"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Minggu, 03 Agustus 2014

Bid’ah Khurafat (5)

BID’AH DALAM ADAT
Dengan segala uraian di atas itu, agaknya telah jelas bagi kita apa yang dikatakan bid’ah itu. Jika kita teliti amal dan tindakan yang biasa dilakukan orang tentang bid’ah ini, kita dapat membaginya menjadi tiga yaitu : bid’ah dalam adat, bid’ah dalam i'tiqad dan bid’ah dalam ‘ibadah.

Asal mula terjadinya adat
Menurut Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya “Laisa Minal Islam”, adalah bid’ah dalam adat itu tersiar dalam masyarakat bangsa Timur karena adanya taqlid yang menguasai akal mereka. Maka banyaklah adat bangsa Timur itu jika dinilai dari segi agama, merupakan perkara yang batil seluruhnya atau percampuran antara hak dan batil, antara baik dan buruk. Dan adalah kebanyakan adat kebiasaan itu berasal dari syari’at agama yang dalam pelaksanaannya dicampuri oleh adat-adat sebelumnya, kemudian turun-temurun, dari generasi ke generasi, dilakukan dan mnenjadi tersiar atas dasar taqlid.
Pendapat Muhammad al-Ghazali itu memang benar. Adat kebiasaan terbentuk karena taqlid. Adat itu ada yang benar dan ada yang salah menurut agama, dan adat itu telah merupakan imbangan atau saingan yang kuat bagi syariat agama. Di Indonesia persaingan ini sangat menonjol, misalnya persaingan yang tajam antara syara’ dan adat dalam hal pembagian warisan dan hukum perkawinan.
Kehidupan manusia ini menurut sejarahnya, memang tak dapat berlepas diri dari taqlid. Mungkin juga seterusnya akan begitu juga. Akal manusia yang semakin cerdas dan ilmu yang digalinya hanya akan mengurangi taqlid itu dan menentukan di mana manusia harus bertaqlid dan dimana tidak.
Misalnya taqlid dalam hal bentuk pakaian, tidak perlu dibuang hingga setiap orang harus menentukan bentuk pakaiannya sendiri-sendiri. Perkembangan bahasa tidak bisa lain harus dengan taqlid. Agama Islampun tidak melarang taqlid itu kecuali dalam agama. Bahkan dalam hal agamapun orang diharuskan bertaqlid tetapi hanya kepada Rasulullah, lain tidak.
Setiap bangsa khususnya bangsa Timur tentu mempunyai adat-resam Setiap suku bangsa Indonesia mempunyai adat-resam khusus yang turun temurun menjadi pegangan hidup bersama, meskipun tidak tertulis tetapi tetap cukup kuat sebagai tradisi yang dipegang teguh. Nenek-moyang kita telah menciptakan adat itu sebelum datangnya Islam. Sebagaimana halnya bangsa Quraisy Mekah sebelum terutusnya Rasulullah. Agama Islam memperbaiki adat itu dan merobah nama yang perlu dirobah serta menghapuskan mana yang perlu dihapuskan.

Sumber dari adat
Sudah menjadi satu kenyataan sejarah bahwa umumnya adat-istiadat sesuatu bangsa itu asal mulanya timbul dari kepercayaan agama, yaitu agama sebelum datangnya Islam. Bahkan agama Islam itupun setelah dipeluk oleh sesuatu bangsa lalu melahirkan adat pula. Kecuali dari itu timbul juga adat yang dipengaruhi oleh agama Islam, merupakan perpaduan dari ajaran kepercayaan kedua agama itu. Contoh dari paduan itu ialah sedekahan (selamatan) yang disertai do’a dengan membakar kemenyan.
Selain dari pada adat yang berasal dari sumber kepercayaan agama, ada pula adat yang melulu merupakan adab dan kesopanan belaka seperti mencium lutut orang-orang tua oleh yang muda, upacara hari lahir, bersanding pengantin, memberikan sirih ketika melamar, dan sebagainya. Dan ada pula adat yang lebih terlepas lagi dari keagamaan, seperti membasuh tangan sebelum dan sesudah makan, mencuci kaki sebelum dan sesudah makan, mencuci kaki sebelum tidur, minum kopi tiap pagi, dan sebagainya.
Menilik hal tersebut di atas itu kita dapat membagi adat kebiasaan itu menjadi dua :
  • Adat yang mengandung kepercayaan atau bersemangat agama.
  • Adat yang tidak bersemangat agama dan tidak mengandung kepercayaan.

Letaknya bid’ah dalam adat
Jika sesuatu adat dilekati oleh kepercayaan dan atau laku ibadah yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah, maka adat itu menjadi bid’ah. Jika tidak, maka tidak ada bid’ah di situ meskipun kita membiasakan sesuatu adat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah.
Maka bid’ah adat terletak pada adat yang bersumber pada kepercayaan agama atau dikerjakan dengan semangat agama, meskipun orang yang mengerjakan itu karena taqlidnya sudah tidak mengetahui lagi adanya kepercayaan dan semangat agama itu. Tahlil dengan membaca bersama-sama kalimah “La ilaha illallah” adalah asalnya dilakukan orang dengan maksud agar pahalanya dapat menghapuskan siksa atas mayit yang telah dikubur atau pahalanya dapat diterima oleh simati itu. Lama-kelamaan tahlil semacam itu diikuti orang dengan taqlid lalu menjadi adat. Maka banyak orang mengadakan tahlilan setelah empatpuluh hari dan kematian keluarganya, dengan tidak mengetahui apa maksud tahlilan itu selain karena telah menjadi adat. Namun demikian apa yang dilakukannya itu tetap bid’ah.
Adapun pekerjaan dan hubungan manusia sehari-hari sebagian ulama memasukkannya ke dalam apa yang disebut adat atau “al-umurul-’adiyah” atau “asy-syuunul-‘adiyah”. seperti halnya berjual-beli, bercocok-tanam, hubungan perkawinan, hutang-piutang, pinjam-meminjam, dan sebagainya. Dalam soal-soal ‘adiyah itu agama Islam memberikan tuntunanya agar kesemuanya itu berjalan dengan halal dan memberi manfaat serta keselamatan bagi semua pihak yang bersangkutan. Tuntunan itu merupakan syarat untuk kehalalannya dan keselamatannya. Jika syarat ini telah dipenuhi maka sah-lah hubungan itu menurut hukum Islam, dan jika tak dipenuhi maka batal dan tak berlaku. Misalnya dalam perkawinan ada syarat wali, maka tidak sah nikahnya seorang gadis tanpa adanya wali. Sahnya jual-beli harus “an taradlin” atau sama-sama rela. Maka tidaklah sah jual-beli yang dipaksakan. Pembagian waris harus menurut ketentuan agama, jika tidak maka tidak sah. Setelah orang memenuhi syarat itu lalu menambah dengan aturan lain asalkan tidak bertentangan dengan syara’, maka tidaklah mengapa dan tidak bernama bid’ah, seperti pencatatan nikah dan memberikan surat nikah, registrasi jual beli rumah dan tanah. Yang demikian itu bukan bid’ah tetapi mashalih mursalah. Tetapi bila tambahan peraturan itu menyerupai ibadah barulah bernama bid’ah, seperti mempelai yang akan ‘akad nikah diharuskan membaca syahadat
Sebagian besar daripada perkara ‘adiyah itu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah seperti cara bercocok tanam, mana yang lebih baik berjualan di pasar atau di toko, makan dengan tangan atau sendok dan di atas tikar atau meja, bertukar cincin dan memberikan tanda persalin di waktu melamar dan sebagainya. Kesemuanya itu diperkenankan asal tidak melanggar hukum agama, dan tidak ada bid’ah. Kesemuanya itu boleh, atas dasar sabdanya : “antum a’lamu biamni dun-ya:kum” (kamu sekalian lebih tahu tentang perkara keduniaanmu).

Contoh bid’ah dalam adat
Bid’ah dalam adat pada umumnya bendasarkan kepercayaan dan pelaksanaannya ada yang menyerupai ibadah dan ada yang tidak. Di bawah ini beberapa contohnya.
  1. Rasulullah telah memberi tuntunan kepada kita mengucap salam dengan “assalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh” untuk orang lelaki maupun perempuan atau untuk jama’ah yang terdiri dari lelaki dan perempuan. Tetapi di antara kita ada yang terbiasa menambah salam itu dengan kata-kata “wa’alaikunna” atau “wa’alaikunnassalam” jika di hadapan suatu jama’ah terdiri dari lelaki dan wanita. Tambahan ini bid’ah, dan meskipun tidak mendatangkan dosa tetapi menghilangkan keutamaan itba’ (mengikuti) Sunnah Rasulullah. Meskipun ucapan salam ini perkara duniawi dan akhlak, kita boleh menggantinya dengan “salam bahagia” atau “selamat pagi” dan “dirgahayu”; tetapi jika kita bermaksud memperoleh keutamaan dengan itba’ Sunnah Rasul, hendaklah kita contoh sunnah itu apa adanya dengan tidak menambah atau mengurangi.
  2. Mengadakan selamatan dengan do’a atau tahlil ketika baru pindah ke rumah yang baru, ketika akan bertanam padi, dan sebagainya.
  3. Membaca Al-Qur’an di atas kuburan dan terutama di kuburan para ulama, kadang-kadang membacanya itu ditepatkan malam Jum’ah.
  4. Membaca Surat Yasin di rumah orang yang sedang sakit keras, sendirian atau bersama seperti yang telah diadatkan orang. Acapkali pembaca Yasin itu berlomba karena mengejar banyaknya sedekah yang mereka terima berdasar berapa kali membaca Yasin itu.
  5. Selamatan atau sedekahan dengan makan bersama-sama di waktu kematian.
  6. Mengantarkan jenazah dengan membaca dzikir, sendiri-sendiri atau bersama-sama; atau diiring dengan bunyi-bunyian. Selain kesemuanya itu bid’ah, juga tidak sesuai dengan sabda dan riwayat Rasulullah : “Sungguh Allah suka akan ketenangan dalam tiga peristiwa, yaitu ketika Qur’an dibaca, dan ketika perang berkecamuk dan ketika ada jenazah”. (Diriwayatkan oleh Thabrani dan Zaid bin Arqom). “Dari Abu Burdah berkata : Adalah Nabi s.a.w. itu tidak suka kepada suara nyaring dalam tiga perkara, yaitu ketika ada jenazah, ketika dzikir dan ketika berperang”. (Hadits riwayat Abu Dawud).
  7. Menaburi jenazah dan kuburan dengan karangan bunga. Ini adalah bekas dan adat animisme, dimana orang kematian menyiapkan bunga-bungaan untuk diletakkan di atas keranda. Kuburnyapun ditaburi bunga dan disiram dengan air dari kendi.
  8. Sebelum jenazah diangkatkan setelah keranda terletak di atas bahu pemikulnya, keluarga si mati berjalan menyuruk di bawah keranda itu tiga kali. Pekerjaan ini dimaksudkan sebagai pamitan yang terakhir. Kemudian berjalanlah iringan jenazah itu diapit atau didahului oleh yang membawa dupa. Ini peninggalan agama Hindu.
  9. Sesudah selesai dikubur, maka orang mentalqinkan mayat itu, Talqin itu dimaksudkan untuk mengajar mayat bagaimana ia harus menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Talqin ini tidak pernah dikerjakan pada zaman Nabi, tidak pula pada zaman sahabat, juga tidak pada zaman Tabi’in, dan tidak pula dianjurkan oleh Imam Madzhab Empat. Hanya disunnahkan oleh sebagian ulama pengikut Madzhab Syafi’i seperti Qadli Husein, Mutawali, Rafi’i dan pengikut mereka. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang asal-usul talqin di atas kuburan itu, beliau menjawab : “Belum pernah aku melihat seseorang mengerjakan selain penduduk Syam ketika matinya Abu Mughirah”.
  10. Mengadakan selamatan dan tahlil seminggu sesudah mayat dikubur, empat puluh hari, seratus harinya, dan seribu harinya. Dengan begini tiap keluarga sering sekali mengadakan selamatan itu bagi anggauta-anggauta keluarganya yang telah meninggal dengan menghabiskan uang yang amat banyak.
  11. Berziarah kubur setiap bulan Sya’ban dengan mengirim bunga. Kuburan dibersihkan dan disiram serta ditaburi bunga, juga dibakar kemenyan.
  12. Mengadakan perayaan memperingati hari lahir Nabi dengan berdiri menghormati Nabi yang dipercayai datang.

Demikianlah sekedar beberapa contoh dan adat-istiadat ummat Islam yang bersemangat keagamaan. Kesemuanya itu merupakan bid’ah yang harus kita hilangkan dengan jalan memberikan pengertian dan kesadaran.
------------------------
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah - Bid'ah Khurafat, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, Cetakan Ke IV, halaman 41-45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar