Kebiasaan Jahiliah yang Masih Melekat Sesudah Islam
Sesudah datangnya Islam, kebiasaan jahiliah apakah yang masih tinggal dalam kehidupan masyarakat Arab? Apa yang tiba-tiba terjadi terhadap kehidupan mereka ketika kedaulatan ini sudah makin luas, dan ribuan dari mereka tinggal di luar Semenanjung Arab?
Masyarakat Arab jahiliah itu sangat fanatik terhadap kabilahnya masing-masing. dan semua sama sangat fanatik terhadap ras Arab. Sedang nilai ajaran Islam menolak semua fanatisme jahiliah itu. Ajaran itu menyamakan semua umat manusia. Kelebihan hanya ada dalam perbuatan dan ketakwaan, tak ada bedanya yang Arab dengan yang bukan Arab. Firman Allah dalam Qur’an sudah jelas mengenai hal ini : “Yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa.” (TQS. al-Hujurat (49) : 13). Dan firman-Nya : “Orang-orang mukmin itu bersaudara…” (TQS. al-Hujurat (49) : 10). Islam diturunkan untuk semua umat manusia, yang putih dan yang hitam, yang Arab dan yang bukan-Arab. Untuk itu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam berkata dalam khothah perpisahannya : “Saudara-saudara! Allah telah menghilangkan dari kamu sekalian kesombongan jahiliah dan membangga-banggakan nenek moyang. Kamu semua anak Adam dan Adam dari tanah. Yang Arab tidak lebih mulia dari yang bukan-Arab kecuali dengan takwa.” Sungguhpun begitu kefanatikan kabilah masih kuat berakar dalam hati sebagian besar orang Arab, dan kefanatikan ras Arab masih kuat pada mereka semua. Bahkan dengan tersebarnya orang Arab di kerajaan Persia dan Rumawi dengan dapat menguasai mereka, fanatik terhadap ras Arab itu makin bertambah besar. Mereka yakin, bahwa Islam yang telah diturunkan kepada mereka itu sebagai wakaf untuk mereka sendiri tanpa ada pihak lain boleh mencampurinya.
Contoh-contoh tentang masih bersarangnya fanatik kahilah ini dalam sejarah banyak sekali. Semasa hidup Nabi peristiwa demikian sudah pernah terjadi tatkala kabilah Aus membanggakan diri terhadap kabilah Khazraj dan mengungkit-ungkit perang Bu’as. Salah satunya di antara mereka berkata : “Kalau kalian mau akan kami lancarkan lagi perang.” Kalau tidak segera Nabi turun tangan menengahi dan mengembalikan persaudaraan di antara mereka, niscaya terjadi bencana besar. Karena kesibukan kaum Muslimin kemudian menghadapi perang pembebasan, pada permulaan masa pemerintahan para khalifah fanatik kabilah ini sudah mulai reda, semua perselisihan di antara mereka berangsur padam. Setelah kemudian terjadi perselisihan antara Ali dengan Mu’awiyah fanatik kabilah ini mulai timbul lagi seperti semula, dan kembalilah permusuhan antara Banu Hasyim dan Banu Umayyah seperti di zaman jahiliah dulu. Di kalangan masyarakat Arab pedalaman fanatik kabilah masih terasa sampai masa kita sekarang ini, baik mereka yang tinggal di Semenanjung atau di luar itu.
Fanatisme Ras Arab dan Dalihnya
Makin besar lagi kefanatikan Arab terhadap ras mereka sesudah terjadi perang pembebasan. Anggapan mereka, kedua imperium besar Persia dan Rumawi telah bertekuk lutut di bawah kekuatan mereka dan kekuasaan keduanya berpindah ke tangan mereka. Barangkali mereka menganggap boleh-boleh saja bersikap fanatik demikian karena mengenai mereka Allah sudah berfirman : “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk segenap umat manusia, menyuruh orang berbuat yang benar dan melarang perbuatan mungkar serta beriman kepada Allah…” (TQS. Ali Imran (3) : 110), dan firman-Nya : “Demikianlah Kami jadikan kamu suatu umat yang berimbang supaya kamu menjadi saksi atas segenap bangsa, dan Rasul pun menjadi saksi atas kamu sendiri.” (TQS. al-Baqarah (2) : 143). Hanya ayat-ayat ini yang mereka ingat dan mereka melupakan teguran dan peringatan Allah dalam sekian banyak alat lainnya. Juga mereka telah melupakan dasar-dasar persaudaraan dan persamaan Yang diserukan Islam dan yang telah menjadi dasar iman.
Kita bukan hendak menyalahkan Arab karena fanatik rasnya itu. Fanatisme ras pada bangsa-bangsa lain juga masih berlaku dan dijadikan alat untuk memperkuat rasa kebangsaannya. Bukankah dewasa ini ras kulit putih mendakwakan diri bahwa dalam peradaban, menurut ungkapan mereka sendiri, mereka lebih unggul dari ras kulit berwarna? Bukankah ras Aria masih merasa dirinya lebih unggul dari ras Semit dan ras-ras yang lain, bahwa ia lebih cerdas, lebih berpikir logis, lebih kreatif dan lebih produktif dalam ilmu dan seni?! Ras Saxon dan ras Jerman masing-masing mendakwakan diri seperti itu, yang karena terbawa nasib baik lalu menyombongkan diri, dan dengan didukung oleh kekuasaan dalam kurun waktu tertentu dalam sejarah, umat manusia lalu menindas bangsa-bangsa lain. Mereka itu semua dengan bermulut besar menyombongkan diri dengan pengakuan itu. Mereka tahu apa yang sudah tercatat dalam sejarah bahwa kekuasaan itu silih berganti, berpindah-pindah di antara ras-ras dan bangsa-bangsa, yang dalam kurun waktu tertentu kadang berhubungan dengan kehidupan rohani, dan kadang dengan kehidupan ekonomi, yang samasekali tak ada hubungannya dengan ras atau warna kulit itu sendiri. Kalau fanatik ras Arab sudah berlebihan tatkala mereka menjadi pihak yang menang dan pimpinan peradaban berada di tangan mereka, mereka masih dapat dima’afkan, karena mereka mengikuti kodrat yang berlaku terhadap semua ras dan bangsa, lalu mereka jadi fanatik dengan kearabatnya, sekalipun fanatik demikian sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam serta ajarannya yang tegas-tegas mengajak kepada persaudaraan dan persamaan.
Sikap fanatik inii telah membawa mereka begitu rapat dengan adat kebiasaan jahiliah, yang menurut ajaran Islam sudah tidak diakui samasekali, di antaranya seperti kesenangan mengadakan balas dendam serta kukuhnya bertahan dengan adat kebiasaan lama. Ajaran Islam tidak membolehkan melakukan pembalasan dendam, yang dalam adat jahiliah dibenarkan, yang akibatnya jika terjadi perang antarkalibah dapat memakan waktu sampai bertahun-tahun. Allah telah berfirman : “Dan jika kamu membalas mereka, balaslah sebanding dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, tetapi kalau kamu sabar dan tetap tabah, itulah yang terbaik.” (TQS. an-Nahl (16) : 126), dan firman-Nya : “Wahai orang-orang beriman! Telah diwajibkan kepadamu hukum kisas dalam hal pembunuhan : yang merdeka dengan yang merdeka, budak dengan budak dan perempuan dengan perempuan.” (TQS. al-Baqarah (2) : 178). Hukum kisas adalah salah satu bentuk hukuman yang dijalankan oleh pemegang kekuasaan (waliyul amr), bukan oleh si penuntut balas (waliy’ud dam). Tetapi di samping itu Qur’an menganjurkan pemberian maaf dan dalam sekian banyak ayat menganjurkan demikian. Sungguhpun begitu, masyarakat Arab sudah sangat melekat dengan cara-cara pembalasan dendam ini, dan masih menjadi adat kebiasaan yang sudah berakar turun-temurun. Paling tidak itulah yang kita lihat sampai sekarang di kalangan penduduk pedalaman. Bahkan di sebagian penduduk kota yang masih mempunyai pertalian kerabat dengan orang-orang pedalaman, cara-cara balas dendam ini masih ada hubungannya dengan rasa harga diri dan dengan cara hidup mereka. Mereka tak mau beranjak dari sana. Dalam undang-undang dan hukumannya tidak mereka lihat ada yang dapat memuaskan perasaan mereka dan dapat melepaskan mereka dari cara-cara jahiliahnya itu.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 659-662.
Sesudah datangnya Islam, kebiasaan jahiliah apakah yang masih tinggal dalam kehidupan masyarakat Arab? Apa yang tiba-tiba terjadi terhadap kehidupan mereka ketika kedaulatan ini sudah makin luas, dan ribuan dari mereka tinggal di luar Semenanjung Arab?
Masyarakat Arab jahiliah itu sangat fanatik terhadap kabilahnya masing-masing. dan semua sama sangat fanatik terhadap ras Arab. Sedang nilai ajaran Islam menolak semua fanatisme jahiliah itu. Ajaran itu menyamakan semua umat manusia. Kelebihan hanya ada dalam perbuatan dan ketakwaan, tak ada bedanya yang Arab dengan yang bukan Arab. Firman Allah dalam Qur’an sudah jelas mengenai hal ini : “Yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa.” (TQS. al-Hujurat (49) : 13). Dan firman-Nya : “Orang-orang mukmin itu bersaudara…” (TQS. al-Hujurat (49) : 10). Islam diturunkan untuk semua umat manusia, yang putih dan yang hitam, yang Arab dan yang bukan-Arab. Untuk itu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam berkata dalam khothah perpisahannya : “Saudara-saudara! Allah telah menghilangkan dari kamu sekalian kesombongan jahiliah dan membangga-banggakan nenek moyang. Kamu semua anak Adam dan Adam dari tanah. Yang Arab tidak lebih mulia dari yang bukan-Arab kecuali dengan takwa.” Sungguhpun begitu kefanatikan kabilah masih kuat berakar dalam hati sebagian besar orang Arab, dan kefanatikan ras Arab masih kuat pada mereka semua. Bahkan dengan tersebarnya orang Arab di kerajaan Persia dan Rumawi dengan dapat menguasai mereka, fanatik terhadap ras Arab itu makin bertambah besar. Mereka yakin, bahwa Islam yang telah diturunkan kepada mereka itu sebagai wakaf untuk mereka sendiri tanpa ada pihak lain boleh mencampurinya.
Contoh-contoh tentang masih bersarangnya fanatik kahilah ini dalam sejarah banyak sekali. Semasa hidup Nabi peristiwa demikian sudah pernah terjadi tatkala kabilah Aus membanggakan diri terhadap kabilah Khazraj dan mengungkit-ungkit perang Bu’as. Salah satunya di antara mereka berkata : “Kalau kalian mau akan kami lancarkan lagi perang.” Kalau tidak segera Nabi turun tangan menengahi dan mengembalikan persaudaraan di antara mereka, niscaya terjadi bencana besar. Karena kesibukan kaum Muslimin kemudian menghadapi perang pembebasan, pada permulaan masa pemerintahan para khalifah fanatik kabilah ini sudah mulai reda, semua perselisihan di antara mereka berangsur padam. Setelah kemudian terjadi perselisihan antara Ali dengan Mu’awiyah fanatik kabilah ini mulai timbul lagi seperti semula, dan kembalilah permusuhan antara Banu Hasyim dan Banu Umayyah seperti di zaman jahiliah dulu. Di kalangan masyarakat Arab pedalaman fanatik kabilah masih terasa sampai masa kita sekarang ini, baik mereka yang tinggal di Semenanjung atau di luar itu.
Fanatisme Ras Arab dan Dalihnya
Makin besar lagi kefanatikan Arab terhadap ras mereka sesudah terjadi perang pembebasan. Anggapan mereka, kedua imperium besar Persia dan Rumawi telah bertekuk lutut di bawah kekuatan mereka dan kekuasaan keduanya berpindah ke tangan mereka. Barangkali mereka menganggap boleh-boleh saja bersikap fanatik demikian karena mengenai mereka Allah sudah berfirman : “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk segenap umat manusia, menyuruh orang berbuat yang benar dan melarang perbuatan mungkar serta beriman kepada Allah…” (TQS. Ali Imran (3) : 110), dan firman-Nya : “Demikianlah Kami jadikan kamu suatu umat yang berimbang supaya kamu menjadi saksi atas segenap bangsa, dan Rasul pun menjadi saksi atas kamu sendiri.” (TQS. al-Baqarah (2) : 143). Hanya ayat-ayat ini yang mereka ingat dan mereka melupakan teguran dan peringatan Allah dalam sekian banyak alat lainnya. Juga mereka telah melupakan dasar-dasar persaudaraan dan persamaan Yang diserukan Islam dan yang telah menjadi dasar iman.
Kita bukan hendak menyalahkan Arab karena fanatik rasnya itu. Fanatisme ras pada bangsa-bangsa lain juga masih berlaku dan dijadikan alat untuk memperkuat rasa kebangsaannya. Bukankah dewasa ini ras kulit putih mendakwakan diri bahwa dalam peradaban, menurut ungkapan mereka sendiri, mereka lebih unggul dari ras kulit berwarna? Bukankah ras Aria masih merasa dirinya lebih unggul dari ras Semit dan ras-ras yang lain, bahwa ia lebih cerdas, lebih berpikir logis, lebih kreatif dan lebih produktif dalam ilmu dan seni?! Ras Saxon dan ras Jerman masing-masing mendakwakan diri seperti itu, yang karena terbawa nasib baik lalu menyombongkan diri, dan dengan didukung oleh kekuasaan dalam kurun waktu tertentu dalam sejarah, umat manusia lalu menindas bangsa-bangsa lain. Mereka itu semua dengan bermulut besar menyombongkan diri dengan pengakuan itu. Mereka tahu apa yang sudah tercatat dalam sejarah bahwa kekuasaan itu silih berganti, berpindah-pindah di antara ras-ras dan bangsa-bangsa, yang dalam kurun waktu tertentu kadang berhubungan dengan kehidupan rohani, dan kadang dengan kehidupan ekonomi, yang samasekali tak ada hubungannya dengan ras atau warna kulit itu sendiri. Kalau fanatik ras Arab sudah berlebihan tatkala mereka menjadi pihak yang menang dan pimpinan peradaban berada di tangan mereka, mereka masih dapat dima’afkan, karena mereka mengikuti kodrat yang berlaku terhadap semua ras dan bangsa, lalu mereka jadi fanatik dengan kearabatnya, sekalipun fanatik demikian sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam serta ajarannya yang tegas-tegas mengajak kepada persaudaraan dan persamaan.
Sikap fanatik inii telah membawa mereka begitu rapat dengan adat kebiasaan jahiliah, yang menurut ajaran Islam sudah tidak diakui samasekali, di antaranya seperti kesenangan mengadakan balas dendam serta kukuhnya bertahan dengan adat kebiasaan lama. Ajaran Islam tidak membolehkan melakukan pembalasan dendam, yang dalam adat jahiliah dibenarkan, yang akibatnya jika terjadi perang antarkalibah dapat memakan waktu sampai bertahun-tahun. Allah telah berfirman : “Dan jika kamu membalas mereka, balaslah sebanding dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, tetapi kalau kamu sabar dan tetap tabah, itulah yang terbaik.” (TQS. an-Nahl (16) : 126), dan firman-Nya : “Wahai orang-orang beriman! Telah diwajibkan kepadamu hukum kisas dalam hal pembunuhan : yang merdeka dengan yang merdeka, budak dengan budak dan perempuan dengan perempuan.” (TQS. al-Baqarah (2) : 178). Hukum kisas adalah salah satu bentuk hukuman yang dijalankan oleh pemegang kekuasaan (waliyul amr), bukan oleh si penuntut balas (waliy’ud dam). Tetapi di samping itu Qur’an menganjurkan pemberian maaf dan dalam sekian banyak ayat menganjurkan demikian. Sungguhpun begitu, masyarakat Arab sudah sangat melekat dengan cara-cara pembalasan dendam ini, dan masih menjadi adat kebiasaan yang sudah berakar turun-temurun. Paling tidak itulah yang kita lihat sampai sekarang di kalangan penduduk pedalaman. Bahkan di sebagian penduduk kota yang masih mempunyai pertalian kerabat dengan orang-orang pedalaman, cara-cara balas dendam ini masih ada hubungannya dengan rasa harga diri dan dengan cara hidup mereka. Mereka tak mau beranjak dari sana. Dalam undang-undang dan hukumannya tidak mereka lihat ada yang dapat memuaskan perasaan mereka dan dapat melepaskan mereka dari cara-cara jahiliahnya itu.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 659-662.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar