Batik Legenda (Photo : De reis naar Batik) |
Setelah awal Ramadhan 1435 H ini menyambangi workshop-nya Zie Batik, senin lalu sampai juga lagi di Zie Batik lagi dan ketemu pak Heno beserta ibu, dan ini petikan obrolan yang bisa aku sarikan. Pada sekitar tahun 2005 beliau meramaikan perbatikan di Semarang, bersamaan itu pula muncul sebanyak 16 industri batik yang kembali berproduksi. Dan salah satunya home industri batik yang dikerjakan Marheno Jayanto yang saat itu tinggal di Jalan Batik Widoharjo Nomor 252 Rejomulyo, Semarang Timur, seorang mantan pegawai Museum Batik Jakarta. Berbekal dari pengetahuan aneka macam batik Nusantara dari tempatnya bekerja itulah, pria ini bersama istrinya, Zazilah, hijrah ke Semarang untuk mencoba memberikan pelatihan membatik di sekolah-sekolah. Meski mulanya banyak yang menolak, tetapi lelaki kelahiran Jakarta, 24 April 1970 tetap tekun memberi pelatihan membatik bersama sang istri. Bagi dia, materi bukan yang utama karena tujuan dia mengajari anak sekolah tersebut adalah untuk memperkenalkan batik Semarang.
Hingga kemudian Marheno bertemu dengan Sinto Sukawi (istri Walikota saat itu) yang memberitahukan bahwa di Semarang juga ada Kampung Batik, namun sudah jarang pengrajin batik dari sana. Pada 2006 dia pun bergabung dengan Dekranasda Kota Semarang. Selanjutnya dia melatih ibu-ibu kampung batik di Kelurahan Rejomulyo tempat tinggal beliau saat itu.
"Semarang adalah kota yang unik. Semarang memiliki bangunan atau wadah berupa Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) tetapi saya belum pernah melihat motif batiknya. Oleh karena itu, saya mencoba menciptakan motif batik khusus," cerita Marheno di rumah Kampung Malon.
Bersama istrinya, Zie, Marheno mencoba menggali info tentang ikon kota, dan mencoba menciptakan motif yang berbentuk buah asem, gedung Lawang Sewu, Tugu Muda, burung bangau (blekok), hingga cerita-cerita wayang. Seluruh motif tersebut saat ini menjadi ciri khas motif batik Kota Semarang. Bakunya adalah motif flora fauna khas Semarang.
Ada pula motif batik yang sarat pesan-pesan moral di dalamnya, batik jenis ini dinamainya 'batik legenda'. Mengenai warna, kain batik tersebut tanpa menggunakan pewarna sintetis, Zie hanya memberi warna natural seperti hitam, cokelat, kuning dan biru. Pemasaran batik-batik ini di Semarang pun terbilang bagus. Selain Semarang batik milik Zalzilah ini banyak dipesan di Jakarta, Bali, Bandung dan Palangkaraya.
Dia kemudian dipercaya mengajar di Disperindag Kota Semarang, Disperindag Provinsi Jateng, Disnakertrans Kota Semarang dan dinas lain yang melatih ibu-ibu membatik. Usaha merintis batik Semarangan ini menghantrarkan Marheno meraih sejumlah penghargaan dari Pemerintah Kota Semarang.
Saat ini Heno bersama istrinya mengelola Zie Batik dan tinggal di Kampung Malon 15 RT 02 RW 05, Gunungpati. Dia memutuskan pindah dari Kampung Batik karena mencari tempat produksi yang lebih luas. Dalam pelaksanaan produksinya Heno dan istri dibantu 4 orang pembatik yang mengerjakan di workshop mereka dan 6 orang pembatik yang membawa pekerjaan batiknya di rumah mereka masing-masing.
Selain motif yang unik, Marheno mengungkapkan, produknya menggunakan bahan pewarna alami untuk menghasilkan kualitas terbaik serta menghindari pencemaran lingkungan. Pewarna yang dia gunakan sebagian besar diperoleh dari sekitar tempat tinggalnya, seperti kulit kayu pohon mangga, kulit kayu pohon tingi, dan mengkudu. Marheno mengakui, dengan memakai pewarna alami proses pewarnaan membutuhkan waktu lebih lama karena proses pencelupan kain serta penjemuran yang tidak boleh langsung di bawah sinar matahari. "Pencelupan kain bisa sampai sepuluh kali untuk mendapatkan warna yang diinginkan," katanya.
Menurutnya, dengan memakai pewarna alami, warna yang dihasilkan tidak kalah bagus dari pewarna kimia bahkan warna yang dihasilkan bisa lebih bervariasi. Saat ini beliau tengah mengembangkan pewarna alami dari biji propagul mangrove dan daun indigofera.
Hingga kemudian Marheno bertemu dengan Sinto Sukawi (istri Walikota saat itu) yang memberitahukan bahwa di Semarang juga ada Kampung Batik, namun sudah jarang pengrajin batik dari sana. Pada 2006 dia pun bergabung dengan Dekranasda Kota Semarang. Selanjutnya dia melatih ibu-ibu kampung batik di Kelurahan Rejomulyo tempat tinggal beliau saat itu.
"Semarang adalah kota yang unik. Semarang memiliki bangunan atau wadah berupa Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) tetapi saya belum pernah melihat motif batiknya. Oleh karena itu, saya mencoba menciptakan motif batik khusus," cerita Marheno di rumah Kampung Malon.
Bersama istrinya, Zie, Marheno mencoba menggali info tentang ikon kota, dan mencoba menciptakan motif yang berbentuk buah asem, gedung Lawang Sewu, Tugu Muda, burung bangau (blekok), hingga cerita-cerita wayang. Seluruh motif tersebut saat ini menjadi ciri khas motif batik Kota Semarang. Bakunya adalah motif flora fauna khas Semarang.
Ada pula motif batik yang sarat pesan-pesan moral di dalamnya, batik jenis ini dinamainya 'batik legenda'. Mengenai warna, kain batik tersebut tanpa menggunakan pewarna sintetis, Zie hanya memberi warna natural seperti hitam, cokelat, kuning dan biru. Pemasaran batik-batik ini di Semarang pun terbilang bagus. Selain Semarang batik milik Zalzilah ini banyak dipesan di Jakarta, Bali, Bandung dan Palangkaraya.
Dia kemudian dipercaya mengajar di Disperindag Kota Semarang, Disperindag Provinsi Jateng, Disnakertrans Kota Semarang dan dinas lain yang melatih ibu-ibu membatik. Usaha merintis batik Semarangan ini menghantrarkan Marheno meraih sejumlah penghargaan dari Pemerintah Kota Semarang.
Saat ini Heno bersama istrinya mengelola Zie Batik dan tinggal di Kampung Malon 15 RT 02 RW 05, Gunungpati. Dia memutuskan pindah dari Kampung Batik karena mencari tempat produksi yang lebih luas. Dalam pelaksanaan produksinya Heno dan istri dibantu 4 orang pembatik yang mengerjakan di workshop mereka dan 6 orang pembatik yang membawa pekerjaan batiknya di rumah mereka masing-masing.
Selain motif yang unik, Marheno mengungkapkan, produknya menggunakan bahan pewarna alami untuk menghasilkan kualitas terbaik serta menghindari pencemaran lingkungan. Pewarna yang dia gunakan sebagian besar diperoleh dari sekitar tempat tinggalnya, seperti kulit kayu pohon mangga, kulit kayu pohon tingi, dan mengkudu. Marheno mengakui, dengan memakai pewarna alami proses pewarnaan membutuhkan waktu lebih lama karena proses pencelupan kain serta penjemuran yang tidak boleh langsung di bawah sinar matahari. "Pencelupan kain bisa sampai sepuluh kali untuk mendapatkan warna yang diinginkan," katanya.
Menurutnya, dengan memakai pewarna alami, warna yang dihasilkan tidak kalah bagus dari pewarna kimia bahkan warna yang dihasilkan bisa lebih bervariasi. Saat ini beliau tengah mengembangkan pewarna alami dari biji propagul mangrove dan daun indigofera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar