Bukan hanya kata-katanya itu saja yang menjadi sendi ajaran adanya persaudaraan demikian itu, yang dalam peradaban Islam merupakan bagian yang penting sekali, melainkan juga perbuatan serta teladan yang diberikannya adalah contoh persaudaraan dalam bentuknya yang benar-benar sempurna. Dia adalah Rasulullah Utusan Allah; tapi tidak mau ia menampakkan diri dalam gaya orang berkuasa, atau sebagai raja atau pemegang kekuasaan duniawi. Kepada sahahat-sahahatnya ia berkata : ”Jangan aku dipuja, seperti orang-orang Nasrani memuja anak Mariam. Aku adalah hamba Allah. Sebutkan sajalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Sekali pernah Ia mendatangi sekelompok sahahat-sahahatnya sambil bertelekan pada sebatang tongkat. Mereka berdiri menyambutnya. Tapi dia berkata : “Jangan kamu berdiri seperti orang-orang asing yang mau saling diagungkan.”
Apabila ia mengunjungi sahabat-sahabatnya ia pun duduk di mana saja ada tempat yang terluang. Ia bergurau dengan sahabat-sahabatnya, bergaul dengan mereka, diajaknya mereka bercakap-cakap, anak-anak mereka pun diajaknya bermain-main dan didudukkannya mereka itu di pangkuannya. Dipenuhinya undangan yang datang dari orang merdeka atau dari si budak dan si miskin. Dikunjunginya orang yang sedang sakit, yang jauh tinggal di sana, di ujung kota. Orang yang datang minta maaf dimaafkannya. Dan ia yang memulai memberi salam kepada orang yang dijumpainya. Ia yang lebih dulu mengulurkan tangan menjabat sahabat-sahabatnya. Apabila ada orang yang menunggu ia sedang sholat, di percepatnya sholatnya lalu ditanyanya orang itu akan keperluannya. Sesudah itu kembali lagi ia meneruskan ibadatnya. Baik hati ia kepada setiap orang dan selalu senyum. Dalam rumah tangga, Ia ikut memikul beban keluarga : ía mencuci pakaian, menambalnya dan memerah susu kambing. Ia juga yang menjahit terompahnya, menolong dirinya sendiri dan mengurus unta. Ia duduk makan bersama dengan bujang, ía juga mengurus keperluan orang yang lemah, yang menderita dan orang miskin. Apabila ia melihat seseorang yang sedang dalam kebutuhan ia dan keluarganya mengalah, sekalipun mereka sendiri dalam kekurangan, tak ada sesuatu yang disimpannya untuk besok; sehingga tatkala ia wafat baju besinya sedang tergadai di tangan seorang Yahudi — karena untuk keperluan belanja keluarganya, Sangat rendah hati ia, selalu memenuhi janji. Tatkala ada sebuah delegasi dari pihak Najasi datang, dia sendiri yang melayani mereka, sehingga sahabat-sahabat menegurnya : “Sudah cukup ada yang lain,” kata sahahat-sahabatnya itu.
“Mereka sangat menghormati sahabat-sahabat kita,” katanya. “Saya ingin membalas sendiri kebaikan mereka.”
Begitu setianya ia, sehingga bila ada orang menyebut nama Khadijah, selalu menimbulkan kenangan yang indah baginya. Di sinilah Aisyah berkata : “Saya tidak pernah iri hati terhadap seorang wanita seperti terhadap Khadijah, bilamana saja mendengar ia mengenangkannya. Ketika ada seorang wanita datang, ia menyambutnya begitu gembira dan ditanyainya baik-baik. Bila wanita itu sudah pergi, ia berkata : “Ketika masih ada Khadijah ia suka mengunjungi kami. Bahwa mengingat hubungan baik masa lampau adalah termasuk iman.”
Begitu halusnya perasaannya begitu lembutnya hatinya, ia membiarkan cucunya bermain-main dengan dia ketika ia sholat. Bahkan ia sholat dengan Umama, putri Zainab putrinya, sambil dibawa di atas bahunya; bila ia sujud diletakkan bila ia berdiri dibawanya lagi.
---------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 209-210
Sekali pernah Ia mendatangi sekelompok sahahat-sahahatnya sambil bertelekan pada sebatang tongkat. Mereka berdiri menyambutnya. Tapi dia berkata : “Jangan kamu berdiri seperti orang-orang asing yang mau saling diagungkan.”
Apabila ia mengunjungi sahabat-sahabatnya ia pun duduk di mana saja ada tempat yang terluang. Ia bergurau dengan sahabat-sahabatnya, bergaul dengan mereka, diajaknya mereka bercakap-cakap, anak-anak mereka pun diajaknya bermain-main dan didudukkannya mereka itu di pangkuannya. Dipenuhinya undangan yang datang dari orang merdeka atau dari si budak dan si miskin. Dikunjunginya orang yang sedang sakit, yang jauh tinggal di sana, di ujung kota. Orang yang datang minta maaf dimaafkannya. Dan ia yang memulai memberi salam kepada orang yang dijumpainya. Ia yang lebih dulu mengulurkan tangan menjabat sahabat-sahabatnya. Apabila ada orang yang menunggu ia sedang sholat, di percepatnya sholatnya lalu ditanyanya orang itu akan keperluannya. Sesudah itu kembali lagi ia meneruskan ibadatnya. Baik hati ia kepada setiap orang dan selalu senyum. Dalam rumah tangga, Ia ikut memikul beban keluarga : ía mencuci pakaian, menambalnya dan memerah susu kambing. Ia juga yang menjahit terompahnya, menolong dirinya sendiri dan mengurus unta. Ia duduk makan bersama dengan bujang, ía juga mengurus keperluan orang yang lemah, yang menderita dan orang miskin. Apabila ia melihat seseorang yang sedang dalam kebutuhan ia dan keluarganya mengalah, sekalipun mereka sendiri dalam kekurangan, tak ada sesuatu yang disimpannya untuk besok; sehingga tatkala ia wafat baju besinya sedang tergadai di tangan seorang Yahudi — karena untuk keperluan belanja keluarganya, Sangat rendah hati ia, selalu memenuhi janji. Tatkala ada sebuah delegasi dari pihak Najasi datang, dia sendiri yang melayani mereka, sehingga sahabat-sahabat menegurnya : “Sudah cukup ada yang lain,” kata sahahat-sahabatnya itu.
“Mereka sangat menghormati sahabat-sahabat kita,” katanya. “Saya ingin membalas sendiri kebaikan mereka.”
Begitu setianya ia, sehingga bila ada orang menyebut nama Khadijah, selalu menimbulkan kenangan yang indah baginya. Di sinilah Aisyah berkata : “Saya tidak pernah iri hati terhadap seorang wanita seperti terhadap Khadijah, bilamana saja mendengar ia mengenangkannya. Ketika ada seorang wanita datang, ia menyambutnya begitu gembira dan ditanyainya baik-baik. Bila wanita itu sudah pergi, ia berkata : “Ketika masih ada Khadijah ia suka mengunjungi kami. Bahwa mengingat hubungan baik masa lampau adalah termasuk iman.”
Begitu halusnya perasaannya begitu lembutnya hatinya, ia membiarkan cucunya bermain-main dengan dia ketika ia sholat. Bahkan ia sholat dengan Umama, putri Zainab putrinya, sambil dibawa di atas bahunya; bila ia sujud diletakkan bila ia berdiri dibawanya lagi.
---------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 209-210
Tidak ada komentar:
Posting Komentar