"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Minggu, 29 September 2013

MALIK BIN ‘AUF MENGHASUT

Dengan perasaan gembira karena kemenangan yang telah diberikan Tuhan, kaum Muslimin masih tinggal di Mekah setelah kota itu dibebaskan. Mereka sangat bersenang hati sekali karena kemenangan besar ini tidak banyak minta korban. Setiap terdengar suara Bilal mengucapkan azan sholat, cepat-cepat mereka pergi ke Mesjid Suci, berebut-rebut di sekitar Rasulullah, di mana saja ia berada dan ke mana saja ia pergi.
Kaum Muhajirin pun sekarang dapat pulang, dapat berhubungan dengan keluarga mereka, yang kini telah mendapat petunjuk Tuhan. Hati mereka pun sudah yakin bahwa keadaan Islam sudah mulai stabil, dan bahwa perjuangan sebagian besar sudah membawa kemenangan. Akan tetapi lima belas hari kemudian setelah mereka tinggal di Mekah itu, tiba-tiba tersiar berita yang membuat mereka harus segera sadar kembali. Soalnya ialah . kabilah Hawazin yang tinggal di pegunungan tidak jauh di sebelah timur-laut Mekah, setelah melihat kemenangan Muslimin yang telah membebaskan Mekah dan menghancunkan berhala-berhala, mereka pun kuatir akan mendapat giliran; pihak Muslimin akan juga menyerbu daerah mereka. Terpikir oleh mereka apa yang harus mereka lakukan dalam mencegah bencana yang akan menimpa mereka itu, dan membendung Muhammad serta mencegah arus kaum Muslimin yang akan menghilangkan kemerdekaan kabilah-kabilah itu di seluruh jazirah bila mereka semua digabungkan ke dalam suatu kesatuan di bawah naungan Islam.
Untuk itu Malik bin ‘Auf dari Banu Nashr sekarang berusaha mengumpulkan kabilah-kabilah Hawazin dan Thaqif, demikian juga kabilah-kabilah Nashr dan Jusyam. Dari pihak Hawazin semua ikut, kecuali Ka’b dan Kilab. Sedang dari pihak Jusyam ada orang
bernama Duraid bin’sh-Shimma, orang yang sudah berusia lanjut dan sudah tidak berguna buat ikut berperang, tetapi sebagai orang yang sudah bertahun-tahun punya pengalaman dalam perang, pendapatnya sangat diperlukan. Kabilah-kabilah itu semua berkumpul, membawa serta harta benda, wanita dan anak-anak mereka. Mereka menuju dataran Autas. Bilamana dengusan unta, keledai yang melengking, tangisan anak dan kambing yang mengembik-ngembik sampai di telinga Duraid, ia bertanya kepada Malik bin ‘Auf :
“Kenapa semua harta-benda, wanita dan anak-anak itu ikut serta dalam peperangan?”
Malik menjawab bahwa hal itu dilakukan guna memberi semangat kepada angkatan perangnya.
“Kalau kalian akan mengalami kekalahan mungkinkah hal ini bisa mencegahnya?” kata Duraid lagi. “Kalau harus menang juga, maka yang penting hanyalah laki-laki dengan pedang dan panahnya: sebaliknya kalau kamu harus mengalami kekalahan, keluarga dan hartamu hanya akan membawa hencana.”
Dengan Malik ia berselisih pendapat. Tetapi orang banvak ikut Malik. Dia seorang pemuda berusia tiga puluh tahun, bersemangat dan punya kemauan keras. Sekalipun sudah berpengalaman dalam perang, sekali ini Duraid menyerah kepada pendapat mereka.

KABILAH-KABILAH BERKUBU DI LEMBAH
Sekarang Malik memerintahkan supaya orang berangkat ke puncak gunung dan ke selat Lembah Hunain. Bilamana nanti kaum Muslimin turun ke lembah itu, maka hendaklah mereka diserang, sehingga dengan serangan satu orang saja barisan mereka akan sudah jadi lemah, mereka akan kucar-kacir, akan saling menghantam sesama mereka. Dengan demikian mereka akan hancur, pengaruh kemenangan mereka ketika membebaskan Mekah sudah takkan berarti lagi. Yang ada nanti hanya kemenangan kabilah-kabilah Hunain itu saja di seluruh jazirah Arab, suatu kemenangan yang akan dapat dibanggakan dalam menghadapi kekuatan yang kini menguasai tanah Arab itu. Perintah Malik ditaati oleh kabilah-kahilah dan mereka membuat pertahanan di selat wadi itu.
Pihak Muslimin sendiri setelah dua minggu tinggal di Mekah, dalam persiapan senjata dan tenaga yang belum pernah mereka alami sebelum itu, dengan pimpinan Muhammad mereka berangkat pula cepat-cepat. Mereka bergerak dalam jumlah dua belas ribu orang. Sepuluh ribu terdiri dari mereka yang telah menyerbu dan membebaskan Mekah dan yang dua ribu lagi terdiri dari orang-orang Quraisy yang sudah Islam — di antaranya Abu Sufyan bin Harb. Mereka semua mengenakan pakaian berlapis besi didahului oleh pasukan berkuda dan unta yang membawa perlengkapan dan bahan makanan. Keberangkatan Muslimin dengan pasukan demikian ini, sebenarnya memang belum pernah dikenal di seluruh jazirah. Setiap kabilah didahului oleh panjinya masing-masing, tampil ke depan dengan hati bangga karena jumlah yang begitu besar, yang tidak akan dapat dikalahkan. Sampai-sampai antara mereka satu sama lain ada sang berkata : Karena jumlah kita yang besar ini sekarang kita takkan dapat dikalahkan.
Menjelang sore hari itu mereka sudah sampai di Hunain. Di pintu-pintu masuk wadi itu mereka berhenti dan tinggal di sana sampai waktu fajar keesokan harinya . Ketika itulah pasukan mulai bergerak lagi Muhammad mengikuti dari belakang dengan menunggang bagalnya yang putih. Sementara Khalid bin’l-Walid yang memimpmn Banu Sulaim berada di depan. Dari selat Hunain itu mereka menyusur ke sebuah wadi di Tihama. Akan tetapi sementara mereka sedang menuruni lembah itu, tiba-tiba datanglah serangan mendadak secara bertubi-tubi dari pihak kabilah-kabilah dengan komando Malik bin ‘Auf. Sementara masih dalam keadaan remang-remang subuh itu mereka telah dihujani panah oleh pihak Malik, Ketika itulah keadaan Muslimin jadi kacau-halau. Dalam keadaan terpukul demikian itu mereka berbalik surut dengan membawa perasaan takut dan gentar dalam hati, dan ada pula yang lari sekuat-kuatnya. Dalam hal ini, dengan senyum gembira di bibir — Abu Sufyan yang sekarang melihat kegagalan orang-orang yang kemarin telah dapat mengalahkan Ouraisy itu berkata : “Mereka takkan berhenti lari sebelum sampai ke laut.”
Begitu juga Syaiba bin ‘Uthman bin Abi Talha berkata : “Sekarang aku dapat membalas Muhammad.” Berkata begitu, karena bapanya telah terbunuh dalam perang Uhud.
Ketika Kalada bin Hanbal berkata : “Ya, sihirnya sekarang sudah tidak mempan”, dibalas oleh Shafwan saudaranya sendiri : “Diam kau! Sungguh aku lebih suka di bawah orang Quraisy daripada di bawah Hawazin,”
Percakapan demikian itu terjadi sementara keadaan pasukan perang sedang kucar-kacir. Dalam pada itu, kabilah-kabilah yang sedang mengalami kekalahan itu satu demi satu berlarian di hadapan Nabi yang berada di belakang — tanpa melihat ke kanan kiri lagi.
-------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 471-473.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar