Kenapa aku begitu silau dengan gemerlap dunia sebagai pembuktian akan kemakmuran diri atau pemahaman kepemilikan gemerlap dunia sebagai pertanda satu-satunya kasih sayang Allah pada hamba-Nya. Andai saja aku memiliki mesin waktu seperti dalam kisah sinetron religi Lorong Waktu-nya pakdhe Deddy Mizwar, aku ingin sekali berada pada suasana pasca pembagian harta rampasan perang di Hunain dan Ta’if. Dimana Nabi memberikan pembagian harta rampasan perang lebih banyak kepada mereka-mereka yang baru masuk dalam pelukan Islam. Dan tindakan Nabi mengambil hati orang-orang yang tadinya merupakan musuh besar itu menjadi bahan pembicaraan di kalangan Anshar, dan satu sama lain mereka berkata : “Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri.” Hingga perkataan Anshar itu sampai kepada Nabi di Hazira (istilah untuk sebuah tempat yang dilingkungi buluh dan papan, yakni tempat berpagar).
Lalu Nabi meminta Sa’d bin ‘Ubada mengumpulkan Anshar, dan berkata beliau : “Saudara-saudara kaum Anshar. Suatu desas-desus (Qalatun, ‘Banyak bicara yang akan menimbulkan permusuhan) berasal dari kamu yang telah disampaikan kepadaku itu merupakan suatu perasaan yang ada dalam hatimu terhadap diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang lalu Tuhan membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Tuhan memberikan kecukupan kepadamu, kamu dalam permusuhan, Tuhan mempersekutukan kamu?”
Anshar : “Ya, memang! Tuhan dan Rasul juga yang lebih bermurah hati.”
Muhammad : “Saudara-saudara kaum Anshar. Kamu tidak menjawab kata-kataku?”
Anshar : “Dengan apa harus kami jawab, ya Rasulullah? Segala kemurahan hati dan kebaikan itu ada pada Allah dan Rasul-Nya juga.”
Muhammad : “Ya, sungguh, demi Allah! Kalau kamu mau, tentu kamu masih dapat mengatakan kamu benar dan pasti dibenarkan : “Engkau datang kepada kami didustakan orang, kamilah yang mempercayaimu. Engkau ditinggalkan orang, kamilah yang menolongmu. Engkau diusir, kamilah yang memberimu tempat. Engkau dalam sengsara. kami yang menghiburmu. Saudara-saudara dari Anshar! Adakah sekelumit juga rasa keduniaan itu dalam hati kamu? Dengan itu aku telah mengambil hati suatu golongan supaya mereka sudi menerima Islam, sedang terhadap keislamanmu aku sudah percaya. Tidakkah kamu rela, saudara-saudara Anshar, apabila orang-orang itu pergi membawa kambing, membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu? Demi Dia yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu aku termasuk orang Anshar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan Anshar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Anshar. Allahuma ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak Anshar dan cucu-cucu Anshar.”
Semua perkataan Nabi yang diucapkan dengan penuh keharuan, penuh rasa cinta dan kasih-sayang kepada mereka yang pernah memberikan ikrar, pernah memberikan pertolongan dan satu sama lain saling memberikan kekuatan. Begitu besar keharuannya itu, sehingga orang-orang Anshar pun menangis. sambil berkata : “Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami.”
Dan aku ingin sekali bisa memahami bagaimana Nabi telah memperlihatkan ketidaksukaannya pada harta yang telah diperoleh sebagai rampasan perang itu, yang sebenarnya belum pernah ada suatu rampasan perang diperoleh sebanyak itu. Ia memperlihatkan ketidaksukaannya pada harta itu sebagai langkah dalam mengambil hati mereka yang dalam beberapa minggu yang lalu masih musrik — dapat melihat bahwa dalam agama yang baru itu ada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kalau dalam membagi harta itu Muhammad sendiri sudah merasa payah sekali sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan Muslimin; dan kalau pun ini telah membawa kemarahan pihak Anshar karena beliau telah bermurah hati kepada mereka yang perlu dijinakkan itu, namun dengan demikian ia telah memperlihatkan sikap yang adil, pandangan yang jauh serta kebijaksanaan yang baik sekali. Dengan demikian ia telah berhasil mengajak ribuan orang Arab ini — semua dengan senang hati, dengan perasaan lega bersedia memberikan nyawanya demi jalan Allah.
Lalu Nabi meminta Sa’d bin ‘Ubada mengumpulkan Anshar, dan berkata beliau : “Saudara-saudara kaum Anshar. Suatu desas-desus (Qalatun, ‘Banyak bicara yang akan menimbulkan permusuhan) berasal dari kamu yang telah disampaikan kepadaku itu merupakan suatu perasaan yang ada dalam hatimu terhadap diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang lalu Tuhan membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Tuhan memberikan kecukupan kepadamu, kamu dalam permusuhan, Tuhan mempersekutukan kamu?”
Anshar : “Ya, memang! Tuhan dan Rasul juga yang lebih bermurah hati.”
Muhammad : “Saudara-saudara kaum Anshar. Kamu tidak menjawab kata-kataku?”
Anshar : “Dengan apa harus kami jawab, ya Rasulullah? Segala kemurahan hati dan kebaikan itu ada pada Allah dan Rasul-Nya juga.”
Muhammad : “Ya, sungguh, demi Allah! Kalau kamu mau, tentu kamu masih dapat mengatakan kamu benar dan pasti dibenarkan : “Engkau datang kepada kami didustakan orang, kamilah yang mempercayaimu. Engkau ditinggalkan orang, kamilah yang menolongmu. Engkau diusir, kamilah yang memberimu tempat. Engkau dalam sengsara. kami yang menghiburmu. Saudara-saudara dari Anshar! Adakah sekelumit juga rasa keduniaan itu dalam hati kamu? Dengan itu aku telah mengambil hati suatu golongan supaya mereka sudi menerima Islam, sedang terhadap keislamanmu aku sudah percaya. Tidakkah kamu rela, saudara-saudara Anshar, apabila orang-orang itu pergi membawa kambing, membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu? Demi Dia yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu aku termasuk orang Anshar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan Anshar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Anshar. Allahuma ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak Anshar dan cucu-cucu Anshar.”
Semua perkataan Nabi yang diucapkan dengan penuh keharuan, penuh rasa cinta dan kasih-sayang kepada mereka yang pernah memberikan ikrar, pernah memberikan pertolongan dan satu sama lain saling memberikan kekuatan. Begitu besar keharuannya itu, sehingga orang-orang Anshar pun menangis. sambil berkata : “Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami.”
Dan aku ingin sekali bisa memahami bagaimana Nabi telah memperlihatkan ketidaksukaannya pada harta yang telah diperoleh sebagai rampasan perang itu, yang sebenarnya belum pernah ada suatu rampasan perang diperoleh sebanyak itu. Ia memperlihatkan ketidaksukaannya pada harta itu sebagai langkah dalam mengambil hati mereka yang dalam beberapa minggu yang lalu masih musrik — dapat melihat bahwa dalam agama yang baru itu ada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kalau dalam membagi harta itu Muhammad sendiri sudah merasa payah sekali sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan Muslimin; dan kalau pun ini telah membawa kemarahan pihak Anshar karena beliau telah bermurah hati kepada mereka yang perlu dijinakkan itu, namun dengan demikian ia telah memperlihatkan sikap yang adil, pandangan yang jauh serta kebijaksanaan yang baik sekali. Dengan demikian ia telah berhasil mengajak ribuan orang Arab ini — semua dengan senang hati, dengan perasaan lega bersedia memberikan nyawanya demi jalan Allah.
Sebuah harapan yang tak terperi ketika Rasulullah mendoakan kebaikan kita dan anak cucu serta menjamin kebersamaan dengan beliau kepada kita. Salam'alaika yaa Rasulullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar