Pembentukan Administrasi Negara dan Pendistribusian
Pada permulaan pemerintahan Umar para petinggi itu menjalankan kebijakan mereka seperti yang dijalankan Umar di Medinah. Mereka memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan pimpinan militer dalam satu tangan. Hanya saja, tak lama sesudah memegang tugas pemerintahan itu tampaknya ia sudah lebih sibuk dengan urusan negara secara umum serta pemusatan politiknya melebihi apa yang harus dipikulnya ketika ia dilantik. Berita-berita angkatan bersenjatanya di Irak dan Syam menyita banyak sekali waktu dan perhatiannya. Segala tindak tanduk para pejabat di berbagai daerah kedaulatannya menjadi pokok perhatian dan pikirannya. Di samping itu, kepentingan rakyat di Medinah menambah rumit dan kompleks dengan bertambahnya jumlah penduduk, serta kekayaan yang masuk. Usaha pembebasan dan penaklukan yang terus maju serta segala yang harus diselesaikan sehubungan dengan administrasi negeri-negeri yang baru dikuasai itu memaksanya harus menulis kepada para panglimanya menyampaikan pendapatnya sekitar pengaturan administrasi itu. Oleh karena itu mau tak mau ia harus mengangkat beberapa pembantu yang akan dapat mengatur segala kepentingan perorangan terpisah dari kepentingan negara.
Pengangkatan Para Hakim
Dalam hal ini, yang pertama sekali dilakukannya ialah memisahkan kekuasaan yudikatif di Medinah dari kekuasaannya, dan untuk itu ia mengangkat Abu ad-Darda’ dan dia diberi gelar Qadi (Hakim). Segala macam perkara hukum yang diajukan orang dia yang memutuskan. Sesudah selesai pembangunan kota-kota Kufah dan Basrah dan makin banyak orang yang tinggal di sana, banyak pula anggota masyarakat yang terlibat dalam berbagai macam perkara, ia mengangkat Syuraih sebagai hakim Kufah dan untuk Basrah diangkatnya Abu Musa al-Asy’ari. Setelah Mesir dibebaskan. untuk kaum Muslimin diangkatnya Qais bin al-As as-Sahmi sebagai hakim. Para hakim memutuskan perkara bebas menurut pendapat mereka sendiri dalam batas-batas Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Pengangkatan mereka ini merupakan langkah pertama dalan mengatur kekuasaan yang terpisah satu sama lain. Tetapi langkah inilah yang memang diperlukan dan dapat menentukan perkembangan yang diperlukan selanjutnya mengenai persoalan- persoalan Negara. Keadaan ini tetap berjalan demikian, dan baru dapat dijadikan prinsip yang pasti untuk diterapkan di seluruh kedaulatan setelah memakan waktu lama —sesudah masa Umar.
Dalam memilih para hakim itu Umar telah berhasil baik seperti ketika memilih para pejabatnya yang lain, bahkan barangkali lebih berhasil. Soalnya karena dia sudah sangat mendalami fikih dan hukum syariat, dan hampir tak ada yang dapat menandinginya, sehingga tentang dia ini Ibn Mas’ud berkata : “Andaikata ilmu yang ada pada Umar diletakkan di satu piring neraca dan ilmu kabilah-kabilah Arab dipiring neraca yang lain, masih akan lebih berat tangan Umar.” Hal ini tidak mengherankan. Sebelum ia masuk Islam ia sudah memegang tugas sifarah (penengah) antara masyarakat Kuraisy dengan kabilah-kabilah lain. Sesudah masuk Islam ia selalu mendampingi Rasulullah, memperhatikan semua wahyu yang diturunkan Allah kepadanya, sangat memahami sunah dan segala keputusannya. Disamping itu ia mempunyai firasat yang tepat dan kuat mengenai orang-orang yang dihadapinya, dan dari tingkah laku mereka ia mampu menilai kemampuan mereka sesuai dengan apa yang dilihatnya. Cerita tentang pengangkatan Syuraih sebagai hakim Kufah adalah bukti terbaik dalam hal ini. Umar pernah menawar seekor kuda dari seseorang kemudian ia menaikinya, tetapi begitu dicoba kuda itu sudah kehabisan tenaga. Ia bermaksud mengembalikan kuda tersebut kepada pemiliknya tetapi pemilik itu menolak. Kalau begitu harus ada orang yang dapat menengahi antara kita ini, kata Umar. Orang itu berkata : Syuraih orang Irak itu. Maka perkara itu diserahkan kepada Syuraih. Sesudah mendengarkan argument kedua belah pihak Syuraih berkata : Amirulmukminim, ambillah yang sudah Anda beli, atau kembalikan seperti waktu Anda ambil. Kata Umar : Keputusannya hanya begini? Syuraih ditugaskan untuk melaksanakan hukum di Kufah, dan tetap demikian selama enam puluh tahun.
Surat-surat dan kata-kata Umar tentang keputusan hukum, yuris-prudensi Islam dan kaidah-kaidahnya membuktikan tentang kedalaman ilmunya. Suratnya kepada Abu Musa al-Asy’ari merupakan sekelumit literatur hukum yang hidup sepanjang masa. Surat itu berbunyi :
Bismillahir-rahmanir-rahim. Dari hamba Allah Ammirulmukminin kepada Abdullah bin Qais Salam sejahtera bagi Anda. Amma ba’du. Masalah peradilan adalah suatu kewajiban agama yang harus dijalankan, dan Sunah yang harus diikuti. Ketahuilah benar-benar : Jika diajukan kepada Anda suatu perkara maka laksanakanlah jika bagi Anda sudah nyata dan jelas. Tak ada gunanya berbicara tentang kebenaran tanpa ada pelaksanaan. Perlakukanlah semua orang dengan integritasmu, keadilanmu dan majelismu, supaya jangan ada orang yang berkedudukan dan kuat mengharapkan ketidakadilanmu sementara orang yang lemah merasa putus asa dari keadilanmu. Bukti yang jelas bagi yang mengaku berhak, dan sumpah bagi yang tidak mungkir. Menempuh jalan kompromi di kalangan Muslimin diperbolehkan, kecuali berdamai untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Suatu perkara yang sudah Anda putuskan kemarin, dan dengan kesadaran batinmu hari ini hati nuranimu hendak mengadakan peninjauan kembali, jangan segan untuk kembali kepada kebenaran. Kebenaran itu azali, dan mengoreksi kembali untuk suatu kebenaran lebih baik daripada terus-menerus hanyut dalam kesalahan. Hendaklah dipahami, dipahami benar apa yang selalu menggoda hatimu, yang tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Di samping itu, ketahuilah mana-mana yang serupa dan sama, dan ukurlah semua itu menurut persamaannya, kemudian ambillah yang terdekat kepada ketentuan Allah dan paling menyamai kebenaran. Bagi yang mengaku berhak tidak jelas atau yang sudah jelas buktinya buatlah batas waktu terakhir. Kalau dia sudah membawa bukti kembalikanlah haknya, kalau tidak jatuhkanlah hukuman kepadanya, karena yang demikian akan menghilangkan keraguan dan lebih jelas bagi yang tidak tahu. Kaum Muslimin satu sama lain sama, kecuali yang terkena hukuman pidana atau terbukti membuat kesaksian palsu atau orang yang dicurigai kekerabatan atau nasabnya. Allah Subhanahu wa ta ‘ala menguasai segala rahasia dan menolak dengan segala bukti dan sumpah. Janganlah sekali-kali Anda gelisah, jemu dan merasa terganggu karena pertengkaran dan bersembunyi saat terjadi pertengkaran. Kebenaran pada titik-titik kebenaran, Allah akan memberi pahala yang besar dan dalam kenangan yang terpuji. Kalau sudah dengan niat yang baik dan sudah menyiapkan diri sepenuhnya, dalam menghadapi orang cukup Allah sebagai penengah. Barang siapa bersikap dibuat-buat padahal itu bukan bawaannya sendiri, Allah sudah tahu semua itu. Allah akan membuatnya menjadi orang yang hina. Bagaimana anggapan Anda tentang balasan Allah mengenai rezeki yang diberikan-Nya di dunia ini serta rahmat-Nya yang melimpah. Wasalam.”
Kita sudah melihat bagaimana dasar-dasar yang dibuat oleh Umar dalam suratnya itu. Bukankah dasar-dasar itu juga yang berlaku di pengadilan bangsa-bangsa yang paling maju sekarang?! Bahkan bukankah dasar-dasar itu sangat kuat, tidak berubah karena perubahan zaman, dan yang dibahas dalam kitab-kitab hukum dan perundang-undangan dengan berbagai komentar sampai berpuluh-puluh dan beratus-ratus halaman! Bukankah apa yang disebutkan Umar mengenai sikap dan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi seorang hakim dalam menghadapi perkara sungguh sangat agung! Tidak heran kalau itu datangnya dari Umar. Dalam menangani masalah-masalah hukum oleh Abu Bakr juga dulu telah dipercayakan kepadanya. Dan pada permulaan kekhalifahannya dia sendiri pula yang memegang soal kehakiman. Juga tidak heran, karena pengetahuannya tentang hukum fikih memang sangat dalam. Dia memutuskan perkara dengan cara yang terbaik sepanjang masalah yang dihadapkan kepadanya sudah diketahuinya. Kalau ia menghadapi masalah yang tidak jelas, ia meminta pendapat yang lain di samping berijtihad sendiri. Hasil ijtihadnya sangat berhasil, bahkan dijadikan dalil sebagai pegangan orang yang datang kemudian dengan cukup memuaskan dan meyakinkan sekali.
Bukankah hakim lain yang bersih dan adil berkata dalam salah satu pesannya kepada hakim yang menggantikannya : Jika datang kepada Anda dua orang yang berperkara maka hendaklah Anda pastikan dengan bukti yang benar atau dengan sumpah yang meyakinkan. Dekatilah pihak yang lemah supaya ia berbesar hati dan bicaranya lancar; perhatikanlah orang yang masih asing itu sebab kalau tidak Anda perhatikan Anda membiarkan haknya dan ia pulang kepada keluarganya dengan sudah kehilangan haknya akibat tidak diperhatikan.”
Adanya pengangkatan para hakim itu merupakan langkah yang memang diperlukan dan dalam urusan negara diperlukan adanya perkembangan, dan bukan pengorganisasian secara umum dengan tujuan hendak menerapkan prinsip itu sendiri. Dalam perselisihan keputusannya masih dibiarkan di tangan para penguasa yang tidak memikul beban daerahnya dan tidak pula merintangi untuk melakukan hal itu. Umar tidak mengangkat sebagai hakim di samping mereka, tetapi dibiarkan semua kekuasaan di tangan mereka. Tetapi langkah pertama ini tak lama sesudah beberapa tahun kemudian menjadi salah satu sistem yang dianut negara. Lembaga kehakiman ini kemudian terpisah dan kekuasaan eksekutif, dan kedudukan para hakim itu berdiri sendiri, dan hakim patut pula mendapat penghormatan.
Umar mengangkat para hakim itu setelah untuk mengambil segala keputusan perselisihan pribadi ia sudah terlalu sibuk dengan segala urusan negara umumnya. Pengangkatan mereka itu merupakan langkah baru dan administrasi pemerintahan. Di samping itu masih ada alasan lain yang mengantarkan ke langkah ini. Di Medinah sudah banyak pendatang yang kemudian menetap sebagai warga kota sesudah Medinah menjadi ibu kota negara, dan sesudah terlihat makin makmur berkat banyaknya hasil rampasan perang yang dikirimkan dan dibagikan kepada penduduk. Kita masih ingat rampasan perang Mada’in dan Jalula serta kota-kota lain di Irak, juga di Damsyik dan Hims serta kota-kota lain di Syam. Kemakmuran dan banyaknya penduduk itu memikat orang untuk berselisih dan berperkara, dan beban hakim akan makin berat. Mau tak mau, orang sudah makin kaya dan makin banyak. Mereka memerlukan keputusan yang pasti mengenai segala perkara mereka dan janganlah waktu Amirulmukminin yang begitu berharga dan penting tersita oleh hal-hal seperti itu.Yang demikian ini terjadi terutama setelah kekayaan yang datang ke Medinah sudah berlebihan dengan bertambahnya pembebasan dan luasnya kawasan. Bahkan kekayaan itu telah pula mulai memusingkan Amirulmukminin sendiri, dan memaksanya membuat suatu peraturan tersendiri. Pembuatan peraturan ini merupakan perkembangan hukum dan kehidupan sosial yang baru di negeri Arab.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 620-624.
Pada permulaan pemerintahan Umar para petinggi itu menjalankan kebijakan mereka seperti yang dijalankan Umar di Medinah. Mereka memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan pimpinan militer dalam satu tangan. Hanya saja, tak lama sesudah memegang tugas pemerintahan itu tampaknya ia sudah lebih sibuk dengan urusan negara secara umum serta pemusatan politiknya melebihi apa yang harus dipikulnya ketika ia dilantik. Berita-berita angkatan bersenjatanya di Irak dan Syam menyita banyak sekali waktu dan perhatiannya. Segala tindak tanduk para pejabat di berbagai daerah kedaulatannya menjadi pokok perhatian dan pikirannya. Di samping itu, kepentingan rakyat di Medinah menambah rumit dan kompleks dengan bertambahnya jumlah penduduk, serta kekayaan yang masuk. Usaha pembebasan dan penaklukan yang terus maju serta segala yang harus diselesaikan sehubungan dengan administrasi negeri-negeri yang baru dikuasai itu memaksanya harus menulis kepada para panglimanya menyampaikan pendapatnya sekitar pengaturan administrasi itu. Oleh karena itu mau tak mau ia harus mengangkat beberapa pembantu yang akan dapat mengatur segala kepentingan perorangan terpisah dari kepentingan negara.
Pengangkatan Para Hakim
Dalam hal ini, yang pertama sekali dilakukannya ialah memisahkan kekuasaan yudikatif di Medinah dari kekuasaannya, dan untuk itu ia mengangkat Abu ad-Darda’ dan dia diberi gelar Qadi (Hakim). Segala macam perkara hukum yang diajukan orang dia yang memutuskan. Sesudah selesai pembangunan kota-kota Kufah dan Basrah dan makin banyak orang yang tinggal di sana, banyak pula anggota masyarakat yang terlibat dalam berbagai macam perkara, ia mengangkat Syuraih sebagai hakim Kufah dan untuk Basrah diangkatnya Abu Musa al-Asy’ari. Setelah Mesir dibebaskan. untuk kaum Muslimin diangkatnya Qais bin al-As as-Sahmi sebagai hakim. Para hakim memutuskan perkara bebas menurut pendapat mereka sendiri dalam batas-batas Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Pengangkatan mereka ini merupakan langkah pertama dalan mengatur kekuasaan yang terpisah satu sama lain. Tetapi langkah inilah yang memang diperlukan dan dapat menentukan perkembangan yang diperlukan selanjutnya mengenai persoalan- persoalan Negara. Keadaan ini tetap berjalan demikian, dan baru dapat dijadikan prinsip yang pasti untuk diterapkan di seluruh kedaulatan setelah memakan waktu lama —sesudah masa Umar.
Dalam memilih para hakim itu Umar telah berhasil baik seperti ketika memilih para pejabatnya yang lain, bahkan barangkali lebih berhasil. Soalnya karena dia sudah sangat mendalami fikih dan hukum syariat, dan hampir tak ada yang dapat menandinginya, sehingga tentang dia ini Ibn Mas’ud berkata : “Andaikata ilmu yang ada pada Umar diletakkan di satu piring neraca dan ilmu kabilah-kabilah Arab dipiring neraca yang lain, masih akan lebih berat tangan Umar.” Hal ini tidak mengherankan. Sebelum ia masuk Islam ia sudah memegang tugas sifarah (penengah) antara masyarakat Kuraisy dengan kabilah-kabilah lain. Sesudah masuk Islam ia selalu mendampingi Rasulullah, memperhatikan semua wahyu yang diturunkan Allah kepadanya, sangat memahami sunah dan segala keputusannya. Disamping itu ia mempunyai firasat yang tepat dan kuat mengenai orang-orang yang dihadapinya, dan dari tingkah laku mereka ia mampu menilai kemampuan mereka sesuai dengan apa yang dilihatnya. Cerita tentang pengangkatan Syuraih sebagai hakim Kufah adalah bukti terbaik dalam hal ini. Umar pernah menawar seekor kuda dari seseorang kemudian ia menaikinya, tetapi begitu dicoba kuda itu sudah kehabisan tenaga. Ia bermaksud mengembalikan kuda tersebut kepada pemiliknya tetapi pemilik itu menolak. Kalau begitu harus ada orang yang dapat menengahi antara kita ini, kata Umar. Orang itu berkata : Syuraih orang Irak itu. Maka perkara itu diserahkan kepada Syuraih. Sesudah mendengarkan argument kedua belah pihak Syuraih berkata : Amirulmukminim, ambillah yang sudah Anda beli, atau kembalikan seperti waktu Anda ambil. Kata Umar : Keputusannya hanya begini? Syuraih ditugaskan untuk melaksanakan hukum di Kufah, dan tetap demikian selama enam puluh tahun.
Surat-surat dan kata-kata Umar tentang keputusan hukum, yuris-prudensi Islam dan kaidah-kaidahnya membuktikan tentang kedalaman ilmunya. Suratnya kepada Abu Musa al-Asy’ari merupakan sekelumit literatur hukum yang hidup sepanjang masa. Surat itu berbunyi :
Bismillahir-rahmanir-rahim. Dari hamba Allah Ammirulmukminin kepada Abdullah bin Qais Salam sejahtera bagi Anda. Amma ba’du. Masalah peradilan adalah suatu kewajiban agama yang harus dijalankan, dan Sunah yang harus diikuti. Ketahuilah benar-benar : Jika diajukan kepada Anda suatu perkara maka laksanakanlah jika bagi Anda sudah nyata dan jelas. Tak ada gunanya berbicara tentang kebenaran tanpa ada pelaksanaan. Perlakukanlah semua orang dengan integritasmu, keadilanmu dan majelismu, supaya jangan ada orang yang berkedudukan dan kuat mengharapkan ketidakadilanmu sementara orang yang lemah merasa putus asa dari keadilanmu. Bukti yang jelas bagi yang mengaku berhak, dan sumpah bagi yang tidak mungkir. Menempuh jalan kompromi di kalangan Muslimin diperbolehkan, kecuali berdamai untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Suatu perkara yang sudah Anda putuskan kemarin, dan dengan kesadaran batinmu hari ini hati nuranimu hendak mengadakan peninjauan kembali, jangan segan untuk kembali kepada kebenaran. Kebenaran itu azali, dan mengoreksi kembali untuk suatu kebenaran lebih baik daripada terus-menerus hanyut dalam kesalahan. Hendaklah dipahami, dipahami benar apa yang selalu menggoda hatimu, yang tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Di samping itu, ketahuilah mana-mana yang serupa dan sama, dan ukurlah semua itu menurut persamaannya, kemudian ambillah yang terdekat kepada ketentuan Allah dan paling menyamai kebenaran. Bagi yang mengaku berhak tidak jelas atau yang sudah jelas buktinya buatlah batas waktu terakhir. Kalau dia sudah membawa bukti kembalikanlah haknya, kalau tidak jatuhkanlah hukuman kepadanya, karena yang demikian akan menghilangkan keraguan dan lebih jelas bagi yang tidak tahu. Kaum Muslimin satu sama lain sama, kecuali yang terkena hukuman pidana atau terbukti membuat kesaksian palsu atau orang yang dicurigai kekerabatan atau nasabnya. Allah Subhanahu wa ta ‘ala menguasai segala rahasia dan menolak dengan segala bukti dan sumpah. Janganlah sekali-kali Anda gelisah, jemu dan merasa terganggu karena pertengkaran dan bersembunyi saat terjadi pertengkaran. Kebenaran pada titik-titik kebenaran, Allah akan memberi pahala yang besar dan dalam kenangan yang terpuji. Kalau sudah dengan niat yang baik dan sudah menyiapkan diri sepenuhnya, dalam menghadapi orang cukup Allah sebagai penengah. Barang siapa bersikap dibuat-buat padahal itu bukan bawaannya sendiri, Allah sudah tahu semua itu. Allah akan membuatnya menjadi orang yang hina. Bagaimana anggapan Anda tentang balasan Allah mengenai rezeki yang diberikan-Nya di dunia ini serta rahmat-Nya yang melimpah. Wasalam.”
Kita sudah melihat bagaimana dasar-dasar yang dibuat oleh Umar dalam suratnya itu. Bukankah dasar-dasar itu juga yang berlaku di pengadilan bangsa-bangsa yang paling maju sekarang?! Bahkan bukankah dasar-dasar itu sangat kuat, tidak berubah karena perubahan zaman, dan yang dibahas dalam kitab-kitab hukum dan perundang-undangan dengan berbagai komentar sampai berpuluh-puluh dan beratus-ratus halaman! Bukankah apa yang disebutkan Umar mengenai sikap dan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi seorang hakim dalam menghadapi perkara sungguh sangat agung! Tidak heran kalau itu datangnya dari Umar. Dalam menangani masalah-masalah hukum oleh Abu Bakr juga dulu telah dipercayakan kepadanya. Dan pada permulaan kekhalifahannya dia sendiri pula yang memegang soal kehakiman. Juga tidak heran, karena pengetahuannya tentang hukum fikih memang sangat dalam. Dia memutuskan perkara dengan cara yang terbaik sepanjang masalah yang dihadapkan kepadanya sudah diketahuinya. Kalau ia menghadapi masalah yang tidak jelas, ia meminta pendapat yang lain di samping berijtihad sendiri. Hasil ijtihadnya sangat berhasil, bahkan dijadikan dalil sebagai pegangan orang yang datang kemudian dengan cukup memuaskan dan meyakinkan sekali.
Bukankah hakim lain yang bersih dan adil berkata dalam salah satu pesannya kepada hakim yang menggantikannya : Jika datang kepada Anda dua orang yang berperkara maka hendaklah Anda pastikan dengan bukti yang benar atau dengan sumpah yang meyakinkan. Dekatilah pihak yang lemah supaya ia berbesar hati dan bicaranya lancar; perhatikanlah orang yang masih asing itu sebab kalau tidak Anda perhatikan Anda membiarkan haknya dan ia pulang kepada keluarganya dengan sudah kehilangan haknya akibat tidak diperhatikan.”
Adanya pengangkatan para hakim itu merupakan langkah yang memang diperlukan dan dalam urusan negara diperlukan adanya perkembangan, dan bukan pengorganisasian secara umum dengan tujuan hendak menerapkan prinsip itu sendiri. Dalam perselisihan keputusannya masih dibiarkan di tangan para penguasa yang tidak memikul beban daerahnya dan tidak pula merintangi untuk melakukan hal itu. Umar tidak mengangkat sebagai hakim di samping mereka, tetapi dibiarkan semua kekuasaan di tangan mereka. Tetapi langkah pertama ini tak lama sesudah beberapa tahun kemudian menjadi salah satu sistem yang dianut negara. Lembaga kehakiman ini kemudian terpisah dan kekuasaan eksekutif, dan kedudukan para hakim itu berdiri sendiri, dan hakim patut pula mendapat penghormatan.
Umar mengangkat para hakim itu setelah untuk mengambil segala keputusan perselisihan pribadi ia sudah terlalu sibuk dengan segala urusan negara umumnya. Pengangkatan mereka itu merupakan langkah baru dan administrasi pemerintahan. Di samping itu masih ada alasan lain yang mengantarkan ke langkah ini. Di Medinah sudah banyak pendatang yang kemudian menetap sebagai warga kota sesudah Medinah menjadi ibu kota negara, dan sesudah terlihat makin makmur berkat banyaknya hasil rampasan perang yang dikirimkan dan dibagikan kepada penduduk. Kita masih ingat rampasan perang Mada’in dan Jalula serta kota-kota lain di Irak, juga di Damsyik dan Hims serta kota-kota lain di Syam. Kemakmuran dan banyaknya penduduk itu memikat orang untuk berselisih dan berperkara, dan beban hakim akan makin berat. Mau tak mau, orang sudah makin kaya dan makin banyak. Mereka memerlukan keputusan yang pasti mengenai segala perkara mereka dan janganlah waktu Amirulmukminin yang begitu berharga dan penting tersita oleh hal-hal seperti itu.Yang demikian ini terjadi terutama setelah kekayaan yang datang ke Medinah sudah berlebihan dengan bertambahnya pembebasan dan luasnya kawasan. Bahkan kekayaan itu telah pula mulai memusingkan Amirulmukminin sendiri, dan memaksanya membuat suatu peraturan tersendiri. Pembuatan peraturan ini merupakan perkembangan hukum dan kehidupan sosial yang baru di negeri Arab.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 620-624.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar