Foto: Muhesen Amren/APA images |
BAYT LAHM, Rabu (Electronic Intifada): Bukan hal yang luar biasa melihat pemuda dari kamp pengungsi Aida di Bayt Lahm bertarung dengan pasukan penjajah Zionis. Namun, bentrokan yang diikuti dengan pembunuhan terhadap bocah 13 tahun Abdulrahman Shadi Obeidallah –atau Abdo, panggilan sayangnya– merupakan insiden terkejam yang pernah dilihat warga setempat beberapa tahun belakangan ini.
Beberapa jam setelah prosesi pemakaman Abdo kemarin (6/10), siapapun yang masuk ke dalam kamp harus melewati awan gas airmata yang ditembakkan serdadu Zionis. Banyak dari pemuda setempat yang mengenal Abdo secara pribadi, terlihat mengumpulkan batu dan ban. Mereka bersiap-siap jika terjadi kerusuhan lainnya. Rasa duka cita dan kemarahan selalu jelas terasa saat ada warga Palestina yang menjadi syahid. Seluruh penghuni kamp pengungsi bersatu padu melakukan perlawanan.
Satu-satunya taman di Aida –dimana Abdo dan teman-temannya biasa bermain– disebut Laji (dalam bahasa Arab berarti pengungsi). Disebut Laji, demi mengingatkan anak-anak tentang asal mereka. Keluarga Abdo diusir dari al-Qabo, sebuah desa dekat Bayt Lahm yang diserang pasukan Zionis pada peristiwa yang dikenal dengan Nakba. Yakni, insiden pembersihan etnis di Palestina pada tahun 1948.
Terlepas dari usianya yang masih belia, Abdo sadar betapa menyakitkannya pembatasan yang diberlakukan Zionis terhadap warga Palestina. Ia terus mengamati berita-berita dari Baitul Maqdis, kota yang hanya berjarak lima mil dari Bayt Lahm. “Ia memiliki bibi di Baitul Maqdis yang selalu ia harap bisa ia kunjungi,” kata ibunya, Dalal. “Namun, kami dilarang mengunjungi Baitul Maqdis.”
Masih Tak Percaya
Dalal masih tak percaya bahwa satu dari lima anaknya direnggut darinya dengan cara yang kejam. Ia teringat saat Abdo pergi ke sekolah pada pukul 7.30 pagi, Senin (5/10) lalu. Ia meminta sang ibu membangunkannya lebih awal. “Tapi sangat sulit membuat ia terbangun dari tidurnya,” kata Dalal.
Pukul 1.30 siang, Dalal menerima telepon yang mengabarkan bahwa Abdo terluka. “Saya benar-benar ketakutan,” kata dia. “Saya tidak mengerti bagaimana akhirnya saya bisa mengumpulkan keberanian untuk pergi ke rumah sakit di dekat Beit Jalla,” tambahnya.
“Awalnya mereka mengatakan pada saya bahwa ia ditembak di kaki agar tak membuat saya takut,” kata Dalal. “Tapi kemudian saya menyadari bahwa ia sebenarnya ditembak di bagian dada dan saya langsung tahu bahwa anak saya akan meninggal dunia.”
Abdo dibunuh saat terjadi bentrokan antara pemuda setempat dengan pasukan Zionis. Menurut surat kabar Zionis, Haaretz, militer Zionis mengklaim penembakan terhadap Abdo merupakan kekhilafan semata. Yang hendak menjadi sasaran tembak adalah seorang dewasa yang berdiri di dekat Abdo.
Lembaga Pembela Anak Internasional untuk Palestina (DCI-Palestine) mengungkapkan bahwa penyelidikan awal atas insiden tersebut menyatakan kemungkinan pembunuhan Abdo melanggar hukum. Terlebih lagi, menurut DCI-Palestine, Abdo tak terlibat dalam bentrokan.
“Teman Terdekatku”
Pembunuhan ini terjadi setelah Perdana Menteri Benyamin Netanyahu menyatakan “perang” terhadap para pelempar batu. Dengan kebijakan yang baru, serdadu Zionis boleh menembak jika mereka merasa siapapun di sekitar mereka dianggap terancam oleh lemparan batu warga Palestina. Shadi, ayahanda Abdo, mengatakan bahwa Senin itu anaknya pergi ke sekolah lebih awal dari biasanya.
Shadi menambahkan, saat terjadi bentrokan Abdo hanya menyaksikan saja dan ia masih menggunakan seragam sekolahnya. “Kalau boleh jujur, saya tidak pernah mengharapkan anak saya menjadi syahid atau meninggal seperti ini,” kata Shadi.
Kakak Abdo, Muhammad (17), menyebut adiknya sebagai “teman terdekat”nya. “Dia satu-satunya orang yang bisa saya percaya untuk menyimpan seluruh rahasia saya. Karena, saya tahu dia tidak akan pernah menceritakan itu semua pada siapapun, bahkan pada orangtua kami,” kata Muhammad.
Abdo merupakan anak Palestina keempat yang dibunuh oleh militer Zionis di Tepi Barat tahun ini. Pembunuhannya tidak akan menghalangi rakyat Palestina melawan penjajahan terhadap tanah air mereka. Itu terlihat jelas saat ribuan orang hadir dalam pemakamannya dan para pemuda melampiaskan kemarahan mereka dalam sebuah bentrokan. Meskipun mereka sadar salah seorang dari mereka mungkin saja akan tertembak –para pemuda itu terus saja melemparkan batu ke arah para serdadu Zionis. Perjuangan tak akan pernah padam.* (Electronic Intifada).
Beberapa jam setelah prosesi pemakaman Abdo kemarin (6/10), siapapun yang masuk ke dalam kamp harus melewati awan gas airmata yang ditembakkan serdadu Zionis. Banyak dari pemuda setempat yang mengenal Abdo secara pribadi, terlihat mengumpulkan batu dan ban. Mereka bersiap-siap jika terjadi kerusuhan lainnya. Rasa duka cita dan kemarahan selalu jelas terasa saat ada warga Palestina yang menjadi syahid. Seluruh penghuni kamp pengungsi bersatu padu melakukan perlawanan.
Satu-satunya taman di Aida –dimana Abdo dan teman-temannya biasa bermain– disebut Laji (dalam bahasa Arab berarti pengungsi). Disebut Laji, demi mengingatkan anak-anak tentang asal mereka. Keluarga Abdo diusir dari al-Qabo, sebuah desa dekat Bayt Lahm yang diserang pasukan Zionis pada peristiwa yang dikenal dengan Nakba. Yakni, insiden pembersihan etnis di Palestina pada tahun 1948.
Terlepas dari usianya yang masih belia, Abdo sadar betapa menyakitkannya pembatasan yang diberlakukan Zionis terhadap warga Palestina. Ia terus mengamati berita-berita dari Baitul Maqdis, kota yang hanya berjarak lima mil dari Bayt Lahm. “Ia memiliki bibi di Baitul Maqdis yang selalu ia harap bisa ia kunjungi,” kata ibunya, Dalal. “Namun, kami dilarang mengunjungi Baitul Maqdis.”
Masih Tak Percaya
Dalal masih tak percaya bahwa satu dari lima anaknya direnggut darinya dengan cara yang kejam. Ia teringat saat Abdo pergi ke sekolah pada pukul 7.30 pagi, Senin (5/10) lalu. Ia meminta sang ibu membangunkannya lebih awal. “Tapi sangat sulit membuat ia terbangun dari tidurnya,” kata Dalal.
Pukul 1.30 siang, Dalal menerima telepon yang mengabarkan bahwa Abdo terluka. “Saya benar-benar ketakutan,” kata dia. “Saya tidak mengerti bagaimana akhirnya saya bisa mengumpulkan keberanian untuk pergi ke rumah sakit di dekat Beit Jalla,” tambahnya.
“Awalnya mereka mengatakan pada saya bahwa ia ditembak di kaki agar tak membuat saya takut,” kata Dalal. “Tapi kemudian saya menyadari bahwa ia sebenarnya ditembak di bagian dada dan saya langsung tahu bahwa anak saya akan meninggal dunia.”
Abdo dibunuh saat terjadi bentrokan antara pemuda setempat dengan pasukan Zionis. Menurut surat kabar Zionis, Haaretz, militer Zionis mengklaim penembakan terhadap Abdo merupakan kekhilafan semata. Yang hendak menjadi sasaran tembak adalah seorang dewasa yang berdiri di dekat Abdo.
Lembaga Pembela Anak Internasional untuk Palestina (DCI-Palestine) mengungkapkan bahwa penyelidikan awal atas insiden tersebut menyatakan kemungkinan pembunuhan Abdo melanggar hukum. Terlebih lagi, menurut DCI-Palestine, Abdo tak terlibat dalam bentrokan.
“Teman Terdekatku”
Pembunuhan ini terjadi setelah Perdana Menteri Benyamin Netanyahu menyatakan “perang” terhadap para pelempar batu. Dengan kebijakan yang baru, serdadu Zionis boleh menembak jika mereka merasa siapapun di sekitar mereka dianggap terancam oleh lemparan batu warga Palestina. Shadi, ayahanda Abdo, mengatakan bahwa Senin itu anaknya pergi ke sekolah lebih awal dari biasanya.
Shadi menambahkan, saat terjadi bentrokan Abdo hanya menyaksikan saja dan ia masih menggunakan seragam sekolahnya. “Kalau boleh jujur, saya tidak pernah mengharapkan anak saya menjadi syahid atau meninggal seperti ini,” kata Shadi.
Kakak Abdo, Muhammad (17), menyebut adiknya sebagai “teman terdekat”nya. “Dia satu-satunya orang yang bisa saya percaya untuk menyimpan seluruh rahasia saya. Karena, saya tahu dia tidak akan pernah menceritakan itu semua pada siapapun, bahkan pada orangtua kami,” kata Muhammad.
Abdo merupakan anak Palestina keempat yang dibunuh oleh militer Zionis di Tepi Barat tahun ini. Pembunuhannya tidak akan menghalangi rakyat Palestina melawan penjajahan terhadap tanah air mereka. Itu terlihat jelas saat ribuan orang hadir dalam pemakamannya dan para pemuda melampiaskan kemarahan mereka dalam sebuah bentrokan. Meskipun mereka sadar salah seorang dari mereka mungkin saja akan tertembak –para pemuda itu terus saja melemparkan batu ke arah para serdadu Zionis. Perjuangan tak akan pernah padam.* (Electronic Intifada).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar