"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Kamis, 06 Maret 2014

Pemerintahan Umar bin Khattab (8)

Pengangkatan Para Hakim dan Pendapatnya Tentang Hukum
Dalam menjalankan keadilan ia tidak membedakan antara si ningrat dengan si jelata, antara pejabat tinggi dengan rakyat biasa. Cerita tentang Amir Gassan, Jabalah bin al-Aiham, dan bagaimana Urnar menghendaki agar tindakannya memukul seorang badui (Arab pedalaman) itu juga harus mendapat hukuman setimpal. Kasus Muhammad bin Amr bin As yang mencambuk seorang orang Mesir sambil berkata : Terimalah ini; aku adalah anak keturunan orang-orang mulia. Oleh Amr orang Mesir itu dipenjarakan karena dikhawatirkan akan mengadu kepada Amirulmukminin. Orang itu melarikan diri dari penjara dan pergi ke Medinah mengadukan halnya kepada Umar. Oleh Umar ia disuruh menunggu sementara Amr dan anaknya dimintanya datang dari Mesir. Keduanya kemudian dihadapkan ke majelis qisas (sidang pengadilan pidana), dan setelah mereka tampil Umar memanggil orang Mesir itu seraya katanya : Ambil cambuk itu dan lecutlah “anak keturunan orang mulia itu!” Muhammad dicambuk oleh orang Mesir itu sampai merasa kepayahan. sementara itu Umar berkata : Cambuklah “anak keturunan orang mulia itu!” Setelah selesai dan orang tersebut hendak mengembalikan cambuk itu kepada Amirulmukminin ia berkata : “Putarkan cambuk itu di atas kepala Amr yang botak berkat kedudukannya itulah anaknya berani memukul Anda!’ Ketika itu Amr berkata : Amirulmukminin. sudah Anda penuhi dan sudah Anda balas sepuas-puasnya.
Orang Mesir itu berkata : Amirulmukminin, orang yang memukul saya sudah saya pukul.
Ketika itu Amr berkata : Sungguh, jika Anda pukul dia kami tidak akan menghalangi sebelum Anda sendiri yang meninggalkannya.
Umar menoleh kepada Amr dengan sikap marah seraya berkata : “Amr! Sejak kapan Anda memperbudak orang, padahal ibunya melahirkannya sebagai orang merdeka!”
Bukan maksud saya di sini hendak memperinci cara Umar melaksanakan hukuman, juga bukan tempatnya dalam hal ini membuat rincian demikian. Tetapi apa yang saya kemukakan itu hanya sekadar isyarat betapa kerasnya ia dalam berpegang pada keadilan. dan mengenai persamaan antara sesama manusia. dilukiskan dalam kata-katanya ini :
“Kalau ada dua orang yang berselisih mengadu kepadaku, untuk menentukan pihak mana yang benar aku tak pandang bulu. Penyebab sikap kerasnva terhadap keluarga, kepada para peabat dan keluarga mereka karena keyakinannya bahwa untuk menjamin adanya kebebasan, kekuatan dan kehormatan umat hanyalah dengan mempersamakan antara si penguasa dengan rakyatnya, antara si kaya dengan si miskin. antara sang amir dengan si jelata. Para petinggi itu lebih besar tanggung jawabnya daripada rakyatnya, karena pemerintahan memikat mereka untuk berlaku senenang-senang kalau tak ada sang dapat menahan mereka. Oleh karenanya ia berkata : Rakyat masih akan tetap jujur selama pemimpin-pemimpin dan para panutan mereka ujur.” Katanya lagi: “Rakyat akan memenuhi kewajibannya kepada pemimpin selama pemimpin itu memenuhi kewajibannya kepada Allah. Kalau pemimpin hidup bermewah-mewah dan serakah, rakyat pun akan mengikutinya.” Baginya, kedudukan pana pejabat itu terhadap dia sama dengan kedudukan rakyat terhadap para pejabat. Dia bertanggungjawah terhadap mereka. sama seperti para pejabat bertanggung terhadap orang-orang yang menjadi bawahan mereka. Jika petinggi-petinggi itu berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat. mereka juga harus dihukum sama seperti yang berlaku terhadap siapa saja yang berlaku sewenang-wenang terhadap orang lain di negeri itu. Ia pernah mengungkapkan perasaannya mengenai tanggung jawab itu dengan mengatakan : “Siapa pun pejabat yang merugikan orang lain dan tindakannya itu sudah disampaikan kepadaku tetapi aku tak dapat mengubahnya, maka akulah yang merugikan orang itu.”
Sifat-sifat Umar itu sebenarnya sudah lengkap: zuhud, kasih sayang, adil dan mengabdi kepada fakir miskin dan kaum tak punya. Itu sebabnya pemerintahannya disukai orang, dan beberapa tindakannya yang dulu terasa begitu tegas dan keras bagi mereka kini bukan masalah, dan kewibawaannya tidak pula membuat orang banyak menjauhinya. Kalau tidak karenanya niscaya mereka mengadukan segala keperluan mereka kepadanya dan dia pun akan menyelesaikannya. Karena sikapnya yang keras dan tegas itu sampai ía rnengangkat cambuk menghajar siapa saja yang melanggar tata tertib umum yang sudah berlaku. Ia tak akan membeda-bedakan siapa dan mereka, tua atau muda, yang harus kena. Dengan membawa tongkat orang makin segan dan takut kepadanya, di samping kepercayaan mereka akan pengabdiannya, keadilan dan kasih sayangnya. Sahabat-sahabat seperti Ali, Usman, Talhah, Zubair, Abdur-Rahman bin Auf dan Sa’d bin Abi Waqqas sedang mengadakan pertemuan. Di antara mereka Abdur-Rahman bin Auf yang berani berbicara kepada Umar. Mereka itu berkata kepadanya : Abdur-Rahman, coba Anda sampaikan kepada Amirulmukminin atas nama orang banyak ada orang yang datang kepadanya ingin membicarakan keperluannya. Tetapi karena wibawanya ia segan berbicara dengan Umar dan pulang kembali tanpa menyampaikan keinginannya itu. Abdur-Rahman datang menemui Umar dan berkata : Amirulmukminin, bersikap lunaklah kepada orang. Ada orang yang datang hendak berbicara dengan Anda mengenai masalah yang sedang dihadapinya, tetapi ia tidak sampai berbicara karena merasa takut dan ia kembali pulang.”
“Abdur-Rahman,” kata Umar. “Bersumpahlah demi Allah. Bukankah ini atas permintaan Ali, Usman, Talhah, Zubair dan Sa’d yang menyuruh Anda?”
“Memang benar,” jawab Abdur-Rahman.
“Abdur-Rahman,” sambung Umar lagi, “saya sudah bersikap longgar kepada semua orang sampai karena sikap itu saya takut kepada Allah ; kemudian saya bersikap keras sehingga saya takut kepada Allah karena sikap saya yang keras itu. Bagaimana jalan keluarnya?!”
Abdur-Rahman keluar sambil menangis dan katanya : Celakalah mereka yang sesudahmu! Celaka mereka!
Contoh-contoh ini sekadar menggambarkan kepada kita. bagaimana Umar memikul tanggung jawab pemerintahan yang sekaligus memperlihatkan rahasia kemampuannya yang luar biasa dalam memikul segala beban yang begitu besar itu, yang sampai kini masih membuat orang kagum dan bangga. Juga terlihat bagaimana sistem pernerintahan di masa Umar sebagai sarana yang dapat menyiapkan gerakan pembebasan dan mendorong Muslimin melaksanakan semua itu. Mereka melihat Amirulmukminin adalah pelindung dan penanggung jawab terbaik mengenai hak-hak mereka dan keluarga yang mereka tinggalkan. Mereka melihatnya sebagai orang yang sangat terkesan dalam hati mereka dan dalam hati keluarga, dan ia menyampaikan hak masing-masing kepada yang berhak. Sudah tentu mereka terjun ke medan perang dengan hati tenang mengenai hari depan mereka, mengenai nasib anak-anak dan keluarga mereka. Dan tidaklah ada yang akan merasa rugi mati terbunuh di jalan Allah dan demi kedaulatan Islam, sementara ia yakin bahwa kalau ia mati syahid anak-anak mereka akan mendapat balasan lebih baik daripada sewaktu ia masih hidup, dan pintu surga akan terbuka baginya sesuai dengan pengabdiannya kepada Allah dengan menyerahkan hidupnya demi perjuangan di jalan Allah.
Kalangan sejarawan Barat memperkuat penggambaran Umar yang demikian itu dan sangat memujinya. Yang sebagian lagi mereka berpendapat bahwa kalaupun yang demikian itu melukiskan suatu sistem pemerintahan, maka itu adalah sistem Arab yang sudah cukup terkenal waktu itu, dan mirip sekali dengan sistem para kabilah, karena yang memegang kendali adalah orang-orang yang lebih mampu menguasai dengan kekuatannya dalam mempertahankan dan memberikan perlindungan, atau dengan kebijaksanaannya mengatur segala persoalan. atau dengan ketajaman dan keelokan pandangannya dalam mengikat huhungan dengan kabilah-kabilah lain. Pemimpin kabilah ini memusatkan semua kekuasaan di tangannya, kira-kira sama seperti yang dilakukan Umar. Hukum adat yang sudah berlaku dijadikannya landasan hukum svariat. Ia memutuskan perkara hukum qisas atau diat di kalangan orang-orang sekabilahnya atas dasar itu. Perkara diputuskan dengan mengambil salah satu cara itu jika ada orang yang menjadi korban kekerasan mengadu. atau wali penuntut darah dan kabilah lain menuntut haknya dan orang yang melakukan pelanggaran itu atau terhadap orang yang diwakilinya sebagai wali penuntutnya, dan kabilah pemimpin tersebut. Para sejarawan itu menyebutkan, bahwa hukum adat yang berlaku bagi orang Arab itu telah disusun dan disaring oleh Qur’an, tetapi tidak sampai membawa Arab lepas dan sistem mereka yang sudah biasa berjalan sebelum itu. Baik pemenintahan Umar, dan pemerintahan Abu Bakr sebelumnya, berjalan tidak melampaui dasar sistem Arab itu. Kedua pemerintahan lebih mirip sistem badui (Arab pedalaman) daripada sistem kota yang sudab dikenal oleh Persia dan Rumawi waktu itu.
Sudah tentu pemerintahan Abu Bakr waktu itu adalah pemerintahan Arab murni, sedikit pun tidak terpengaruh oleh sistem Rumawi atau Persia. dengan cara yang sangat bersahaja, layaknya cara badui yang sudah dikenal di kebanyakan Semenanjung Arab waktu itu. Kendati dengan kesederhanaannya, mata rantai yang begitu kuat yang mengikat masa risalah dengan masa kedaulatan Islam, merupakan keadaan biasa untuk suatu sistem yang mulai berubah pada masa Rasulullah. Tatkala Rasulullah datang ke Yasrib—seperti kota-kota Arab lainnya—kota ini terdiri atas kabilah-kabilah, tak ada yang mau mengakui kekuasaan yang satu atas yang lain. Karenanya, kadang terjadi perang antara Aus dengan Khazraj, kadang antara Arab dengan Yahudi penduduk Yasrib. Mereka tak pernah bersatu kecuali jika ada bahaya datang dari luar. Sesudah Rasulullah menetap di Medinah dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Ansar, kemudian pengusiran orang-orang Yahudi dari kota itu, hilanglah perbedaan dan pertentangan antarkabilah dan antarsuku itu. Mereka bersatu dalam satu peradaban yang hukumnya adalah Quran dan penanggungjawabnya Rasulullah. Ini merupakan suatu perkembangan dalam sistem pemerintahan yang belum biasa buat penduduk Hijaz. Tetapi tak lama sesudah pembebasan Mekah, perkembangan ini berpindah dari Medinah ke Mekah kemudian sesudah Perang Hunain ke Ta’if.
Setelah kota-kota dan kabilah-kabilah itu mengirimkan utusan-utusannya ke Medinah untuk menyatakan menerima Islam di depan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, setahun sebelum Rasulullah wafat. Rasul mengirirn tokoh-tokoh sahabatnya untuk mengajarkan agama dan memungut zakat dari mereka. Tokoh-tokoh ini adalah perintis masa peralihan yang membuat orang-orang Arab berangsur-angsur mengalami perkembangan. Tatkala terjadi Perang Riddah, orang-orang Arab itu berjuang mati-matian seperti yang lain dalam menumpas kaum pembangkang. Dengan demikian mereka mengakui bahwa datangnya kemenangan itu dari Medinah, dan tak ada orang Arab yang mengingkarinya, ini membuat pengaruh para penguasa setempat dan para pejabat tinggi (Para pejabat Abu Bakr itu, Attab bin Asid untuk Mekah, Usman bin Abi al-As untuk Ta’if, Muhajir bin Abi Umayyah untuk San’a, Ziyad bin Labid untuk Hadramaut, Ya’la bin Umayyah untuk Khaulan dan Abu Musa untuk Zabid) yang diangkat oleh Abu Bakr bertambah kuat. Kekuasaan ini tidak terbatas hanya pada pengajaran agama kepada mereka dan memungut zakat, tetapi di kota-kota yang menjadi tanggung jawab mereka hak mereka sama dengan yang dimiliki oleh para pemimpin kabilah atau para amir. Kekuasaan eksekutif, hukum dan pimpinan militer di tangan mereka, dengan tanggung jawab sepenuhnya kepada Khalifah atas segala tindakan mereka.
Kekuasaan itu kemudian pindah ke tangan Umar sesudah semua orang Arab kembali kepada Islam. Tak ada lagi alasan untuk harus mewaspadai mereka atau merasa khawatir mereka akan membangkang lagi. Mengapa harus merasa khawatir padahal pahlawan-pahlawan mereka sudah pergi ke medan pertempuran, berjuang di jalan Allah, membunuh atau dibunuh. Umar berpendapat persatuan mereka akan lebih diperkuat lagi. Oleh karenanya ia memerintahkan para pejabatnya berlaku lebih bijaksana, adil, memberikan pengabdian dan kasih sayang, semua orang Arab di Semenanjung supaya diperlakukan sama, lepas dari kedudukan mereka yang berbeda-beda.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 612-617.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar