"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Kamis, 26 Desember 2013

MAJELIS SYURA DAN PELANTIKAN USMAN (16)

USAHA ABDUR-RAHMAN BIN AUF
Gerangan apa yang mendorong Abdur-Rahman menempuh cara ini!? Dia sudah tahu, banyak kalangan Muslimin yang mencalonkannya untuk kekhalifahan, dan orang-orang Arab merasa puas dan senang sekali karena dia juga termasuk yang mula-mula dalam Islam, dan kekhalifahan tidak lagi pada Banu Hasyim dan Banu Umayyah. Benarkah ia tidak ingin menduduki kekhalifahan sejak Umar menyatakan keinginannya untuk memberikan kepercayaan kepadanya? Kalau begitu mengapa sebelum ia duduk dalam Majelis Syura, dan mengapa tidak dari semula ia menghindari ikut serta dalam Majelis itu? Para sejarawan Muslimin berpendapat bahwa dia tidak akan menolak ikut bersama-sama dengan mereka, yang ketika Rasulullah wafat ia senang hati kepada mereka, dan bahwa dia menampik kekhalifahan itu tidak sulit untuk diidentifikasi sementara ia berada di antara mereka yang dipilih oleh Umar. Ini memang benar. Beberapa orientalis berpendapat bahwa ía melepaskan diri dari pencalonan dan pengangkatan sebagai khalifah untuk kemudian akan diberikan kepada semendanya, Usman. Untuk itu mereka berargumen kepada kata-kata Ali kepada pamannya, Abbas : “ Abdur-Rahman adalah semenda Usman, mereka tidak akan berbeda pendapat. Mereka akan saling mengangkat satu sama lain.”
Malah ada sekelompok orang yang berlebihan dalam menduga-duga. Mereka beranggapan bahwa Abdur-Rahman memperkirakan Usman tidak akan hidup lebih lama lagi, yang ketika itu umurnya sudah 70 tahun, dan bebannya sebagai khalifah pasti akan sangat memberatkan. Maka sudah dapat dipastikan Abdur-Rahman-lah saat itu yang akan menggantikannya. Dugaan yang berlebihan ini samasekali sudah tak masuk akal. Abdur-Rahman bin Auf orang yang teguh imannya, dia tahu bahwa setiap ajal sudah ditentukan. Kalau ajal sudah sampai tak akan dapat dimajukan atau diundurkan sesaat pun. Tentang semendanya, Usman, mungkin saja ia cenderung lebih menyukai Usman daripada Ali. Kesimpulan ini mungkin saja dapat dipercaya, karena dalam kenyataannya memang sudah terjadi, Usman diangkat oleh Abdur-Rahman. Tetapi ini tidak lebih dari suatu kesimpulan, yang adakalanya juga salah. Hanya saja kesimpulan ini bukan mustahil, melihat cara yang ditempuh oleh Abdur-Rahman dalam memilih khalifah.
Agaknya Abdur-Rahman sudah tahu bahwa Usman dan Ali adalah calon utama yang harus bersaing. Karenanya ia berusaha untuk membatasi pencalonan itu. Langkah pertama yang dilakukannya dalam hal ini ia mengajak Ali berbicara empat mata. “Anda akan berkata,” kata Abdur-Rahman, “bahwa dalam hal ini Anda lebih berhak dimasukkan dalam pencalonan daripada mereka karena kekerabatan Anda, karena Anda sudah lebih dulu dalam Islam serta jasa Anda dalam agama. Memang. Tetapi bagaimana seandainya Anda terlewatkan dan dalam hal ini Anda tidak terpilih, siapa di antara mereka menurut hemat Anda yang lebih berhak?” Dijawab oleh Ali : “Usman!” Kemudian ia mengajak Usman berbicara empat mata, dan katanya : “Anda akan mengatakan ‘Saya tetua Banu Abdu-Manaf, menantu Rasulullah sallallãhu ‘alaihi wasallam, bersepupu pula, yang mula-mula dalam Islam dan sudah berjasa, mengapa akan dijauhkan, mengapa dalam hal ini saya akan dilewatkan?’ Tetapi bagaimana seandainya Anda terlewatkan juga dan Anda tidak terpilih, siapa di antara mereka menurut hemat Anda yang lebih berhak?” Dijawab oleh Usman : “Ali!”
Sebelum itu ía sudah berbicara dengan semua anggota Majelis Syura dan dimintanya mereka memberi kuasa kepada tiga orang di antara mereka yang berhak memegang pinmpinan. Maka Zubair memberikan haknya kepada Ali, Sa’d memberi kuasa kepada Abdur-Rahman dan hak Talhah diberikan kepada Usman. Tetapi Abdur-Rahman sudah mengundurkan diri, maka pencalonan itu dibatasi hanya pada Ali dan Usman. Hak memilih salah seorang dari keduanya itu kini berada di tangan Abdur-Rahman.
Adakah dia melakukan istikharah dan mengambil keputusan siapa di antara dua calon itu yang lebih layak diangkat? Dia bebas bertindak untuk menentukan ikrarnya sendiri dan meminta ikrar mereka. Tetapi dia khawatir tidak disetujui oleh mayoritas Muslimin yang sedang berkumpul di Medinah dari berbagai kawasan Kedaulatan Islam seusai mereka menunaikan badah haji dan tertahan oleh terbunuhnya Umar dalam menunggu apa yang akan disampaikan oleh Majelis Syura Oleh karena itu ia berusaha menemui sahabat-sahabat Rasulullah dan para perwira militer serta pemuka-pemuka masyarakat yang baru kembali ke Medinah setelah menunaikan ibadah haji. Mereka semua ditanyai, baik bersama-sama atau satu per satu, yang berkelompok atau yang terpencar, dengan diam-diam dan dengan terbuka sampai dapat menghasilkan dua orang terbaik yang kemudian akan dilantik.
Kalangan sejarawan sependapat bahwa konsultasi-konsultasi Abdur-Rahman telah memperlihatkan banyaknya semacam kesepakatan di barisan Usman, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai alasan-alasan yang menyebabkan banyaknya kesepakatan itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa orang cenderung kepada tokoh yang tidak sekeras Umar, yang dalam hidupnya telah menjauhi kehidupan duniawi dan menjauhkan orang dari yang demikian. Dalam hal ini Usmanlah orangnya, bukan Ali. Karenanya mereka tidak menghendaki Ali, karena khawatir Ali akan membuat beban kepada mereka seperti yang dilakukan Umar. Sebagian lagi mereka berpendapat bahwa sudah dua hari dua malam Abdur-Rahman berkonsultasi.
Sementara itu Banu Hasyim dan Banu Umayyah berkampanye untuk pihaknya masing-masing. Karena Banu Umayyah lebih banyak jumlah orangnya, lebih kaya dan lebih dermawan, propaganda mereka dapat menekan propaganda Banu Hasyim, dan sebagian besar mereka condong kepada Usman. Kalau ini benar, barangkali propaganda Banu Umayyah itu dasarnya adalah bahwa jika kekuasaan di tangan mereka, orang akan lebih terbuka dan lebih bebas menikmati segala harta dan kekayaan hasil rampasan perang, tidak akan merasakan tekanan seperti pada masa Umar. Pendapat ketiga mengatakan, bahwa orang melihat usia Usman sudah mendekati tujuh puluh enam tahun atau lebih sementara Ali belum mencapai usia enam puluh tahun. Juga mereka mengatakan tentang persahabatan Usman dengan Rasulullah serta posisinya. Selain itu mereka berpendapat kekhalifahannya tidak tertutup buat Ali untuk menggantikannya sebagai khalifah sesudahnya. Rasa kasihan mereka melihat umurnya yang sudah lanjut, penghargaan mereka pada masa lalunya, membuat mereka lebih cenderung kepada Usman dan mau memilihnya.
Mana pun yang benar dari semua alasan itu suara mayoritas yang menyerupai konsensus itu jelas ada di pihak Usman. Kendatipun begitu, Abdur-Rahman bin Auf masih khawatir pembela-pembela Ali akan mencurigainya jika hasil ini sudah diumumkan. Ia pergi ke rumah kemenakannya. Miswar bin Makhramah dan dibangunkannya ia dari tidurnya — yang ketika itu sudah larut malam — pada malam terakhir batas waktu yang sudah ditentukan oleh Umar untuk memilih seorang amirul-Mukminin. Dimintanya ia memanggil Ali dan Usman. Setelah kemudian keduanya datang ia berkata kepada mereka : “Saya sudah menanyakan orang banyak, tetapi saya tidak melihat ada orang yang membeda-bedakan kalian berdua.” Kemudian ia meminta janji mereka masing-masing : Yang terpilih agar berlaku adil, dan yang tidak terpilih supaya tetap taat dan patuh.
Subuh itu ia mengajak kedua mereka setelah terdengar suara azan untuk shalat. Ketika Masjid sudah penuh sesak, ia naik ke mimbar dan berdoa panjang sekali. Setelah itu katanya : “Saudara-saudara, orang-orang dari daerah-daerah perbatasan menginginkan, begitu mereka pulang ke daerah masing-masing sudah tahu siapa pemimpin mereka.” Sa’id bin Zaid menyela : “Kami lihat Andalah yang pantas untuk itu.” Tetapi dijawab oleh Abdur-Rahman : “Kalian sebutkan nama yang lain!” Ammar bin Yasir dan Miqdad bin Amir menyebut nama Ali sementara Abdullah bin Abi Sarh dan Abdullah bin Abi Rabi’ah menyebut nama Usman. Perbedaan pendapat antara kedua golongan ini berlanjut dengan saling mencerca antara Ammar dengan Ibn Abi Sarh.
Khawatir perselisihan itu akan berlarut-larut Sa’d bin Abi Waqqas berteriak marah : Abdur-Rahman! Coba atasi ini sebelum orang banyak terpancing dalam keributan!” Abdur-Rahman menjawab : “Sudah saya pertimbangkan dan saya musyawarahkan. Janganlah kalian menjerumuskun diri!”
Abdur-Rahman masih di tempat duduknya di mimbar dengan tanda-tanda kesungguhan tampak di wajahnya, dan Muslimin yang mengelilinginya sudah memenuhi Masjid. Ia sudah bertekad agar Usman yang menjadi khalifah dan akan mengajak orang membaiatnya. Tetapi adakah hadirin mau segera memenuhi seruannya itu? Ataukah mereka masih terpecah dan masih beradu argumen seperti yang terjadi tadi antara Ammar bin Yasir dengan Abdullah bin Abi Sarh? Kalau ini juga yang terjadi dan mereka terpancing, maka akibatnya adalah bencana besar. Kota Medinah akan menjadi ajang kerusuhan dengan bahaya yang lebih meluas. Kebanyakan orang hanya menjadi budak nafsu dan mengejar kepentingannya sendiri. Demi memperjuangkan semua itu mereka mau mengorbankan keamanan dan keselamatan negara. Tetapi sikap ragu dalam pengangkatan khalifah itu tidak akan dapat mencegah bahaya dan tidak akan menghindarkan kaum Muslimin dari kekacauan, malah akan makin memperkuat timbulnya fitnah itu. Oleh karena itu Abdur-Rahman memanggil Ali dan memegang tangannya seraya berkata : “Bersediakah Anda saya baiat untuk tetap berpegang pada Kitabullah dan sunah Rasulullah serta teladan kedua orang penggantinya?” Ali menjawab : “Saya berharap dapat berbuat dan bekerja apa yang saya ketahui dan menurut kemampuan saya.” Tangan Ali dilepaskan lalu ia memanggil Usman dan memegang tangannya seraya berkata : “Bersediakah Anda saya baiat untuk tetap berpegang pada Kitabullah dan sunah Rasulullah serta teladan kedua orang penggantinya?” Usman menjawab : Ya, demi Allah! Abdur-Rahman mengangkat mukanya ke langit-langit Masjid dan sambil memegang tangan Usman ia berkata tiga kali : “Dengarkanlah dan saksikanlah!” dilanjutkan dengan katanya : “Saya sudah melepaskan beban yang dipikulkan di bahu saya dan saya letakkan di bahu Usman!” Setelah itu ia membaiat Usman, orang-orang di dalam Masjid pun beramai-ramai membaiat Usman.
Sumber-sumber itu tidak sama mengenai sikap Ali dan pelantikan Usman ini. Tetapi semua sepakat bahwa orang beramai-ramai membaiat khalifah tua itu, tak ada yang ketinggalan dan tak ada yang menentang. Adakah itu berarti karena kecintaan mereka kepada Usman, ataukah karena gembira sudah lepas dari suatu bahaya yang mengancam kehidupan negara yang harus segera diselesaikan? Keenam tokoh tersebut adalah orang-orang yang sangat mereka hormati. Malah sesudah pelantikan Usman, ada sumber yang dikaitkan kepada Ali bahwa dia berkata : “Orang melihat Quraisy dan Quraisy melihat keluarganya dengan mengatakan : Kalau Banu Hasyirn sudah diangkat untuk kalian, kalian tidak akan pernah lepas dari mereka, juga Quraisy yang lain tidak akan dapat saling bergantian di antara kalian.” Itu sebabnya, ketika Abdur-Rahman bin Auf meninggalkan Ali bin Abi Talib, tak ada orang yang marah, malah orang menerima Usman sebagai Khalifah dengan senang hati dan rasa puas.
Sumber-sumber mengenai sikap Ali bin Abi Talib terhadap Usman ini masih saling berbeda, yang sukar sekali untuk dapat mengukuhkan salah satunya. Ibn Sa’d dengan sanadnya menyebutkan bahwa orang pertama yang membaiat Usman adalah Abdur-Rahman bin Auf, kemudian Ali bin Abi Talib. Dengan sanad lain ia menuturkan bahwa Abdur-Rahman bin Auf di mimbar duduk di tempat duduk Nabi, dan sesudah dibaiat Usman didudukkan ditingkat kedua. “Orang datang beramai-ramai membaiatnya. Yang pertama kali membaiat adalah Ali bin Abi Talib, malah ada yang mengatakan justru dia yang terakhir.”
Tetapi at-Tabari membawa dua sumber, salah satunya hampir sama dengan sumber-sumber tersebut dan yang kedua sangat berbeda. Keduanya menunjukkan bahwa pemilihan Usman ini meninggalkan dampak yang dalam sekali dalam hati Ali.
Sumber pertama berpendapat bahwa sesudah orang berdatangan membaiat Usman —sesudah dibaiat oleh Abdur-Rahman — Ali masih maju-mundur. Maka kata Abdur-Rahman : “Barangsiapa melanggar janji, sebenarnya ia telah melanggar janjinya sendiri, dan barangsiapa menepati janji yang dijanjikannya kepada Allah, maka ia akan memberinya pahala yang besar .” (Qur’an, 48 : 10).
Kemudian Ali kembali dan setelah menyeruak di tengah orang banyak ia membaiat seraya berkata : “Suatu tipu muslihat yang luar biasa.” Sumber kedua mengatakan bahwa setelah Abdur-Rahman membaiat Usman, Ali berkata kepadanya : “Anda merangkak untuk selamanya. Ini bukan yang pertama kali Anda memperlihatkan kekuatan Anda kepada kami. Tabahkan dan sabarlah, itulah yang terbaik, dan memohonkan pertolongan hanya kepada Allah atas segala yang kalian lukiskan itu! Sungguh, Anda mengangkat Usman itu hanya supaya kekuasaan kembali kepada Anda! Dan setiap hari Allah memperlihatkan kekuasaan baru.”
Dalam hal ini Abdur-Rahman berkata : “Ali, janganlah menjerumuskan diri! Sudah saya pertimbangkan dan sudah saya musyawarahkan dengan khalayak ramai, tetapi ternyata mereka tidak keberatan dengan Usman.” Ali keluar sambil berkata : “Akan tiba waktunya.”
Dengan mengacu pada kedua sumber at-Tabari ini Ibn Kasir mengatakan : “Orang-orang yang sering disebutkan oleh para sejarawan seperti Ibn Jarir (Tabari) dan yang lain tidak tahu bahwa Ali berkata kepada Abdur-Rahman : “Anda telah menipu saya, dan Anda mengangkatnya hanya karena dia semenda Anda, agar dapat berunding dengan Anda setiap hari.” Tetapi karena dia masih maju mundur Abdur-Rahman berkata kepadanya : Barangsiapa melanggar janji, sebenarnya ia telah melanggar janjinya sendiri…. sampai akhir ayat, dan berita-berita lain yang bertentangan dengan yang terdapat dalam kitab-kitab yang sahih, tertolak kembali kepada yang mengatakannya dan yang melakukannya. Wallahualam.”
Untuk memastikan mana salah satu sumber ini yang lebih kuat memang tidak mudah. Besar sekali dugaan kita bahwa semua ini direkayasa sesudah adanya propaganda untuk tujuan-tujuan politik, di antaranya apa yang ditafsirkan oleh Tabari kata-kata Ali bin Abi Talib. Suatu tipu muslihat yang luar biasa, yakni ketika ia dipanggil oleb Abdur-Rahman bin Auf untuk membaiat Usman supaya ia tidak melanggar janjinya sendiri. Ibn Jarir juga menyebutkan bahwa Amr bin As bertemu dengan Ali pada malam-malam selama berlangsung Majelis Syura dan mengatakan kepadanya : “Abdur-Rahman orang yang mau berusaha dan suka bekerja keras dan bila dihadapkan pada tanggung jawab, ia akan sangat berhati-hati. Tapi dia mampu dan lebih berhasrat daripada Anda.” Setelah itu ia menemui Usman dan berkata kepadanya :
“Abdur-Rahman orang yang mau berusaha dan suka bekerja keras, dan akan membaiat Anda dengan penuh kepastian dan tanggung jawab, maka terimalah.” Saya yakin ini adalah cerita yang dikarang-karang setelah terjadi perselisihan antara Ali dengan Amr mengenai Mu’awiyah.
Sebenarnya Amr bin As tidak menyimpan dendam kepada Usman ketika Umar terbunuh. Beberapa sumber melangsir bahwa Usman memecat Amr dari Mesir tak lama setelah pengangkatannya itu. Suara mayoritas menyebutkan bahwa Usman meminta bantuan Amr saat Rumawi menyerang Iskandariah. Sesudah Amr memperoleh kemenangan Usman bermaksud akan mengangkat Amr sebagai komandan angkatan bersenjata Mesir dengan membiarkan Abdullah bin Abi Sarh tetap sebagai wakilnya di Mesir dan kepala urusan pajak. Tetapi Amr menolak dengan mengatakan : “Jadi saya seperti orang yang memegang kedua tanduk sapi betina, orang lain yang memerah susunya!”
Setelah itu ia kembali ke Mekah dan bergubung dengan Mu’awiyah dalam perselisihannya dengan Ali. Semua ini membukiikan bahwa ketika dalam Majelis Syura itu Amr dan Usman sudah sepakat mendorong Amr untuk menipu Ali. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa sumber yang dikutip oleh Tabari sebagai pembenaran atas kata-kata Ali : “Suatu tipu muslihat yang luar biasa” itu samasekali tak punya dasar.
Juga saya yakin bahwa kata-kata yang dikutip dari Ali atau dari Abdur-Rahman bin Auf ataupun dari yang lain lebih menyerupai pemalsuan yang dibuat untuk memuaskan sebagian orang bahwa seolah-olah hal itu memang terjadi, dan yang sebagian lagi tujuannya propaganda politik semata. Saya tidak ingin menjelaskan secara panjang lebar mengenai alasan saya berkeyakinan demikian. Cukup kalau saya menunjuk saja pada para penghimpun hadis Rasulullah s.a.w., bahwa menurut mereka, sepersepuluh dari yang diriwayatkan itu tidak sahih. Penyampaian beberapa ungkapan dengan kata-katanya dari Ali bin Abi Talib atau dari Abdur-Rahman bin Auf, ataupun dari yang lain masih perlu disaring. Para sejarawan itu mencatatnya sesudah berlalu puluhan tahun dari peristiwa-peristiwa yang diceritakan itu dan sesudah berbagai propaganda politik memegang peranan amat penting dalam sejarah Kedaulatan Islam. Dalam keadaan semacam itu tidak heran jika mereka mencatat kata-kata yang mengungkapkan perasaan pihak-pihak yang bersangkutan, kendati kala-kata itu tidak bersumber dari mereka sendiri.
Tetapi masih ada dua masalah yang menurut hemat saya tidak diragukan kebenarannya. Pertama, Ali dan Banu Hasyim tidak puas atas pembaiatan Usman dengan alasan karena mereka masih keluarga Nabi. Kalau sekali pimpinan kekhalifahan diserahkan kepada Banu Umayyah, maka tidak akan pernah keluar lagi dari mereka.
Kedua, mayoritas Muslimin sudah merasa lega dengan pembaiatan Usman dan mereka menerima dengan senang hati dan puas. Ketika dibaiat tak ada dari mereka yang menyebutkan bahwa Usman dari Banu Umayyah, atau menyebut-nyebut adanya permusuhan Banu Umayyah kepada Rasulullah atau adanya persaingan lama terhadap Banu Hasyim dan mereka masuk Islam sudah ketinggalan, baru sesudah Mekah membuka pintu karena sudah tidak mampu lagi mengadakan perlawanan terhadap Muslimin. Tetapi semua mereka mengatakan, bahwa Khalifah tua itu sudah lebih dulu masuk Islam, serta pembelaannya di samping Rasulullah dan hubungannya yang baik dengan kedua istrinya, Ruqayah dan Umm Kulsum. Kemudian hijrahnya ke Abisinia dan ke Medinah dengan mengorbankan harta kekayaannya demi membela agama Allah dan kaum Muslimin.
Sejarah menyebutkan bahwa Talhah bin Ubaidilllah sampai di Medinah pagi hari saat pelantikan Usman itu. Ketika dia diundang untuk juga membaiatnya ia bertanya : Sudah semua Quraisy menerima dengan senang hati? Dijawab : Ya. Ia pergi menemui Usman dan menanyakannya : Semua orang sudah membaiat Anda? Dijawab oleh Usman : Ya. Kata Talhah selanjutnya : Saya sudah puas. Saya juga bersama mereka, Lalu ia pun membaiat. Usman selesai dibaiat dalam suasana optimistis dan penuh harapan untuk masa depan. Sesudah semua acara itu usai, mereka yang datang ke Medinah selesai menunaikan ibadah haji mulai bubar, pulang kembali ke daerah mereka masing-masing — ke Irak, Persia, Syam dan Mesir. Dan semua mereka mengharapkan, semoga Allah dengan karunia-Nya melimpahkan segala kemudahan kepadanya.
Dengan demikian segalanya kembali seperti semula, dan orang pun sudah dalam suasana kehidupan seperti biasa. Tiba saatnya sekarang Usman untuk mulai memikul tanggung jawab pemerintahan, mengemudikannya sesuai dengan bawaannya yang lemah-lembut budi bahasanya yang halus dengan keimanan yang sungguh-sungguh dan pengabdian yang semata-mata untuk kebaikan. Ia akan menghadapi situasi yang berbeda dengan situasi di masa Umar dan di masa Abu Bakr, saat mereka masing-masing memikul tanggung jawab kekhalifahan. Dalam menghadapi semua ini ia memerlukan warna kebijakan baru. Pada mulanya Usman memang jelas sekali berhasil baik. Kemudian ia terhambat oleh usianya yang sudah lanjut serta peristiwa-peristiwa yang sudah tak mampu lagi ia kendalikan.
-----------------------------------------------
Usman bin Affan - Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh PT. Pustaka Litera AntarNusa, Cetakan Kedelapan, Juni 2010, halaman 24-32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar