"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Senin, 11 Agustus 2014

Kehidupan Sosial pada Masa Umar bin Khattab (9)

Sikap Umar tentang Kesenangan, yang Halal dan yang Haram
Tetapi Umar tidak bersikap demikian dalam hal berbagai macam kesenangan yang memang dihalalkan oleh Islam dan dibolehkan oleh bangsanya. Di antaranya masyarakat Arab itu dulu termasuk bangsa yang paling menyukai nyanyian dan menikmatinya, bahkan menyanyi itu sudah merupakan keperluan hidup dan keharusan yang tak dapat ditinggalkan. Dengan nyanyian memicu unta, mereka dan unta mereka lupa akan beratnya perjalanan, segala penderitaan yang mereka alami akan terasa ringan. Jika mereka berhenti di suatu tempat, mereka beristirahat sesudah perjalanan malam yang jauh, nyanyian itulah yang menjadi hiburan mereka, terutama kalau di antara mereka ada seorang penyanyi yang suaranya merdu dan nyaring, dengan nada yang dapat membangkitkan rindu keluarga dalam hatinya, atau semangat balas dendam atau memperlihatkan kebanggaan. Yang demikian ini sudah merata di daerah-daerah pedalaman atau di kota-kota. Acara-acara musik serupa ini diadakan di Mekah, di Medinah dan di tempat-tempat lain di kawasan Semenanjung itu sampai ke daerah-daerah pedalaman, dari ujung selatan sampai ke ujung utara. Umar sendiri, kendati sudah terkenal begitu tegar dan keras, juga senang berdendang, kadang mengulang-ulanginya.
Ada serombongan anak muda pergi dalam sebuah kafilah, Umar, Usman dan Ibn Abbas termasuk di antaranya, dan ada pula Rabah al-Fihri, orang yang pandai memicu binatang dengan nyanyiannya. Menjelang malam, anak-anak muda itu meminta Rabah menyanyi, tetapi dia menolak dengan mengatakan : “Bersama Umar?” Kata mereka : Menyanyilah, kalau dia melarang ya berhenti. Dia pun mulai memacu dengan menyanyi. Ternyata Umar tidak keberatan, malah ia ikut menyanyi. Setelah memasuki fajar, kata Umar : Berhentilah, sekarang tiba saat zikir. Malam kedua pemuda-pemuda itu memintanya lagi menyanyi. Ketika ia menolak karena takut kepada Umar mereka berkata : Menyanyilah lagi, kalau dia melarang berhentilah. Umar pun ikut sampai waktu menjelang fajar ia berkata : Sudahlah! Sudah tiba saat zikir. Pada malam ketiga pemuda-pemuda itu meminta Rabah menyanyikan nyanyian biduanita. Begitu baru dia memulai Umar berteriak : Berhenti, ini akan membuat orang lupa daratan!
Suatu hari Umar berangkat pergi hendak menunaikan haji. Mereka yang menyertainya mengusulkan kepada Khawwat bin Jubair agar menyanyikan syair-syair Dirar. Kata Umar : Biarlah Abu Abdullah menyanyikan pilihan hatinya sendiri. Khawwat menyanyi, Umar pun turut bergembira ria. Sesudah tiba waktu fajar Umar berkata : “Sudahlah Khawwat, sekarang sudah waktu fajar.” Dalam kafilah itu Umar ikut menyanyi.
Rombongan kafilah itu berkumpul semua sama-sama mendengarkan. Melihat mereka berkumpul, ia membaca Qur’an. Tetapi saat itu juga malah mereka bubar. Yang demikian ini terjadi berulang-ulang. Lalu ia berteriak : Hai anak-anak pungut! Kalau aku dibunyikan seruling setan kalian berkumpul, kalau yang kubaca Kitabullah kalian bubar!
Dilarangnya Rabah menyanyikan nyanyian biduanita itu setelah ia mendengarkan dan mengikutinya. Tetapi kemarahannya kepada mereka yang pergi ketika mendengar pembacaan Qur’an setelah mereka berkumpul untuk mendengarkan nyanyian syair, semua itu menunjukkan bahwa ia suka mendengarkan lagu dan suka pula menyanyi. Kesukaan menyanyi itu membuat ia dapat mengungkapkan makna yang sesuai dengan suara hatinya. Ia tidak akan menyerah pada hal-hal yang akan menjerumuskan jiwanya dengan kecenderungan yang mendatangkan kelemahan dan mendorong nafsu. Umar yang begitu menyenangi nyanyian dan ikut menikmatinya, baginya mendengarkan bacaan Qur’an sangat menyentuh hatinya. Tidaklah heran, bila Umar sedang marah lalu terdengar pembacaan Qur’an, ia kembali tenang, dan air matanya yang sering bercucuran memperlihatkan betapa dalam keimanan serta kesungguhannya dalam Islam. Jadi memang tidak heran, jiwa yang lemah karena mendorong kepada nafsu jahat, di mata Umar itulah orang yang sangat tercela.
Dia melarang segala yang akan menimbulkan gejala-gejala kelemahan dalam hati dan akan mendorong nafsu, karena dia melihat pengaruhnya yang buruk dalam kehidupan masyarakat. Kewajiban yang harus dipikul oleh seorang pemimpin ialah membina kehidupan masyarakat yang kuat dan mampu mendorong kepada tujuan-tujuan yang luhur, seperti tanggung jawabnya dalam menjaga ketertiban dan keselamatan negara, sebab kekuatan dan kemampuan ini semua merupakan alat ketertiban dan keselamatan itu. Kata yang tanpa perbuatan tidak akan memberi pengaruh apa-apa dalam kehidupan ini.
Bentuk-bentuk syair madah (panegyrics) dan hijã’ (satir)*) sudah menjadi salah satu kecenderungan syair-syair Arab di masa jahiliah, kemudian waktu datangnya Islam tetap ada, dan sampai sekarang tetap bertahan. Kecenderungan madah dan satir ini pada beberapa penyair memang sangat berlebihan demikian rupa sehingga dapat menimbulkan rasa dendam dan kebencian yang berakibat pada permusuhan. Terhadap penyair-penyair semacam ini Umar bersikap tegas, sehingga membuat mereka jera dan tidak menularkan kepada yang lain.
Sumber-sumber mengenai ini banyak sekali. Disebutkan bahwa Hutai’ah**) oleh Umar pernah ditahan karena ia mengeluarkan syair-syair cabul (porno), memuji dan memaki orang dengan tidak semestinya. Setelah Hutai’ah memberikan jaminan tidak akan mengulanginya lagi ia dibebaskan. Setelah akan pergi ia dipanggil dan datang kembali Umar berkata: Hutai’ah, rasanya saya pernah melihat Anda di tempat seorang pemuda Kuraisy yang sudah menyiapkan kasur untuk Anda dan ada yang digulungkan untuk Anda yang kemudian mengatakan : Bacakanlah syairmu untuk kami, Hutai’ah, dan Anda pun mulai mendendangkannya dengan menjelek-jelekkan orang. Hutai’ah berjanji tidak akan berbuat lagi, Zaid bin Aslam berkata : Suatu hari saya melihat Hutai’ah di tempat Ubaidillah bin Umar yang sudah menyediakan kasur kecil buat dia dan ada yang digulung, kemudian katanya : Bacakanlah syairmu untuk kami, Hutai’ah, dan dia berdendang. Lalu kata saya : Hutai’ah, Anda tidak ingat apa kata Umar? Merasa ketakutan ia berkata : Semoga Allah memberi rahmat kepada orang itu! Kalau dia masih hidup kami tidak akan dapat berbuat seperti ini. Hutai’ah ditahan oleh Umar karena dia mengejek Zibriqan bin Badr dalam syairnya.
Umar sangat menyukai syair; dia dapat bercerita banyak tentang syair, dapat membacanya dan mengajak orang berbicara tentang itu. Ketika Zibriqan mengadukan Hutai’ah kepadanya ia bermaksud mencegah gunjingannya dengan syubhat. Ketika mendengar bunyi syair itu ia berkata : Saya tidak melihat ejekan tetapi cercaan. Mengenai syairnya itu kemudian ia menanyakan kepada Hassan bin Sabit (Penyair terkenal dan sahabat Nabi), pakar tentang syair. Sesudah diperiksanya syair satir itu berisi kata-kata kotor. Hutai’ah ditahan dengan peringatan tidak akan mengulangi syair yang semacam itu lagi. Hutai’ah baru membuat syair-syair satir lagi pada masa kekhalifahan Usman.
Umar menjatuhkan hukuman dengan menahan dan memukuli penyair yang memperolok Banu Ajlan.
Tetapi kemudian ia diberi peringatan, kalau masih mengulanginya lagi hukumannya akan berlipat ganda. Umar menghukum para penyair satir dengan penahanan, penjara, dera, teguran dan peringatan, di samping kecintaannya pada syair dan cerita tentang sastra, karena dia tahu, betapa dalamnya pengaruh kata-kata itu dibandingkan dengan yang lain dalam kehidupan masyarakat manusia. Manusia —sejak kecil sampai akhir hidupnya—terpengaruh oleh kata-kata dan apa yang disampaikan kepada mereka itu hendak diusahakan mewujudkannya : Segala keyakinan kita, adat istiadat kita, pekerjaan, pemikiran dan perasaan serta kecenderungan kita yang sejak kecil kita dengar dari keluarga kita, dari guru-guru kita dan teman-teman kita dan apa yang kita baca dari buku-buku dari orang yang sebelum kita, semua itu telah ikut memberi bentuk. Pada masa jahiliah, syair-syair madah dan satir dianggap sah, malah telah menjadi salah satu nilai pokok dalam kehidupan masyarakat waktu itu. Kemudian teriakan perang berikut propagandanya tatkala ada kabilah hendak melakukan balas dendam terhadap kabilah yang lain. Kalau perang waktu itu sudah merupakan kebiasaan hidup sehari-hari, maka para penyair itu menyanjung-nyanjung salah satu kabilah serta memaki-maki dan memburuk-burukkan yang lain. Bahwa kemudian orang Arab sudah menjadi satu bangsa, tegak dalam satu barisan dalam menghadapi musuh, adat jahiliah ini sudah harus dihilangkan dari kehidupan masyarakat bangsa. Sudah menjadi kewajiban Amirulmukminin untuk bersungguh-sungguh berusaha ke arah itu. Lebih-lebih lagi dalam waktu perjuangan dan pembebasan, lebih wajib lagi mengikisnya, mengingat adanya persatuan dan tergalangnya kekuatan dan pemusatan seluruh bangsa dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan untuk menghadapi musuh dan mengikis segala ambisinya.

Opini Berbeda dengan Satir dan Fitnah
Kebijakan Umar waktu itu dalam menumpas kesombongan dan rasa kebanggaan kabilah telah berhasil. Bahkan semua dilakukan dengan sikap kepala dingin, arif dan pandangan yang jauh ke depan. Saya menegaskan ini sebagai orang yang sangat percaya pada kebebasan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat dengan lisan dan tulisan, dan pada segala yang pernah diketahui umat manusia dan yang akan diketahui mengenai wahana pernyataan pendapat (opini). Sebabnya ialah. opini itu berbeda dengan satir dan fitnah. Opini adalah suatu konsep atau sekumpulan konsep yang keluar dari pikiran dan akal budi manusia, dengan tujuannya untuk mengurangi penderitaan umat manusia atau untuk menambah kebahagiaannya dari keadaan selama ini. Opininya mungkin benar, mungkin juga salah. Kita bebas menyerang opini orang kalau kita yakin bahwa itu salah. Tetapi kita tidak berhak menyerang opininya, kalau kita tidak dapat menunjukkan bukti atas niat buruknya dalam mengeluarkan opininya itu, bahwa tujuannya bukan untuk kebaikan bersama dan untuk kepentingan semua orang. Kalaupun kita mampu menunjukkan bukti itu kita tetap tidak berhak menyinggung kehidupan pribadi orang itu, yang tak ada hubungannya dengan opini yang dikemukakannya, atau dengan pekerjaan yang ingin disusun atas dasar opini itu atau bukti niat buruknya yang dapat kita tunjukkan. Dalam batas-batas ini saja kita bebas menyerang sekehendak kita betapapun kerasnya. Tetapi jika akan melampauinya sampai ke soal kehidupan pribadinya, maka itulah yang namanya fitnah, satir dan caci maki, hal yang tak boleh dibenarkan, baik oleh undang-undang atau oleh penguasa. Pelaku itu harus dihukum dengan hukuman badan dan harta, dan hukuman ini harus cukup keras, supaya orang yang mempunyai opini dan pekerja sosial untuk kepentingan umum itu bebas dalam menyatakan pendapatnya dan dalam pekerjaannya, sejalan dengan kritik membangun yang tidak melampaui haknya dalam menyatakan pendapat dan dalam bekerja untuk kepentingan umum itu.
Kebijakan Umar bin Khattab dalam menumpas sastra satir dan kaum satiris ini berhasil meredam rasa dendam dan kebencian dengan segala perangsangnya. Bukti yang paling jelas dalam hal ini seperti yang sudah terbaca dalam kata-kata Hutai’ah yang mulai lagi dengan syair-syair satirnya sesudah Umar vafat : “Semoga Allah memberi rahmat kepada orang itu! Kalau dia masih hidup kami tidak akan dapat berbuat seperti ini.” Tetapi memang, sesudah Umar bentuk satir ini mulai merebak lagi dalam kehidupan masyarakat umat Islam. Hanya saja tidak lagi seperti dulu dan yang biasa dijadikan alat propaganda kabilah-kabilah dalam pertentangan mereka menjadi hanya sekadar alat untuk mencari mata pencaharian, atau alat untuk melampiaskan dendam dan memuaskan hawa nafsu. Begitu juga halnya dengan yang selain satir yang sudah biasa dalam kehidupan masyarakat sebelum Islam. Tidak heran kalau kecenderungan-kecenderungan jahiliah ini masih berakar dalam hati sebagian besar masyarakat Arab yang sudah masuk Islam sekalipun, dan mereka tak dapat mengatasinya, malah barangkali tak pernah berusaha ke arah itu.


Catatan :
*) Satir atau satire, kata bahasa Prancis, dalam bahasa Arab hijã’ bentuk karya sastra, terutama puisi dan drama, yang berisi sindiran atau terang-terangan mengungkapkan sifat-sifat buruk, jahat, kebodohan, caci maki dan sebagainya, untuk memperolok dan menghina orang, tanpa ada batas-batas moral yang berlaku. Sebaliknya madah, terutama puisi, berisi pujian.
**) Hutai’ah, dan kabilah Abs, penair dua zaman, terkenal sebagai satiris terkemuka pada zamannya, hidup di masa jahiliah dan masa Islam. Tak jelas asal-usulnya, hidupnya sangat sinis, tak punya pendirian dan mengejek semua orang. termasuk ibu-bapak, istri dan dirinya sendiri (wafat tahun 59 Hijri)
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 669-674.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar