Berilah para kerabat haknya, demikian pula kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang terlantar dalam perjalanan. Dan janganlah kau boroskan hartamu! (QS Al-Isra’ : 2)
Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk sosial. Oleh karena itu, sebagai makhluk ia tidak bisa melepaskan diri dari ikatan dengan penciptanya sedang sifat sosialnya mengharuskan dia mengakui dan selalu berhubungan dengan masyarakatnya. Secara sunnatullah, ikatan dengan masyarakat itu dibuktikan sejak kelahirannya, yaitu bahwa tidak ada sesuatupun yang dipakai atau dihasilkan olehnya tanpa melibatkan orang lain.
Demikian juga tentang harta seseorang. Sunnatullah membuktikan bahwa meskipun seseorang mendapatkan harta seolah-olah berdasarkan upayanya sendiri, kenyataannya tidak bisa dipungkiri jasa orang lain. Hak sosial yang ada dalam kekayaan seseorang itulah yang sering didengungkan dalam syariat Islam. Firman Allah,
“Sesungguhnya manusia diciptakan penuh kegelisahan. Bila mereka ditimpa kesusahan, mereka berkeluh kesah; tetapi jika mengalami kesenangan, mereka sangat kikir. Tidaklah demikian orang-orang yang setia menjalankan shalat dan orang-orang yang (merasa) dalam harta kekayaannya terdapat hak yang sudah ditentukan bagi peminta-minta dan orang-orang yang tidak berkecukupan.” (Al Ma ‘arij : 19 – 25).
Orang-orang yang bertaqwa menyadari sepenuhnya bahwa kekayaan mereka bukanlah milik mereka sendiri Secara mutlak. Mereka menyadari bahwa di dalam hartanya terdapat hak-hak orang lain yang membutuhkan. Hak itu dikeluarkan bukan merupakan hadiah, sumbangan, atau atas kemurahan hati mereka, tetapi sudah ditetapkan dalam Al Quran. Oleh karena itu, dalam konsep pembagian harta di dalam Islam, penerima tidak perlu merasa lebih rendah dan hina, dan pemberi tidak boleh merasa lebih tinggi.
Kewajiban Zakat
Ayat-ayat zakat yang turun di Madinah menegaskan kewajiban perbuatan itu. Perintahnya pun tegas. Allah berfirman,
“Dirikanlah oleh kalian shalat dan bayarkanlah zakat.” (QS Al-Baqarah : 110).
Selain itu, di dalam surat At Taubah juga terdapat ayat yang menumpahkan perhatian besar terhadap zakat. Allah berfirman,
“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian temui mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (QS At-Taubah : 5).
Berdasarkan ayat ini, ada tiga syarat untuk mengakhiri konfrontasi yang disebabkan oleh penolakan orang-orang musyrik terhadap da’wah, yaitu jika mereka telah bertaubat dari kesyirikan dan kekafiran dengan mengucapkan syahadat, mereka mendirikan shalat wajib, dan mereka membayar zakat yang dibebankan kepada orang-orang yang mampu untuk dibagikan kepada orang-orang yang berkekurangan.
Para ulama sejak zaman shahabat telah mengingatkan suatu hal penting, yaitu bahwa Al Qur’an selalu menghubungkan zakat dengan shalat. Adullah bin Mas’ud berkata, “Kalian diperintahkan mendirikan shalat dan membayar zakat. Siapa yang tidak berzakat berarti tidak ada gunanya shalatnya. Ibnu Zaid berkata, “Shalat tidak akan diterima tanpa zakat. Selamat bagi Abu Bakar yang mengerti benar masalah ini.” Sementara itu, Abu Bakar berkata, “Saya tidak akan memisahkan dua hal yang disatukan sendiri oleh Allah.”
Orang-orang munafik di zaman Abu Bakar menganggap bahwa zakat merupakan upeti kepada Muhammad, dan sekarang Muhammad telah meninggal. Zakat bagi mereka hanya selama hidup Muhammad. Abu Bakar pada masa pemerintahannya telah memerangi kaum munafik yang menolak membayar zakat setelah Rasulullah s.a.w. wafat. Beberapa shahabat utama semula menolak keputusan Abu Bakar, namun akhirnya mereka menyadari bahwa tindakan Abu Bakar tepat sekali menurut syari’at demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini
Hadits-hadits Rasulullah tentang zakat ini banyak tersebar, Rasulullah bersabda.
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia kecuali bila mereka mengikrarkan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah juga bersabda.
“Siapa yang dikarunial oleh Allah kekayaan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat nanti ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul, yang sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua bintik di atas kedua matanya lalu melilit dan mematuk lehernva sambil herteriak, “Sava adalah kekayaanmu, saya adalah kekayaanmu, yang engkau timbun-timbun dulu.” Nabi s.a.w. kemudian membaca, “Janganlah orang-orang yang kikir sekali dengan karunia yang diberikan oleh Allah kepada mereka itu mengira bahwa tindakannya itu baik bagi mereka. Segala yang mereka kikirkan itu dikalungkan di leher mereka nanti pada hari kiamat.”
Zakat Penghasilan
Tidak terdapat contoh dalam fikih terdahulu tentang zakat penghasilan dan profesi, selain masalah khusus mengenai persewaan seperti yang dibahas oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu bahwa orang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan pembayaran uang sewa yang cukup nishab, maka orang tersebut wajib berzakat ketika menerimanya tanpa menunggu setahun. Hal inilah yang pada hakikatnya menyerupai penghasilan atau profesi yang wajib dikeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nishab.
Ustadz DR Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa sesuatu yang mendesak adalah menemukan hukum yang pasti tentang harta penghasilan. Karena itu, terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil pencaharian, profesi, dan kekayaan non perdagangan dapat digolongkan pada zarta penghasilan itu. Bila kekayaan yang sudah dikeluarkan zakatnya tersebut mengalami perkembangan, maka perhitungan tahunnya disamakan dengan penghitungan tahun induknya. Hal itu dikarenakan hubungan keuntungan dengan induknya sangat erat.
Setelah membandingkan pendapat-pendapat ulama dengan alasannya masing-masing, penelitian nash-nash yang berhubungan dengan status zakat dalam bermacam-macam kekayaan, memperhatikan hikmah dan maksud Allah mewajibkan zakat, dan memperhatikan pula kebutuhan Islam dan ummat Islam pada masa sekarang, Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa harta hasil usaha wajib dikeluarkan zakatnya, persyaratan satu tahun dan dikeluarkan pada waktu diterima. Harta hasil usaha tersebut berupa gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat dan harta lain yang merupakan hasil dari profesi tertentu serta pendapatan yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan, seperti pada mobil, kapal, pesawat terbang, percetakan, tempat hihuran. dan lain-lain
Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang muslim diqiyaskan dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu panen. Jika kita memungut dari petani, maka wajarlah jika kita juga memungut dari para profesional atau pegawai itu. Jika Allah telah menyatukan penghasilan yang diterima oleh seorang muslim dengan hasil yang dikeluarkan Allah dari tanah dalam satu ayat, “Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian penghasilan kalian dan sebagian yang Kami keluarkan dari tanah, mengapa kita membeda-bedakan dua masalah yang diatur Allah dalam satu aturan sedangkan keduanya adalah sama-sama rezeki dan nikmat dari Allah SWT?
Khatimah
Zakat atas penghasilan, upah, gaji profesi, maupun investasi sangat sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan, serta suka memberi dalam jiwa seorang muslim. Zakat tersebut sesuai dengan nilai-nilai sosial, dengan ikut merasakan beban orang lain, serta menanamkan nilai-nilai agama tersebut supaya menjadi pokok kepribadian seorang muslim.
Abu Musa Al Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah saw., “Setiap orang muslim wajib bersedekah. Para shahabat bertanya, “Hai Nabi Allah, bagaimana mereka yang tidak mampu Rasulullah bersabda, “Bekerjalah untuk mendapatkan sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah!” Para shahabat bertanya, “Kalau tidak punya pekerjaan?” Rasulullah bersabda, “Tolonglah orang yang meminta pertolongan!” Para shahabat bertanya, “Bagaimana jika tidak bisa?” Rasulullah menjawab, “Kerjakan kebaikan dan tinggalkan kejelekan. Hal itu merupakan sedekah. (HR Bukhari).
Allahu a’lam
-----------------------------------------
Tulisan : Trisno Susilo, Buletin Jum'at 'IZZAH No. 14 Tahun VII 6 Muharam 1417 H / 24 Mei 1996 M.
Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk sosial. Oleh karena itu, sebagai makhluk ia tidak bisa melepaskan diri dari ikatan dengan penciptanya sedang sifat sosialnya mengharuskan dia mengakui dan selalu berhubungan dengan masyarakatnya. Secara sunnatullah, ikatan dengan masyarakat itu dibuktikan sejak kelahirannya, yaitu bahwa tidak ada sesuatupun yang dipakai atau dihasilkan olehnya tanpa melibatkan orang lain.
Demikian juga tentang harta seseorang. Sunnatullah membuktikan bahwa meskipun seseorang mendapatkan harta seolah-olah berdasarkan upayanya sendiri, kenyataannya tidak bisa dipungkiri jasa orang lain. Hak sosial yang ada dalam kekayaan seseorang itulah yang sering didengungkan dalam syariat Islam. Firman Allah,
“Sesungguhnya manusia diciptakan penuh kegelisahan. Bila mereka ditimpa kesusahan, mereka berkeluh kesah; tetapi jika mengalami kesenangan, mereka sangat kikir. Tidaklah demikian orang-orang yang setia menjalankan shalat dan orang-orang yang (merasa) dalam harta kekayaannya terdapat hak yang sudah ditentukan bagi peminta-minta dan orang-orang yang tidak berkecukupan.” (Al Ma ‘arij : 19 – 25).
Orang-orang yang bertaqwa menyadari sepenuhnya bahwa kekayaan mereka bukanlah milik mereka sendiri Secara mutlak. Mereka menyadari bahwa di dalam hartanya terdapat hak-hak orang lain yang membutuhkan. Hak itu dikeluarkan bukan merupakan hadiah, sumbangan, atau atas kemurahan hati mereka, tetapi sudah ditetapkan dalam Al Quran. Oleh karena itu, dalam konsep pembagian harta di dalam Islam, penerima tidak perlu merasa lebih rendah dan hina, dan pemberi tidak boleh merasa lebih tinggi.
Kewajiban Zakat
Ayat-ayat zakat yang turun di Madinah menegaskan kewajiban perbuatan itu. Perintahnya pun tegas. Allah berfirman,
“Dirikanlah oleh kalian shalat dan bayarkanlah zakat.” (QS Al-Baqarah : 110).
Selain itu, di dalam surat At Taubah juga terdapat ayat yang menumpahkan perhatian besar terhadap zakat. Allah berfirman,
“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian temui mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (QS At-Taubah : 5).
Berdasarkan ayat ini, ada tiga syarat untuk mengakhiri konfrontasi yang disebabkan oleh penolakan orang-orang musyrik terhadap da’wah, yaitu jika mereka telah bertaubat dari kesyirikan dan kekafiran dengan mengucapkan syahadat, mereka mendirikan shalat wajib, dan mereka membayar zakat yang dibebankan kepada orang-orang yang mampu untuk dibagikan kepada orang-orang yang berkekurangan.
Para ulama sejak zaman shahabat telah mengingatkan suatu hal penting, yaitu bahwa Al Qur’an selalu menghubungkan zakat dengan shalat. Adullah bin Mas’ud berkata, “Kalian diperintahkan mendirikan shalat dan membayar zakat. Siapa yang tidak berzakat berarti tidak ada gunanya shalatnya. Ibnu Zaid berkata, “Shalat tidak akan diterima tanpa zakat. Selamat bagi Abu Bakar yang mengerti benar masalah ini.” Sementara itu, Abu Bakar berkata, “Saya tidak akan memisahkan dua hal yang disatukan sendiri oleh Allah.”
Orang-orang munafik di zaman Abu Bakar menganggap bahwa zakat merupakan upeti kepada Muhammad, dan sekarang Muhammad telah meninggal. Zakat bagi mereka hanya selama hidup Muhammad. Abu Bakar pada masa pemerintahannya telah memerangi kaum munafik yang menolak membayar zakat setelah Rasulullah s.a.w. wafat. Beberapa shahabat utama semula menolak keputusan Abu Bakar, namun akhirnya mereka menyadari bahwa tindakan Abu Bakar tepat sekali menurut syari’at demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini
Hadits-hadits Rasulullah tentang zakat ini banyak tersebar, Rasulullah bersabda.
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia kecuali bila mereka mengikrarkan syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah juga bersabda.
“Siapa yang dikarunial oleh Allah kekayaan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat nanti ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul, yang sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua bintik di atas kedua matanya lalu melilit dan mematuk lehernva sambil herteriak, “Sava adalah kekayaanmu, saya adalah kekayaanmu, yang engkau timbun-timbun dulu.” Nabi s.a.w. kemudian membaca, “Janganlah orang-orang yang kikir sekali dengan karunia yang diberikan oleh Allah kepada mereka itu mengira bahwa tindakannya itu baik bagi mereka. Segala yang mereka kikirkan itu dikalungkan di leher mereka nanti pada hari kiamat.”
Zakat Penghasilan
Tidak terdapat contoh dalam fikih terdahulu tentang zakat penghasilan dan profesi, selain masalah khusus mengenai persewaan seperti yang dibahas oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu bahwa orang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan pembayaran uang sewa yang cukup nishab, maka orang tersebut wajib berzakat ketika menerimanya tanpa menunggu setahun. Hal inilah yang pada hakikatnya menyerupai penghasilan atau profesi yang wajib dikeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nishab.
Ustadz DR Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa sesuatu yang mendesak adalah menemukan hukum yang pasti tentang harta penghasilan. Karena itu, terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil pencaharian, profesi, dan kekayaan non perdagangan dapat digolongkan pada zarta penghasilan itu. Bila kekayaan yang sudah dikeluarkan zakatnya tersebut mengalami perkembangan, maka perhitungan tahunnya disamakan dengan penghitungan tahun induknya. Hal itu dikarenakan hubungan keuntungan dengan induknya sangat erat.
Setelah membandingkan pendapat-pendapat ulama dengan alasannya masing-masing, penelitian nash-nash yang berhubungan dengan status zakat dalam bermacam-macam kekayaan, memperhatikan hikmah dan maksud Allah mewajibkan zakat, dan memperhatikan pula kebutuhan Islam dan ummat Islam pada masa sekarang, Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa harta hasil usaha wajib dikeluarkan zakatnya, persyaratan satu tahun dan dikeluarkan pada waktu diterima. Harta hasil usaha tersebut berupa gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat dan harta lain yang merupakan hasil dari profesi tertentu serta pendapatan yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan, seperti pada mobil, kapal, pesawat terbang, percetakan, tempat hihuran. dan lain-lain
Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang muslim diqiyaskan dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu panen. Jika kita memungut dari petani, maka wajarlah jika kita juga memungut dari para profesional atau pegawai itu. Jika Allah telah menyatukan penghasilan yang diterima oleh seorang muslim dengan hasil yang dikeluarkan Allah dari tanah dalam satu ayat, “Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian penghasilan kalian dan sebagian yang Kami keluarkan dari tanah, mengapa kita membeda-bedakan dua masalah yang diatur Allah dalam satu aturan sedangkan keduanya adalah sama-sama rezeki dan nikmat dari Allah SWT?
Khatimah
Zakat atas penghasilan, upah, gaji profesi, maupun investasi sangat sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan, serta suka memberi dalam jiwa seorang muslim. Zakat tersebut sesuai dengan nilai-nilai sosial, dengan ikut merasakan beban orang lain, serta menanamkan nilai-nilai agama tersebut supaya menjadi pokok kepribadian seorang muslim.
Abu Musa Al Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah saw., “Setiap orang muslim wajib bersedekah. Para shahabat bertanya, “Hai Nabi Allah, bagaimana mereka yang tidak mampu Rasulullah bersabda, “Bekerjalah untuk mendapatkan sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah!” Para shahabat bertanya, “Kalau tidak punya pekerjaan?” Rasulullah bersabda, “Tolonglah orang yang meminta pertolongan!” Para shahabat bertanya, “Bagaimana jika tidak bisa?” Rasulullah menjawab, “Kerjakan kebaikan dan tinggalkan kejelekan. Hal itu merupakan sedekah. (HR Bukhari).
Allahu a’lam
-----------------------------------------
Tulisan : Trisno Susilo, Buletin Jum'at 'IZZAH No. 14 Tahun VII 6 Muharam 1417 H / 24 Mei 1996 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar