"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Jumat, 17 Februari 2017

Perihal Men-Thalaq

Di dalam al-Qur'an surat al-Baqarah (2) : 230, Allah ta'ala menasehati suami yang beriman perihal menthalaq isterinya, dalam firman-Nya :

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۥ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللَّـهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّـهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Maka jika suami menthalaknya (talak tiga), maka tidak halal baginya sesudah itu sehingga dia kawin dengan laki-laki lainnya. Kemudian jika dia menceraikannya, maka tidak ada halangan buat mereka berdua untuk kawin kembali jika keduanya yakin bahwa mereka dapat menegakkan hukum-hukum Allah. Demikianlah hukum-hukum Allah dijelaskan-Nya bagi kaum yang mengetahui. (230).

Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat yang bersumber dari Muqatil bin Hibban dikemukakan bahwa turunnya ayat ini (QS. 2 : 230) berkenaan dengan pengaduan 'Aisyah binti Abdur-rahman bin 'Atik kepada Rasulullah ﷺ bahwa ia telah dithalaq oleh suaminya yang kedua (Abdurrahman bin Zubair al-Quradzi) dan akan kembali kepada suaminya yang pertama (Rifa'ah bin Wahab bin 'Atik) yang telah menthalaq "bain" kepadanya. 'Aisyah binti Abdur-rahman bin 'Atik berkata : "Abdurrahman bin Zubair al-Quradzi telah menthalaq saya sebelum menggauli. Apakah saya boleh kembali kepada suami yang pertama?. Nabi ﷺ menjawab : "Tidak kecuali kamu telah digauli suamimu yang kedua".
Kejadian ini membenarkan seorang suami yang telah menthalaq "bain" isterinya, mengawini kembali isterinya itu, setelah isterinya itu digauli dan dicerai oleh suaminya yang kedua. (HR. Ibnul Mundzir).

Catatan :
Thalaq "bain" ialah thalaq yang tidak bisa dirujuk (setelah 3 thalaq), kecuali kalau si isteri telah kawin dulu dengan yang lain.

Tafsir Ayat
QS. 2 : 230. "Maka jika suami menthalaknya (talak tiga), maka tidak halal baginya sesudah itu sehingga dia kawin dengan laki-laki lainnya. Kemudian jika dia menceraikannya, maka tidak ada halangan buat mereka berdua untuk kawin kembali jika keduanya yakin bahwa mereka dapat menegakkan hukum-hukum Allah. Demikianlah hukum-hukum Allah dijelaskan-Nya bagi kaum yang mengetahui".

Imam Syafii رحمه الله mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang diperbolehkan melalui imbalan harta bukan talak namanya.
Sedangkan selain Imam Syafii رحمه الله meriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibrahim ibnu Sa'd ibnu Abu Waqqas pernah bertanya kepadanya mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, kemudian pihak istri minta khulu' darinya. Pertanyaannya, "Bolehkah suami tersebut mengawininya kembali?" Ibnu Abbas menjawab, "Ya, boleh. Khulu' bukanlah talak. Allah menyebutkan masalah talak pada permulaan ayat dan akhirnya, sedangkan masalah khulu' disebutkan-Nya di antara keduanya. Maka khulu' bukan merupakan sesuatu yang dianggap (sebagai talak)." Kemudian Ibnu Abbas r.a. membacakan firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229); Firman-Nya: Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230)
Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas رضي الله عنهما yang kesimpulannya menyatakan bahwa khulu' bukanlah talak, melainkan fasakh nikah.
Hal yang sama dikatakan pula oleh suatu riwayat dari Usman ibnu Affan r.a. dan Ibnu Umar رضي الله عنهما. Juga merupakan pendapat yang dikatakan oleh Tawus dan Ikrimah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Saur, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Syafii dalam qaul qadimnya, dan sesuai dengan makna lahiriah ayat yang bersangkutan.
Pendapat yang kedua mengenai masalah khulu' mengatakan bahwa khulu' adalah talak bain, kecuali jika lelaki yang bersangkutan berniat lebih dari itu.

Imam Malik رحمه الله meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Jahman maula Bani Aslam, dari Ummu Bakr Al-Aslamiyyah, bahwa ia pernah meminta khulu' dari suaminya yang bernama Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid. Lalu keduanya datang menghadap Usman ibnu Affan, mengadukan perkara tersebut. Maka Khalifah Usman mengatakan, "Talak satu. Kecuali jika kamu menyebutkan bilangannya, maka talak yang jatuh menurut apa yang kamu sebutkan."
Imam Syafii رحمه الله mengatakan bahwa ia tidak mengenal perawi yang bernama Jahman tersebut. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, ia mengatakan bahwa asar ini daif.
Hal yang sama diriwayatkan pula melalui Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, dan ibnu Umar. Dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Ata, Syuraih, Asy-Sya'bi, Ibrahim, dan Jabir ibnu Zaid. Juga dikatakan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, dan teman-temannya; serta As-Sauri, Al-Auza'i, Abu Usman Al-Batti, dan Imam Syafii dalam qaul jadid-nya.
Hanya mazhab Hanafi mengatakan, "Manakala Mukhali' berniat dengan khulu'-nya itu menjatuhkan sekali talak atau dua kali atau memutlakkannya, maka yang terjadi adalah talak satu bainah. Jika pihak suami berniat menjatuhkan tiga talak, maka yang jatuh adalah tiga talak."
Imam Syafii رحمه الله mempunyai pendapat lain dalam masalah khulu', yaitu manakala khulu' terjadi bukan dengan lafaz talak dan lagi tidak ada bayyinah (bukti/saksi), maka hal tersebut bukan dinamakan sebagai suatu masalah sama sekali.
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq ibnu Rahawaih dalam salah satu riwayat darinya yang terkenal mengatakan, wanita yang meminta khulu' mempunyai idah sama dengan idah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru' jika ia termasuk wanita yang berhaid.
Hal ini telah diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Ibnu Umar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Sulaiman ibnu Yasar dan Urwah, Salim, Abu Salamah, Umar ibnu Abdul Aziz, Ibnu Syihab, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Abu Iyad, Khal-las Ibnu Umar, Qatadah, Sufyan, As-Sauri, Al-Auza'i, Al-Lais ibnu Sa'd, dan Abul Ubaid.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya. Kesimpulan pendapat mereka dalam masalah ini menyatakan bahwa khulu' adalah talak. Karena itu, wanita yang meminta khulu' dikategorikan sebagaimana wanita-wanita lainnya yang diceraikan.
Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita yang meminta khulu' dari suaminya melakukan idahnya hanya dengan sekali haid untuk membersihkan rahimnya.
Ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Nafi', dari Ibnu Umar رضي الله عنهما, bahwa Ar-Rabi' meminta khulu' kepada suaminya, lalu paman Ar-Rabi' datang kepada Khalifah Usman r.a. (mengadukan hal tersebut). Lalu Usman r.a. berkata, "Hendaklah ia melakukan idah selama sekali haid."
Ibnu Abu Syaibah mengatakan bahwa Ibnu Umar mengatakan, "Hendaklah wanita yang khulu' melakukan idahnya selama tiga kali haid." Hingga Khalifah Usman sendiri mengatakan hal yang sama, dan Ibnu Umar selalu memfatwakan demikian dan mengatakan, "Usman adalah orang yang paling terpilih dan paling alim di antara kami."
Telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa idah wanita yang meminta khulu' kepada suaminya adalah sekali haid.
Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dari Lais, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mukhtali'ah (wanita yang meminta khulu') idahnya adalah sekali haid.
Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Aban ibnu Usman beserta semua orang yang telah disebutkan di atas dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa khulu' adalah fasakh. Mereka mengatakan demikian berdalilkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi; masing-masing dari keduanya mengatakan :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ الْبَغْدَادِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ: أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Bahr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, dari Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Bahwa istri Sabit ibnu Qais meminta khulu' dari suaminya di masa Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ. memerintahkan kepadanya agar melakukan idah sekali haid.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi garib. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah secara mursal.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Turmuzi:

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى، عَنْ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَهُوَ مَوْلَى آلِ طَلْحَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ: أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ - أَوْ أُمِرَتْ -أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, dari Sufyan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman (yaitu maula keluarga Talhah), dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa ia pernah meminta khulu' di masa Rasulullah ﷺ. Maka Nabi ﷺ memerintahkan kepadanya —atau dia diperintahkan— untuk melakukan idah sekali haid.

Imam Turmuzi mengatakan, yang sahih adalah disebutkan bahwa ia diperintahkan untuk melakukan idah sekali haid.
Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَلَمَةَ النَّيْسَابُورِيُّ، حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنِي عبادة بن الوليد بن عبادة بن الصامت، عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَ: قُلْتُ لَهَا: حَدِّثِينِي حَدِيثَكِ. قَالَتِ: اخْتَلَعْتُ مِنْ زَوْجِي، ثُمَّ جِئْتُ عُثْمَانَ، فَسَأَلْتُ: مَاذَا عَلَيَّ مِنَ الْعِدَّةِ؟ قَالَ: لَا عِدَّةَ عَلَيْكِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ حَدِيثَ عَهْدٍ بِكِ فَتَمْكُثِينَ عِنْدَهُ حَتَّى تَحِيضِي حَيْضَةً. قَالَتْ: وَإِنَّمَا تَبِعَ فِي ذَلِكَ قَضَاءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرْيَمَ الْمُغَالِيَةِ، وَكَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ، فَاخْتَلَعَتْ مِنْهُ
.
telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Salamah An-Naisaburi, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Ubadah ibnu Walid ibnu Ubadah ibnus Samit, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa Ubadah pernah berkata kepada Ar-Rabi', "Ceritakanlah kepadaku kisah tentang dirimu." Ar-Rabi' menjawab, "Aku pernah meminta khulu' dari suamiku. Kemudian aku datang kepada Khalifah Us'man dan menanyakan kepadanya berapa lama idah yang harus aku jalani. Maka Khalifah Usman menjawab, 'Tiada idah atas dirimu, kecuali jika suamimu baru saja menggaulimu, maka kamu tinggal padanya selama sekali haid'." selanjutnya Ar-Rabi' mengatakan bahwa sesungguhnya dia dalam masalah ini hanyalah mengikut kepada peradilan yang telah diputuskan oleh Rasulullah ﷺ terhadap Maryam Al-Mugaliyah. Maryam pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu ia meminta khulu' darinya.
Ibnu Luhai'ah menceritakan dari Abul Aswad, dari Abu Salamah dan Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada istri Sabit ibnu Qais ketika meminta khulu' dari suaminya agar melakukan 'iddah sekali haid.
Lelaki yang meng-khulu' istrinya tidak boleh merujuki istrinya yang meminta khulu' dalam 'iddahnya tanpa seizin dari pihak si istri. Demikianlah menurut para imam yang empat dan jumhur ulama, karena si istri telah memiliki dirinya sendiri berkat tebusan yang telah ia berikan kepada pihak suami.
Telah diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Aufa, Mahan Al-Hanafi, dan Sa'id ibnul Musayyab serta Az-Zuhri, bahwa mereka mengatakan, "Jika pihak suami mengembalikan lagi tebusan tersebut kepada pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan merujuki istrinya selagi dalam idahnya tanpa perlu ada kerelaan dari pihak si istri." Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Saur rahimahullah.
Sufyan As-Sauri mengatakan, "Jika khulu' terjadi bukan dengan memakai lafaz talak, maka hal ini namanya perpisahan, dan tidak ada jalan lagi bagi pihak suami untuk merujukinya. Jika pihak suami menyebutnya dengan memakai kalimat talak, maka dialah yang lebih berhak merujuki istrinya selagi masih berada dalam idahnya." Pendapat inilah yang dikatakan oleh Daud ibnu Ali Az-Zahiri.
Semua ulama sepakat bahwa lelaki yang meng-khulu' istrinya berhak mengawini istrinya selagi masih dalam idah.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barra telah meriwayatkan dari sejumlah ulama, bahwa suami tidak boleh merujuki istrinya yang telah di-khulu', sebagaimana tidak boleh pula bagi lelaki lain yang ingin mengawininya. Pendapat ini syaz (menyendiri) lagi tidak dapat diterima.
Apakah si suami boleh menjatuhkan talak lainnya kepada mukhtali'ah di masa idahnya? Sehubungan dengan masalah ini ada tiga pendapat di kalangan ulama.
Pendapat pertama: mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh melakukan demikian, karena pihak istri telah memiliki dirinya sendiri dan terpisah dari dia. Hal inilah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Abu Saur.
Pendapat kedua. Imam Malik mengatakan, "Jika talak diikutkan dengan khulu' tanpa ada tenggang waktu di antara keduanya, maka talaknya sah. Tetapi jika si suami diam sebentar di antara keduanya (lafaz khulu' dan lafaz talak), maka talaknya tidak jatuh." Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat ini mirip dengan apa yang diriwayatkan dari sahabat Usman r.a.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa talak jatuh atas diri si istri yang meminta khulu' dalam keadaan apa pun selagi si istri masih berada dalam idahnya. Pendapat ini merupakan pegangan Abu Hanifah dan semua teman-temannya serta As-Sauri dan Al-Auza'i.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih, Tawus, Ibrahim, Az-Zuhri, Al-Hakim, Al-Hakam, dan Hammad ibnu Abu Sulaiman. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan Abu Darda. Ibnu Abdul Bar mengatakan, hal tersebut masih belum terbukti bersumberkan dari keduanya (Ibnu Mas'ud dan Abu Darda).

Firman Allah Swt.:

{تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}

Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229)

Yakni syariat-syariat yang telah ditetapkan-Nya bagi kalian merupakan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya. Seperti yang dijelaskan di dalam hadis sahih yang mengatakan:

إِنِ اللَّهَ حَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَفَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَحَرَّمَ مَحَارِمَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ، فَلَا تَسْأَلُوا عَنْهَا

Sesungguhnya Allah telah menggariskan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia telah menetapkan fardu-fardu-Nya, maka janganlah kalian melalaikannya; dan Dia telah mengharamkan hal-hal yang haram, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia membiarkan banyak hal karena kasihan kepada kalian tanpa melupakannya, maka janganlah kalian menanyakan tentangnya.

Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa menggabungkan tiga kali talak dalam satu kalimat hukumnya haram. Seperti yang dikatakan oleh mazhab Maliki dan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Karena sesungguhnya hal yang diberlakukan di kalangan mereka, talak itu dijatuhkan hanya sekali talak, karena berdasarkan kepada firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229) Kemudian Allah Swt. berfirman: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggar-nya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229)

Hal ini diperkuat oleh mereka dengan sebuah hadis dari Mahmud ibnu Labid yang diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunan-nya. Disebutkan bahwa:

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ مَخْرَمَةَ بْنِ بُكَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ قَالَ: أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ جَمِيعًا فَقَامَ غَضْبَانَ، ثُمَّ قَالَ: "أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟! " حَتَّى قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا أَقْتُلُهُ؟

telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Makhramah ibnu Bukair, dari ayahnya, dari Mahmud ibnu Labid yang menceritakan: Diceritakan kepada Rasulullah Saw. tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya tiga kali talak sekaligus. Maka beliau berdiri dalam keadaan emosi dan bersabda, "Apakah Kitabullah dipermainkan, sedangkan aku masih ada di antara kalian? Hingga ada seorang lelaki yang bangkit dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya!"
Akan tetapi, di dalam sanad hadis ini terdapat inqita'.

Firman Allah Swt.:

{فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ}

Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230)

Yaitu apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dalam talak yang ketiga, sesudah dua talak yang mendahuluinya jauh sebelum itu, maka si istri tidak halal lagi bagi suaminya sebelum kawin dengan lelaki yang lain, yakni hingga suaminya yang baru menyetubuhinya dalam perkawinan yang benar. Seandainya si istri disetubuhi oleh lelaki yang lain bukan dalam nikah, sekalipun si istri adalah milkul yamin (budak perempuan), maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama, karena bukan suami. Demikian pula seandainya kawin dengan suami yang baru, tetapi belum disetubuhi oleh suami yang baru, maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama.
Telah terkenal di kalangan kebanyakan ulama fiqih, bahwa Sa'id ibnul Musayyab pernah mengatakan, "Maksud yang dituju telah berhasil untuk men-tahlil-kan (menghalalkan) si istri bagi suaminya yang pertama hanya dengan melakukan akad nikah dengan lelaki yang lain." Akan tetapi, kesahihan pendapat ini dari dia masih perlu dipertimbangkan, sekalipun Asy-Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar telah meriwayatkannya dari dia di dalam kitab Al-Istiikar-nya.
Dikatakan demikian karena Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan:

حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنَ مَرْثَدٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ رَزِينٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا الْبَتَّةَ، فَيَتَزَوَّجُهَا زَوْجٌ آخَرُ فَيُطَلِّقُهَا، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَرْجِعُ إِلَى الْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا

telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Salim ibnu Razin, dari Salim ibnu Abdullah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar رضي الله عنهما, dari Nabi ﷺ tentang seorang lelaki yang menikahi seorang wanita, lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya dengan talak tiga kali. Kemudian wanita itu dikawin oleh lelaki lain dan langsung diceraikan sebelum disetubuhinya. Hal ini ditanyakan kepada Nabi ﷺ, "Bolehkah si wanita tersebut kembali kepada suaminya yang pertama?" Nabi ﷺ menjawab: Tidak boleh, sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya dan si suami yang baru mencicipi pula madu kecilnya.

Hal yang sama disebutkan pula di dalam riwayat Ibnu Jarir.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Untuk itu dia mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ، سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ رَزِينٍ يُحَدِّثُ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، يَعْنِي: ابْنَ عُمَرَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي الرَّجُلِ تَكُونُ لَهُ الْمَرْأَةُ فَيُطَلِّقُهَا، ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَتَرْجِعُ إِلَى زَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "حتى يَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ

telah menceritakan kepada karai Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Salim ibnu Razin menceritakan hadis berikut dari Salim ibnu Abdullah (yakni Ibnu Umar), dari Sa'ib ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ sehubungan dengan masalah seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu istrinya itu ditalaknya. Kemudian si istri dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhinya, lalu si istri kembali kepada suaminya yang pertama. Maka Nabi ﷺ bersabda: (Tidak boleh) sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya.

Demikian pula menurut riwayat Imam Nasai, dari Amr ibnu Ali Al-Fallas dan Ibnu Majah, dari Muhammad ibnu Basysyar Bandar; keduanya menceritakan hadis ini dari Muhammad Ibnu Ja'far Gundar, dari Syu'bah dengan lafaz yang sama.
Apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnul Musayyab dari Ibnu Umar secara marfu' bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab sendiri, seperti yang disebutkan di atas tadi. Maka mustahil bila dia menentang riwayatnya sendiri yang ada sandarannya dengan riwayat yang tidak ada sandarannya.
Imam Ahmad meriwayatkan pula —begitu pula Imam Nasai dan Imam Ibnu Jarir— hadis ini melalui jalur Sufyan As-Sauri:

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ، عَنْ رَزِينِ بْنِ سُلَيْمَانَ الْأَحْمَرِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن الرَّجُلِ يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا فَيَتَزَوَّجُهَا آخَرُ، فَيُغْلِقُ الْبَابَ وَيُرْخِي السِّتْرَ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: هَلْ تَحِلُّ لِلْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ

dari Alqamah ibnu Marsad, dari Razin ibnu Sulaiman Al-Ahmari, dari Ibnu Umar yang menceritakan: Nabi ﷺ pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang menceraikan istrinya sebanyak tiga kali talak, lalu si istri dikawini oleh lelaki lain, dan suaminya yang baru itu menutup pintu rumahnya serta menurunkan kain kelambunya. Setelah itu dia menceraikannya sebelum menggaulinya. Maka apakah si istri halal bagi suaminya yang pertama? Nabi ﷺ menjawab, "Tidak, sebelum si wanita itu mencicipi madu kecil (suami baru)nya."

Demikianlah menurut lafaz Imam Ahmad dan menurut suatu riwayat dari Ahmad, yakni Sulaiman ibnu Razin.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَزِيدَ الْهَنَائِيُّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ فَطَلَّقَهَا ثَلَاثًا فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ رَجُلًا فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا حَتَّى يَكُونَ الْآخَرُ قَدْ ذَاقَ مِنْ عُسَيْلَتِهَا وَذَاقَتْ مِنْ عُسَيْلَتِهِ

telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yazid Al-Hana'i, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu ia menceraikannya dengan tiga kali talak. Sesudah itu bekas istri kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi suaminya yang baru ini menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Apakah wanita tersebut boleh dikawini lagi oleh suaminya yang pertama? Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu mencicipi madu kecilnya dan dia mencicipi pula madu kecil suaminya yang baru.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad ibnu Ibrahim Al-Anmati, dari Hisyam ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, lalu ia menceritakan hadis ini.
Menurut kami, Muhammad ibnu Dinar ibnu Sandal yang dikenal dengan sebutan Abu Bakar Al-Azdi, lalu At-Ta-i, lalu Al-Basri, yang juga dikenal dengan sebutan Ibnu Abul Furat, para ahli hadis berselisih pendapat mengenai dirinya. Di antara mereka ada yang menilainya lemah, ada pula yang menilainya kuat dan hadisnya dapat diterima serta dinilai baik. Akan tetapi, Imam Abu Daud menyebutkan bahwa dia mengalami masa pikun sebelum meninggal dunia.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ الْعَسْقَلَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شَيْبَانُ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي الْحَارِثِ الْغِفَارِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَرْأَةِ يُطَلِّقُهَا زَوْجُهَا ثَلَاثًا فَتَتَزَوَّجُ زَوْجًا غَيْرَهُ، فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَيُرِيدُ الْأَوَّلُ أَنْ يُرَاجِعَهَا، قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ الْآخَرُ عُسَيْلَتَهَا

telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Adam ibnu Abu Ayas Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syaiban, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abul Haris Al-Gifari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda sehubungan dengan wanita yang diceraikan tiga kali talak oleh suaminya, lalu wanita itu dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhi, kemudian suaminya yang pertama hendak menikahinya kembali: Tidak boleh, sebelum suami barunya merasakan madu kecilnya.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui jalur lain dari Syaiban (yaitu Ibnu Abdur Rahman) dengan lafaz yang sama. Abu Haris orangnya tidak terkenal.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:

حَدَّثَنَا ابْنُ مُثَنَّى، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَجُلًا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا، فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا، فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَحِلُّ لِلْأَوَّلِ؟ فَقَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ مِنْ عُسَيْلَتِهَا كَمَا ذَاقَ الْأَوَّلُ

telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa ada seorang lelaki menceraikan istrinya dengan tiga kali talak. Kemudian si istri kawin lagi dengan lelaki lain yang juga menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Lalu Rasulullah ﷺ ditanya, "Apakah si wanita itu halal bagi suaminya yang pertama?" Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan madu kecilnya sebagaimana suaminya yang pertama telah merasakannya.
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim serta Imam Nasai melalui banyak jalur dari Ubaidillah ibnu Umar Al-Umari, dari Al-Qasim ibnu Abu Bukair, dari bibinya, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama.
Jalur yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:


حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْهَبَّارِيُّ، وَسُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ، وَأَبُو هِشَامٍ الرِّفَاعِيُّ قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَتْ رَجُلًا غَيْرَهُ، فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ 
يُوَاقِعَهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ حَتَّى يَذُوقَ الْآخَرُ عُسَيْلَتَهَا وَتَذُوقَ عُسَيْلَتَهُ

telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Hubari dan Sufyan ibnu Waki' serta Abu Hisyam Ar-Rifa'i. Semuanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya, lalu si istri kawin lagi dengan lelaki yang lain, kemudian suami yang baru ini memasukinya, setelah itu menceraikannya, padahal ia belum menyetubuhinya. Apakah si wanita tersebut halal bagi suaminya yang pertama? Rasulullah ﷺ bersabda: Wanita itu tidak halal bagi suaminya yang pertama sebelum suaminya yang baru merasakan kemanisannya dan dia pun merasakan kemanisan suaminya yang baru itu.

Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Musaddad dan Imam Nasai, dari Abu Kuraib; keduanya dari Abu Mu'awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazim yang tuna netra) dengan lafaz yang sama.
Jalur lain disebutkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ يَتَزَوَّجُهَا الرَّجُلُ فَيُطَلِّقُهَا، فَتَتَزَوَّجُ رَجُلًا فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Ala Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyam, dari ayahnya, dari 'Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai seorang wanita yang dikawini oleh seorang lelaki, lalu diceraikannya. Setelah itu si wanita tersebut kawin lagi dengan lelaki yang lain, dan suaminya yang baru ini pun menceraikannya pula sebelum menggaulinya, maka apakah wanita tersebut halal dikawin lagi oleh suaminya yang pertama? Nabi ﷺ menjawab: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan kemanisannya.
Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Fudail, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, semuanya dari Hisyam dengan sanad ini.
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui jalur Abu Mu'awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazm), dari Hisyam dengan lafaz yang sama. Imam Muslim menyendiri dalam dua jalur lainnya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Abdullah ibnu Mubarak, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari 'Aisyah secara marfu' dengan lafaz yang sama atau yang semisal dengannya. Riwayat ini sanadnya berpredikat jayyid (baik).
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari istri ayahnya (yaitu Aminah Ummu Muhammad), dari Aisyah, dari Nabi ﷺ dengan lafaz yang semisal.
Konteks hadits di atas merupakan kependekan dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:


حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ هِشَامٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيَّ تَزَوَّجَ امْرَأَةً ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَتَزَوَّجَتْ آخَرَ فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّهُ لَا يَأْتِيهَا، وَأَنَّهُ لَيْسَ مَعَهُ إِلَّا مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَقَالَ: "لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ

Telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Hisyam ibnu Urwah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari 'Aisyah secara marfu', dari Nabi ﷺ. Telah menceritakan pula kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari 'Aisyah r.a., bahwa Rifa'ah Al-Qurazi kawin dengan seorang wanita, lalu ia menceraikannya. Kemudian si wanita itu datang kepada Nabi ﷺ dan menceritakan kepadanya bahwa dia (suami yang baru) belum menggauli dirinya, dan bahwa apa yang dimilikinya tiada lain mirip dengan ujung kain baju (yakni tidak dapat ereksi). Maka Nabi ﷺ bersabda: Tidak boleh, sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu.
Imam Bukhari dalam jalur sanad ini menyendiri dalam periwayatannya.
Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: دَخَلَتِ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ -وَأَنَا وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -فَقَالَتْ: إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِي الْبَتَّةَ، وَإِنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ تَزَوَّجَنِي، وَإِنَّمَا عِنْدُهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ، وَأَخَذَتْ هُدْبَةً مِنْ جِلْبَابِهَا، وَخَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ بِالْبَابِ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ، أَلَا تَنْهَى هَذِهِ عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ! فَمَا زَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى التَّبَسُّمِ، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كَأَنَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ، لَا حَتَّى 
تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ

telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadis berikut: Istri Rifa'ah Al-Qurazi masuk menemui Nabi ﷺ Ketika itu aku dan Abu Bakar sedang bersamanya. Lalu istri Rifa'ah berkata, "Sesungguhnya Rifa'ah telah menceraikanku habis-habisan, dan sesungguhnya Abdur Rahman ibnuz Zubair menikahiku, tetapi apa yang ada padanya hanyalah seperti ujung kain baju," seraya memegang ujung kain jilbabnya. Ketika itu Khalid ibnu Sa'id ibnul As berada di dekat pintu rumah Nabi ﷺ karena belum mendapat izin untuk masuk. Maka ia berkata, "Wahai Abu Bakar, mengapa engkau tidak menghentikan wanita yang berbicara blakblakan ini di depan Rasulullah ﷺ?" Tiada yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ kecuali hanya tersenyum, lalu bersabda, "Seakan-akan kamu ingin kembali kepada Rifa'ah. Tidak boleh, sebelum kamu merasakan kemanisannya dan dia merasakan pula kemanisanmu."
Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui hadis Abdullah ibnul Mubarak dan Imam Muslim melalui hadits Abdur Razzaq, serta Imam Nasai melalui hadis Yazid ibnu Zurai'. Ketiga-tiganya meriwayatkan hadis ini dari Ma'mar dengan lafaz yang sama.
Menurut hadits Abdur Razzaq yang ada pada Imam Muslim disebutkan:

أن رِفَاعَةَ طَلَّقَهَا آخِرَ ثَلَاثِ تَطْلِيقَاتٍ

Bahwa Rifa'ah menceraikannya dengan tiga kali talak.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Jamaah selain Imam Abu Daud melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah dan Imam Bukhari melalui jalur Uqail, serta Imam Muslim melalui jalur Yunus ibnu Yazid. Yang ada pada riwayat Imam Muslim disebutkan talak terakhir, yaitu yang ketiga. Imam Nasai meriwayatkannya melalui jalur Ayyub ibnu Musa, dan Saleh ibnu Abul Akhdar; semuanya dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah dengan lafaz yang sama.
Imam Malik meriwayatkan:

عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الزُّبَيْرِ: أَنَّ رِفَاعَةَ بْنَ سِمْوَالٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ تَمِيمَةَ بِنْتَ وَهْبٍ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثًا، فَنَكَحَتْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ، فَاعْتَرَضَ عَنْهَا فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَمَسَّهَا، فَفَارَقَهَا، فَأَرَادَ رِفَاعَةُ أَنْ يَنْكِحَهَا، وَهُوَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ الَّذِي كَانَ طَلَّقَهَا، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَهَاهُ عَنْ تَزْوِيجِهَا، وَقَالَ: "لَا تَحِلُّ لَكَ حَتَّى تَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ

dari Al-Miswar ibnu Rifa'ah Al-Qurazi, dari Az-Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, bahwa Rifa'ah ibnu Samuel menceraikan istrinya yang bernama Tamimah binti Wahb di masa Rasulullah ﷺ dengan tiga kali talak. Lalu Tamimah kawin lagi dengan Abdur Rahman ibnu Zubair. Akan tetapi, Tamimah berpaling darinya dan ia tidak mampu menyentuhnya. Maka Abdur Rahman ibnuz Zubair menceraikannya. Ketika Rifa'ah ibnu Samuel (yaitu suami pertama yang telah menceraikannya) hendak mengawininya kembali, maka hal tersebut diceritakan kepada Rasulullah ﷺ. Lalu Rasulullah ﷺ melarang Rifa'ah mengawininya seraya bersabda: Dia tidak halal bagimu sebelum dia merasakan kemanisan (suami baru) nya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Malik di dalam kitab Muwatta', dari Imam Malik. Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat inqita'.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Tahman dan Abdullah ibnu Wahb, dari Malik, dari Rifa'ah, dari Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, dari ayahnya yang me-rafa-kan hadits ini.

Tujuan utama perkawinan baru dengan lelaki lain ialah hendaknya perkawinan tersebut didasari rasa cinta yang sesungguhnya kepada wanita yang bersangkutan dan akan membina rumah tangga yang lestari dengannya sebagaimana yang telah disyariatkan dalam ketentuan perkawinan.
Imam Malik mensyaratkan selain ini, hendaknya suami yang baru menyetubuhinya dalam keadaan yang diperbolehkan. Untuk itu seandainya suami yang baru menyetubuhinya di masa ia sedang ihram atau sedang berpuasa atau sedang i'tikaf atau sedang haid atau sedang nifas, atau pihak suami barunya sedang puasa atau sedang ihrarn atau sedang melakukan i'tikaf, maka si istri masih belum diperbolehkan untuk dikawini oleh suami pertamanya.
Demikian pula jika suami barunya itu adalah seorang kafir zimmi yang tidak halal bagi seorang muslim menikahinya, karena nikah dengan orang kafir hukumnya batil menurut mazhab Maliki.
Menurut Al-Hasan Al-Basri melalui riwayat yang dikemukakan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr, dari Al-Hasan, disyaratkan hendaknya suaminya yang baru itu mengeluarkan air mani dalam persetubuhannya. Seakan-akan pendapat ini berpegang kepada makna yang terkandung di dalam sabda Rasulullah ﷺ yang mengatakan: Sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu.
Berdasarkan pengertian ini, maka pihak wanita diharuskan pula mengalami inzal (ejakulasi).
Akan tetapi, makna yang dimaksud dengan istilah 'usailah bukanlah air mani, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Nasai melalui Aisyah r.a., bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

"أَلَا إِنَّ الْعُسَيْلَةَ الْجِمَاعُ"

Ingatlah, sesungguhnya 'usailah adalah jimak (persetubuhan).

Jika suami yang baru hanya bertujuan untuk menghalalkan si wanita untuk dikawin lagi oleh suami pertamanya, hal ini disebutkan dengan istilah 'penghapus talak' yang dikecam dan dilaknat oleh banyak hadis. Untuk itu apabila suami yang baru mengutarakan maksud yang sebenarnya (yakni hanya sebagai penghapus talak) secara terang-terangan dalam akad nikahnya, maka nikahnya batal menurut kesepakatan jumhur para imam.

Firman Allah Swt.:

{فَإِنْ طَلَّقَهَا}

Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya. (Al-Baqarah: 230)

Yakni suami yang baru sesudah menggaulinya.

{فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا}

maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali. (Al-Baqarah: 230)

Yaitu dia dan bekas suami yang pertama.

{إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ}

jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 230)

Maksudnya, kembali membangun rumah tangga secara makruf. Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah jika keduanya menduga bahwa perkawinan mereka kali ini bukanlah palsu.

{وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ}

Itulah hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 230)

Yakni syariat-syariat dan ketentuan-ketentuan hukum-Nya.

{يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ}

diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Al-Baqarah: 230)

Para Imam رحمه الله berselisih pendapat dalam masalah bila seorang lelaki menceraikan istrinya dengan sekali atau dua kali talak, lalu si lelaki membiarkannya hingga masa 'iddahnya habis. Kemudian si wanita itu kawin dengan lelaki lain dan bersetubuh dengannya, setelah itu ia dicerai kembali hingga habis masa 'iddahnya. Selanjutnya ia dikawini oleh suami pertamanya, maka apakah kembali lagi kepadanya apa yang tersisa dari tiga talaknya, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Malik رحمه الله, Imam Syafii رحمه الله, dan Imam Ahmad ibnu Hambal رحمه الله? Hal ini juga merupakan pendapat segolongan sahabat. Ataukah suami yang kedua dianggap telah menghapuskan semua talak yang terjadi sebelumnya? Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan kembali lagi dikawini oleh suami pertama, maka kembali pula kepadanya talak tiga secara utuh, seperti yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah dan semua temannya. Alasan mereka mengatakan, apabila suami yang kedua dapat menghapuskan tiga talak, terlebih lagi bila talak yang dihapuskan itu kurang dari tiga.
---------------
Bibliography :
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 79.
Tafsir Ibnu Katsir Online

Al Qur'an Terjemahan Indonesia, Tim DISBINTALAD (Drs. H.A. Nazri Adlany, Drs. H. Hanafie Tamam dan Drs. H.A. Faruq Nasution); Penerbit P.T. Sari Agung Jakarta, cetakan ke tujuh 1994, halaman 66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar