"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Jumat, 01 Agustus 2014

Bid'ah Khurafat (4)

PENDAPAT YANG TIDAK MENYETUJUI PEMBAGIAN BID’AH LIMA MACAM
Bantahan dari Imam Asy-Syatibi
Sebagian ulama tidak menyetujui pembagian bid’ah menjadi lima sebagai yang telah diuraikan di atas. Seorang daripada mereka ialah Imam Abu Ishaq Asy Syatibi dalam kitabnya “Al-I’tishom” yang terkenal. Beliau menulis :
“Sungguh pembagian ini (membagi bid’ah menyadi lima macam) benar-benar suatu perkara yang diada-adakan yang tidak beralasan dalil syar’i. Bahkan pembagian itu sendiri mengandung pertentangan, sebab salah satu daripada hakekat bid’ah itu ialah tidak beralasan dalil syar’i, tidak dari nas-nasnya dan tidak pula dari kaidah-kaidah. Karena jika ada dalil syar’i yang menunjukkan wajibnya atau sunnatnya ataupun mubahnya tentu perkara itu tidak menjadi bid’ah lagi dan tentu termasuk amalan yang diwajibkan atau diharuskan. Oleh sebab itu mengumpulkan perkara-perkara yang dianggap bid’ah dengan dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya atau sunnatnya ataupun mubahnya adalah menyesuaikan dua perkara yang tidak mungkin sesuai”. Keringkasan dari perkataan Imam As-Syatibi tersebut di atas ialah :
  1. Hakekat bid’ah ialah sesuatu yang tidak ada dalil syar’inya.
  2. Pembagian bid’ah tidak ada dalil syar’inya, karena itu ia bid’ah juga.
  3. Andaikata pembagian bid’ah itu beralasan dalil syar’i tentu bukan bid’ah lagi.
  4. Sebab itu tetaplah bid’ah itu satu, tidak terbagi-bagi hukumnya.

Bantahan Imam As-Syatibi Itu sungguh tepat sekali. Sekarang marilah kita cobakan pendapatnya itu, umpamanya begini :
  1. Kalau kita anggap bahwa mentalqinkan mayat yang baru dikuburkan itu bid’ah hasanah, niscaya hukumnya wajib atau setidaknya sunnat.
  2. Kalau misalnya kita anggap talqin di kuburan itu sunnat, kita memerlukan alasan dalil syar’i yang menunjukkan kesunatannya.
  3. Kalau dalilnya itu ada tentu bukan bid’ah lagi, karena bid’ah itu amalan yang tidak berdalil syar’i.
  4. Kalau kita anggap talqin tersebut hukumnya mubah tentu kita memerlukan dalilnya yang menjelaskan mubahnya, atau terang tak ada dalil yang melarangnya. Jika talqin itu mubah hukumnya, tentu meskipun dikerjakan tak mendapat pahala. Sesuatu yang jika dikerjakan tidak mendapat pahala maka tidak bernilai agama.
Akhirnya dapat kita simpulkan bahwa bid’ah yang dapat dibagi lima hukumnya hanyalah bid’ah dalam hal perkara adat dan keduniaan. Tetapi bid’ah dalam perkara adat dan keduniaan sebenarnya bukan bid’ah. Bid’ah hanya terdapat dalam perkara ibadat dan i’tiqad serta amalan yang dimaksudkan sebagai ibadat.
Adapun yang bernama bid’ah dalam perkara adat dan keduniaan sebenarnya bukan bid’ah. Bid’ah hanya terdapat dalam perkara ibadat dan i’tiqad serta amalan yang dimaksudkan sebagai ibadah, dan hukumnyapun hanya satu yaitu sesat.
Sabda Rasulullah : “Dan jauhilah olehmu perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah itu sesat”. (Hadits Shohih diriwayatkan Muslim). “Siapa mengerjakan amalan yang tidak didasarkan perintah kami, maka ia tertolak” (Hadits Shohih diriwayatkan Muslim).
Andaikata yang dimaksud dengan bid’ah oleh Rasulullah itu perkara adat dan keduniaan niscaya sesat dan berdosalah orang yang makan dengan sendok, naik mobil, dengar radio, upacara dan adat perkawinan yang diadakan orang. Tentu itu mustahil.
Tentu yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah ialah dalam soal ibadah dan i’tiqad yang tidak ada perintah dan contohnya oleh Rasulullah.

Bid’ah dan Al-Mashalihul Mursalah
Oleh karena bid’ah itu hanya terdapat dalam urusan ‘ibadah dan i’tiqad, maka tambahan dalam urusan adat dan keduniaan yang tadinya secara tidak tepat digolongkan bid’ah mandubah dan wajibah, oleh Imam Syatibi dan para ulama yang sepaham digolongkan ke dalam Al-Mashalihul Mursalah. Segala hal yang perlu diadakan untuk pemeliharaan dan penegakan agama dan kesejahteraan manusia dinamakan “Al-Mashalihul Mursalah”, — Di antara para Imam dan ulama yang terlebih mengutamakan Al-Mashalihul Mursalah ini ialah Imam Malik ‘radliyaliahu ‘anhu. Kemudian bertambah banyaklah para ulama dan cerdik-pandai yang mengakui Mashalihul Mursalah, seperti Imam Asy-Syaukani, para Ulama madzhab Hanafi, Imam At-Thufi, dan banyak lagi para ulama besar lainnya. Mereka mengakui Mashalih Mursalah dapat dijadikan satu cara (qaidah) untuk menetapkan hukum atas sesuatu amalan yang tidak ada nasnya dalam Al-Qur’an atau Hadits. Sesuatu pekerjaan dapat diwajibkan atau disunnatkan atau diperkenankan melalui pertimbangan Mashalih Mursalah itu.
Sebagai contoh dapat diberikan sebagai di bawah ini :
  1. Al-Qur’an diturunkan Allah untuk menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dan pedoman hidup ummat Islam.
  2. Oleh sebab itu orang Islam wajib mengerti isi Al-Qur’an untuk dipakai sebagai pedoman hidup dan untuk disampaikan kepada manusia yang belum Islam.
  3. Untuk dapat mengetahui isi dan ajaran Al-Qur’an orang Islam harus mengerti bahasa Arab dan alatnya seperti nahwushorof dan lain-lainnya.
  4. Maka mempelajari bahasa Arab itu hukumnya wajib atas orang Islam yang berkemampuan dan berkesempatan.
  5. Pengajaran tentang bahasa Arab dan lain-lain ilmu agama lebih efektif diadakan secara klasikal dengan mendirikan madrasah-madrasah yang teratur rapih.
  6. Maka mendirikan madrasah rendah, menengah dan tinggi itu hukumnya wajib kifayah pula.
  7. Madrasah tak dapat didirikan tanpa beaya yang besar dan tetap. Maka membantu keuangan madrasah itu hukumnya wajib kifayah pula.

Akan tetapi bila tidak diperhatikan dengan teliti sering kelihatan Sepintas lalu bahwa Mashalih Mursalah ini tumbuh dengan bid’ah. Sebab itu perlu kiranya dijelaskan perbedaan antara keduanya.

Perbedaan antara Bid’ah dan Mashalih Mursalah
Sebab utama yang menjadikan Bidah dan Mashalih Mursalah kelihatan tumbuh, ialah bahwa keduanya itu sama-sama tidak berdiri atas dalil syar’i. Sungguhpun demikian antara keduanya terdapat garis pemisah yang tegas, bahkan hukumnya berlawanan. Bid’ah hukumnya haram dan Mashalih Mursalah hukumnya termasuk rangka pekerjaan fardlu kifayah.
Secara ringkas adalah perbedaan antara keduanya sebagai berikut :
  • Bid’ah adalah pekerjaan yang menyerupai ibadah, atau dimaksudkan untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah, yang kesemuanya itu tidak diperintahkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah; seperti : talqin di kuburan, tahlil, shalat dan puasa Nisfu Sya’ban, dan sebagainya. Tetapi Mashalih Mursalah adalah pekerjaan yang tidak menyerupai ibadah, artinya bukan shalat, bukan puasa, bukan mendo’a, bukan membaca tasbih dan takbir dan sebagainya. Bukan pula mashalih mursalah itu dikerjakan dengan maksud beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah seperti halnya shalat dan puasa, tetapi dikerjakan karena diketahui keperluannya demi untuk kemaslahatan ummat, penjagaan tegaknya agama serta kelangsungannya; seperti: mencetak Al-Qur’an dan kitab Hadits, mendirikan madrasah, mendirikan menara dan menggunakan pengeras suara agar suara azan dapat terdengar jauh dan sebagainya.
  • Yang dituju oleh bid’ah ialah maksud pokok daripada agama, yaitu menyembah Allah atau mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan singkat dapat dikatakan : bid’ah menuju kepada maksud agama. Tetapi Mashalih Mursalah menuju kepada wasa-il (alat perantara) terlaksananya agama. Oleh karena itu Mashalih Mursalah bersendi kepada kecerdasan akal serta berkembang menurut perkembangan kecerdasan dan ilmu pengetahuan, segala sesuatunya dapat kita pahami seluk-beluk dan faedahnya. Sedangkan bid’ah, oleh karena bersendi kepada ibadah, tidak sempurna kita pahami dan cara pengamatannya tidak berkembang menurut kecerdasan.
Demikianlah perbedaan antara ujud dan maksud antara bid’ah dan mashalih mursalah, perbedaan mana bertambah jelas lagi bila kita bandingkan amalan yang termasuk mashalih mursalah sebagai yang telah dicontohkan di atas.

Al-Mashalihul-Mursalah
Di antara para imam dan ulama kenamaan adalah Imam Malik bin Anas yang paling banyak menetapkan hukum dengan mashalih mursalah ini.
Tentang pengertian Mashalihul-Mursalah, baiklah kita kutipkan tulisan Dr. Muhammad Yusuf  Musa dalam kitabnya “At-Tasyri’ul Islamy” yang diterbitkan di Mesir tahun 1960 : “Yang dimaksud dengan mashalih mursalah ialah semua amal kemaslahatan yang tidak dikuatkan dengan nas dari Allah untuk mengadakan atau tidak mengadakannya. Dan dalam mengadakannya itu terdapat usaha untuk memperoleh manfa’at atau menghindarkan madlarat, dengan syarat tidak menyalahi maksud daripada maksud-maksud syari’ah dan tidak pula menyalahi dalil daripada dalil-dalil syari’ah, serta harus benar-benar merupakan kemaslahatan yang amat diperlukan bagi masyarakat atau setidaknya dapat menghasilkan manfaat atau menghindarkan madlarat”.
Yang dinamakan “maslahat” ialah segala sesuatu yang membawa kebaikan dan manfa’at bagi ummat serta yang menghindarkan madlarat. Maka maslahat itu merupakan setiap usaha untuk memelihara kehidupan ummat manusia dalam hal agama mereka, diri mereka, akal mereka, keturunan mereka dan harta mereka. Kelima perkara itu disebut “al-kulliyatul khomsah”. Tujuan mashalih mursalah ialah menjaga dan memelihara ummat manusia dalam perkara yang lima itu, dengan cara yang meskipun tidak dianjurkan oleh dalil Qur’an dan Sunnah tetapi juga tidak menerjang peraturan agama yang ada. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa mashalih mursalah itu bertujuan : memakai kecerdasan dan kebijaksanaan serta kemampuan untuk mencapai kesejahteraan ummat dengan jalan yang diizinkan syara’.

Contoh amal yang tergolong mashalih mursalah
Jika kita menganggap perlu adanya usaha atau adanya larangan demi untuk kemaslahatan ummat, padahal tidak ada perintahnya dalam Qur’an dan Sunnah Rasul, maka kita dapat mengadakan usaha atau larangan itu atas dasar mashalih mursalah. Maka bertambah lama dunia terkembang dan bertambah luas dan beraneka warna kebudayaan manusia, bertambah pula banyaknya tindakan yang harus dilakukan atas dasar mashalih mursalah. Di bawah ini beberapa contohnya :
  1. Rasulullah belum pernah memerintahkan atau melakukan pengumpulan dan pembukuan ayat-ayat Qur’an. Tetapi khalifah Abu Bakar telah melakukan itu, dan khalifah Utsman bin ‘Affan menyalinnya serta menentukan cara membacanya dengan tujuh macam qiroat suku Quraisy yang terbesar, dan kita sekarang ini mencetaknya serta menterjemahkan dan mentafsirkannya. Kesemuanya itu dilakukan demi kemaslahatan agama yang kita peluk.
  2. Pada zaman Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar belum ada ditetapkan hukuman dera bagi orang yang minum khomr. Tetapi khalifah ‘Umar telah menetapkan hukuman dera delapanpuluh kali kepada orang yang minum khomr (arak). Ketetapan hukuman ini diambil untuk menjaga akal dan jiwa rakyat dan bahaya pemabukan.
  3. Rasulullah tidak pernah menganjurkan mendirikan rumah yatim (panti asuhan), anak-anak yatim dibagi-bagi kepada para sahabatnya untuk dipelihara di rumah mereka masing-masing sebagai anak sendiri. Tetapi zaman sekarang ini cara demikian itu sukar terlaksana dengan baik disebabkan hampir tiap orang sudah sibuk dan berat dengan memelihara dan menjamin pendidikan anak-anaknya sendiri. Banyak terjadi anak yatim itu diperlakukan sebagai pelayan. Kesukaran bertambah jika orang tua sering tidak berada di rumah karena bekerja dan berdagang. Maka untuk mengatasi itu didirikan panti-asuhan dengan pamong dan pendidik yang khusus, dan biayanya ditanggung bergotong-royong. Demikian pula panti asuhan untuk orang miskin dan orang tua renta.
  4. Pada zaman Rasulullah belum ada masjid khusus kaum putri dan Rasulullah tidak menganjurkan untuk mengadakannya. Tetapi sekarang dapat diadakan mesjid untuk kaum muslimat yang diberi nama “mushala” agar menambah kegembiraan dan kebebasan kaum putri untuk shalat jama’ah, mengaji, dan sebagainya.
  5. Mendirikan madrasah dan perguruan agama dan tingkat rendah hingga tinggi serta pemberian gelar sarjana dan ijazah dalam ilmu agama.
  6. Mengatur hak milik tanah umpamanya dengan Undang-undang Landreform yang adil, demi untuk keadilan pembagian tanah kepada segenap rakyat.
  7. Mengadakan Undang-undang Perburuhan antara lain dengan menentukan upah minimum bagi para buruh agar dapat terjamin penghidupannya.
  8. Mengkontrol dan memimpin penggunaan kekayaan rakyat agar dapat bermanfaat bagi kesejahteraan bersama.
  9. Untuk lebih menggembirakan dan menyemangatkan tabligh dan da’wah serta amal sosial, maka hari-hari maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an dirayakan dengan mengadakan tabligh dan pemberian makanan serta pakaian kepada fakir miskin, juga dengan mengadakan peringatan serentak yang bermanfaat bagi kemajuan dan syi’ar agama. Kesemuanya itu termasuk mashalih mursalah asal tidak dengan maksud menyamakannya dengan ibadah dan tidak pula disertai kepercayaan yang tidak-tidak.
  10. Mengharamkan atau melarang pendirian patung para pemimpin agama karena mengkhawatirkan dipuja orang yang dapat mnengakibatkan kemusyrikan, atau karena menghamburkan beaya.
  11. Melarang pemakaian intan dan berlian untuk perhiasan karena dianggap memamerkan kekayaan pribadi kepada rakyat umum.

Demikianlah contoh-contoh tentang tindakan yang tidak disuruh dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah, tetapi karena dianggap perlu bagi kemaslahatan ummat maka dilakukan. Dengan itu bertambah jelaslah perbedaan antara mashalih mursalah dengan bid’ah.
------------------------
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah - Bid'ah Khurafat, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, Cetakan Ke IV, halaman 35-41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar