Dengan ekspedisi Tabuk ini maka selesailah amanat Tuhan diajarkan ke seluruh jazirah Arab, dan Muhammad sudah merasa aman dari setiap permusuhan yang akan ditujukan kepada agama. Utusan-utusan dari pelbagai daerah sekarang datang menghadap kepadanya dengan menyatakan sekali kesetiaannya serta mengumumkan pula keislamannya. Ekspedisi sekali ini buat Nabi s.a.w. merupakan ekspedisi terakhir. Sesudah itu Muhammad menetap di Medinah, menikmati karunia pemberian Tuhan kepadanya. Ibrahim anaknya merupakan jantung hati cindera mata selama enam belas atau delapan belas bulan. Apabila ia selesai menerima para utusan, mengurus masalah-masalah kaum Muslimin, menunaikan kewajiban kepada Tuhan serta hak kewajiban seluruh keluarga, hatinya merasa sejuk dengan melihat bayi yang selalu berkembang dan baik sekali pertumbuhannya itu. Makin lama makin jelas kesamaannya, yang membuat sang ayah makin cinta dan kasih kepadanya. Sepanjang bulan itu yang menjadi inang pengasuhnya ialah Umm Saif, yang menyusui dan memberikan susu kambing pengasih Nabi dulu itu.
Cinta-kasih Muhammad kepada Ibrahim sebenarnya bukan karena suatu maksud pribadi yang ada hubungannya dengan Risalah yang dibawanya, atau dengan yang akan menjadi penggantinya. Muhammad s.a.w. dengan imannya kepada Tuhan dan kepada Risalah Tuhan tidak akan memikirkan anak atau siapa yang akan mewarisinya. Bahkan dikatakannya :
“Kami para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami tinggalkan untuk sedekah.”
Akan tetapi, rasa kasih insani dalam artinya yang luhur, rasa kasih insani yang begitu dalam tertanam dalam hati Muhammad — yang kiranya tidak akan dicapai oleh siapa pun, rasa insani yang akan membuat manusia Arab memandang anak laki-laki yang akan mewarisinya sebagai sebuah lukisan abadi — rasa kasih inilah yang telah membuat Muhammad mencurahkan semua cintanya kepada Ibrahim, kasih-sayang yang tiada taranya. Dan rasa kasih ini lebih parah merasuk ke dalam hati, karena sebelum itu ia telah kehilangan kedua putranya — Qasim dan Tahir, dan keduanya masih bayi dalam pangkuan Khadijah ibunya. Setelah Khadijah wafat ia kehilangan putri-putrinya pula. satu demi satu, setelah mereka bersuami dan menjadi ibu. Sekarang tak ada lagi yang masih hidup, selain Fatimah. Putra-putra dan putri-putri itu, yang satu demi satu berguguran di tangannya dan dengan tangan sendiri pula ia menguburkan mereka ke dalam pusara, yang telah meninggalkan luka yang begitu pedih dalam hatinya, kini terasa terobat juga dengan lahirnya Ibrahim, tempat buah hati meletakkan segala harapan. Dan sudah sepantasnya pula bila dengan harapan itu ia merasa gembira, merasa bahagia.
IBRAHIM SAKIT
Tetapi harapan ini tidak berlangsung lama; hanya selama beberapa bulan saja seperti yang sudah kita sebutkan. Sesudah itu Ibrahim jatuh sakit, sakit yang sangat menguatirkan. Ia dipindahkan ke sebuah tempat dengan kebun kurma di samping Masyraha Umm Ibrahim. Maria dan Sirin adiknya selalu menjaga dan merawatnya. Bayi ini tidak lama sakitnya. Tatkala ajal sudah dekat dan Nabi diberi tahu, karena rasa sedih yang sangat mendalam, ia berjalan dengan memegang tangan Abdur-Rahman bin Auf sambil bertumpu kepadanya. Bila ia sudah sampai ke tempat itu di samping ‘Alia — tempat Masyraba yang sekarang — dijumpainya Ibrahim dalam pangkuan ibunya, sedang menarik nafas terakhir. Diambilnya anak itu, lalu diletakkannya di pangkuannya dengan hati yang remuk-redam rasanya. Tangannya menggigil. Kalbu yang duka dan pilu rasa mencekam seluruh sanubari. Lukisan hati yang sedih mulai membayang dalam raut wajahnya. Sambil meletakkan anak itu di pangkuan ia berkata :
“Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Allah.”
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 514-515.
Cinta-kasih Muhammad kepada Ibrahim sebenarnya bukan karena suatu maksud pribadi yang ada hubungannya dengan Risalah yang dibawanya, atau dengan yang akan menjadi penggantinya. Muhammad s.a.w. dengan imannya kepada Tuhan dan kepada Risalah Tuhan tidak akan memikirkan anak atau siapa yang akan mewarisinya. Bahkan dikatakannya :
“Kami para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami tinggalkan untuk sedekah.”
Akan tetapi, rasa kasih insani dalam artinya yang luhur, rasa kasih insani yang begitu dalam tertanam dalam hati Muhammad — yang kiranya tidak akan dicapai oleh siapa pun, rasa insani yang akan membuat manusia Arab memandang anak laki-laki yang akan mewarisinya sebagai sebuah lukisan abadi — rasa kasih inilah yang telah membuat Muhammad mencurahkan semua cintanya kepada Ibrahim, kasih-sayang yang tiada taranya. Dan rasa kasih ini lebih parah merasuk ke dalam hati, karena sebelum itu ia telah kehilangan kedua putranya — Qasim dan Tahir, dan keduanya masih bayi dalam pangkuan Khadijah ibunya. Setelah Khadijah wafat ia kehilangan putri-putrinya pula. satu demi satu, setelah mereka bersuami dan menjadi ibu. Sekarang tak ada lagi yang masih hidup, selain Fatimah. Putra-putra dan putri-putri itu, yang satu demi satu berguguran di tangannya dan dengan tangan sendiri pula ia menguburkan mereka ke dalam pusara, yang telah meninggalkan luka yang begitu pedih dalam hatinya, kini terasa terobat juga dengan lahirnya Ibrahim, tempat buah hati meletakkan segala harapan. Dan sudah sepantasnya pula bila dengan harapan itu ia merasa gembira, merasa bahagia.
IBRAHIM SAKIT
Tetapi harapan ini tidak berlangsung lama; hanya selama beberapa bulan saja seperti yang sudah kita sebutkan. Sesudah itu Ibrahim jatuh sakit, sakit yang sangat menguatirkan. Ia dipindahkan ke sebuah tempat dengan kebun kurma di samping Masyraha Umm Ibrahim. Maria dan Sirin adiknya selalu menjaga dan merawatnya. Bayi ini tidak lama sakitnya. Tatkala ajal sudah dekat dan Nabi diberi tahu, karena rasa sedih yang sangat mendalam, ia berjalan dengan memegang tangan Abdur-Rahman bin Auf sambil bertumpu kepadanya. Bila ia sudah sampai ke tempat itu di samping ‘Alia — tempat Masyraba yang sekarang — dijumpainya Ibrahim dalam pangkuan ibunya, sedang menarik nafas terakhir. Diambilnya anak itu, lalu diletakkannya di pangkuannya dengan hati yang remuk-redam rasanya. Tangannya menggigil. Kalbu yang duka dan pilu rasa mencekam seluruh sanubari. Lukisan hati yang sedih mulai membayang dalam raut wajahnya. Sambil meletakkan anak itu di pangkuan ia berkata :
“Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Allah.”
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 514-515.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar