"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Kamis, 28 Agustus 2014

Ijtihad Umar bin Khattab (2)

Turunnya Wahyu dengan Ketentuan Hukum sebagai Pembimbing Manusia
Rasulullah mengajak orang agar mengikuti wahyu yang disampaikan Tuhan kepadanya. Sesudah jumlah sahabatnya banyak, banyak pula yang mereka tanyakan mengenai hal-hal yang mereka hadapi yang belum ada dalam wahyu. Mengambil kebiasaan yang dilakukan oleh jahiliah bertentangan dengan yang diajarkan oleh Nabi. Tidak jarang wahyu turun sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka itu. Dalam surah Baqarah Allah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu, apa yang harus mereka nafkahkan. Katakanlah : Apa saja yang baik kamu nafkahkan hendaknya kepada ibu-bap dan kerabat, kepada anak yatim, dan orang miskin dan kepada orang terlantur dalam perjalanan. Dan segala perbuatan baik yang kamu lakukan, Allah mengetahuinyu. Diwajibkan kepada kamu berperang meskipun itu kamu benci. Tetapi mungkin apa yang tak kamu sukai justru itu justru membawa kebaikan kepada kamu, dan mungkin saja yang kamu sukai justru membawa bencana buat kamu, tetapi Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui. Mereka bertanya kepadamu tentang perang dalam bulan suci. Katakanlah : “Berperang dalam bulan itu suatu dosa besar. Tetapi merintangi orang dari jalan Allah, dan mengingkari-Nya, merintangi orang memasuki Masjidil Haram dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar dalam pandangan Allah.” Fitnah itu lebih jahat daripada pembunuhan. Mereka akan terus memerangi kamu sebelum kamu meninggalkan agamamu kalau mereka mampu. Dan barang siapa di antara kamu ada yang meninggalkan agamanya, dan mati dalam kekafiran maka gugurlah segala amal mereka di dunia dan akhirat. Mereka menjadi penghuni api (neraka,) yang tinggal abadi di dalamnya. Mereka yang beriman dan mereka yang hijrah dan mereka yang berjuang di jalan Allah, mereka mengharapkan rahmat Allah; dan Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah : “Keduanya mengandung dosa besar dan manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” Mereka bertanya kepadamu apa yang harus mereka nafkahkan. Katakanlah : “Yang tidak memberatkan.” Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir tentang dunia dan akhirat. Mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim. Katakanlah : “Yang paling baik ialah memperbaiki keadaan mereka. Jika kamu bergaul dengan mereka, mereka adalah saudara-saudaramu juga. Allah mengetahui siapa yang melakukan kerusakan dan siapa yang mengadakan perbaikan dan jika Allah menghendaki niscaya Ia membuat kamu dalam kesulitan. Allah sungguh Mahaperkasa, Mahabijaksana.” Dan janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Perempuan budak yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Juga janganlah menikahkan anak perempuanmu, dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki budak beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Mereka (kaum musyrik) akan membawa ke dalam api (neraka). Tetapi Allah akan memanggil ke dalam surga dan pengampunan dengan izin-Nya. Dan Ia akan menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mendapat pelajaran. Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Suatu gangguan. Oleh karena itu jauhilah perempuan yang sedang dalam haid dan janganlah dekati mereka sebelum mereka bersih. Tetapi bila mereka sudah membersihkan diri bergaullah dengan mereka sesuai dengan perintah Allah kepadamu, sebab Allah mencintai mereka yang bertobat dan mencintai mereka yang suci dan bersih.” (TQS. al-Baqarah (2) : 215-222).
Ayat-ayat dalam surah Baqarah yang berturut-turut ini diturunkan dalam waktu yang berlain-lainan. Semua itu diturunkan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang oleh Muslimin ketika itu diajukan kepada Rasulullah. Maka Allah mewahyukan ayat-ayat tersebut kepadanya sebagai bimbingan untuk mereka dan untuk umat manusia, dan sebagai penjelasan tentang ketentuan-ketentuan hukum atas segala pertanyaan mereka itu. Ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa seperti diuraikan oleh para mufasir dan mereka beri nama asbãbun nuzül (sebab-sebab turunnya). Almarhum Muhammad al-Khudari dalam Tãrikh at-Tasyri’ al-Islami berkata : “Mengenai ketentuan-ketentuan hukum yang diturunkan tanpa didahului suatu peristiwa atau pertanyaan sedikit sekali, dan jarang kita melihat ada suatu ketentuan hukum yang oleh para mufasir tidak disebutkan peristiwanya sehubungan dengan turunnya ketentuan itu.”
Suatu sumber menyebutkan bahwa ketika Rasulullah mengutus Marsad al-Ganawi ke Mekah untuk mengeluarkan kaum duafa dari sana, seorang perempuan musyrik menawarkan diri untuk dikawini. Perempuan itu cantik dan kaya. Tawarannya itu diterima tetapi pelaksanaannya menunggu izin Rasulullah. Sekembalinya ke Medinah ia menyampaikan persoalan itu kepada Nabi, maka firman Allah ini turun : “…. Dan janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman...” (TQS. al-Baqarah (2) : 221) dan seterusnya. Kita masih ingat bahwa orang-orang Yahudi dan musyrik di Medinah sering mengambil kesempatan saat-saat minum minuman keras untuk membangkitkan perselisihan lama antara Aus dengan Khazraj, dan karenanya Umar menanyakan kepada Rasulullah mengenai khamar yang ketika itu belum disebutkan di dalam Qur’an dengan mengatakan : Ya Allah jelaskanlah ketentuan khamar kepada kami, maka ayat ini turun : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah : “Keduanya mengandung dosa besar dan manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” (TQS. al-Baqarah (2) : 219).

Ijtihad Rasulullah dalam Hal Belum Turun Wahyu
Kaum Muslimin kadang menanyakan segala hal kepada Nabi. Kalau tak ada wahyu turun mengenai pertanyaan kaum Muslimin, ketika itulah Nabi memutuskan dengan pendapatnya sendiri. Dalam hal ini ia berkata : “Saya memutuskan perkara ini atas dasar pendapat dalam hal wahyu belum diturunkan.” Kalau sesudah itu Qur’an turun berbeda dengan yang sudah diputuskan, maka yang sudah ada itu segera tinggalkan, dan yang dipakai yang sudah diturunkan dalam Qur’an. Bukan sekali saja wahyu turun berlawanan dengan yang sudah diputuskan, di antaranya seperti yang sudah kita sebutkan mengenai tawanan perang Badr. Para tawanan itu menginginkan penebusan dan akan mereka membayar mahal. Mengenai hal ini Rasulullah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya. Abu Bakr berkata : “Mereka itu masih masyarakat kita, keluarga kita, tangguhkanlah dulu kalau-kalau Allah akan mengampuni mereka. Terimalah tebusan itu untuk memperkuat kita dalam menghadapi orang-orang kafir.” Tetapi Umar berkata : “Mereka sudah membohongi kita dan mengusir kita. Bawalah mereka dan penggal leher mereka. Mereka itu biang keladi kaum kafir. Allah sudah memberi kecukupan kepada kita tanpa ada tebusan.” Sesudah itu Muhammad juga mendengarkan pendapat para pemuka Muslimin yang lain. Akhirnya tebusan itu diterima dan para tawanan dilepaskan. Setelah itulah turun firman Allah : “Tidaklah pantas bagi seorang nabi mempunyai tawanan perang sebelum Ia menaklukkan musuh di tempat itu. Yang ingin kamu peroleh hanya tujuan duniawi semata; tetapi tujuan Allah hari akhirat. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. Sekiranya tidak karena ketentuan Allah yang sudah lebih dulu, niscaya azab yang keras menimpa kamu karena (tebusan) yang sudah kamu ambil. Maka nikmatilah apa yang sudah kamu peroleh, halal dan baik, dan bertakwalah kamu kepada Allah. Allah Maha Pengampun. Maha Pengasih.” (TQS. al-Anfal (8) : 67-69)
Setelah ayat ini turun Rasulullah berkata : “Kalau azab menimpa kita, yang akan selamat hanya Umar.”
Juga wahyu berbeda dengan pendapat Rasulullah dalam soal kaum Khawãlif (Khawãlif jamak khalifah orang-orang yang mencari-cari alasan untuk tidak ikut ke medan perang Perang Tabuk. Bandingkan dengan at-Taubat (9) : 81) yang diajak berangkat ke medan perang Tabuk dalam menghadapi pasukan Rumawi. Mereka berdalih kepada Nabi dengan berbagai alasan. Mereka meminta izin kepada Nabi untuk tetap tinggal di Medinah.
Nabi pun mengizinkan. Maka turunlah firman Allah ini: “Sekiranya ada keuntungan yang segera diperoleh dan perjalanan itu sederhana, pasti mereka mengikutimu. Tetapi ternyata perjalanan begitu jauh; mereka akan bersumpah demi Allah : “Kalau kami mampu, pastilah kami berangkat bersama kamu.” Mereka menghancurkan diri sendiri. Dan Allah tahu, mereka berdusta. Allah telah memberi rahmat kepadamu. Mengapa engkau memberi izin kepada mereka sebelum jelas bagimu mereka yang berkata benar dan kamu ketahui siapa yang berdusta?” (TQS. at-Taubah (9) : 42-43). Sekiranya ayat inii turun sebelum Rasulullah mengizinkan kaum Khawãlif pasti mereka tidak akan diberi izin.
Tetapi ijtihad Rasulullah yang bertentangan dengan wahyu sedikit sekali. Oleh karena itu sunah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tetap diikuti selama tidak bertentangan dengan wahyu. begitu juga caranya berijtihad telah dijadikan contoh pula. Nabi berpegang pada kias. Ketika ia ditanya oleh seorang gadis dari Banu Khas’am : Rasulullah, ayah saya sudah tua sekali ketika ada ketentuan ibadah haji sehingga ia sudah tak mampu melaksanakan. Bergunakah buat dia kalau saya yang menghajikan? Nabi menjawab : “Kalau ayahmu itu punya utang lalu kau menunaikannya, bergunakah itu buat dia?” Gadis itu menjawab : “Ya.” Kata Nabi lagi : “Utang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.” Mengaitkan utang kepada Allah dengan utang kepada manusia dalam keharusan penyelesaian dan manfaatnya. itulah kias.
Dalam memutuskan perkara di antara kaum Muslimin Rasulullah berkata : “Kalian mengadu kepadaku kalau-kalau yang sebagian dari kalian lebih mengetahui mengenai alasannya dari yang lain, maka saya membenarkan dia atas dasar dari yang saya dengar dari dia. Barang siapa ada yang saya benarkan dari hak saudaranya maka yang saya putuskan itu hanya merupakan sebagian dari api (neraka).” Al-Amidi mengatakan : “Hal itu menunjukkan bahwa adakalanya ia memutuskan hal yang tidak mengenai perkara itu sendiri.” Tidak heran kalau Amidi berkata begitu. Keputusan yang diambil oleh Rasulullah atas dasar bukti yang diajukan oleh lawan, dan keputusannya bukan pula dengan wahyu dan Allah, tetapi dengan pertimbangan bukti-bukti kuat yang diajukan kepadanya. Adakalanya orang yang berhak tidak mampu mengajukan bukti atas haknya itu atau tidak mampu menangkis bukti yang disampaikan oleh pihak lawan. Hakim yang adil tidak akan memutuskan dengan ilmunya, melainkan keputusan itu akan diambil berdasarkan keyakinan hati nuraninya dengan bukti yang sudah disampaikan kepadanya.

Rasulullah Selalu Bermusyawarah dengan Para Sahabatnya

Keputusan hakim berbeda dengan sunah, kendati keputusan itu juga termasuk sunah jika hukum itu sudah mengatur suatu prinsip yang umumnya mencakup peristiwa-peristiwa yang sama. Sedang mengenai sunah itu sendiri prinsip-prinsip dan hukumnya yang diwajibkan oleh Qur’an sudah dijelaskan oleh Rasulullah dengan perbuatan, dengan perkataan atau dengan kedua-duanya, seperti dalam firman Allah : “…. dan Kami turunkan risalah ini supaya kaujelaskan kepada manusia apa yang sudah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka renungkan.” (TQS. an-Nahl (16) : 44). Sunah dengan perbuatan ialah seperti shalat dan haji. Rasulullah mengimami shalat lima waktu dan mengatakan : “Shalatlah seperti yang kalian lihat aku melakukan shalat.” Ketika melaksanakan ibadah haji Rasulullah berkata kepada mereka yang ikut bersama-sama : ‘Contohlah aku dalam melaksanakan manasik.” Sedang sunah dengan perkataan disebut hadis, ada hadis yang berhubungan dengan wahyu sebagai penjelasan dan penafsirannya, ada yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari yang terjadi pada masa Nabi dan disampaikan kepadanya, lalu Nabi memberikan pendapatnya. Dalam hal-hal semacam ini Nabi memberikan itu setelah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya sesuai dengan firman Allah : “…. dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan. Jika engkau sudah mengambil keputusan bertawakallah kepada Allah.” (TQS. Ali Imran (3) : 159).
Tatkala Nabi bermusyawarah dengan para sahabat mengenai panggilan shalat, ada yang menyarankan dengan api, ada yang mengatakan dengan terompet dan yang lain menyarankan dengan genta (bel). Yang diputuskan kemudian dengan azan. Juga ia bermusyawarah dengan para sahabat jika hendak menghadapi perang. Dalam perang Uhud misalnya, akan bertahan dalam kota atau akan menyongsong musuh di pinggiran kota. Begitu juga musyawarah itu dilakukan ketika berhadapan dengan peristiwa Hudaibiah dan dalam peristiwa-peristiwa ekspedisi yang lain. Abu Hurairah mengatakan : “Saya tak pernah melihat orang begitu sering mengajak sahabat-sahabat bermusyawarah seperti yang dilakukan oleh Nabi sallallãhu ‘alaihi wasallam.”
Rasulullah mengajak sahabat-sahabatnya berijtihad. Ada sumber yang menyebutkan mengenai Amr bin As, bahwa dia berkata : Ada dua orang yang sedang berselisih datang mengadu kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, lalu katanya kepada saya : Amr, putuskanlah perkara mereka. Kata saya : Dalam hal ini Rasulullah, Anda lebih tepat. Nabi berkata lagi : Walaupun begitu. Kata saya : Atas dasar apa saya memutuskan? “Kalau keputusan Anda terhadap kedua orang itu tepat Anda akan mendapat sepuluh pahala, kalau Anda sudah berusaha lalu keliru Anda akan mendapat satu pahala.”

Nabi Mengajar Para Sahabat Berijtihad
Ketika Rasulullah menunjuk Sa’d bin Mu’adz untuk memutuskan perkara Banu Quraizah, keputusan Sa’d menjatuhkan hukuman mati kepada mereka dan menawan keluarga mereka. Nabi menyetujui pendapatnya itu. Dan tatkala Abu Qatadah membunuh seorang laki-laki musyrik dan orang lain yang mengambil perlengkapan perangnya, Abu Bakr berkata : Kami tidak bermaksud salah seorang dari singa Allah itu berperang demi Allah dan Rasul-Nya lalu kami berikan hasil perlengkapan perangnya (Salab jamak aslab “rampasan perang dari lawan yang dibunuh berupa pedang. pakaian, hewan dan sebagainya menjadi bagian yang membunuhnya) kepadamu. Kembalikanlah kepadanya perlengkapan korban itu. Rasulullah berkata : “Benar, kembalikan perlengkapan perang korban itu kepadanya.” Tatkala Nabi mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk mengajarkan seluk-beluk agama kepada penduduk, Mu’adz ditanya, hukum apa yang akan dipakainya, Mu’adz menjawab : Kitabullah. Kalau tidak ada? tanya Nabi. Mu’adz menjawab : Dengan sunah Rasulullah. Kalau tidak ada juga? Dengan pendapat saya sendiri, jawab Mu’adz. Nabi menyetujuinya seraya berkata : Alhamdulillah. Allah telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya dan dikehendaki Rasul-Nya.” Ini sesuai pula dengan yang diberitakan tentang Rasulullah alaihis-salãm bahwa dia berkata kepada Abdullah bin Mas’ud : “Laksanakanlah hukum itu dengan Qur’an dan Sunah, kalau ada. Kalau dalam keduanya ketentuan hukumnya tak ada, berijtihadlah dengan pendapat pikiran Anda.”
Tetapi ijtihad dengan pendapat sendiri itu pada masa Nabi dan masa-masa permulaan Islam tujuannya bukan untuk membentuk mazhab-mazhab fikih yang akan mencakup segala yang terlintas dalam pikiran orang, tetapi terbatas hanya pada peristiwa yang memang terjadi dalam masalah-masalah kehidupan yang memang memerlukan pemecahan dengan pikiran. Disebutkan bahwa Ibn Abbas mengatakan : “Saya tak pernah melihat suatu golongan yang lebih baik daripada sahabat-sahabat Rasulullah sallallãhu ‘alaihi wasallam. Sampai meninggalnya ada tiga belas masalah yang mereka tanyakan, semua dalam Qur’an... Dan yang mereka tanyakan itu yang memberi manfaat kepada mereka. Umar bin Khattab mengutuk orang yang menanyakan hal-hal yang tidak ada.” Disebutkan bahwa Umar bin Ishaq berkata : “Orang yang masih saya jumpai dari sahabat-sahabat Rasulullah lebih banyak dari yang sudah mendahului saya. Saya tidak melihat ada suatu golongan yang bersikap lebih luwes (tidak kaku) daripada mereka dan tidak terlalu keras.”
Itu sebabnya, perselisihan yang timbul karena ijtihad yang bukan untuk membentuk mazhab tersendiri, jelas sekali dalam hal legislasi (pembentukan hukum) waktu itu. Bahkan Rasulullah melarang sahabat-sahabatnya berpecah-belah dan berselisih dalam soal agama, sejalan dengan firman Allah dalam Qur’an : “...tegakkanlah agama dan janganlah berpecah-belah….” (TQS. asy-Syura (42) : 13), dan firman-Nya : “Mereka yang memecah-belah agama mereka dan menjadi kelompok-kelompok, sedikit pun kamu tidak termasuk mereka...” (TQS. al-Anam (6) : 159) dan banyak lagi ayat lain yang senada. Ia melarang sahabat-sahabatnya ketika dilihatnya mereka berbicara tentang takdir dengan mengatakan kepada mereka : “Mereka yang sebelum kita telah binasa karena terlalu dalam memasuki persoalan ini.” Karenanya. samasekali tak ada berita dari para sahabat yang menyebutkan mereka pernah hanyut dan mau bernalar dalam masalah ilmu kalam (teologi). Kalau itu memang pernah terjadi, niscaya ada beritanya yang sampai kepada kita, seperti tentang ijtihad dengan pikiran yang mereka lakukan dalam soal-soal yang berhubungan dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 679-686.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar