Keadilan Umar dan Begitu Keras Terhadap Keluarga Sendiri
Keadilan yang dijalankan Umar masih tetap menjadi suri teladan. Dia termasuk hamba Allah yang paling takut kepada Allah dan kepada perhitungan-Nya. Ia sadar hukum yang dijalankannya memang sudah sangat saksama dan hati-hati sekali dengan selalu mawas diri (introspeksi). Jika ada dua orang yang berselisih datang, ia berlutut sambil berkata : Ya Allah, bimbinglah aku dalam menghadapi dua orang itu, karena mereka masing-masing ingin melihatku dari segi agamaku, terhadap keluarga pun ia tidak mengenal kasihan dalam menegakkan keadilan. Bahkan kalau ia ingin melarang sesuatu terhadap orang lain, terlebih dulu ia menemui keluarganya dengan mengatakan : “Kalau ada salah seorang yang melakukan sesuatu yang saya larang, niscaya hukumannya saya lipat gandakan.”
Abdur-Rahman, anaknya di Mesir minum-minum sampai mabuk bersama Abu Sarwa’ah. Mereka datang menghadap Amr bin As untuk menerima hukuman. Kata Amr : “Kumarahi mereka dan kuusir.” Ketika itu Abdur-Rahman berkata : “Kalau tidak Anda laksanakan, akan saya laporkan kepada ayah saya kalau nanti saya pulang.” Aku tahu, kalau hukuman terhadap mereka tidak kulaksanakan, Umar akan marah dan akan memecatku. Kubawa mereka ke halaman rumah, dan kuhukum mereka dengan pukulan. Kemudian Abdur-Rabman bin Umar masuk ke sebuah sudut di rumah itu dan mencukur kepalanya. Demi Allah, atas kejadian itu tidak sepatah kata pun aku menulis laporan kepada Umar.
Tetapi tiba-tiba ada surat dari dia yang kuterima, isinya : “Dan hamba Allah Umar Amirulmukminin kepada yang ‘Asi anak Si ‘Asi (Al-‘Asi, kata pelesetan dari nama al-As yang juga berarti pendurhaka, keras kepala, tidak patuh dan sebagainya). Anak si Durhaka, saya heran kepada Anda dan keberanian Anda telah melanggar perintah. Tak ada jalan lain saya harus memecat Anda. Anda memukul Abdur-Rahman di rumah Anda dan membotakinya di rumah Anda. Anda sudah tahu bahwa Anda telah melanggar perintah saya. Abdur-Rahman hanyalah salah seorang dari rakyat Anda, Anda harus memperlakukannya seperti terhadap anggota kaum Muslimin yang lain. Tetapi Anda berkata : Dia putra Amirulmukminin! Anda sudah tahu bahwa dalam menegakkan kebenaran bagi saya tak ada orang yang boleh mendapatkan keringanan. Begitu Anda menerima surat saya ini, kirimkanlah dia dalam pakaian lurik dengan menunggang unta, supaya perbuatannya yang buruk itu diketahui orang.” Kukirimkan dia seperti yang diminta oleh ayahnya, dan kutulis surat kepada Umar meminta maaf karena aku memukulnya di halaman rumahku. Demi Allah, yang tak boleh ada sumpah lebih besar dari Dia, bahwa aku memang melaksanakan hukuman terhadap si zimmi dan si Muslim di halaman rumahku. Kukirimkan surat itu di tangan Abdullah bin Umar dengan membawa Abdur-Rahman kepada ayahnya. Dia masuk menemuinya dengan pakaian luriknya itu, dan dia tak dapat berjalan karena kendaraannya yang buruk. Maka dia berkata : Abdur-Rahman, engkau sudah berbuat begitu ya! Abdur-Rahman bin Auf menengahinya dengan mengatakan : Amirulmukminin, dia sudah menjalani hukumannya. Tetapi Umar tidak peduli sementara Abdur-Rahman bin Umar berteriak : Saya sakit dan ayah mau membunuh saya!
Selanjutnya sumber itu menyebutkan bahwa sungguhpun begitu Umar tetap menghukumnya untuk kedua kalinya. Anak itu menjalani pukulan dan dipenjarakan. Sampai kemudian ia meninggal.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 611-612.
Keadilan yang dijalankan Umar masih tetap menjadi suri teladan. Dia termasuk hamba Allah yang paling takut kepada Allah dan kepada perhitungan-Nya. Ia sadar hukum yang dijalankannya memang sudah sangat saksama dan hati-hati sekali dengan selalu mawas diri (introspeksi). Jika ada dua orang yang berselisih datang, ia berlutut sambil berkata : Ya Allah, bimbinglah aku dalam menghadapi dua orang itu, karena mereka masing-masing ingin melihatku dari segi agamaku, terhadap keluarga pun ia tidak mengenal kasihan dalam menegakkan keadilan. Bahkan kalau ia ingin melarang sesuatu terhadap orang lain, terlebih dulu ia menemui keluarganya dengan mengatakan : “Kalau ada salah seorang yang melakukan sesuatu yang saya larang, niscaya hukumannya saya lipat gandakan.”
Abdur-Rahman, anaknya di Mesir minum-minum sampai mabuk bersama Abu Sarwa’ah. Mereka datang menghadap Amr bin As untuk menerima hukuman. Kata Amr : “Kumarahi mereka dan kuusir.” Ketika itu Abdur-Rahman berkata : “Kalau tidak Anda laksanakan, akan saya laporkan kepada ayah saya kalau nanti saya pulang.” Aku tahu, kalau hukuman terhadap mereka tidak kulaksanakan, Umar akan marah dan akan memecatku. Kubawa mereka ke halaman rumah, dan kuhukum mereka dengan pukulan. Kemudian Abdur-Rabman bin Umar masuk ke sebuah sudut di rumah itu dan mencukur kepalanya. Demi Allah, atas kejadian itu tidak sepatah kata pun aku menulis laporan kepada Umar.
Tetapi tiba-tiba ada surat dari dia yang kuterima, isinya : “Dan hamba Allah Umar Amirulmukminin kepada yang ‘Asi anak Si ‘Asi (Al-‘Asi, kata pelesetan dari nama al-As yang juga berarti pendurhaka, keras kepala, tidak patuh dan sebagainya). Anak si Durhaka, saya heran kepada Anda dan keberanian Anda telah melanggar perintah. Tak ada jalan lain saya harus memecat Anda. Anda memukul Abdur-Rahman di rumah Anda dan membotakinya di rumah Anda. Anda sudah tahu bahwa Anda telah melanggar perintah saya. Abdur-Rahman hanyalah salah seorang dari rakyat Anda, Anda harus memperlakukannya seperti terhadap anggota kaum Muslimin yang lain. Tetapi Anda berkata : Dia putra Amirulmukminin! Anda sudah tahu bahwa dalam menegakkan kebenaran bagi saya tak ada orang yang boleh mendapatkan keringanan. Begitu Anda menerima surat saya ini, kirimkanlah dia dalam pakaian lurik dengan menunggang unta, supaya perbuatannya yang buruk itu diketahui orang.” Kukirimkan dia seperti yang diminta oleh ayahnya, dan kutulis surat kepada Umar meminta maaf karena aku memukulnya di halaman rumahku. Demi Allah, yang tak boleh ada sumpah lebih besar dari Dia, bahwa aku memang melaksanakan hukuman terhadap si zimmi dan si Muslim di halaman rumahku. Kukirimkan surat itu di tangan Abdullah bin Umar dengan membawa Abdur-Rahman kepada ayahnya. Dia masuk menemuinya dengan pakaian luriknya itu, dan dia tak dapat berjalan karena kendaraannya yang buruk. Maka dia berkata : Abdur-Rahman, engkau sudah berbuat begitu ya! Abdur-Rahman bin Auf menengahinya dengan mengatakan : Amirulmukminin, dia sudah menjalani hukumannya. Tetapi Umar tidak peduli sementara Abdur-Rahman bin Umar berteriak : Saya sakit dan ayah mau membunuh saya!
Selanjutnya sumber itu menyebutkan bahwa sungguhpun begitu Umar tetap menghukumnya untuk kedua kalinya. Anak itu menjalani pukulan dan dipenjarakan. Sampai kemudian ia meninggal.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 611-612.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar