"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Kamis, 24 Juli 2014

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (6)

AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DAN MU’TAZILAH
Meskipun perkumpulan yang menggerakkan tajdid itu adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sebenarnya dan haqiqi, tetapi telah dimasyhurkan sebagai golongan yang keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan ada yang mengatakan mereka itu golongan Mu’tazilah.
Marilah ditinjau pula siapakah golongan Mu’tazilah itu. Kata-kata “Mu’tazilah” berarti “mengasingkan diri” atau dapat diartikan “golongan yang diasingkan”. Golongan Mu’tazilah itu bukan diasingkan dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena pada waktu itu belum lahir istilah “Ahlus Sunnah wal Jama’ah”, tetapi diasingkan atau dikeluarkan dari pesantren atau pengikut Imam Hasan Basri yang wafat tahun 116 H.
Pada awal abad kedua Hijrah, Imam Hasan Basri berselisih pendapat dengan muridnya yang bernama Washil bin ‘Atho’ (wafat tahun 131 H), tentang “orang Islam yang mengerjakan dosa besar termasuk kafir atau mukmin”. Washil bin ‘Atho’ berpendapat bahwa orang semacam itu tidak Mukmin dan tidak kafir, tempatnya berada di tengah-tengah antara dua kedudukan. Karena pendapatnya itu, ia diasingkan dari kalangan murid-muridnya hingga menimbulkan gelaran “Mu’tazilah” bagi Washil bin ‘Atho’ dan pengikutnya.
Ternyata bahwa istilah “mu’tazilah” lebih tua dari pada istilah “Ahlus sunnah wal jama’ah”.
Setengah dari pendapat golongan Mu’tazilah antara lain ialah bahwa perilaku manusia itu terlepas dari takdir Allah, artinya Allah memberikan bebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan dan bertindak. Pendapat ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai ada orang yang menyalahkan Allah karena mentakdirkan dia jahat atau sengsara. Golongan i’tazilah juga berpendapat bahwa Allah sama sekali tidak mempunyai sifat seperti yang diajarkan oleh para ulama. Keadaan Allah tidak dapat disifati oleh manusia, yang qadiem dan kekal hanyalah Dzat Allah. Oleh karena itu Al-Qur’an juga tidak qadiem, melainkan huduts dan adanya ialah sejak difirmankan Allah. Dengan demikian Al-Qur’an itu makhluk.
Kemudian pada akhir abad ketiga Hijrah, seorang ulama besar bernama Dul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari (lahir tahun 266, wafat 330 H) seorang Muta’zilah dan murid dan Al-Jubal, keluar dari golongan Mu’tazilah setelah berselisih paham dengan gurunya itu. Sesudah itu beliau dengan para pengikutnya berusaha keras menentang dan memberantas ajaran Mu’tazilah. Diantara pengikutnya terdapat ulama-ulama terkenal seperti Abul Hasan bin Aurok, Qadhi Abu Bakar al-Baghilani, Imam Ghazali, Imam Fachrurrazy, dan lainnya. Golongan baru ini bertambah maju dan akhirnya dinamakan orang golongan “Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.
Golongan ini menolak ajaran Mu’tazilah yang semata-mata berdasarkan akal dan terpengaruh oleh filsafat Yunani. Tetapi juga tidak semata-mata membuang akal di dalam memahami ayat Qur’an yang mengenai i’tiqad. Maka dapat dikatakan bahwa Abul Hasan al-Asy’ari meletakkan dasar jalan-tengah antara paham-kolot dan ekstrim rationalisme.
Orang tidak boleh melupakan bahwa golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu sebenarnya golongan Abul Hasan al-Asy’ari, dalam persoalan i’tiqad. Ketuhanan bukan dalam furu’ atau hukum-hukum fekih. Tetapi kemudian orang meminjam istilah itu untuk golongan madzhab dalam furu’ atau hukum fekih, yang tentang itu telah dijelaskan sejelas-jelasnya di atas.
Mengenai golongan Mu’tazilah, apakah gerakan tajdid termasuk di dalamnya? Golongan tajdid tetap beri’tiqad bahwa Allah mempunyai semua sifat kesempurnaan dan mahasuci dan sifat kekurangan. Mereka beriman kepada qadla’ dan takdir Allah, mengi’tikadkan bahwa Al-Qur’an itu kalam Allah, firman Allah, qadiem dan abadi. Jadi jelas bahwa kalau kita memasuki atau menyokong gerakan tajdid itu sangat utama sekali dan kita bukan Mu’tazilah, tetapi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan paham tajdid tidak setuju kepada paham Mu’tazilah karena paham Mu’tazilah sangat merusak dan berbahaya.
Paham Mu’tazilah yang paling berbahaya agaknya ialah i’tiqad bahwa Al-Qur’an itu tidak qadiem maka ia makhluk. Barangkali paham ini datang dari pengikut Origenes (185 - 254) dalam sejarah teologi Kristen, yang menyatakan bahwa Kalam Allah itu emanasi (pancaran) pertama dari Tuhan, jadi bersifat makhluk dan tidak kekal. Kemudian paham itu diterima oleh kaum Mu’tazilah dan diterapkan dalam teologi Islam. Sampai berapa besar bahayanya dapat kita lihat dalam susunan di bawah ini:
  1. Sesuatu yang tidak qadiem tentu huduts.
  2. Sesuatu yang huduts tentu makhluk.
  3. Setiap makhluk tentu fana, (berakhir).
  4. Jika Qur’an tidak qadiem tentu huduts.
  5. Karena Qur’an huduts maka dia makhluk.
  6. Karena Qur’an itu makhluk maka akhirnya mesti fana.

Demikianlah paham Mu’tazilah, jika dilanjutkan secara logis, akan mengakibatkan sampainya orang kepada i’tiqad bahwa Qur’an itu kelak kemudian hari akan hilang, atau sampai kepada kenyataan bahwa Qur’an memang praktis benar-benar hilang meskipun mushafnya memenuhi lemari dan lafalnya dibaca orang.
Jika Qur’an itu fana’ maka arti kefanaannya itu ada dua macam :
  1. Tidak ada lagi orang yang hafal dan tidak terdapat lagi tulisannya atau mushafnya.
  2. Masih ada orang yang hafal dan atau masih ada tulisannya meskipun sering dibaca orang, tetapi tidak ada yang memahami isinya dan maksudnya.

Dalam sejarah perkembangannya, ummat telah mengalami zaman di mana :
  1. Ada pelarangan menterjemahkan dan mentafsirkan Qur’an. Karena sudah cukup tafsirnya dibuat oleh ulama yang lewat.
  2. Mewajibkan taqlid kepada madzhab, hingga tidak perlu lagi mengetahui dalil dan ayat-ayat Quran yang menjadi alasan hukum. Dasarnya ialah : “Dalillul muqallid huwa qaulul mujtahid”, yang maksudnya bahwa orang cukup berdalil kepada perkataan ulama-mujtahid, tidak usah menela’ah Qur’an.
  3. Menterjemahkan Qur’an dianggap sebagai perbuatan yang menyerupai orang Kristen (Protestan) sehingga masuk golongan Kristen pula, dengan dalil hadits : “man tasya: haha biqaumin fahuwa minhum”, artinya : siapa menyerupai sesuatu kaum, maka dia termasuk kaum itu.
Jika ajaran semacam tersebut di atas itu dita’ati oleh seluruh ummat Islam dan berhasil, maka kita sekarang ini akan mendengar Qur’an dibaca dan dilagukan orang tetapi tak seorangpun mengerti maksudnya, Qur’an menjadi fana’ menurut pengertian kedua. Jadi sama saja dengan akibat dan paham Mu’tazilah yang berbahaya itu.
Tetapi rahmat Allah berlangsung terus dengan memelihara dan menjaga Al-Qur’an dan kefanaan pertama dan kedua dan dari segala macam kefanaan dan pemalsuan, dan dari segala bencana dan paham Mu’tazilah baik yang dengan sengaja maupun tidak, langsung atau tidak langsung. Semoga Allah mengampuni dan menunjuki mereka.
Demikian rahmat Allah berlangsung terus dengan membangkitkan orang-orang yang sadar dan beramal, untuk mengembalikan perhatian ummat Islam kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul, ialah orang-orang yang membaharui I’tiqad dan ‘amal kaum Muslimin agar kembali berdasarkan Qur’an dan Sunnah, abad demi abad, di segenap penjuru dunia ini.
Demikianlah, dengan wajar dan apa adanya tidak berlebih-lebihan Sedikitpun, ternyata bahwa golongan yang menggerakkan tajdid itu adalah golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik dalam bidang furu’ maupun dalam bidang beramal saleh dan jihad.
Dengan mengembalikan segala perkara agama dan semua perikehidupan ummat kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul, kita semua dapat bersatu teguh di dalam ikatan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, di bawah naungan dan petunjuk ruang asli murni dari Allah dan Rasul-Nya Muhammad s.a.w. Nabi dan Rasul terakhir yang menjadi rahmat kepada seluruh alam, dan dengan tetap berpegang teguh kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul itu kita pasti tidak akan sesat, tidak akan keliru.
Wasiyat Rasulullah s.a.w. : “Aku telah tinggalkan untukmu dua perkara yang jika kamu sekalian pegang teguh, kamu tidak akan sesat : yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (Riwayat Hakim dan Ibnu ‘Abbas).

Sekianlah semoga Allah memberi taufiq kepada segenap kaum Muslimin dan kepada pembinaan Negara dan Masyarakat adil makmur diridlai Allah. Amien.
------------------------
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah - Bid'ah Khurafat, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, Cetakan Ke IV, halaman 18-21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar