Beliau adalah Asma’ binti Umais bin Ma’d bin Tamim bin Al-Haris bin Ka’ab bin Malik bin Quhafah, dipanggil dengan nama Ummu Abdillah. Beliau adalah termasuk salah satu di antara empat akhwat mukminah yang telah mendapat pengesahan dari Rasulullah s.a.w. dengan sabdanya : “Ada empat akhwat mukminat yaitu Maimunah, Ummu Fadhl, Salma, dan Asma”
Beliau masuk Islam sebelum kaum muslimin memasuki rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam. Beliau adalah istri pahlawan di antara sahabat yaitu Ja’far bin Abi Thalib r.a. sahabat yang memiliki dua sayap sebagaimana gelar yang Rasulullah s.a.w. berikan terhadap beliau. Rasulullah s.a.w. manakala ingin mengucapkan salam kepada Abdullah bin Ja’far beliau bersabda : “Selamat atas kamu wahai putra dari seorang yang memiliki dua sayap (Dzul Janahain).”
Asma’ termasuk wanita muhajirah pertama, beliau turut berhijrah bersama suaminya yaitu Ja’far bin Abi Thalib menuju Habsyah, beliau merasakan pahit getirnya hidup di pengasingan. Adapun suaminya adalah juru bicara kaum muslimin dalam menghadapi raja Habsyah An-Najasi.
Di bumi pengasingan tersebut beliau melahirkan tiga putra yakni Abdullah, Muhammad dan ‘Aunan. Adapun putra beliau yaitu Abdullah sangat mirip dengan ayahnya, sedangkan ayahnya sangat mirip dengan Rasulullah s.a.w., sehingga hal itu menggembirakan hati beliau dan menumbuhkan perasaan rindu untuk melihat Rasulullah s.a.w. Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Ja’far : “Engkau menyerupai bentukku dan juga akhlakku.”
Ketika Rasulullah s.a.w. memerintahkan bagi para muhajirin untuk bertolak menuju Madinah maka hampir-hampir Asma’ terbang karena girangnya, inilah mimpi yang menjadi kenyataan dan jadilah kaum muslimin mendapatkan negeri mereka dan kelak mereka akan menjadi tentara-tentara Islam yang akan menyebarkan Islam dan meninggikan kalimat Allah.
Begitulah, Asma’ keluar dengan berkendaraan tatkala hijrah untuk kali yang kedua dari negeri Habsyah menuju negeri Madinah. kala rombongan Muhajirin tiba di Madinah ketika itu pula mereka mendengar berita bahwa kaum muslimin baru menyelesaikan peperangan dan membawa kemenangan, takbirpun menggema di segala penjuru karena bergembira dengan kemenangan pasukan kaum muslimin dan kedatangan Muhajirin dari Habsyah.
Ja’far bin Abi Thalib datang disambut oleh Rasulullah s.a.w. dengan gembira kemudian beliau cium dahinya seraya bersabda : “Demi Allah aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakanku, kemenangan khaibar ataukah kedatangan Ja’far.”
Asma’ masuk ke dalam rumah Hafshah binti Umar tatkala Nabi menikahinya, tatkala itu Umar masuk ke rumah Hafshah sedangkan Asma’ berada di sisinya, lalu beliau bertanya kepada Hafshah, “Siapakah wanita ini?” Hafshah menjawab, “Dia adalah Asma’ binti Umais?” Umar bertanya, “Inikah wanita yang datang dari negeri Habsyah di seberang lautan?” Asma’ menjawab, “Benar”. Umar berkata : “Kami telah mendahului kalian untuk berhijrah bersama Rasul, maka kami lebih berhak terhadap diri Rasulullah s.a.w. dari pada kalian.”Mendengar hal itu Asma’ marah dan tidak kuasa membendung gejolak jiwanya sehingga beliau berkata : “Tidak demi Allah kalian bersama Rasulullah s.a.w. sedangkan beliau memberi makan bagi yang kelaparan di antara kalian dan mengajarkan bagi yang masih bodoh di antara kalian, adapun kami di suatu negeri atau di bumi yang jauh dan tidak disukai yakni Habsyah, dan semua itu adalah demi keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian Asma’ diam sejenak selanjutnya berkata : “Demi Allah aku tidak makan dan tidak minum sehingga aku laporkan hal ini kepada Rasulullah s.a.w. kami diganggu dan ditakut-takuti, hal itu juga akan aku sampaikan kepada Rasulullah s.a.w., akan aku tanyakan kepada beliau, demi Allah aku tidak berdusta, tidak akan menyimpang dan tidak akan menambah-nambah.”
Tatkala Rasulullah s.a.w. datang, maka berkatalah Asma’ kepada Nabi s.a.w., : “Wahai Nabi Allah sesungguhnya Umar berkata begini dan begini.” Rasulullah bertanya kepada Umar, “Apa yang telah engkau katakan kepadanya?” Umar menjawab, “Aku katakan begini dan begini.” Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Asma’: “Tiada seorangpun yang lebih berhak atas diriku melebihi kalian, adapun dia (Umar) dan para sahabatnya berhijrah satu kali akan tetapi kalian ahlus safiinah (yang menumpang kapal) telah berhijrah dua kali.
Maka menjadi berbunga-bungalah hati Asma’ karena pernyataan Rasulullah s.a.w. tersebut lalu beliau sebarkan berita tersebut di tengah-tengah manusia, hingga orang-orang mengerumuni beliau untuk meminta penjelasan tentang kabar tersebut. Asma’ berkata : “Sungguh aku melihat Abu Musa dan orang-orang yang telah berlayar (berhijrah bersama Asma’ dan suaminya) mendatangiku dan menanyakan kepadaku tentang hadits tersebut, maka tiada sesuatu dari dunia yang lebih menggembirakan dan lebih besar artinya bagi mereka dari apa yang disabdakan Nabi s.a.w. kepada mereka.”
Manakala pasukan kaum muslimin menuju Syam, di antara ketiga panglimanya terdapat suami dari Asma’ yakni Ja’far bin Abi Thalib . Di sana di medan perang Allah memilih beliau di antara sekian pasukan untuk mendapatkan gelar syahid di jalan Allah.
Rasulullah s.a.w. mendatangi rumah Asma’ dan menanyakan tiga anaknya, merekapun berkeliling di sekitar Rasulullah s.a.w., kemudian Rasulullah s.a.w. mencium mereka dan mengusap kepala mereka hingga kedua matanya melelehkan air mata. Berkatalah Asma’ dengan hati yang berdebar-debar menyiratkan kesedihan, “Demi ayah dan ibuku, apa yang membuat anda menangis? Apakah telah sampai suatu kabar kepada anda tentang Ja’far dan sahabat-sahabatnya?” Beliau menjawab, “Benar dia gugur hari ini.”
Tidak kuasa Asma’ menahan tangisnya kemudian Rasulullah s.a.w. menghiburnya dan berkata kepadanya :
“Berkabunglah selama tiga hari, kemudian berbuatlah sesukamu setelah itu.”
Selanjutnya Rasulullah s.a.w. bersabda kepada anggota keluarga beliau : “Buatkanlah makanan bagi keluarga Ja’far, karena telah datang peristiwa yang menyibukkan mereka.”
Tiada yang dilakukan oleh wanita mukminah ini melainkan mengeringkan air mata, bersabar dan berteguh hati dengan mengharap pahala yang agung dari Allah. Bahkan suatu malam beliau bercita-cita agar syahid sebagaimana suaminya. Terlebih-lebih tatkala beliau mendengar dari salah seorang laki-laki dari Bani Murrah bin Auf berkata : “Tatkala perang tersebut, demi Allah seolah-olah aku melihat Ja’far ketika melompat dari kudanya yang berwarna kekuningan kemudian beliau berperang hingga terbunuh. Beliau sebelum bunuh berkata :
Beliau masuk Islam sebelum kaum muslimin memasuki rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam. Beliau adalah istri pahlawan di antara sahabat yaitu Ja’far bin Abi Thalib r.a. sahabat yang memiliki dua sayap sebagaimana gelar yang Rasulullah s.a.w. berikan terhadap beliau. Rasulullah s.a.w. manakala ingin mengucapkan salam kepada Abdullah bin Ja’far beliau bersabda : “Selamat atas kamu wahai putra dari seorang yang memiliki dua sayap (Dzul Janahain).”
Asma’ termasuk wanita muhajirah pertama, beliau turut berhijrah bersama suaminya yaitu Ja’far bin Abi Thalib menuju Habsyah, beliau merasakan pahit getirnya hidup di pengasingan. Adapun suaminya adalah juru bicara kaum muslimin dalam menghadapi raja Habsyah An-Najasi.
Di bumi pengasingan tersebut beliau melahirkan tiga putra yakni Abdullah, Muhammad dan ‘Aunan. Adapun putra beliau yaitu Abdullah sangat mirip dengan ayahnya, sedangkan ayahnya sangat mirip dengan Rasulullah s.a.w., sehingga hal itu menggembirakan hati beliau dan menumbuhkan perasaan rindu untuk melihat Rasulullah s.a.w. Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Ja’far : “Engkau menyerupai bentukku dan juga akhlakku.”
Ketika Rasulullah s.a.w. memerintahkan bagi para muhajirin untuk bertolak menuju Madinah maka hampir-hampir Asma’ terbang karena girangnya, inilah mimpi yang menjadi kenyataan dan jadilah kaum muslimin mendapatkan negeri mereka dan kelak mereka akan menjadi tentara-tentara Islam yang akan menyebarkan Islam dan meninggikan kalimat Allah.
Begitulah, Asma’ keluar dengan berkendaraan tatkala hijrah untuk kali yang kedua dari negeri Habsyah menuju negeri Madinah. kala rombongan Muhajirin tiba di Madinah ketika itu pula mereka mendengar berita bahwa kaum muslimin baru menyelesaikan peperangan dan membawa kemenangan, takbirpun menggema di segala penjuru karena bergembira dengan kemenangan pasukan kaum muslimin dan kedatangan Muhajirin dari Habsyah.
Ja’far bin Abi Thalib datang disambut oleh Rasulullah s.a.w. dengan gembira kemudian beliau cium dahinya seraya bersabda : “Demi Allah aku tidak tahu mana yang lebih menggembirakanku, kemenangan khaibar ataukah kedatangan Ja’far.”
Asma’ masuk ke dalam rumah Hafshah binti Umar tatkala Nabi menikahinya, tatkala itu Umar masuk ke rumah Hafshah sedangkan Asma’ berada di sisinya, lalu beliau bertanya kepada Hafshah, “Siapakah wanita ini?” Hafshah menjawab, “Dia adalah Asma’ binti Umais?” Umar bertanya, “Inikah wanita yang datang dari negeri Habsyah di seberang lautan?” Asma’ menjawab, “Benar”. Umar berkata : “Kami telah mendahului kalian untuk berhijrah bersama Rasul, maka kami lebih berhak terhadap diri Rasulullah s.a.w. dari pada kalian.”Mendengar hal itu Asma’ marah dan tidak kuasa membendung gejolak jiwanya sehingga beliau berkata : “Tidak demi Allah kalian bersama Rasulullah s.a.w. sedangkan beliau memberi makan bagi yang kelaparan di antara kalian dan mengajarkan bagi yang masih bodoh di antara kalian, adapun kami di suatu negeri atau di bumi yang jauh dan tidak disukai yakni Habsyah, dan semua itu adalah demi keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian Asma’ diam sejenak selanjutnya berkata : “Demi Allah aku tidak makan dan tidak minum sehingga aku laporkan hal ini kepada Rasulullah s.a.w. kami diganggu dan ditakut-takuti, hal itu juga akan aku sampaikan kepada Rasulullah s.a.w., akan aku tanyakan kepada beliau, demi Allah aku tidak berdusta, tidak akan menyimpang dan tidak akan menambah-nambah.”
Tatkala Rasulullah s.a.w. datang, maka berkatalah Asma’ kepada Nabi s.a.w., : “Wahai Nabi Allah sesungguhnya Umar berkata begini dan begini.” Rasulullah bertanya kepada Umar, “Apa yang telah engkau katakan kepadanya?” Umar menjawab, “Aku katakan begini dan begini.” Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Asma’: “Tiada seorangpun yang lebih berhak atas diriku melebihi kalian, adapun dia (Umar) dan para sahabatnya berhijrah satu kali akan tetapi kalian ahlus safiinah (yang menumpang kapal) telah berhijrah dua kali.
Maka menjadi berbunga-bungalah hati Asma’ karena pernyataan Rasulullah s.a.w. tersebut lalu beliau sebarkan berita tersebut di tengah-tengah manusia, hingga orang-orang mengerumuni beliau untuk meminta penjelasan tentang kabar tersebut. Asma’ berkata : “Sungguh aku melihat Abu Musa dan orang-orang yang telah berlayar (berhijrah bersama Asma’ dan suaminya) mendatangiku dan menanyakan kepadaku tentang hadits tersebut, maka tiada sesuatu dari dunia yang lebih menggembirakan dan lebih besar artinya bagi mereka dari apa yang disabdakan Nabi s.a.w. kepada mereka.”
Manakala pasukan kaum muslimin menuju Syam, di antara ketiga panglimanya terdapat suami dari Asma’ yakni Ja’far bin Abi Thalib . Di sana di medan perang Allah memilih beliau di antara sekian pasukan untuk mendapatkan gelar syahid di jalan Allah.
Rasulullah s.a.w. mendatangi rumah Asma’ dan menanyakan tiga anaknya, merekapun berkeliling di sekitar Rasulullah s.a.w., kemudian Rasulullah s.a.w. mencium mereka dan mengusap kepala mereka hingga kedua matanya melelehkan air mata. Berkatalah Asma’ dengan hati yang berdebar-debar menyiratkan kesedihan, “Demi ayah dan ibuku, apa yang membuat anda menangis? Apakah telah sampai suatu kabar kepada anda tentang Ja’far dan sahabat-sahabatnya?” Beliau menjawab, “Benar dia gugur hari ini.”
Tidak kuasa Asma’ menahan tangisnya kemudian Rasulullah s.a.w. menghiburnya dan berkata kepadanya :
“Berkabunglah selama tiga hari, kemudian berbuatlah sesukamu setelah itu.”
Selanjutnya Rasulullah s.a.w. bersabda kepada anggota keluarga beliau : “Buatkanlah makanan bagi keluarga Ja’far, karena telah datang peristiwa yang menyibukkan mereka.”
Tiada yang dilakukan oleh wanita mukminah ini melainkan mengeringkan air mata, bersabar dan berteguh hati dengan mengharap pahala yang agung dari Allah. Bahkan suatu malam beliau bercita-cita agar syahid sebagaimana suaminya. Terlebih-lebih tatkala beliau mendengar dari salah seorang laki-laki dari Bani Murrah bin Auf berkata : “Tatkala perang tersebut, demi Allah seolah-olah aku melihat Ja’far ketika melompat dari kudanya yang berwarna kekuningan kemudian beliau berperang hingga terbunuh. Beliau sebelum bunuh berkata :
Wahai jannah yang aku dambakan mendiaminya
Harum semerbak baunya, sejuk segar air minumnya
Tentara Romawi menghampiri liang kuburnya
Terhahang jauh dari sanak keluarganya
Kewajibankulah menghantamnya kala menjumpainya
Kemudian Ja’far memegang bendera dengan tangan kanannya tapi dipotonglah tangan kanan beliau, kemudian beliau bawa dengan tangan kirinya, akan tetapi dipotonglah tangan kirinya, selanjutnya beliau kempit di dadanya dengan kedua lengannya hingga terbunuh.
Asma’ mendapatkan makna dari sabda Rasulullah s.a.w. yang pernah berkata kepada anaknya :
“Assalamu’alaikum wahai putra dari seorang yang memiliki dua sayap.”
Rupanya Allah menggantikan kedua tangan Ja’far yang terputus dengan dua sayap yang dengannya beliau terbang di jannah sekehendaknya. Seorang ibu yang shalihah tersebut tekun mentarbiyah ketiga anaknya dan membimbing mereka agar mengikuti jejak yang telah ditempuh oleh ayahnya yang telah syahid, serta membiasakan mereka dengan tabi’at iman.
Belum lama berselang dari waktu tersebut Abu Bakar Ash-Shidiq r.a. datang untuk meminang Asma’ binti Umais setelah wafatnya istri beliau Ummu Rumaan r.a. Tiada alasan bagi Asma’ untuk menolak pinangan orang seutama Abu Bakar Ash Shidiq r.a., begitulah akhirnya Asma’ berpindah ke rumah Abu Bakar Ash Shidiq r.a. untuk menambah cahaya kebenaran dan cahaya iman dan untuk mencurahkan cinta dan kesetiaan di rumah tangganya.
Setelah sekian lama beliau melangsungkan pernikahan yang penuh barakah, Allah mengaruniakan kepada mereka berdua Seorang anak laki-laki. Mereka ingin melaksanakan haji wada’, maka Abu Bakar menyuruh istrinya untuk mandi dan menyertai haji setelah Rasulullah s.a.w. memintanya. Kemudian Asma’ r.a. menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang besar, namun peristiwa yang paling besar adalah wafatnya pemimpin anak Adam dan terputusnya wahyu dari langit. Kemudian beliau juga menyaksikan suaminya yakni Abu Bakar memegang tampuk kekhalifahan bagi kaum muslimin sehingga suaminya merampungkan problematika yang sangat rumit seperti memerangi orang-orang yang murtad, memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat serta pengiriman pasukan Usamah dan sikapnya yang teguh laksana gunung tidak ragu-ragu dan tidak pula bimbang, demikian pula beliau menyaksikan bagaimana pertolongan Allah diberikan kepada kaum muslimin dengan sikap iman yang teguh tersebut.
Asma’ senantiasa menjaga agar suaminya senantiasa merasa senang dan beliau hidup bersama suaminya dengan perasaan yang tulus turut memikul beban bersama suaminya dalam urusan umat yang besar.
Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama sebab khalifah Ash-Shidiq sakit dan semakin bertambah parah hingga keringat membasahi pada bagian atas kedua pipi beliau. Ash-Shidiq dengan ketajaman perasaan seorang mukmin yang shadiq merasakan dekatnya ajal beliau sehingga beliau bersegera untuk berwasiat. Adapun di antara wasiat beliau adalah agar beliau dimandikan oleh istrinya Asma’ binti Umais di samping itu beliau berpesan kepada istrinya agar berbuka puasa yang mana beliau berkata : “Berbukalah karena hal itu membuat dirimu lebih kuat.”
Asma’ merasa telah dekatnya wafat beliau sehingga beliau membaca istirja’ dan memohon ampun sedangkan kedua mata beliau tidak berpaling sedikitpun dari memandang suaminya yang ruhnya kembali dengan selamat kepada Allah. Hal itu membuat Asma’ meneteskan air mata dan bersedih hati, akan tetapi sedikitpun beliau tidak mengatakan sesuatu melainkan yang diridhai Allah Tabaraka Wa Ta’ala, beliau tetap bersabar dan berteguh hati.
Selanjutnya beliau menunaikan perkara penting yang diminta oleh suaminya yang telah tiada, karena beliau adalah orang paling bisa dipercaya oleh suaminya. Mulailah beliau memandikan jenazah suaminya dan hal itu menambah kesedihan dan kesusahan beliau sehingga beliau lupa terhadap wasiat yang kedua. Beliau bertanya kepada para Muhajirin yang hadir, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa, namun hari ini adalah hari yang sangat dingin apakah boleh bagiku untuk mandi?” Mereka menjawab, “Tidak.”
Di akhir siang seusai dimakamkannya Ash-Shidiq tiba-tiba Asma’ binti Umais ingat wasiat suaminya yang kedua yakni beliau berbuka (tidak melanjutkan shaum). Lantas apa yang hendak dilakukannya sekarang? Sedangkan waktu hanya tinggal sebentar lagi, menunggu matahari tenggelam dan orang yang shaum diperbolehkan untuk berbuka? Apakah dia akan setia dengan Wasiat suaminya ataukah dia akan menunggu sejenak saja untuk melanjutkan shaumnya?
Kesetiaan terhadap suaminya telah menghalangi beliau untuk mengkhianati wasiat suaminya yang telah pergi, maka beliau mengambil air dan minum kemudian berkata : “Demi Allah aku tidak melanggar janjinya hari ini.”
Setelah kepergian suaminya, Asma’ melazimi rumahnya dengan mendidik putra-putranya baik dari Ja’far maupun dari Abu Bakar, beliau menyerahkan urusan anak-anaknya kepada Allah dengan memohon kepada-Nya untuk memperbaiki anak-anaknya dan Allahpun memperbaiki mereka hingga mereka menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Inilah puncak dan harapan beliau di dunia dan beliau tidak mengetahui takdir yang akan menimpa beliau yang tersembunyi di balik ilmu Allah.
Dialah Ali bin Abi Thalib r.a. saudara dari Ja’far yang memiliki dua sayap mendatangi Asma’ untuk meminangnya sebagai wujud kesetiaan Ali kepada saudaranya yang dia cintai yaitu Ja’far begitu pula Abu Bakar Ash Shidiq .
Setelah berulang-ulang berfikir dan mempertimbangkannya dengan matang maka beliau memutuskan untuk menerima lamaran dari Ali bin Abi Thalib sehingga kesempatan tersebut dapat beliau gunakan untuk membantu membina putra-putra saudaranya Ja’far. Maka berpindahlah Asma’ ke dalam rumah tangga Ali setelah wafatnya Fathimah Az-Zahra dan ternyata beliau adalah sebaik-baik wanita shalihah, dan beliau juga memiliki suami yang paling baik dalam bergaul. Senantiasa Asma’ memiliki kedudukan yang tinggi di mata Ali sehingga beliau sering mengulang-ulang di setiap tempat, “Di antara wanita yang memiliki syahwat telah menipu kalian, maka aku tidak menaruh kepercayaan di antara wanita melebihi Asma’ binti Umais”
Allah memberikan kemurahan kepada Ali dengan mengaruniai anak dari Asma’ yang bernama Yahya dan Aunan, berlalulah hari demi hari dan Ali menyaksikan pemandangan yang asing yakni putra saudaranya Ja’far sedang berbantahan dengan Muhammad bin Abu Bakar dan masing-masing membanggakan diri dari yang lain dengan mengatakan, “Aku lebih baik daripada kamu dan ayahku lebih baik daripada ayahmu.” Ali tidak mengetahui apa yang mereka berdua katakan? Dan bagaimana pula memutuskan antara keduanya karena beliau merasa simpati dengan keduanya? Maka tiada yang dapat beliau lakukan selain memanggil ibu mereka yakni Asma’ r.a. kemudian berkata : “Putuskanlah antara keduanya!” Dengan pikirannya yang tajam dan hikmah yang mendalam beliau berkata : “Aku tidak melihat seorang pemuda di Arab yang lebih baik daripada Ja’far dan aku tidak pernah melihat orang tua yang lebih baik daripada Abu Bakar.” Inilah yang menyelesaikan urusan mereka berdua dan kembalilah kedua bocah tersebut saling merangkul dan bermain bersama, namun Ali masih merasa takjub dengan bagusnya keputusan yang diambil oleh Asma’ terhadap anak-anaknya, dengan menatap wajah istrinya beliau berkata : “Engkau tidak menyisakan bagi kami sedikitpun wahai Asma’?” Dengan kecerdasan yang tinggi dan keberanian yang luar biasa ditambah lagi adab yang mulia beliau berkata : “Di antara ketiga orang pilihan, kebaikan anda masih di bawah kebaikan mereka.”
Ali r.a. tidak merasa asing dengan jawaban istrinya yang cerdas, maka beliau berkata dengan ksatria dan akhlaq yang utama berkata : “Seandainya engkau tidak menjawab dengan jawaban tersebut niscaya aku cela dirimu.”
Akhirnya kaum muslimin memilih Ali sebagai Khalifah setelah Utsman bin Affan r.a., maka untuk kedua kalinya Asma’ menjadi istri bagi seorang khalifah yang kali ini adalah Khalifah Rasulullah yang ke empat, semoga Allah meridhai mereka semuanya.
Asma’ turut serta memikul tanggung jawab sebagai istri khalifah bagi kaum muslimin dalam menghadapi peristiwa-peristiwa besar begitu pula dengan Abdullah bin Ja’far dan Muhammad bin Abu Bakar berdiri di samping ayahnya dalam rangka membela kebenaran. Kemudian setelah berselang beberapa lama wafatlah putra beliau Muhammad bin Abu Bakar dan musibah tersebut membawa pengaruh yang besar pada diri beliau, akan tetapi Asma’ seorang wanita mukminah tidak mungkin menyelisihi ajaran Islam dengan berteriak-teriak dan meratap dari hal-hal lain yang dilarang dalam Islam. Tiada yang beliau lakukan selain berusaha bersabar dan memohon pertolongan dengan sabar dan shalat terhadap penderitaan yang beliau alami. Asma’ selalu memendam kesedihannya hingga payudaranya mengeluarkan darah.
Belum lagi tahun berganti hingga bertambah parah sakit beliau dan menjadi lemah jasmaninya dengan cepat kemudian beliau meninggal dunia. Yang tinggal hanyalah lambang kehormatan yang tercatat dalam sejarah setelah beliau mengukir sebaik-baik contoh dalam hal kebijaksanaan kesabaran dan kekuatan.
-----------------------------------------------------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 194 – 203
Harum semerbak baunya, sejuk segar air minumnya
Tentara Romawi menghampiri liang kuburnya
Terhahang jauh dari sanak keluarganya
Kewajibankulah menghantamnya kala menjumpainya
Kemudian Ja’far memegang bendera dengan tangan kanannya tapi dipotonglah tangan kanan beliau, kemudian beliau bawa dengan tangan kirinya, akan tetapi dipotonglah tangan kirinya, selanjutnya beliau kempit di dadanya dengan kedua lengannya hingga terbunuh.
Asma’ mendapatkan makna dari sabda Rasulullah s.a.w. yang pernah berkata kepada anaknya :
“Assalamu’alaikum wahai putra dari seorang yang memiliki dua sayap.”
Rupanya Allah menggantikan kedua tangan Ja’far yang terputus dengan dua sayap yang dengannya beliau terbang di jannah sekehendaknya. Seorang ibu yang shalihah tersebut tekun mentarbiyah ketiga anaknya dan membimbing mereka agar mengikuti jejak yang telah ditempuh oleh ayahnya yang telah syahid, serta membiasakan mereka dengan tabi’at iman.
Belum lama berselang dari waktu tersebut Abu Bakar Ash-Shidiq r.a. datang untuk meminang Asma’ binti Umais setelah wafatnya istri beliau Ummu Rumaan r.a. Tiada alasan bagi Asma’ untuk menolak pinangan orang seutama Abu Bakar Ash Shidiq r.a., begitulah akhirnya Asma’ berpindah ke rumah Abu Bakar Ash Shidiq r.a. untuk menambah cahaya kebenaran dan cahaya iman dan untuk mencurahkan cinta dan kesetiaan di rumah tangganya.
Setelah sekian lama beliau melangsungkan pernikahan yang penuh barakah, Allah mengaruniakan kepada mereka berdua Seorang anak laki-laki. Mereka ingin melaksanakan haji wada’, maka Abu Bakar menyuruh istrinya untuk mandi dan menyertai haji setelah Rasulullah s.a.w. memintanya. Kemudian Asma’ r.a. menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang besar, namun peristiwa yang paling besar adalah wafatnya pemimpin anak Adam dan terputusnya wahyu dari langit. Kemudian beliau juga menyaksikan suaminya yakni Abu Bakar memegang tampuk kekhalifahan bagi kaum muslimin sehingga suaminya merampungkan problematika yang sangat rumit seperti memerangi orang-orang yang murtad, memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat serta pengiriman pasukan Usamah dan sikapnya yang teguh laksana gunung tidak ragu-ragu dan tidak pula bimbang, demikian pula beliau menyaksikan bagaimana pertolongan Allah diberikan kepada kaum muslimin dengan sikap iman yang teguh tersebut.
Asma’ senantiasa menjaga agar suaminya senantiasa merasa senang dan beliau hidup bersama suaminya dengan perasaan yang tulus turut memikul beban bersama suaminya dalam urusan umat yang besar.
Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama sebab khalifah Ash-Shidiq sakit dan semakin bertambah parah hingga keringat membasahi pada bagian atas kedua pipi beliau. Ash-Shidiq dengan ketajaman perasaan seorang mukmin yang shadiq merasakan dekatnya ajal beliau sehingga beliau bersegera untuk berwasiat. Adapun di antara wasiat beliau adalah agar beliau dimandikan oleh istrinya Asma’ binti Umais di samping itu beliau berpesan kepada istrinya agar berbuka puasa yang mana beliau berkata : “Berbukalah karena hal itu membuat dirimu lebih kuat.”
Asma’ merasa telah dekatnya wafat beliau sehingga beliau membaca istirja’ dan memohon ampun sedangkan kedua mata beliau tidak berpaling sedikitpun dari memandang suaminya yang ruhnya kembali dengan selamat kepada Allah. Hal itu membuat Asma’ meneteskan air mata dan bersedih hati, akan tetapi sedikitpun beliau tidak mengatakan sesuatu melainkan yang diridhai Allah Tabaraka Wa Ta’ala, beliau tetap bersabar dan berteguh hati.
Selanjutnya beliau menunaikan perkara penting yang diminta oleh suaminya yang telah tiada, karena beliau adalah orang paling bisa dipercaya oleh suaminya. Mulailah beliau memandikan jenazah suaminya dan hal itu menambah kesedihan dan kesusahan beliau sehingga beliau lupa terhadap wasiat yang kedua. Beliau bertanya kepada para Muhajirin yang hadir, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa, namun hari ini adalah hari yang sangat dingin apakah boleh bagiku untuk mandi?” Mereka menjawab, “Tidak.”
Di akhir siang seusai dimakamkannya Ash-Shidiq tiba-tiba Asma’ binti Umais ingat wasiat suaminya yang kedua yakni beliau berbuka (tidak melanjutkan shaum). Lantas apa yang hendak dilakukannya sekarang? Sedangkan waktu hanya tinggal sebentar lagi, menunggu matahari tenggelam dan orang yang shaum diperbolehkan untuk berbuka? Apakah dia akan setia dengan Wasiat suaminya ataukah dia akan menunggu sejenak saja untuk melanjutkan shaumnya?
Kesetiaan terhadap suaminya telah menghalangi beliau untuk mengkhianati wasiat suaminya yang telah pergi, maka beliau mengambil air dan minum kemudian berkata : “Demi Allah aku tidak melanggar janjinya hari ini.”
Setelah kepergian suaminya, Asma’ melazimi rumahnya dengan mendidik putra-putranya baik dari Ja’far maupun dari Abu Bakar, beliau menyerahkan urusan anak-anaknya kepada Allah dengan memohon kepada-Nya untuk memperbaiki anak-anaknya dan Allahpun memperbaiki mereka hingga mereka menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa. Inilah puncak dan harapan beliau di dunia dan beliau tidak mengetahui takdir yang akan menimpa beliau yang tersembunyi di balik ilmu Allah.
Dialah Ali bin Abi Thalib r.a. saudara dari Ja’far yang memiliki dua sayap mendatangi Asma’ untuk meminangnya sebagai wujud kesetiaan Ali kepada saudaranya yang dia cintai yaitu Ja’far begitu pula Abu Bakar Ash Shidiq .
Setelah berulang-ulang berfikir dan mempertimbangkannya dengan matang maka beliau memutuskan untuk menerima lamaran dari Ali bin Abi Thalib sehingga kesempatan tersebut dapat beliau gunakan untuk membantu membina putra-putra saudaranya Ja’far. Maka berpindahlah Asma’ ke dalam rumah tangga Ali setelah wafatnya Fathimah Az-Zahra dan ternyata beliau adalah sebaik-baik wanita shalihah, dan beliau juga memiliki suami yang paling baik dalam bergaul. Senantiasa Asma’ memiliki kedudukan yang tinggi di mata Ali sehingga beliau sering mengulang-ulang di setiap tempat, “Di antara wanita yang memiliki syahwat telah menipu kalian, maka aku tidak menaruh kepercayaan di antara wanita melebihi Asma’ binti Umais”
Allah memberikan kemurahan kepada Ali dengan mengaruniai anak dari Asma’ yang bernama Yahya dan Aunan, berlalulah hari demi hari dan Ali menyaksikan pemandangan yang asing yakni putra saudaranya Ja’far sedang berbantahan dengan Muhammad bin Abu Bakar dan masing-masing membanggakan diri dari yang lain dengan mengatakan, “Aku lebih baik daripada kamu dan ayahku lebih baik daripada ayahmu.” Ali tidak mengetahui apa yang mereka berdua katakan? Dan bagaimana pula memutuskan antara keduanya karena beliau merasa simpati dengan keduanya? Maka tiada yang dapat beliau lakukan selain memanggil ibu mereka yakni Asma’ r.a. kemudian berkata : “Putuskanlah antara keduanya!” Dengan pikirannya yang tajam dan hikmah yang mendalam beliau berkata : “Aku tidak melihat seorang pemuda di Arab yang lebih baik daripada Ja’far dan aku tidak pernah melihat orang tua yang lebih baik daripada Abu Bakar.” Inilah yang menyelesaikan urusan mereka berdua dan kembalilah kedua bocah tersebut saling merangkul dan bermain bersama, namun Ali masih merasa takjub dengan bagusnya keputusan yang diambil oleh Asma’ terhadap anak-anaknya, dengan menatap wajah istrinya beliau berkata : “Engkau tidak menyisakan bagi kami sedikitpun wahai Asma’?” Dengan kecerdasan yang tinggi dan keberanian yang luar biasa ditambah lagi adab yang mulia beliau berkata : “Di antara ketiga orang pilihan, kebaikan anda masih di bawah kebaikan mereka.”
Ali r.a. tidak merasa asing dengan jawaban istrinya yang cerdas, maka beliau berkata dengan ksatria dan akhlaq yang utama berkata : “Seandainya engkau tidak menjawab dengan jawaban tersebut niscaya aku cela dirimu.”
Akhirnya kaum muslimin memilih Ali sebagai Khalifah setelah Utsman bin Affan r.a., maka untuk kedua kalinya Asma’ menjadi istri bagi seorang khalifah yang kali ini adalah Khalifah Rasulullah yang ke empat, semoga Allah meridhai mereka semuanya.
Asma’ turut serta memikul tanggung jawab sebagai istri khalifah bagi kaum muslimin dalam menghadapi peristiwa-peristiwa besar begitu pula dengan Abdullah bin Ja’far dan Muhammad bin Abu Bakar berdiri di samping ayahnya dalam rangka membela kebenaran. Kemudian setelah berselang beberapa lama wafatlah putra beliau Muhammad bin Abu Bakar dan musibah tersebut membawa pengaruh yang besar pada diri beliau, akan tetapi Asma’ seorang wanita mukminah tidak mungkin menyelisihi ajaran Islam dengan berteriak-teriak dan meratap dari hal-hal lain yang dilarang dalam Islam. Tiada yang beliau lakukan selain berusaha bersabar dan memohon pertolongan dengan sabar dan shalat terhadap penderitaan yang beliau alami. Asma’ selalu memendam kesedihannya hingga payudaranya mengeluarkan darah.
Belum lagi tahun berganti hingga bertambah parah sakit beliau dan menjadi lemah jasmaninya dengan cepat kemudian beliau meninggal dunia. Yang tinggal hanyalah lambang kehormatan yang tercatat dalam sejarah setelah beliau mengukir sebaik-baik contoh dalam hal kebijaksanaan kesabaran dan kekuatan.
-----------------------------------------------------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 194 – 203
Tidak ada komentar:
Posting Komentar