"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Kamis, 20 Maret 2014

Pemerintahan Umar bin Khattab (12)

Pembentukan Lembaga Keuangan dan Pemberian Tunjangan
Para sejarawan mengutip beberapa sumber sekitar sebabnya Umar sampai memikirkan hal ini. Disebutkan bahwa Abu Hurairah sekembalinya dari Bahrain ditanya oleh Umar mengenai orang di sana, katanya : Apa yang Anda bawa? Jawab Abu Hurairah : Saya membawa lima ratus ribu dirham. Umar mengira bahwa bicara orang ini sudah berlebihan sehingga mengulangi lagi pertanyaannya itu. Setelah mendengar jawabannya yang pertama ia berkata : Rupanya Anda masih mengantuk. Pulanglah dulu dan tidurlah. Besok Anda datang lagi. Keesokan harinya sesudah Abu Hurairah datang lagi dan menegaskan lagi bahwa dia membawa lima ratus ribu dirham, Umar mengumumkan kepada orang banyak bahwa dia datang membawa uang dalam jumlah besar. Kalau kalian mau akan kami hitungkan satu persatu untuk kalian atau akan kami timbang. Salah seorang diantara mereka berkata : Amirulmukminin, saya melihat orang-orang asing membentuk sebuah lembaga keuangan. Sejak itu Umar membentuk lembaga keuangan.
Disebutkan bahwa untuk maksud itu Umar telah mengadakan musyawarah. Ali bin Abi Talib menyarankan : “Uang yang sudah terkumpul setiap tahun dibagikan, dan jangan tersisa.” Usman berkata : “Saya berpendapat uang yang banyak itu cukup banyak untuk semua orang; kalau tidak dicatat untuk mengetahui siapa yang sudah mengambil dan siapa yang tidak, saya khawatir akibatnya akan merajalela.” Tetapi Walid bin Hisyam bin al-Mugirah menyarankan : “Amirulmukminin, saya sudah ke Syam dan sudah melihat para raja disana membentuk lembaga keuangan dan memobilisasi tentara, maka bentuklah sebuah lembaga keuangan dan adakan mobilisasi.” Pendapat ini yang diterima oleh Umar, dan kemudian ia mengundang Aqil bin Abi Talib, Makhramah bin Naufal dan Jubair bin Mut’im. Ketiganya ahli nasab di kalangan Kuraisy. Kata Umar kepada mereka : “Catatlah orang-orang itu menurut urutan kekeluargaan mereka.”
Dalam sebuah sumber ada disebutkan bahwa untuk administrasi lembaga dan kewajiban memberi tunjangan itu Umar meminta pendapat kaum Muhajirin dan Ansar. Mereka pun memberikan pendapat. Kemudian ia meminta pendapat yang lain, yang ikut berjuang dalam pembebasan itu. Mereka semua setuju, kecuali Hakim bin Hizam, seorang pemuka dan pemikir Mekah. Ia berkata : ‘Amirulmukminin, orang-orang Kuraisy itu pedagang. Kalau tunjangan wajib diberikan juga kepada mereka, perdagangan akan mereka tinggalkan. Sesudah Anda nanti akan datang orang yang tak lagi memberikan tunjangan sementara perdagangan sudah mereka lepaskan.” Bagi Hakim, sementara ia berkata begitu seolah tabir gaib sudah terbuka! Pemberian itu akan menggoda orang-orang untuk menjadi pemalas dan sudah tidak perlu lagi berusaha mencari rezeki. Setelah keadaan kemudian berubah dan arus penaklukan berhenti dan bergabung pula mereka yang bukan Arab, yaitu sesudah ibu kota pindah dari Medinah ke Damsyik kemudian ke Bagdad. tunjangan yang sedianya terbuka bagi penduduk Semenanjung, angkatan yang tumbuh di zaman biasa menganggur itu sudah tak dapat lagi kembali ke dunia perdagangan dan berusaha mencari rezeki. Sampai masa kita sekarang Hijaz tetap tandus.
Bagaimana hal ini sampai terlewatkan oleh Umar, tidak memperhitungkan akibatnya dan tidak pula berhati-hati untuk menghindarinya, apalagi sampai diingatkan dan dibayangkan segala akibatnya! Ini adalah suatu tantangan yang jelas sekali menyangkut nama baik sesudah Semenanjung Arab pernah tergelincir ke dalam kemiskinan dan kegersanan. seolah Umar sudah memperhitungkan dengan saksama dan sudah mengantisipasinya. Sering sekali ia mengingatkan tentang kewajiban orang yang harus terus memperbanyak usaha. Dia sangat benci melihat orang yang memperlihatkan diri menjauhi dunia karena hanya ingin beribadah. Suatu hari pernah ia melihat orang pura-pura sebagai orang yang saleh dan kelihatan sudah tak berdaya. Oleh Umar orang itu dicambuknya perlahan seraya katanya : “Jangan merugikan agama kita : mampus kau!” Dia juga yang berkata kepada orang banyak : “Barang siapa mempunyai harta kembangkanlah dan barang siapa mempunyai lahan buatlah subur. Akan datang masanya kelak orang tidak lagi mau memberi selain kepada yang disenanginya.” Ia percaya bahwa orang harus bekerja untuk dunianya seolah ia akan hidup untuk selamanya, dan bekerja untuk akhiratnya seolah ia akan mati besok.
Tujuan Umar membentuk lembaga keuangan dan pemberian tunjangan supaya orang-orang Arab pedalaman mengkhususkan diri berjihad di jalan Allah, dan supaya mereka bebas sepenuhnya melaksanakan tugas dakwah kepada agama Allah, jangan sampai ditundukkan oleh Persia dan Rumawi atau yang lain. Untuk tujuan itu juga ia melarang pembagian tanah kepada tentara di tempat-tempat yang sudah diduduki, supaya mereka tidak lebih mementingkan mengolah tanah daripada berjihad. Mereka akan lebih tertarik pada tanah dan melupakan tugas risalah yang lebih besar yang tanggung jawabnya sudah ditakdirkan berada di pundak orang Arab, menyebarkan cahaya dan kearifan Allah ke segenap penjuru dunia. Pembentukan lembaga keuangan dan tunjangan wajib itu telah membantu orang-orang Arab dahulu dalam menunaikan risalah yang oleh nasib dibebankan kepada mereka, seperti yang sudah kita lihat. Pekerjaan mereka menunaikan tugas risalah itu, itulah pula yang membuat nama-nama mereka abadi dalam sejarah. berikut hasil pengabdian mereka.
Keinginan Umar agar orang-orang Arab pedalaman juga memikul tugas menyebarkan panji Islam, itu juga agaknya yang telah mengalihkan perhatiannya dalam mengatur harta khuraj dan jizyah untuk memperbaiki tanah di Semenanjung, dengan membangun bendungan-bendungan seperti bendungan Ma’rib (Sebuah bendungan raksasa di kota Ma’rib, Yaman, untuk mengatur irigasi ke ibu kota dan mencegah banjir. Dibangun di masa Ratu Balqis beberapa abad P.M. Terdapat isyaratnya dalam Qur’an 27 : 22 - 23 dan 34 : 15 - 20. Lihat antara lain Tafsir Quran A. Yusuf Ali.) sehingga dapat mengubah daerah pedalaman yang gersang menjadi tanah pertanian yang subur. Tetapi kalaupun itu yang dilakukannya, daripada berjihad niscaya orang-orang Arab pedalaman itu akan memilih yang lebih ringan, lebih kecil bahayanya, dan tidak pula mereka akan menyampaikan risalah Islam seperti yang sudah mereka lakukan itu. Soalnya karena orang-orang Arab itu memang bukan ahli pertanian dan kerajinan, seperti keahliannya dalam perang dan perdagangan. Oleh karena itu, pemberian tunjangan demikian akan mendorong mereka untuk menanamnya dalam bidang yang memang sudah menjadi bakat mereka semula. Dan itu yang mereka lakukan atau yang akan mereka lakukan kalau tidak lalu timbul pemberontakan-pemberontakan di negeri Arab sesudah Umar. Orang lalu terbawa ke dalam pertentangan sekitar politik dan kekuasaan. Pertentangan ini telah berakibat pindahnya ibu kota ke Syam, setelah itu ke Irak, yang juga mengakibatkan terjerumusnya negeri-negeni Arab ke dalam kemiskinan dan kegersangan yang dialami waktu itu.
Kita kembali sekarang ke soal pembentukan lembaga keuangan dan tunjangan wajib. Kata “dewan” (lembaga) dan kata bahasa Persia yang sudah diarabkan, yang berarti lembaran-lembaran, tempat mencatat nama tokoh-tokoh militer dan mereka yang mendapat tunjangan wajib. Arti kosakata ini kemudian mengalami perkembangan, dan dipakai untuk tempat menyimpan arsip dan dokumentasi Negara, kemudian dipakai untuk tempat-tempat para petugas yang menangani arsip-arsip itu, juga untuk nama arsip itu sendiri. Wajar saja kalau di masa Umar artinya tidak lebih dari arti yang pertama. Lembaga itu adalah kantor registrasi yang mencatat dan menghitung orang-orang dari kalangan militer dan yang lain yang harus mendapat tunjangan, dan di depan setiap nama tunjangan orang bersangkutan disebutkan.
Umar sudah memutuskan akan membentuk lembaga itu. Ia mengundang Aqil bin Abi Talib, Makhramah bin Naufal dan Jubair bin Mut’im seraya mengatakan : “Catatlah orang-orang itu menurut urutan kedudukan mereka.” Mereka pun menulis dengan dimulai dari Banu Hasyim, kemudian Banu Taim dari kabilah Abu Bakr, Banu Adi dari kabilah Umar. Setelah melihat pekerjaan mereka, Umar berkata : “Memang begitulah kalau menurut keinginanku. Tetapi mulailah dari kerabat Rasulullah sallallhu ‘alaihi wasallam yang terdekat dan yang terdekat berikutnya sampai kepada tempat Umar yang sudah menjadi ketentuan Allah.” Ada sumber yang menyebutkan bahwa Banu Adi tahu apa yang sudah dilakukannya itu. Mereka mendatangi Umar dan berkata : “Anda pengganti Rasulullah sallallhu ‘alaihi wasallam; mengapa tidak menempatkan diri Anda seperti yang sudah mereka kerjakan ! Umar menatap marah kepada mereka sambil menjawab : “Hebat, hebat sekali Banu Adi ! Kalian mau menjadi beban bagi saya dan mau menghilangkan semua kebaikan saya kepada kalian ! Tidak, sampai nanti ada penggilan untuk kalian, dan letakkanlah pada urutan terakhir dalam catatan itu! Saya punya dua orang sahabat, mereka menempuh satu jalan. Kalau saya melanggar mereka saya akan dilanggar. Sungguh kita tidak mengejar jasa di dunia ini dan tidak pula mengharapkan pahala dari Allah seperti harapan kita di akhirat atas segala perbuatan kita, kalau tidak dengan Muhammad sallallhu ‘alaihi wasallam. Dialah yang telah memuliakan kita, dan keluarganya adalah keluarga Arab yang termulia, kemudian yang terdekat dan yang terdekat berikutnya.”
Ini merupakan kecenderungan baru yang maksudnya hendak membagi-bagi manusia ke dalam golongan-golongan, derajat yang satu di atas yang lain. Kecenderungan demikian tak pernah dilakukan oleh Abu Bakr juga tidak oleh Umar sendiri pada permulaan pemerintahannya. Qur’an pun tak pernah menempatkan derajat seorang Muslim yang satu lebih tinggi dari yang lain. Tak ada golongan yang mendapat bagian lebih atas dasar keturunan seperti yang dilakukan Umar dalam lembaga itu. Manusia tidak dibuat bertingkat-tingkat dengan diistimewakan satu sama lain karena nasab keturunannya, dan yang sebagian lagi orang yang termulia dalam pandangan Allah yang bukan karena ketakwaannya. Dalam hal ini Umar sendiri berkata : “Demi Allah, sekiranya orang-orang bukan-Arab datang dengan segala amalnya, dan kita datang tanpa suatu amal, pada hari kiamat mereka lebih berhak di dekat Muhammad daripada kita. Janganlah melihat orang karena kekerabatannya, tetapi beramallah sesuai dengan kehendak Allah. Barang siapa memperkecil amalnya keturunannya tidak akan mempercepatnya.” Tetapi cara baru yang diinginkan Umar ini tidak hanya sampai pada soal urutan nama-nama dalam pencatatan itu dan memulai dari yang terdekat dan yang terdekat berikutnya kepada Rasulullah, tetapi lebih dari itu sampai ke soal tunjangan wajib. Ada beberapa golongan yang tetap mempertahankan. Kecenderungan ini pengaruhnya dalam sejarah Islam sampai sekarang masih terasa.
Umar membeda-bedakan pemberian dana tunjangan kepada kaum Muslimin. Dalam hal ini ia telah menyalahi Abu Bakr, yang dalam hal pembagian ia membagi rata. Suatu hari ada orang berkata kepada Abu Bakr : Mengapa Anda tidak mengutamakan orang yang sudah lebih dulu dalam Islam? Ia menjawab : Mereka menjadi Muslim karena Allah dan Dia yang akan memberi balasan. Yang akan dipenuhi-Nya pada hari kiamat. Dunia ini hanyalah sebuah sarana.” Apa yang dilakukan Abu Bakr itu disampaikan kepada Umar ketika ia hendak mengutamakan orang-orang dahulu, maka jawaban Umar : “Saya tidak akan menyamakan orang yang berperang melawan Rasulullah dengan yang berperang bersama Rasulullah.” Oleh karenanya ia lebih mengutamakan veteran Badr dan yang lain, kemudian bertingkat-tingkat dengan yang berikutnya. Dan dia lebih mengutamakan orang yang lebih dekat kepada Rasulullah, tanpa melihat perjuangan atau mana yang lebih dulu dalam Islam. Dia menentukan dana tunjangan kepada Abbas bin Abdul-Muttalib paman Nabi 12.000 dirham, dan untuk Safiah binti Abdul-Muttalib saudaranya, 6.000 dirham, dan setiap orang dari istri Nabi sepuluh ribu dirham, kecuali yang sudah ada miliknya. Tetapi mereka berkata : Dalam soal pembagian kepada mereka dulu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tidak membeda-bedakan. Persamakanlah untuk kami. Setelah itu oleh Umar untuk mereka disamakan. Sungguhpun begitu ia masih menambah lagi untuk ‘Aisyah dua ribu dirham karena Nabi sangat mencintainya, jadi buat dia 12.000 dirham. Tetapi ‘Aisyah tidak mau dilebihkan dari Ummulmukminin yang lain. (menurut sumber Tabari. Tetapi sumber Ibn Sa’d menyebutkan bahwa Umar menentukan untuk setiap orang dari istri Nabi 12.000 dirham, termasuk Juwairiah binti Haris dan Safiah binti Huyai. Selanjutnya Ibn Sa’d menyebutkan : “Inilah suara yang terbanyak.”)
Selanjutnya untuk laki-laki yang pernah ikut dalam Perang Badr 5.000 dirham setiap tahun. Mereka yang pernah hijrah ke Abisinia dan pernah ikut dalam Perang Uhud seperti veteran Badr, mendapat 4.000 dirham tiap tahun, dan bagi anak-anak veteran Badr masing-masing 2.000 dirham, kecuali untuk Hasan dan Husain masing-masing 5.000 dirham yang masih dikaitkan dengan ayah mereka, karena termasuk kerabat dekat Rasulullah. Bagi setiap orang yang ikut hijrah sebelum pembebasan Mekah 3.000 dirham dan setiap orang yang ikut berjuang dalam pembebasan 2.000 dan bagi anak-anak Muhajirin dan Ansar seperti bagian orang yang ikut berjuang dalam pembebasan, dan kepada yang lain dibagi menurut tingkatan mereka serta kemampuan mereka membaca Qur’an dan perjuangan mereka. Bagi yang selebihnya dimasukkan ke dalam satu kelompok. Muslimin yang datang dan menetap di Medinah 25 dinar, untuk penduduk Yaman, Syam dan Irak diperkirakan sekitar dua ribu, seribu, sembilan ratus dan tiga ratus dirham, dan tak ada yang kurang dari tiga ratus. Lalu katanya : “Sekiranya harta cukup banyak niscaya saya bagikan untuk setiap orang 4.000 dirham, seribu untuk keperluan perjalanannya, seribu untuk senjatanya, seribu untuk keluarga yang ditinggalkan dan seribu untuk kuda dan bagalnya.
Umar juga menentukan untuk bayi yang baru lahir seratus dirham, dan kalau sudah besar bisa mencapai dua ratus dirham. Bila sudah mencapai usia akil balig mendapat tambahan. Kalau ada orang yang membawa anak pungut (yang semula terlantar) berhak mendapat seratus dirham dan bagi yang mengasuhnya mendapat seratus dirham setiap bulan, dan untuk penyusuan dan nafkahnya diambilkan dari baitulmal. Sesudah itu tunjangannya diberi tambahan lagi dari tahun ke tahun, seperti yang dilakukan terhadap anak-anak lain.
Ketentuan yang diberlakukan oleh Umar dan dijadikan dasar untuk pendistribusian dana tunjangan itu tampak jelas dalam kata-katanya ini : “Setiap orang berhak atas harta ini, akan saya berikan atau tidak. Tak ada orang yang lebih berhak atas harta ini dan yang lain terkecuali budak yang belum dibebaskan, hal ini saya pun tidak berbeda dengan yang lain. Tetapi kedudukan kita menurut Kitabullah dan kebiasaan kita dengan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Ada yang dari perjuangannya dalam Islam, ada yang dari lamanya (sudah lebih dulu) dalam Islam serta penderitaannya demi Islam dan ada yang dari keperluannya. Demi Allah, sekiranya aku masih akan hidup, seorang gembala yang ada di gunung Sana pun akan mendapat bagian harta ini, sementara dia tetap dalam kedudukannya.” Dengan demikian Umar menyalurkan pemberian itu kepada semua orang, tanpa ada yang tertinggal. Dalam al-Tabaqat Ibn Sa’d mengutip sebuah sumber dari Salim bin Abdullah dengan mengatakan : Umar bin Khattab menyalurkan pembagian harta itu kepada semua orang. Tak seorang pun yang tidak kebagian. Sampai sisa terakhir, semua keluarga dari kabilah mendapat bagian antara dua ratus lima puluh sampai tiga ratus dirham.”
Tetapi Umar telah meninggalkan ketentuan yang dibuatnya untuk mengatur tunjangan itu dalam soal laki-laki dan perempuan dengan menambahkan tunjangan mereka atas tunjangan sesamanya yang setingkat, misalnya memberi Umar bin Abi Salamah 4.000 dirham. Umar ini anak Umm Salamah Ummulmukminin. Perbuatannya ini ditentang oleh Muhammad bin Abdullah bin Jahsy dengan berkata kepada Amirulmukminin : “Mengapa Anda membedakan Umar dari kami? Bapak-bapak kami sudah ikut hijrah dan sudah mati syahid.” Kepada mereka ini Umar bin Khattab menjawab dengan mengatakan : “Saya membedakan dia karena kedudukannya dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam. Orang yang merelakan untuk seorang ibu seperti Um Salamah, ke marilah biar juga merasa puas!” Ketika ia memberi Usamah bin Zaid 4.000 dirham, Abdullah bin Umar berkata : Anda memberi saya 3.000 dirham sementara Usamah diberi 4.000, padahal saya sudah mengalami perjuangan yang tidak dialami oleh Usamah.” Umar menjawab : “Saya memberi tambahan karena ia lebih dicintai oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam daripada engkau, dan ayahnya lebih dicintai oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam daripada ayahmu (Abdullah bin Umar anak Umar bin Khattab, dan ayah Usamah, Zaid bin Harisah anak angkat Rasulullah) .” Asma’ binti Umais istri Abu Bakr diberi tambahan seribu dirham, begitu juga Um Kulsum binti Uqbah. Um Abdullah bin Mas’ud dan yang sesamanya masing-masing seribu dirham, karena kedudukan mereka yang khas sebagai istri-istri dan ibu-ibu para tokoh yang jasanya lebih besar daripada yang lain.
Umar ingin sekali orang yang memang berhak mendapat tunjangan demikian dapat menerimanya, sampai ia mau memikul sendiri beban yang begitu berat itu. Disebutkan bahwa Hizam bin Hisyam al-Ka’bi membawa kisah dari ayahnya yang berkata : Kulihat Umar bin Khattab membawa catatan berkas kabilah Khuza’ah ke Qudaid. Tak ada perempuan yang terlewat, yang gadis dan yang janda, semua diberi ke tangan mereka sendiri. Setelah itu ia pergi ke Usfan, juga dengan tugas seperti itu, sampai meninggalnya. Kepada Huzaifah Umar menulis surat agar semua orang diberi tunjangan dan belanja, yang dijawab dengan mengatakan : “Sudah kami lakukan tetapi sisanya masih banyak.” Umar menulis lagi : “Itu adalah rampasan perang yang dilimpahkan Allah untuk mereka, dan bukan buat Umar atau keluarga Umar. Bagikanlah kepada mereka!”
Umar menulis surat kepada Huzaifah karena berkas-berkas administrasi, yaitu catatan-catatan dana tunjangan tidak semua berada di Medinah, tetapi setiap berkas berdiri sendiri di tangan wali negeri atau kabilah yang sudah ditentukan untuk mendapat dana itu. Berkas Himyar berdiri sendiri di tangan wali Yaman. berkas Basrah di tangan walinya dan berkas setiap emirat di tangan amir-nya masing-masing. Dengan demikian, setiap Muslim memegang hak dana tunjangannya sendiri di negeri tempat ia tinggal. Setiap wali bertanggung jawab akan sampainya dana itu kepada yang berhak di daerahnya, seperti Umar yang telah menyampaikan dana tunjangan itu kepada yang berhak menerimanya di Medinah dan sekitarnya yang masih termasuk wilayahnya.
Kapan Umar mulai membuat catatan administrasi dan membagi-bagikan tunjangan itu? Hal ini masih diperselisihkan. Tabari menyebutkan dalam tahun 15 Hijri, Ibn Sa’d mengatakan dalam bulan Muharam tahun 20. Memang sulit untuk memastikan mana dari keduanya itu yang benar. Dalam tahun 15 itu Mada’in belum lagi dibebaskan, tetapi Irak Sawad sudah di tangan Muslimin. Juga Baitulmukadas belum membukakan pintunya untuk Umar, tetapi ketika itu pasukan Muslimin sudah menguasai Damsyik dan sudah membersihkan Yordania dan terus maju ke Hims dan Kinnasrin. Adakah Umar melihat apa yang dibawa ke Medinah dari Irak Sawad dan kota-kota di Syam itu pula yang menyebabkan Umar sampai membentuk lembaga keuangan? Itulah yang dikatakan at-Tabari. Ataukah ia baru membentuk lembaga keuangan itu setelah selesai pembebasan Irak dan Syam, dari sana hasil jizyah dan kharaj dibawa, dan dengan demikian banyak kekayaan yang diperoleh sehingga ia kebingungan. Akan dihitung satu persatukah atau akan ditimbang, sampai kemudian ada saran agar dibentuk sebuah lembaga keuangan? Peristiwa ini terjadi dalam tahun 20 seperti dikatakan oleh Ibn Sa’d. Rasanya saya lebih cenderung pada pendapat terakhir ini kendati saya tak dapat memastikan. Saya lebih cenderung demikian karena tidak mungkin pemasukan itu hanya diperoleh dari rampasan perang saja. Kedatangan rampasan perang tidak menentu, sedang pengeluaran lembaga setiap setahun sudah pasti. Jadi harus bergantung pada jizyah dan kharaj juga. Jizyah dan khuraj itu tidak akan mencapai jumlah yang dapat memenuhi tunjangan kepada semua orang Arab, yang di dalam Tarikh disebutkan oleh Tabari bahwa dia telah mencatatnya.
Keinginan orang-orang Arab di Semenanjung dan di negeri-negeri yang sudah dibebaskan itu tidak pula kurang agar semua tunjangan dari Umar tetap mereka terima. Mengapa tidak. Umar selalu mendorong dan mengajak mereka supaya memanfaatkan tunjangan yang mereka terima itu dengan sebaik-baiknya. Seperti dikatakannya: Kalau nanti tunjangan untuk orang-orang Arab pedalaman itu sudah diberikan dapat mereka belikan kambing untuk daerah mereka. Kemudian kalau sudah keluar tunjangan kedua dapat mereka belikan lagi. Saya khawatir kelak sesudah saya kalian akan dipimpin oleh orang-orang yang tidak lagi mau mengeluarkan tunjangan pada masa mereka. Jika ada salah seorang dari mereka atau yang mengurusnya sudah dapat mereka percayai, maka mereka hanya bersandar kepadanya.” Sebagian besar mereka melaksanakan nasihat Umar itu.
Tetapi ada golongan yang oleh Umar diistimewakan dalam memberikan tunjangan, oleh mereka disedekahkan lagi. Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa Zainab binti Jahsy Ummulmukminin tatkala menerima dana tunjangan itu berkata : Semoga Allah mengampuni Umar. Saudara-saudaraku yang lain sesama perempuan lebih memerlukan tunjangan ini daripada aku. Dikatakan : Ini semua untuk Anda. Ia menjawab : Subhanallah! Anda menutupnya dengan kain. Dan katanya lagi : Tuangkanlah dan tutuplah dengan kain itu. Kemudian katanya kepada Barzat binti Rafi’ : Masukkan tangan Anda dan ambillah segenggam dan bawalah kepada keluarga fulan dan keluarga fulan, dan keluarga kerabat kita dan anak-anak yatim kita, dan tinggalkan sedikit di bawah kain itu. Tetapi Barzat masih berkata lagi : Ummulmukminin, semoga Allah mengampuni Anda! Sebenarnya kita berhak untuk ini. Zainab bertanya : Masih ada berapa di bawah kain itu? Setelah diperiksa ternyata hanya tinggal 85 dirham. Zainab mengangkat tangan ke atas seraya berkata : Allahumma ya Allah, janganlah aku menerima tunjangan Umar sesudah tahun ini! Tuhan telah mengabulkan doanya dan dia pun berpulang ke rahmatullah.
Begitulah halnya dengan Zainab Ummulmukminin, dan beberapa lagi di antaranya yang lain. Tetapi yang sebagian besar mereka menerima tunjangan itu dan mengembangkannya dalam perdagangan. Karenanya, mereka yang mendapat tunjangan cepat sekali memperoleh kekayaan, yang dapat dihitung sampai ribuan dengan kelebihan berlipat ganda. Mulailah terlihat adanya perbedaan kelas-kelas, yang sampai begitu mencolok mempengaruhi sistem sosial. Sekarang Umar sendiri sudah memikirkan hal ini dan mencari jalan untuk meninjaunya kembali, yang akhirnya sampai pada pendapat, bahwa apa yang dipraktekkan Abu Bakr dengan menyamakan pembagian itu memang lebih baik. Menyayangkan sekali dulu ia tidak mengikuti jejaknya dalam soal tunjangan itu. Dalam hal ini ia berkata : “Kalau tahun depan aku masih hidup, akan kukembalikan orang yang terakhir pada yang pertama, dan akan kusamakan!” Dan katanya lagi : “Kalau aku hidup sampai tahun berikutnya, orang yang terbawah akan kususulkan kepada yang teratas!” Sungguhpun begitu, ketika itu dia sudah menyadari bahwa jika persamaan itu dengan cara mengurangi tunjangan kepada orang-orang yang pernah diistimewakan barangkali akan membawa akibat yang tidak enak. Tujuannya terutama akan menambah tunjangan kepada mereka yang mendapat lebih kecil untuk menyamai mereka yang mendapat lebih banyak. Dalam hal ini ia berkata : “Sekiranya saya masih akan hidup sampai harta bertambah banyak, saya akan memberikan untuk laki-laki Muslim tiga ribu : seribu untuk binatang dan senjatanya, seribu untuk nafkahnya dan seribu untuk nafkah keluarganya.” Tetapi tidak sampai setahun pada tahun berikutnya ia terbunuh. Kelas-kelas tetap ada, di samping itu keberadaannya telah meninggalkan dampak pada kehidupan sosial umat Islam sesudah itu.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 625-634.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar