"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Selasa, 18 Februari 2014

Pengumpulan Qur’an Masa Pemerintahan Abu Bakr (6)

Pengumpulan Qur’an Masa Usman dan Sebab-sebabnya
Sebelum menguraikan apa yang terjadi setelah pertemuan Abu Bakr, Umar dan penulis wahyu (Zaid bin Sabit), baik juga saya sebutkan bahwa apa yang terjadi pada masa Usman, ternyata telah memperkuat pendapat Umar untuk menghimpun Qur‘an dan menunjukkan tentang benarnya pandangannya itu. Pada masa Umar dan Usman penyebaran Islam sudah makin luas. Para sahabat Rasulullah membacakan dan mengajarkan Qur’an kepada setiap orang yang masuk Islam di negeri-negeri yang baru dimasukinya. Ketika itu lalu timbul perbedaan dalam membaca, yang kemudian perbedaan itu terasa makin besar dan makin beragam, sampai-sampai ada yang berkata kepada temannya : Bacaanku lebih baik dari bacaanmu. Begitu besar persoalannya hingga hampir menimbulkan kekacauan. Mereka berselisih dan bertengkar, saling menuduh kafir dan saling melaknat dengan masing-masing merasa dirinya lebih benar. Ketika itulah tatkala Huzaifah bin Yaman bersama kaum Muslimin yang lain terlibat dalam perang di Armenia dan Azerbaijan, ia melihat pertentangan itu makin menjadi-jadi : mereka saling melaknat. Cepat-cepat ia kembali pulang ke Medinah dan langung menemui Usman sebelum pulang ke rumahnya.
“Cepat selamatkan umat ini sebelum menemui kehancuran,” katanya.
“Mengenai apa?” tanya Usman.
“Tentang Kitabullah,” kata Huzaifah lagi. “Aku mengikuti ekspedisi itu. Aku telah bersama-sama dengan orang-orang dari Irak, dari Syam dan dari Hijaz.” Lalu ia menceritakan mengenai perselisihan yang terjadi sekitar bacaan Qur’an itu. “Saya khawatir,” katanya lebih lanjut, “mereka akan berselisih mengenai Kitab Suci kita seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani.”*) Menurut hemat Usman itu memang berbahaya. Ia mengundang beberapa orang dan persoalan tersebut di kemukakan. Mereka menanyakan pendapatnya. “Menurut pendapatku.” kata Usman, “orang harus sepakat dengan hanya satu bacaan. Kalau sekarang kita berselisih, maka perselisihan generasi sesudah kita akan lebih parah lagi.”
Kalangan pemikir menyetujui pendapatnya itu. Kemudian ia mengutus orang kepada Hafsah dengan permintaan agar mengirimkan mushaf Abu Bakr untuk disalin ke dalam beberapa mushaf. Demikianlah terjadinya pertama kali pengumpulan Mushaf Usman dan penyeragamannya dalam bacaan Qur’an.

Pandangan Umar yang Jujur Mengenai Pengumpulan Qur’an
Perbedaan pada masa Usman itu adalah bukti yang nyata sekali bahwa pandangan Umar memang sejujurnya tatkala ia menyarankan kepada Abu Bakr untuk menghimpun Qur’an. Usman menggunakan mushaf Abu Bakr sebagai pedoman bagi mereka untuk menyeragamkan bacaan. Andaikata Abu Bakr tidak sampai mengumpulkan Qur’an niscaya perselisihan itu akan berlarut-larut, dan bencana akan menimpa kaum Muslimin. Usaha Abu Bakr itu telah menyelamatkan mereka. Karenanya tidaklah berlebihan ketika Ali bin Abi Talib berkata : “Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakr. Orang yang paling besar pahalanya dalam mengumpulkan Qur’an ialah Abu Bakr. Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Bakr. Dialah yang pertama kali menghimpun Qur’an menjadi dua loh.”
Allah telah melapangkan dada Abu Bakr untuk mengumpulkan Qur‘an setelah berdiskusi dengan Umar. Kemudian ia menugaskan kepada Zaid bin Sabit untuk melacak dan mengumpulkannya. Diriwayatkan bahwa dalam menghadapi hal itu Abdullah bin Mas’ud marah sekali dengan mengatakan : Saudara-saudara Muslimin, aku tidak diikutsertakan dalam penulisan mushaf-mushaf dan mengangkat orang lain. Sungguh, ketika aku sudah masuk Islam dia masih menjadi biang kafir! Yang dimaksud Zaid bin Sabit. Kata-kata ini dihubungkan dengan Abdullah bin Mas’ud ketika Usman menugaskan Zaid mengumpulkan Qur’an dan mengikutkan beberapa orang sahabat. Barangkali Abdullah lebih marah lagi seperti disebutkan oleh Qurtubi ketika mengatakan : “Abu Bakr Anbari berkata : Dalam mengumpulkan Qur‘an Abu Bakr dan Usman lebih suka memilih Zaid daripada Abdullah bin Mas’ud, yang lebih utama daripada Zaid dan sudah lebih dulu masuk Islam, lebih dulu dan lebih besar jasanya; hanya saja mengenai Qur’an Zaid lebih hafal daripada Abdullah.” Ungkapan ini membuat Abdullah bin Mas’ud lebih marah.
Begitu besar kemarahan Abdullah bin Mas’ud itu sampai ia mengatakan : “Aku sudah belajar kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam tujuh puluh Surah sementara Zaid bin Sabit masih bcrkepang dua, bermain-main dengan sesama anak-anak.” Malah ia membakar semangat penduduk Irak untuk tidak membantu pekerjaan ini. Katanya kepada mereka : “Aku mempertahankan **) mushafku : barang siapa mau mempertahankan mushafnya lakukanlah, karena Allah berfirman : “Barang siapa berkhianat, pada hari kiamat ia datang dengan hasil pengkhianatannya.” (Qur’an (3) : 161).
“Pada suatu hari pernah ia berpidato di depan orang banyak dan mengatakan firman tersebut. Pertahankanlah mushaf-mushaf kalian. Bagaimana kalian rnenyuruh aku membaca menurut bacaan Zaid bin Sabit sedang aku sudah belajar dari Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam sekitar tujuh puluh Surah ; ketika itu Zaid bin Sabit yang masih bermain-main dengan anak-anak masih berkepang dua. Demi Allah, begitu Qur’an diwahyukan aku tahu kapan dan untuk apa diwahyukan. Tak ada orang yang lebih tahu dari aku tentang Kitabullah. Aku bukan orang yang terbaik di antara kamu. Kalau aku rnengetahui ada orang yang lebih tahu tentang Kitabullah dan aku yang dapat dicapai dengan unta. niscaya kudatangi dia.”
Beberapa tokoh terpandang dan sahabat-sahabat Nabi merasa tidak senang dengan kata-kata Abdullah bin Mas’ud itu. Mereka menganggapnya mengandung semangat fitnah tanpa alasan. Mengutip dari Abu Darda’ yang berkata : “Kami menganggap Abdullah berperasaan halus, tetapi mengapa ia mendamprat orang-orang terkemuka.” Memang benar Abdullah bin Mas’ud veteran Badr sedang Zaid bin Sabit bukan. Abdullah sudah lebih dulu masuk Islam daripada Zaid bin Sabit dan ayahnya Sabit bin Zaid, dan dia belajar Qur’an dari Rasulullah sekitar tujuh puluh Surah. Tetapi Zaid adalah sekretaris Nabi, dan sampai wafatnya dialah yang menerima Qur’an seluruhnya dari Rasulullah. Kata Qurtubi lagi : “Cukup luas diketahui di kalangan ahli sejarah dan hadis, bahwa Abdullah bin Mas’ud belajar Qur’an berikutnya setelah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Beberapa pemuka mengatakan : “Abdullah bin Mas’ud meninggal sebelum menamatkan Qur’an.” Mushaf ibn Mas’ud masih tanpa Surah Falaq dan Surah Nas.
Catatan :
*) Dalam sebuah sumber yang dicatat oleh Ibn Abi Dawud dalam al-Masahif dengan isnad yang berbeda bahwa Abdullah bin Mas’ud ketika itu sedang membaca Qur’an di mesjid, kemudian datang Huzaifah mengatakan : Orang-orang Kufah membaca menurut bacaan Abdullah bin Mas’ud dan penduduk Basrah menurut bacaan Abu Musa al-Asy’ari. Kalau aku melapor kepada Amirulmukminin pasti kuusulkan supaya (naskah-naskah itu) dihanyutkan. Ibn Mas’ud menjawab : Kalau kaulakukan itu engkaulah oleh Allah yang dihanyutkan tanpa air. Diceritakan juga bahwa Huzaifah mengatakan itu bukan di depan Abdullah bin Mas’ud. Kemudian Abdullah, Huzaifah dan Abu Musa bertemu di rnmah Abu Musa dan Abdullah berkata kepada Huzaifah : Aku mendapat kabar bahwa engkau yang mengatakan —yakni kata-katanya bahwa kalau aku melapor kepada Amirulmukminin pasti kuusulkan supaya mushaf-mushaf itu dihanyutkan. Huzaifah menjawab : Ya, aku tidak senang dikatakan bacaan si polan, lalu mereka berselisih seperti Ahli Kitab.

**) Ungkapan Inni qalun mushafi saya terjemahkan dengan “Aku mempertahankan mushafku” hanya menurut konteks, yang mungkin terasa sangat sederhana. Saya menemui kesukaran menerjemahkan kata galun, yang umumnya berarti ‘khianat’, demikian juga dalam pengertian Qur‘an. Jika dihubungkan dengan ayat Qur‘an berikutnya terasa tak sejalan dengan kata-kata Abdullah bin Mas’ud itu. Kutipan yang pertama dengan lafaz bima gallan seperti dalam TQ. 3: 161 sedang ketika berpidato di depan orang banyak dengan lafaz bima gulla yang secara harfiah berarti “terbelenggu,” yang berkonotasi “menahan, tak mau memberi, bakhil’ (TQ 5: 64); “sangat haus”.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 332-335.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar