"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Kamis, 21 Agustus 2014

Peranan Ilmu, Hati, Nafsu dan Do ‘a

Ya Allah! Ya Tuhanku! Sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah merasa kenyang (puas) dan dari do’a yang tidak mustajab. (HR Muslim/ Syarah Nawasi, 17 : 41).

DEMIKIAN, salah satu do’a Rasulullah s.a.w. yang biasa dipanjatkan ke hadirat Allah s.w.t. Dalam do’anya itu Rasulullah s.a.w. minta perlindungan kepada Allah terhadap empat perkara :
1. Ilmu yang tidak bermanfa’at
Ilmu adalah suluh yang dapat menerangi hati seseorang dan masyarakat serta mengangkat derajat manusia ke jenjang penghidupan dan kehidupan yang baik, di dunia maupun di akhirat kelak. Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menyitir peranan ilmu seperti itu, dan kenyataan pun membuktikannya, antara lain :
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dari kalanganmu dan orang-orang yang diberi ilmu (berilmu) ke berbagai derajat.” (QS Al-Mujadalah : 11).
“Hanya orang-orang yang berilmulah yang bisa takut kepada Allah”. (QS Fathir : 28).
“Dan barangsiapa yang diberi ilmu, maka sungguh dia itu diberi kebaikan yang banyak.” (QS Al-Baqarah : 269).
Ilmu yang berperan seperti itu adalah ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang dipergunakan untuk kebaikan buat dirinya sendiri dan masyarakatnya. Tetapi tidak jarang pula, ilmu yang berperan sepert itu berbalik menjadi penyebab malapetaka, karena salah penggunaannya. Ilmu semacam itu disebut ilmu yang tidak bermanfaat; dan itulah yang dimintakan perlindungan oleh Rasulullah s.a.w. kepada Allah s.w.t. Masalahnya adalah terletak pada pemegangnya. Tak ubahnya dengan senjata, ia adalah alat yang jelas manfa’atnya, tetapi kadang-kadang bisa mencelakakan karena kesalahan penggunaannya oleh pemegangnya. Jadi sekarang kuncinya berada di tangan pemegangnya itu sendiri. Kunci itu ialah “taqwallah”, seperti yang diungkapkan oleh para hukama’ kita : “Pokok dari segala hikmah (ilmu) itu ialah takut kepada Allah”. (Terjemah al-Hikam, Salim Bahreisy, hal. 127).
Agaknya tepat sekali kalau tujuan pendidikan nasional kita itu ditekankan pada pembentukan manusia taqwa, mampu berdiri sendiri dan trampil.

2. Hati yang tidak khusyu’
Hati adalah pendorong dan pembentuk sikap dan perbuatan manusia. Ia dapat dinilai sebagai promotor juga stabilisator, bahkan ia juga dijadikan neraca bagi baik buruknya amal seseorang, diterima dan tidak diterimanya amal itu oleh Allah s.w.t. kelak setelah manusia meninggal dunia dan menghadap ke hadirat-Nya : “Sesungguhnya Allah tidak akan melihat bentuk-(badan)-mu, tetapi Ia akan melihat hati-hati kamu.” (HR. Muslim).
Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Namun kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya itu selalu dibarengi dengan sebab musabab (causalitet leer). Misalnya tentang mengubah kondisi seseorang maupun bangsa, senantiasa diawali dengan sebab musabab yang tumbuh dari seseorang dan bangsa itu sendiri yang berbentuk olah dan ketrampilan dengan didorong oleh kemauan yang keras yang bertolak dari suara hati : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa-apa (kondisi) suatu kaum, sehingga kaum itu mau mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d : 11).
Apa yang ada dalam diri seseorang yang dimaksud dalam ayat itu, ialah hati atau sikap batinnya.
Jadi menurut ayat itu, perubahan kondisi suatu bangsa yang akan dilakukan Allah itu bergantung kepada sikap batin bangsa itu. Ada dua macam sikap batin manusia :
  • Sikap batin yang baik, yang cenderung kepada kebajikan dan selalu berharap akan ridha Allah. Sikap hati semacam ini nanti di hari kiyamat akan menghadap Allah dengan tenang : “... Pada hari di mana harta dan anak-anak tidak lagi berguna. Kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang salim (menyerah).” (QS Asy-Syu‘ara : 88 – 89). Sikap batin semacam itu selanjutnya disebut “hati yang khusyu’, yang mempunyai pengaruh positif dalam sikap lahiriyah manusia.
  • Sikap batin yang buruk, yang cenderung kepada keburukan. Pengaruhnya terhadap sikap lahiriyah pun sangat jelek, dan akan membawa kerugian masyarakat. Dan kelak di akhirat pelakunya akan menderita kerugian besar. Sikap batin semacam itu, selanjutnya disebut “hati yang tidak khusyu” dan itulah yang diminta Rasulullah s.a.w. untuk dilindunginya.

3. Nafsu yang tidak merasa kenyang
Nafsu yang dimaksud di sini ialah keinginan-keinginan terhadap sesuatu kehidupan duniawi. Tentang ini sebenarnya telah ditentukan oleh Allah sendiri dengan bertingkat. Karena itu seharusnya berapa pun banyaknya harta duniawi itu yang diberikan Allah kepadanya. seharusnya diterima dengan rasa kepuasan; dan di situlah pangkal ketenangan dalam hidup. Sebaliknya apabila pemberian Allah itu Selalu diterima dengan penuh kekurangan, hidup pun akan selalu gundah, yang biasanya — demi memenuhi kepusan nafsunya itu — disusulnya dengan perbuatan-perbuatan yang tidak simpatik, seperti mencuri, merampok dan sebagainya.
Untuk itu, nafsu perlu dijaga akan kebersihannya supaya hidup itu selalu dalam kebahagiaan. “Sungguh bahagialah orang yang membersihkan jiwanya.” (QS Asy-Syams : 9). Salah satu cara membersihkan nafsu itu ialah dengan membiasakan merasa puas akan pembenan Allah.

4. Do’a yang tidak mustajab
Do’a adalah senjata seorang mukmin yang maha raksasa, juga alat yang paling ampuh untuk mengatasi problema hidup yang tidak dapat diatasi dengan ilmu dan tenaga. Akan tetapi sungguh malangnya, kalau do’a yang begitu besar peranannya itu sudah tidak lagi terdengarkan, tak ubahnya senjata yang berkarat atau pisau yang tumpul. Itulah sebabnya senjata do’a ini perlu dirawat dan diasah, supaya tetap ampuh dan tajam. Caranya :
  • Berdo’alah kepada Allah supaya do’anya itu sendiri jangan sampai tidak dikabulkan.
  • Menjaga diri dari perbuatan dan makanan yang haram.
  • Terus menerus bertaqarrub kepada Allah dan ditinggatkan.

Do’a Rasulullah s.a.w. di atas itu pula yang kini kita panjatkan ke hadirat Allah, kiranya Allah berkenan. Amin.
-----------------------------------------
Majalah Al-Muslimun No 154 Tahun XIII (29), Rabi'ul Awal/ Rabi'ul Akhir 1403 H/Januari 1983 M, halaman 16-18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar