Akan tetapi tindakan Nabi mengambil hati orang-orang yang tadinya merupakan musuh besar itu, telah menjadi bahan pembicaraan di kalangan Anshar, dan satu sama lain mereka berkata : “Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri.” Dalam hal ini Sa’d bin ‘Ubada berpendapat akan meneruskan kata-kata Anshar itu kepada Nabi dan akan mendukung pula pendapat mereka itu.
“Sekarang kumpulkan masyarakatmu di tempat berpagar (Hazira, segala yang dilingkungi sesuatu, kadang terdiri dari buluh dan papan, yakni tempat berpagar) ini”, kata Nabi.
Setelah oleh Sa’d mereka dikumpulkan dan kemudian Nabi datang, maka terjadi dialog berikut :
Muhammad : Saudara-saudara kaum Anshar. Suatu desas-desus (Qalatun, ‘Banyak bicara yang akan menimbulkan permusuhan) berasal dari kamu yang telah disampaikan kepadaku itu merupakan suatu perasaan yang ada dalam hatimu terhadap diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang lalu Tuhan membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Tuhan memberikan kecukupan kepadamu, kamu dalam permusuhan, Tuhan mempersekutukan kamu?”
Anshar : “Ya, memang! Tuhan dan Rasul juga yang lebih bermurah hati.”
Muhammad : “Saudara-saudara kaum Anshar. Kamu tidak menjawab kata-kataku?”
Anshar : “Dengan apa harus kami jawab, ya Rasulullah? Segala kemurahan hati dan kebaikan itu ada pada Allah dan Rasul-Nya juga
Muhammad : “Ya, sungguh, demi Allah! Kalau kamu mau, tentu kamu masih dapat mengatakan kamu benar dan pasti dibenarkan : “Engkau datang kepada kami didustakan orang, kamilah yang mempercayaimu. Engkau ditinggalkan orang, kamilah yang menolongmu. Engkau diusir, kamilah yang memberimu tempat. Engkau dalam sengsara. kami yang menghiburmu.’ Saudara-saudara dari Anshar! Adakah sekelumit juga rasa keduniaan itu dalam hati kamu? Dengan itu aku telah mengambil hati suatu golongan supaya mereka sudi menerima Islam, sedang terhadap keislamanmu aku sudah percaya. Tidakkah kamu rela, saudara-saudara Anshar, apabila orang-orang itu pergi membawa kambing. membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu? Demi Dia yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu aku termasuk orang Anshar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan Anshar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Anshar. Allahuma ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak Anshar dan cucu-cucu Anshar.”
Semua itu oleh Nabi diucapkan dengan kata-kata penuh keharuan, penuh rasa cinta dan kasih-sayang kepada mereka yang pernah memberikan ikrar, pernah memberikan pertolongan dan satu sama lain saling memberikan kekuatan. Begitu besar keharuannya itu, sehingga orang-orang Anshar pun menangis. sambil berkata : “Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami.”
Dengan demikian Nabi telah memperlihatkan ketidaksukaannya pada harta yang telah diperoleh sebagai rampasan perang di Hunain itu, yang sebenarnya belum pernah ada suatu rampasan perang diperoleh sebanyak itu. Ia memperlihatkan ketidaksukaannya pada harta itu sebagai langkah dalam mengambil hati mereka yang dalam beberapa minggu yang lalu masih musrik — dapat melihat bahwa dalam agama yang baru itu ada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kalau dalam membagi harta itu Muhammad sendiri sudah merasa payah sekali sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan Muslimin; dan kalau pun ini telah membawa kemarahan pihak Anshar karena ia telah bermurah hati kepada mereka yang perlu dijinakkan itu, namun dengan demikian ia telah memperlihatkan sikap yang adil, pandangan yang jauh serta kebijaksanaan politik yang baik sekali. Dengan demikian ia telah berhasil mengajak ribuan orang Arab ini — semua dengan senang hati, dengan perasaan lega bersedia memberikan nyawanya demi jalan Allah.
Selanjutnya Rasul pun berangkat dari Ji’rana menuju Mekah, hendak menunaikan umrah. Selesai melakukan umrah ia menunjuk ‘Attab bin Asid sebagai tenaga pengajar untuk Mekah dengan didampingi oleh Mu’adh bin Jahal guna mengajar orang-orang memperdalam agama dan mengajarkan Quran.
Ia kembali pulang ke Medinah bersama orang-orang Anshar dan Muhajirin. Sementara Nabi tinggal di kota ini lahir pula anaknya Ibrahim, dan selama beberapa waktu itu, setelah agak merasakan adanya ketenangan hidup, kemudian ia pun harus bersiap-siap pula menghadapi perang Tabuk di Syam.
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 485-487.
“Sekarang kumpulkan masyarakatmu di tempat berpagar (Hazira, segala yang dilingkungi sesuatu, kadang terdiri dari buluh dan papan, yakni tempat berpagar) ini”, kata Nabi.
Setelah oleh Sa’d mereka dikumpulkan dan kemudian Nabi datang, maka terjadi dialog berikut :
Muhammad : Saudara-saudara kaum Anshar. Suatu desas-desus (Qalatun, ‘Banyak bicara yang akan menimbulkan permusuhan) berasal dari kamu yang telah disampaikan kepadaku itu merupakan suatu perasaan yang ada dalam hatimu terhadap diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang lalu Tuhan membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Tuhan memberikan kecukupan kepadamu, kamu dalam permusuhan, Tuhan mempersekutukan kamu?”
Anshar : “Ya, memang! Tuhan dan Rasul juga yang lebih bermurah hati.”
Muhammad : “Saudara-saudara kaum Anshar. Kamu tidak menjawab kata-kataku?”
Anshar : “Dengan apa harus kami jawab, ya Rasulullah? Segala kemurahan hati dan kebaikan itu ada pada Allah dan Rasul-Nya juga
Muhammad : “Ya, sungguh, demi Allah! Kalau kamu mau, tentu kamu masih dapat mengatakan kamu benar dan pasti dibenarkan : “Engkau datang kepada kami didustakan orang, kamilah yang mempercayaimu. Engkau ditinggalkan orang, kamilah yang menolongmu. Engkau diusir, kamilah yang memberimu tempat. Engkau dalam sengsara. kami yang menghiburmu.’ Saudara-saudara dari Anshar! Adakah sekelumit juga rasa keduniaan itu dalam hati kamu? Dengan itu aku telah mengambil hati suatu golongan supaya mereka sudi menerima Islam, sedang terhadap keislamanmu aku sudah percaya. Tidakkah kamu rela, saudara-saudara Anshar, apabila orang-orang itu pergi membawa kambing. membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu? Demi Dia yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu aku termasuk orang Anshar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan Anshar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Anshar. Allahuma ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak Anshar dan cucu-cucu Anshar.”
Semua itu oleh Nabi diucapkan dengan kata-kata penuh keharuan, penuh rasa cinta dan kasih-sayang kepada mereka yang pernah memberikan ikrar, pernah memberikan pertolongan dan satu sama lain saling memberikan kekuatan. Begitu besar keharuannya itu, sehingga orang-orang Anshar pun menangis. sambil berkata : “Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami.”
Dengan demikian Nabi telah memperlihatkan ketidaksukaannya pada harta yang telah diperoleh sebagai rampasan perang di Hunain itu, yang sebenarnya belum pernah ada suatu rampasan perang diperoleh sebanyak itu. Ia memperlihatkan ketidaksukaannya pada harta itu sebagai langkah dalam mengambil hati mereka yang dalam beberapa minggu yang lalu masih musrik — dapat melihat bahwa dalam agama yang baru itu ada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kalau dalam membagi harta itu Muhammad sendiri sudah merasa payah sekali sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan Muslimin; dan kalau pun ini telah membawa kemarahan pihak Anshar karena ia telah bermurah hati kepada mereka yang perlu dijinakkan itu, namun dengan demikian ia telah memperlihatkan sikap yang adil, pandangan yang jauh serta kebijaksanaan politik yang baik sekali. Dengan demikian ia telah berhasil mengajak ribuan orang Arab ini — semua dengan senang hati, dengan perasaan lega bersedia memberikan nyawanya demi jalan Allah.
Selanjutnya Rasul pun berangkat dari Ji’rana menuju Mekah, hendak menunaikan umrah. Selesai melakukan umrah ia menunjuk ‘Attab bin Asid sebagai tenaga pengajar untuk Mekah dengan didampingi oleh Mu’adh bin Jahal guna mengajar orang-orang memperdalam agama dan mengajarkan Quran.
Ia kembali pulang ke Medinah bersama orang-orang Anshar dan Muhajirin. Sementara Nabi tinggal di kota ini lahir pula anaknya Ibrahim, dan selama beberapa waktu itu, setelah agak merasakan adanya ketenangan hidup, kemudian ia pun harus bersiap-siap pula menghadapi perang Tabuk di Syam.
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 485-487.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar