"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Senin, 20 Januari 2014

Pemerintahan Abu Bakr (6)

Pemerintahan Islam Berada di Bawah Pengawasan Umat Islam
Andaikata batasan yang ada dalam Qur’an diserahkan ke tangan kelompok yang dikhususkan untuk itu seperti yang terjadi pada kelompok pendeta dalam agama tertentu dengan mengatasnamakan kehendak Tuhan tentu wajar saja bila timbul kekhawatiran bahwa kehendak rakyat akan jadi sia-sia. Tetapi karena Islam menolak adanya pengkhususan kelompok semacam itu mengingat semua orang sama dalam menjaga segala perintah dan larangan Allah serta turut mengawasi kebijaksanaan penguasa, maka konsep teokrasi dalam pemerintahan Islam jelas tak dapat diterima dan samasekali tak mendapat tempat.
Pemerintahan Islam yang konstitusional ini berada di bawah pengawasan umat Islam seluruhnya. Setiap pribadi boleh meminta pertanggungjawaban pihak penguasa. Dalam soal-soal pemerintahan tak ada suatu golongan yang lebih diistimewakan dari golongan lain. Kita sudah melihat bagaimana Abu Bakr begitu ketat berpegang pada Qur’an dan ketentuan Rasulullah dalam menahan diri dari segala godaan dunia, dengan keyakinan bahwa barang siapa memegang tanggung jawab yang berhubungan dengan urusan rakyat lalu mengambil keuntungan untuk dirinya, maka ia telah berlaku zalim terhadap dirinya dan terhadap rakyat.
Abu Bakr begitu ketat menahan diri sehingga menurut anggapan generasi kita sekarang ia sudah melampaui batas. Kedudukannya sebagai Khalifah dan sebagai pemimpin umat tak sampai mengubah cara hidupnya. Ia tidak pindah dari rumahnya sendiri ke rumah lain. Sejak mengurus kepentingan kaum Muslimin ia sudah melupakan dirinya, melupakan keluarga dan anak-anaknya. Ia hanya mau mengabdi kepada Allah secara mutlak. Ia sudah berikrar untuk ikut merasakan lemahnya kaum yang lemah dan miskinnya orang yang dalam kemiskinan, sebagai realisasi dari arti persaudaraan dalam bentuknya yang paling tinggi, yang sekaligus suatu perwujudan bahwa ia tak terdorong oleh keinginan pribadi, dan untuk itu ia ingin menegakkan keadilan yang sempurna tanpa pilih kasih. tetapi dalam batas-batas ketentuan Allah agar semua orang merasakan keadilan, hidup terhormat, aman dan tenteram.

Pemerintahan Islam bukan Aristokrasi
Pemerintahan yang demikian, yang tak kenal despotisma, tak kenal kekuasaan mutlak dan tak ada tempat untuk kaum pendeta, tak mungkin bercorak teokrasi. Pemerintahan ini juga bukan aristokrasi, pemilihan Khalifah dengan mengutamakan kalangan Muhajirin dan Ansar samasekali tak ada hubungannya dengan cara-cara aristokrasi. Mereka adalah orang-orang yang terdiri dari berbagai macam golongan. Yang mereka utamakan hanya untuk menjaga dan memelihara sistem yang sudah ada. Di samping itu mereka adalah kelompok sementara yang akan berakhir dengan meninggalnya pribadi-pribadi itu kelak. Tak ada orang yang akan mewarisi mereka, dan kedudukan mereka pun tak akan digantikan oleh kelompok lain. Bahkan seperti yang sudah kita lihat penduduk Mekah mau menyaingi mereka sebagai pihak yang sudah lebih dulu dalam Islam. Pihak Banu Umayyah, kemudian Banu Abbas yang pernah memegang pimpinan umat Islam merupakan bukti yang kuat sekali bahwa di kalangan Muslimin yang mula-mula konsep aristokrasi itu memang tak pernah ada.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 352-353.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar