa, zakat, haji, sedekah, berdzikir, dan lainnya dari ibadah-ibadah anggota badan (lisan dan perbuatan). Di sana masih ada ibadah lain bahkan ibadah yang paling agung yang disebut ibadah qalbiyyah (yang berhubungan dengan hati) seperti sabar, tawakkal, ikhlas, cinta, dan lain-lain. Karena definisi ibadah sebagaimana disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir) (lihat kitab al ‘Ubudiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).

Apa itu Cinta?
Makna cinta tidak hanya terbatas kepada hubungan kasih antara dua insan semata, namun sesungguhnya makna cinta itu lebih luas dan dalam. Cinta merupakan salah satu sebab yang kuat untuk memulai suatu perbuatan. Demikianlah cinta, ia mampu membangkitkan jiwa, menggerakkan hati dan badan tatkala disebutkan sesuatu yang dicintainya. Namun, dari sekian banyak cinta yang dimiliki seorang manusia, hanya ada dua cinta yang hakiki: [1] mencintai Allah dan ini poros cinta yang semua cinta akan kembali kepada cinta ini, [2] mencintai apa saja yang dicintai Allah. Oleh karena itu, kita mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat, dan orang-orang shalih, karena Allah mencintai mereka dan Allah pun memerintahkan demikian. Untuk itu Allah menjadikan mencintai saudaranya sesama muslim karena-Nya termasuk satu dari tiga penyempurna keimanan, sehingga orang tersebut akan merasakan lezatnya iman. Sebagaimana kabar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tiga perkara yang barangsiapa memilikinya, maka dia akan merasakan lezatnya iman, yaitu: [1] Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, [2] mencintai saudaranya karena Allah semata, [3] membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana ia benci jika dilemparkan ke dalam api.” [HR. Bukhari dan Muslim]. Dalam hadits yang lain beliau juga bersabda: “Tidaklah (sempurna) keimanan salah seorang di antara kalian hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” [HR. Bukhari dan Muslim]. Dalam dua hadits ini, Allah melalui lisan Rasul-Nya mengaitkan kesempurnaan iman dengan mencintai sesama muslim karena mereka mencintai Allah.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Cinta karena Allah merupakan buah mencintai Allah. Sebagian ulama mengatakan, ‘Cinta adalah kecocokan hati kepada apa yang dicintai Allah, sehingga dia mencinta apa yang dicintai-Nya dan membenci apa yang dibenci-Nya.’” [Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim (II/14)]

Cinta yang Bernilai Ibadah
Kecintaan yang paling agung dan mulia di dalam kehidupan kita ini adalah kecintaan kita kepada Allah. Ketika seorang hamba mencintai Allah, maka dia akan rela untuk melakukan seluruh hal yang diperintahkan dan menjauhi seluruh hal yang dilarang oleh yang dicintainya tersebut. Cinta kepada Allah juga mengharuskan membenci segala sesuatu yang dibenci oleh Allah. Sesungguhnya apabila ditanyakan kepada setiap muslim “Apakah anda mencintai Allah?” maka tentu dia akan menjawab “Tentu saja”. Namun pernyataan tanpa bukti tidaklah bermanfaat. Allah tidak membutuhkan pernyataan belaka. Akan tetapi Dia menginginkan agar kita membuktikan pernyataan kita “Aku cinta Allah”. Oleh karena itulah, Allah menguji setiap muslim dalam firman-Nya (artinya), “Katakanlah (wahai muhammad): Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31). Ya, bukti kecintaan kita kepada Allah adalah dengan mengikuti Rasulullah dalam segala hal. Bahkan kecintaan kita terhadap beliau harus lebih dari kecintaan kita terhadap diri sendiri dan keluarga. Beliaulah teladan terbaik dalam aqidah, ibadah, akhlak, muamalah dan sebagainya. Allah berfirman (artinya), “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21). Oleh karena itu, jika kita mengaku mencintai Allah, mari kita buktikan dengan menjadikan Rasulullah sebagai panutan kita. Bukan dengan menjadikan orang-orang kafir sebagai panutan, walaupun mereka itu populer dan terkenal seperti artis, selebritis dan semacamnya. Karena sesungguhnya Rasulullah bersabda “Seseorang itu akan bersama dengan orang yang dicintainya (di hari akhirat nanti).” (HR. Muslim). Makna dari hadits ini adalah jika ketika di dunia kita mencintai orang-orang shalih (seperti para rasul dan nabi) dan menjadikan mereka teladan, maka di akhirat nanti kita akan bersama mereka. Dan sebaliknya ketika di dunia kita mencintai orang-orang kafir dan menjadikan mereka sebagai teladan, maka di akhirat nanti kita pun akan bersama mereka. Bukankah tempat mereka di akhirat merupakan seburuk-buruk tempat. Duhai, betapa musibah yang sangat besar!

Makna Takut
Pilar lainnya yang mesti ada dalam ibadah seorang muslim adalah rasa takut. Dengan adanya rasa takut, seorang hamba akan termotivasi untuk rajin mencari ilmu dan beribadah kepada Allah semata agar bebas dari murka dan adzab-Nya. Selain itu, rasa takut inilah yang dapat mencegah keinginan seseorang untuk berbuat maksiat. Allah berfirman (artinya): “(Yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat.” (QS. Al Anbiya: 49)
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Rasa takut merupakan sebuah ungkapan dari rasa sedihnya hati disebabkan hal-hal yang dibenci yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Rasa ini berbanding lurus dengan sebab-sebabnya, akan kuat jika sebabnya kuat dan akan melemah jika sebabnya melemah pula”[ Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal 347].

Takut yang Bernilai Ibadah
Takut adalah kondisi psikis yang timbul karena perasaan khawatir tertimpa bahaya atau celaka. Takut sendiri ada bermacam-macam :
  1. Takut yang merupakan tabiat, seperti takut kepada binatang buas seperti ular, harimau, dan lain-lain dan takut kepada musuh dalam perang, ini semua bukan termasuk takut yang tercela. Hal ini wajar ada dalam diri seseorang apabila dengan sebab yang jelas. Namun hendaknya rasa takut tersebut tidak sampai menyebabkan seseorang meninggalkan ibadah kepada Allah seperti amar ma’ruf nahi munkar atau membuatnya melakukan hal-hal yang dilarang.
  2. Takut kepada sesuatu yang samar sebabnya, seperti berhala ataupun wali dikarenakan khawatir apabila tidak taat pada mereka maka akan terkena tulah atau bala. Sebagaimana perkataan kaum Ad kepada nabi Hud ‘alaihis-salaam “Kami hanyalah mengatakan jika sebagian sesembahan kami telah menimpakan penyakit gila padamu…” (QS. Hud : 54). Mereka berkeyakinan jika sesembahan mereka layak ditakuti karena dapat menimpakan keburukan. Hal ini termasuk bentuk syirik.
  3. Takut dalam rangka ibadah. Rasa takut seperti ini hanya boleh ditujukan kepada Allah, sehingga membuat seseorang menjadi taat serta menjadikan dirinya menjauh dari maksiat. Hal ini termasuk perkara paling wajib yang terkandung di dalamnya keimanan.

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan : “Seseorang yang sudah tidak takut kepada Allah, maka akan mengikuti hawa nafsunya. Terlebih lagi jika sesuatu tersebut gagal untuk diraih. Maka nafsunya akan terus mencari sesuatu yang bisa memuaskan dirinya dan menghilangkan rasa gundah dan kesedihannya. Hal itu karena nafsunya tidak merasa tenang dan terpuaskan dengan berdzikir mengingat Allah dan beribadah kepada-Nya. Akan tetapi ia merasa tenang dengan hal-hal yang haram dengan berbuat keji, meminum sesuatu yang haram dan berkata dusta.” (dinukil dari Hushulul Ma’mul hal. 76 – 77).

Menumbuhkan Rasa Takut Kepada Allah Ta’ala
Rasa takut kepada Allah merupakan salah satu ibadah hati yang diperintahkan oleh-Nya di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Rasa takut kepada-Nya tidak dapat direalisasikan dengan benar dan sempurna kecuali oleh para ulama Rabbani yang mengenal Allah dengan sebenarnya. Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fathir: 28). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, Aku adalah orang yang paling tahu di antara kalian tentang Allah, dan (karena itu) aku adalah orang yang paling takut di antara kalian kepada-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya hakekat ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat (atau hafalan), akan tetapi hakikat ilmu ialah apa yang menumbuhkan rasa takut (kepada Allah).” (Lihat al-Fawa’id, hal. 142).
Diantara cara untuk menumbuhkan rasa takut kepada Allah yaitu: [1] mempelajari ilmu untuk mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya, [2] Mengetahui pedihnya siksa Allah dan merasa tidak sanggup menahan siksa-Nya, [3] merasa takut terhalang untuk bisa bertaubat karena sebab dosa yang dilakukannya, dan [4] takut mati dalam keadaan buruk, yaitu mati dalam keadaan bermaksiat pada Allah.

Penutup
Cinta dan takut yang telah disebutkan di atas harus seimbang dalam setiap ibadah seorang hamba. Seseorang yang memiliki rasa takut yang berlebihan akan menyebabkan dirinya putus asa, sedangkan jika rasa takutnya rendah maka dengan mudahnya dia akan bermaksiat kepada Tuhannya. Adapun rasa cinta, maka itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju tujuan yang ia cintai. Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-lemahnya rasa cinta. Sedangkan rasa takut akan membantunya mencegah keluar dari jalan menuju tujuan yang dicintainya.

Penulis : Muhammad Nashiruddin Hasan, ST (Alumni Ma’had Al’ilmi Yogyakarta)
Murojaah : Ustadz Abu Salman, BIS
--------------------------------------------------
Sumber : buletin.muslim.or.id