oleh : Ustadz Felix Siauw
Ummat : “Ustadz Ganteng, mohon maaf, berapa ya kami perlu ganti untuk transportasi?” Ustadz Ganteng: “Untuk administrasi aja ya, sediakan aja 30 juta, 10 juta dibayar di depan ke account saya. Oya, kalo nggak jadi DP nya angus ya..”
Percaya atau nggak percaya, fakta semacam ini ada. Begitulah suatu hari, ketua DKM salah satu masjid bilang ke saya. Saya jadi mikir “pantes aja mobil si Ustadz Ganteng Fortuner dan lain-lain.” hehe...
Saya pribadi juga seringkali ditanya, “Ustadz, maaf nih, administrasinya berapa yang harus kita siapkan?” Jawab saya : “Saya nggak pernah minta bayaran untuk dakwah, berapapun yang panitia kasih akan saya terima, kalo nggak ada pun nggak papa, asal transportasi dan akomodasi ditanggung panitia.”
Parahnya masa kini, banyak orang yang udah nggak malu menjadikan Ustadz dan Da’i sebagai profesi. Pekerjaan profesional. Karena itu layaknya seorang pembicara publik, mereka mematok tarif sekali pengajian. Kalo udah masuk TV apalagi, matoknya diatas 10 juta. Subhanallah.
Padahal dakwah bukan profesi, dia adalah kewajiban sebagaimana shalat 5 waktu dan puasa. Yang tanpa dibayar pun harusnya dia tetap berdakwah. Karena itu kewajiban dia.
Bagaimana pendapat Anda bila ada orang mengatakan “Hmm.. boleh saja, saya mau shalat, dan Anda boleh lihat saya shalat, asal bayar dulu 10 juta”. Aneh, yang perlu siapa yang ribet siapa?
Pantas saja, ketika dakwah sudah jadi profesi, maka Da’i akan menyesuaikan materi dakwahnya sesuai permintaan pasar. Dia akan menyampaikan yang diinginkan orang bukan yang dibutuhkan oleh orang. Dia akan membiarkan kemaksiatan di depan matanya karena dia telah dibayar untuk itu.
Sikap kritis pun hilang dari situ. Karena dia sudah dibayar. Entah dipasangkan pengajiannya dengan artis doyan mabok atau penyanyi dangdut, sang Ustadz tidak merasa risih. Karena dia sudah dibayar!
Bagaimana mau protes, kalo protes bisa-bisa nggak dipanggil lagi! Pembodohan pun terjadi. Karena dakwah telah dianggap profesi.
Saya tidak pernah bilang menerima uang dari menyampaikan Islam adalah sesuatu yang haram, sah-sah saja, bukankah Rasul juga mengatakan bahwa “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil adalah upah mengajarkan kitabullah”. (HR. Bukhari). Namun, ada perbedaan besar antara upah mengajarkan kitabullah dengan memelintir kitabullah untuk mendapatkan harta dari situ.
Nyata-nyatanya, tidak ada satupun Ustadz Ganteng yang membacakan ayat-ayat nahi munkar, ataupun memperingatkan tentang bahaya-bahaya yang betul-betul mengancam ummat semisal syirik modern (demokrasi), ashabiyah modern (nasionalisme), atau liberalisme yang mengajak Muslim meninggalkan Al-Qur’an.
Uang memang mengerikan. Ia bisa merubah niat seseorang yang awalnya lurus menjadi bengkok. Yang tadinya tegas menjadi samar.
Bersyukurlah pada Allah bila anda adalah Da’i yang tidak mengharapkan dan tergantung bayaran dari ummat.
Karena Anda akan selalu objektif dalam memandang masalah, bukan memberikan yang diinginkan namun mengobati ummat dengan memberikan yang mereka perlukan.
Saya betul-betul bersyukur, ketika baru masuk Islam, Ustadz saya Fatih Karim menyampaikan kira-kira begini : ”Lix, kalo dikasi orang uang, antum boleh terima, tapi untuk melatih keikhlasan, lebih baik gunakan lagi di jalan dakwah”
Subhanallah, mudah-mudahan masyarakat akan segera bisa melihat, Da’i mana yang sebenarnya betul-betul sayang pada mereka, peduli dan mengasihi mereka. Da’i yang tertumpah air matanya di malam hari karena memikirkan ummat yang tak kunjung cenderung pada Islam. Da’i yang justru mengeluarkan uang mereka agar ummat mau berpaling pada Islam. Da’i yang menumpang angkot dan berjalan kaki demi ummat. Da’i yang siap memasang badan satu-satunya demi kehormatan Islam.
Sayangnya, Da’i semacam ini mungkin takkan kondang, mungkin takkan muncul di sinetron atau di TV karena mereka menolak untuk menyesuaikan materi karena uang.
Bagi Da’i semacam ini uang tak bernilai buat mereka walaupun uang sangat mereka perlukan karena demi Islam, tak ada yang bisa menawar.
Salamku, Felix Siauw pada semua Da’i yang hanya Allah Swt yang tahu mereka.
Ya Allah, berikanlah mereka kemudahan, berikan mereka kekuatan
Percaya atau nggak percaya, fakta semacam ini ada. Begitulah suatu hari, ketua DKM salah satu masjid bilang ke saya. Saya jadi mikir “pantes aja mobil si Ustadz Ganteng Fortuner dan lain-lain.” hehe...
Saya pribadi juga seringkali ditanya, “Ustadz, maaf nih, administrasinya berapa yang harus kita siapkan?” Jawab saya : “Saya nggak pernah minta bayaran untuk dakwah, berapapun yang panitia kasih akan saya terima, kalo nggak ada pun nggak papa, asal transportasi dan akomodasi ditanggung panitia.”
Parahnya masa kini, banyak orang yang udah nggak malu menjadikan Ustadz dan Da’i sebagai profesi. Pekerjaan profesional. Karena itu layaknya seorang pembicara publik, mereka mematok tarif sekali pengajian. Kalo udah masuk TV apalagi, matoknya diatas 10 juta. Subhanallah.
Padahal dakwah bukan profesi, dia adalah kewajiban sebagaimana shalat 5 waktu dan puasa. Yang tanpa dibayar pun harusnya dia tetap berdakwah. Karena itu kewajiban dia.
Bagaimana pendapat Anda bila ada orang mengatakan “Hmm.. boleh saja, saya mau shalat, dan Anda boleh lihat saya shalat, asal bayar dulu 10 juta”. Aneh, yang perlu siapa yang ribet siapa?
Pantas saja, ketika dakwah sudah jadi profesi, maka Da’i akan menyesuaikan materi dakwahnya sesuai permintaan pasar. Dia akan menyampaikan yang diinginkan orang bukan yang dibutuhkan oleh orang. Dia akan membiarkan kemaksiatan di depan matanya karena dia telah dibayar untuk itu.
Sikap kritis pun hilang dari situ. Karena dia sudah dibayar. Entah dipasangkan pengajiannya dengan artis doyan mabok atau penyanyi dangdut, sang Ustadz tidak merasa risih. Karena dia sudah dibayar!
Bagaimana mau protes, kalo protes bisa-bisa nggak dipanggil lagi! Pembodohan pun terjadi. Karena dakwah telah dianggap profesi.
Saya tidak pernah bilang menerima uang dari menyampaikan Islam adalah sesuatu yang haram, sah-sah saja, bukankah Rasul juga mengatakan bahwa “Sesungguhnya yang paling berhak untuk kalian ambil adalah upah mengajarkan kitabullah”. (HR. Bukhari). Namun, ada perbedaan besar antara upah mengajarkan kitabullah dengan memelintir kitabullah untuk mendapatkan harta dari situ.
Nyata-nyatanya, tidak ada satupun Ustadz Ganteng yang membacakan ayat-ayat nahi munkar, ataupun memperingatkan tentang bahaya-bahaya yang betul-betul mengancam ummat semisal syirik modern (demokrasi), ashabiyah modern (nasionalisme), atau liberalisme yang mengajak Muslim meninggalkan Al-Qur’an.
Uang memang mengerikan. Ia bisa merubah niat seseorang yang awalnya lurus menjadi bengkok. Yang tadinya tegas menjadi samar.
Bersyukurlah pada Allah bila anda adalah Da’i yang tidak mengharapkan dan tergantung bayaran dari ummat.
Karena Anda akan selalu objektif dalam memandang masalah, bukan memberikan yang diinginkan namun mengobati ummat dengan memberikan yang mereka perlukan.
Saya betul-betul bersyukur, ketika baru masuk Islam, Ustadz saya Fatih Karim menyampaikan kira-kira begini : ”Lix, kalo dikasi orang uang, antum boleh terima, tapi untuk melatih keikhlasan, lebih baik gunakan lagi di jalan dakwah”
Subhanallah, mudah-mudahan masyarakat akan segera bisa melihat, Da’i mana yang sebenarnya betul-betul sayang pada mereka, peduli dan mengasihi mereka. Da’i yang tertumpah air matanya di malam hari karena memikirkan ummat yang tak kunjung cenderung pada Islam. Da’i yang justru mengeluarkan uang mereka agar ummat mau berpaling pada Islam. Da’i yang menumpang angkot dan berjalan kaki demi ummat. Da’i yang siap memasang badan satu-satunya demi kehormatan Islam.
Sayangnya, Da’i semacam ini mungkin takkan kondang, mungkin takkan muncul di sinetron atau di TV karena mereka menolak untuk menyesuaikan materi karena uang.
Bagi Da’i semacam ini uang tak bernilai buat mereka walaupun uang sangat mereka perlukan karena demi Islam, tak ada yang bisa menawar.
Salamku, Felix Siauw pada semua Da’i yang hanya Allah Swt yang tahu mereka.
Ya Allah, berikanlah mereka kemudahan, berikan mereka kekuatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar