Khalifah Terpilih
Sesudah Rasulullah, atas pilihan dan kehendak umat Abu Bakr yang memegang pucuk pimpinan umat Islam dengan segala persoalannya. Allah tidak mengutus seorang khalifah untuk mereka sebagaimana Muhammad yang diutus kepada mereka itu, dan dia tidak lebih diutamakan dari yang lain kecuali dengan takwa. Tidak pula ia merasa berhak memerintah umat Muslimin di luar batas-batas Kitabullah dan sunah Rasulullah. Itulah yang diucapkan Abu Bakr radiullahu ‘anhu dalam pidato pelantikannya : “Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah tetapi bila saya menyimpang dari perintah-Nya. maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya.”
Mengapa Umar Memakai Gelar Amirulmukminin
Umur bin Khattab yang kemudian menggantikan Abu Bakr tidak menggunakan gelar Khalifah Rasulullah. Bahkan ia minta diberi gelar Amirul Mu’minin (Amirulmukminin). Soalnya ia mau menghindari penggulangan gelar tu menjadi Khalifah Khalifah Rasulullah, pengulangan yang akan berkepanjangan tanpa batas dengan adanya khalifah-khalifah berikutnya. Kalau dia bergelar Khalifah Khalifah Rasulullah tentu Usman yang sesudahnya akan bergelar Khalifah Khalifah Khalifah Rasulullah dan Ali bin Abi Talib akan bergelar Khalifah Khalifah Khalifah Khalifah Rasulullah.
Umar memakai gelar Amirulmukmin ini justru untuk menghindari pengulangan itu. Seperti kata-kata Abu Bakr. Saya bukan Khalifatullah melainkan Khalifah Rasulullah’ yang lebih bermakna dan lebih jelas artiya seperti yang dimaksud oleh Abu Bakr. Tujuannya dalam arti bahasa untuk waktu-waktu yang akan datang. Dia lah yang menggantikannya memimpin umat setelah Rasulullah wafat, Sekiranya gelar Khalifah ketika itu dimaksudkan bukan dalam pengertian bahasa, tentu Umar bergelar Khalilah Rasulullah seperti Abu Bakr dan tak perlu lagi pengubahan gelar ini dengan gelar Amirulmukminin.
Barangkali ada sebab lain maka Umar menggunakan gelar Amirulmukminin untuk dirinya itu. Dia melihat sistem pemerintahan di negeri Arab dan di negeri-negeri yang sudah dibebaskan pada masa Abu Bakr itu sudah mengalami perkembangan, sementara yang sekarang ini masih dalam batas-batas perintah dan larangan Allah. Perkembangan di Semenanjung Arab itu dan sekitannya begitu pesat sehingga dunia dan para sejarawan merasa bingung. Baik dalam Qur’an maupun dalam sunah Rasulullah memang tidak dirinci bagaimana seharusnya sistem pemerintahan itu berlaku, walaupun yang dijadikan dasar hukum oleh Qur’an ialah musyawarah. Firman Allah yang ditujukan kepada Nabi : “Bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan.” (TQS. 3 : 159) dan, “… dan persoalan mereka dimusyawarahkan antara sesama mereka.” (TQS 42 : 3).
Sesuai dengan daerah yang dibebaskan yang kini sudah makin luas, dan untuk menjamin keamanan dan ketenteraman warganya, mau tak mau Umar harus memperhatikan sistem itu secara lebih saksama. Sama halnya dengan seorang panglima pasukan yang menyusun dan mengatur mobilisasi pasukan yang disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam suatu pertempuran dan apa yang harus dilakukannya dengan pasukannya dalam berhadapan dengan pasukan musuh, tanpa harus terikat pada ketentuan lama selama masih dalam garis-garis ketaatan kepada Allah dan berpedoman kepada ketentuan Rasul-Nya.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 345-346.
Sesudah Rasulullah, atas pilihan dan kehendak umat Abu Bakr yang memegang pucuk pimpinan umat Islam dengan segala persoalannya. Allah tidak mengutus seorang khalifah untuk mereka sebagaimana Muhammad yang diutus kepada mereka itu, dan dia tidak lebih diutamakan dari yang lain kecuali dengan takwa. Tidak pula ia merasa berhak memerintah umat Muslimin di luar batas-batas Kitabullah dan sunah Rasulullah. Itulah yang diucapkan Abu Bakr radiullahu ‘anhu dalam pidato pelantikannya : “Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah tetapi bila saya menyimpang dari perintah-Nya. maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya.”
Mengapa Umar Memakai Gelar Amirulmukminin
Umur bin Khattab yang kemudian menggantikan Abu Bakr tidak menggunakan gelar Khalifah Rasulullah. Bahkan ia minta diberi gelar Amirul Mu’minin (Amirulmukminin). Soalnya ia mau menghindari penggulangan gelar tu menjadi Khalifah Khalifah Rasulullah, pengulangan yang akan berkepanjangan tanpa batas dengan adanya khalifah-khalifah berikutnya. Kalau dia bergelar Khalifah Khalifah Rasulullah tentu Usman yang sesudahnya akan bergelar Khalifah Khalifah Khalifah Rasulullah dan Ali bin Abi Talib akan bergelar Khalifah Khalifah Khalifah Khalifah Rasulullah.
Umar memakai gelar Amirulmukmin ini justru untuk menghindari pengulangan itu. Seperti kata-kata Abu Bakr. Saya bukan Khalifatullah melainkan Khalifah Rasulullah’ yang lebih bermakna dan lebih jelas artiya seperti yang dimaksud oleh Abu Bakr. Tujuannya dalam arti bahasa untuk waktu-waktu yang akan datang. Dia lah yang menggantikannya memimpin umat setelah Rasulullah wafat, Sekiranya gelar Khalifah ketika itu dimaksudkan bukan dalam pengertian bahasa, tentu Umar bergelar Khalilah Rasulullah seperti Abu Bakr dan tak perlu lagi pengubahan gelar ini dengan gelar Amirulmukminin.
Barangkali ada sebab lain maka Umar menggunakan gelar Amirulmukminin untuk dirinya itu. Dia melihat sistem pemerintahan di negeri Arab dan di negeri-negeri yang sudah dibebaskan pada masa Abu Bakr itu sudah mengalami perkembangan, sementara yang sekarang ini masih dalam batas-batas perintah dan larangan Allah. Perkembangan di Semenanjung Arab itu dan sekitannya begitu pesat sehingga dunia dan para sejarawan merasa bingung. Baik dalam Qur’an maupun dalam sunah Rasulullah memang tidak dirinci bagaimana seharusnya sistem pemerintahan itu berlaku, walaupun yang dijadikan dasar hukum oleh Qur’an ialah musyawarah. Firman Allah yang ditujukan kepada Nabi : “Bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan.” (TQS. 3 : 159) dan, “… dan persoalan mereka dimusyawarahkan antara sesama mereka.” (TQS 42 : 3).
Sesuai dengan daerah yang dibebaskan yang kini sudah makin luas, dan untuk menjamin keamanan dan ketenteraman warganya, mau tak mau Umar harus memperhatikan sistem itu secara lebih saksama. Sama halnya dengan seorang panglima pasukan yang menyusun dan mengatur mobilisasi pasukan yang disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam suatu pertempuran dan apa yang harus dilakukannya dengan pasukannya dalam berhadapan dengan pasukan musuh, tanpa harus terikat pada ketentuan lama selama masih dalam garis-garis ketaatan kepada Allah dan berpedoman kepada ketentuan Rasul-Nya.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 345-346.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar