"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Selasa, 25 Maret 2014

PASUKAN USAMA KEMBALI KE MADINAH

Usama bin Zaid yang telah melihat Nabi pagi itu pergi ke mesjid, seperti orang-orang Islam yang lain dia pun menduga bahwa Nabi sudah semhuh. Bersama-sama dengan anggota pasukan yang hendak diherangkatkan ke Syam yang sementara itu pulang ke Medinah, sekarang ia kembali menggabungkan din dengan markas yang di Jurf. Perintah sudah dikeluarkan supaya pasukannya itu siap-siap akan berangkat. Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba ada orang yang datang menyusulnya, dengan membawa berita sedih tentang kematian Nabi. Ia membatalkan niatnya akan berangkat dan pasukannya diperintahkan kembali semua ke Medinah. Ia pergi ke rumah ‘Aisyah dan ditancapkannya benderanya di depan pintu rumah itu, sambil menantikan keadaan Muslimin.
Sebenarnya Muslimin sendiri dalam keadaan bingung. Setelah mereka mendengar pidato Abu Bakr dan yakin sudah bahwa Muhammad sudah wafat, mereka lalu terpencar-pencar. Golongan Anshar lalu menggabungkan diri kepada Sa’d bin ‘Ubada di Saqifa (Saqifa berarti ‘serambi beratap’; atau ‘ruangan besar beratap’ ; semacam balairung) Banu Sa’ida; Ali bin Abi Talib, Zubair bin’l-’Awwam dan Talha bin ‘Ubaidillah menyendiri pula di rumah Fatimah; pihak Muhajirin, termasuk Usaid bin Hudzair dari Banu ‘Abd’lAsyhal menggabungkan diri kepada Abu Bakr.
Sementara Abu Bakr dan Umar dalam keadaan demikian, tiba-tiba ada orang datang menyampaikan berita kepada mereka, bahwa Anshar telah menggabungkan diri kepada Sa’d bin ‘Ubada, dengan menambahkan bahwa: Kalau ada masalah yang perlu diselesaikan dengan mereka, segera susullah mereka, sebelum keadaan jadi berbahaya. Rasulullah s.a.w. masih di dalam rumah, belum lagi selesai (dimakamkan) dan keluarganya juga sudah menutupkan pintu.
“Baiklah”, kata Umar menujukan kata-katanya kepada Abu Bakr. “Kita berangkat ke tempat saudara-saudara kita dari Anshar itu, supaya dapat kita lihat keadaan meneka.”
Ketika di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan dua orang baik-baik dari kalangan Anshar, yang kemudian menceritakan kepada pihak Muhajirin itu tentang adanya orang-orang yang sedang mengadakan persepakatan.
“Tuan-tuan mau ke mana?” tanya dua orang itu.
Setelah diketahui bahwa mereka akan menemui orang-orang Anshar, kedua orang itu berkata :
“Tidak ada salahnya tuan-tuan tidak mendekati mereka. Saudara-saudara Muhajirin, selesaikanlah persoalan tuan-tuan.”
“Tidak, kami akan menemui mereka”, kata Umar.
Lalu mereka meneruskan perjalanan sampai di Serambi Banu Sa’ida. Di tengah-tengah mereka itu ada seorang laki-laki yang sedang berselubung.
“Siapa ini?” tanya Umar bin’l-Khattab.
“Sa’d bin ‘Ubada”, jawab mereka. “Dia sedang sakit.”
Setelah pihak Muhajirin duduk, salah seorang dari Anshar berpidato. Sesudah mengucapkan syukur dan puji kepada Tuhan ia berkata :
“Kemudian daripada itu. Kami adalah Ansharullah dan pasukan Islam, dan kalian dari kalangan Muhajirin sekelompok kecil dari kami yang datang ke mari mewakili golongan tuan-tuan . Ternyata mereka itu mau menggabungkan kami dan mengambil hak kami serta mau memaksa kami.”

SAMBUTAN ABU BAKR KEPADA ANSHAR
Yang demikian ini memang merupakan jiwa Anshar sejak masa hidup Nahi. Oleh karena itu, begitu Umar mendengar kata-kata tersebul ia ingin segera menangkisnya. Tetapi oleh Abu Bakr ditahan, sebab sikapnya yang keras sangat dikuatirkan.
“Sabarlah, Umar!” katanya. Kemudian ia memulai pembicaraannya, ditujukan kepada Anshar :
“Saudara-saudara! Kami dari pihak Muhajirin orang yang pertama menerima Islam. keturunan kami baik-baik, keluarga kami terpandang, kedudukan kami baik pula. Di kalangan Arab kamilah yang banyak memberikan keturunan, dan kami sangat sayang kepada Rasulullah. Kami sudah Islam sebelum tuan-tuan dan di dalam Quran juga kami didahulukan dari tuan-tuan; seperti dalam firman Tuhan :
“Orang-orang yang terdahulu dan mula-mula (masuk Islam) dari Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam melakukan kebaikan.” (QS. 9 : 100) Jadi kami Muhajirin dan tuan-tuan adalah Anshar saudara-saudara kami seagama, bersama-sama menghadapi rampasan perang dan mengeluarkan pajak serta penolong-penolong kami dalam menghadapi musuh. Apa yang telah tuan-tuan katakan, bahwa segala kebaikan ada pada tuan-tuan, itu sudah pada tempatnya. Tuan-tuanlah dari seluruh penghuni bumi ini yang patut dipuji. Dalam hal ini orang orang Arab itu hanya mengenal lingkungan Ouraisy ini. Jadi dari pihak kami para amir dan dari pihak tuan-tuan para wazir.(Umara’ jamak amir, harfiah ‘yang memerintah’. pemimpin-pemimpin, dapat diartikan kepala-kepala Negara : wuzara’ jamak wazir ‘yang memberi dukungan, yakni ‘para menteri’).
Ketika itu salah seorang dari kalangan Anshar ada yang masih berkata :
“Saya tongkat lagi senjata. (Harfiah ‘Saya kayu pasak tempat ternak bergerak dan setandan kurma yang bertopang’, yakni ‘saya tempat orang yang mencari pengobatan dengan pendapatnya, seperti unta mengobati sakit gatalnya dengan bergaruk-garuk pada kayu pasak’. Perumpamaan Melayu di atas berarti ‘saya yang memberi dua pertolongan dalam perjalanan’.). Saudara-saudara Ouraisy, dari kami seorang amir dan dari tuan-tuan juga seorang amir.”
“Dan kami para amir dan dari tuan-tuan para wuzir, “ kata Abu Bakr, “Saya menyetujui salah seorang dari yang dua ini untuk kita. Berikanlah ikrar tuan-tuan kepada yang mana saja yang tuan-tuan sukai.”
Lalu ia mengangkat tangan Umar bin’l-Khattab dan tangan Abu ‘Ubaida bin’l-Jarrah. sambil dia duduk di antara dua orang itu. Lalu timbul suara-suara ribut dan keras. Hal ini dikuatirkan akan membawa pertentangan. Ketika itu Umar lalu berkata dengan suaranya yang lantang :
“Abu Bakr, bentangkan tanganmu!”
Abu Bakr membentangkan tangan dan dia diikrarkan seraya Umar :

IKRAR SAQIFA
“Abu Bakr, bukankah Nabi sudah menyuruhmu, supaya engkaulah yang memimpin Muslimin bersholat? Engkaulah penggantinya (khalifah). Kami akan mengikrarkan orang yang paling disukai oleh Rasulullah di antara kita semua ini.”
Kata-kata ini ternyata sangat menyentuh hati Muslimin yang hadir karena benar-benar telah dapat melukiskan kehendak Nabi sampai pada hari terakhir orang melihatnya. Dengan demikian pertentangan di kalangan mereka dapat dihilangkan. Pihak Muhajirin datang memberikan ikrar, kemudian pihak Anshar juga memberikan ikrarnya.
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 579-582.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar