Permusuhan dan Solidaritas Kekabilahan
Perkampungan-perkampungan para kabilah itu dibatasi oleh adat dan kesepakatan. Apabila di satu kabilah terjadi kekeringan maka ia akan mencari padang rumput jauh dari kampungnya sendiri, dan tak boleh ada kabilah lain menempati tempatnya itu atau mencoba membunuh penghuni dan pemiliknya. Dengan demikian, pada waktu kita Sekarang ini kita dapat mengenali perkampungan para kabilah itu dari peta bumi. Tetapi permusuhan semacam itu serta peperangan antar kabilah sebagai akibatnya sering terjadi bahkan sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan jahiliah. Oleh karenanya, seorang badui itu sudah menjadi prajurit sejak lahir dan kehidupan kabilah itu sering merupakan kehidupan perang dan perampasan. Mengadakan serangan dan penjarahan kemudian membawanya lari ke kemah-kemah besar sudah menjadi kebiasaan penghuni pedalaman. Kalau kabilah itu sudah kembali pulang sesudah mengadakan serangan, mereka tinggal dalam kemah-kemah itu dengan siaga penuh, menunggu datangnya serangan balik dari yang lain sebagai pembalasan atau balik menjarah harta mereka seperti yang mereka lakukan terhadap yang lain. Begitu juga —masih menurut Ibn Khaldun— mengenai penduduk pedalaman, bahwa “Mereka tukang rampok dan melakukan perbuatan sia-sia semampu mereka tanpa suatu alasan mereka melakukan petualangan lalu melarikan diri ke tempat pencarian rumput di gurun terpencil. Biasanya pemimpin mereka memerlukan mereka untuk memupuk rasa solidaritas kesukuan yang akan dijadikan kubu pertahanannya. Dalam hal ini ia terpaksa mengikuti watak mereka dan meninggalkan permusuhan mereka agar tidak melemahkan rasa solidaritasnya, yang berarti akan menjadi kehancurannya sendiri dan kehancuran mereka.”
Wajar sekali bila mereka merasa khawatir akan mendapat pembalasan dan serangan dari kabilah secara bersama-sama, mendorong orang-orangnya untuk memperkuat diri dengan membawa kenangan masa lalu serta keberanian nenek moyang mereka dulu yang gagah berani. Di sinilah letak rahasia keinginan mereka untuk mengetahui asal usul mereka, membanggakan diri terhadap yang lain, memperkuat rasa gotong royong dengan mengacu kepada leluhur yang terkenal berani, murah hati, suka melindungi tetangga dan sifat-sifat serupa yang ditanamkan kepada mereka untuk dijadikan bawaan dan watak mereka. Dan sudah menjadi keharusan pula anak-anak mereka akan mengikuti jejak itu. Hanya dengan inilah kehidupan di pedalaman itu dimungkinkan. Manusia pedalaman menjadi sasaran penyerangan kabilah lain. Hidup di pedalaman adalah hidup keras. kadang sampai kepada kemiskinan. Kalau penghuninya tidak ramah bersedia menerima tamu dan melindungi tetangga banyak yang akan menghadapi kehancuran. Hidup di pedalaman hidup melawan alam dan menghadapi para penyerang. Kalau penghuninya bukan orang-orang pemberani, cerdik dan tabah, mereka akan memikul segala beban hidup. Kalau mereka tak dapat bermain propaganda yang akan membuat yang lain takut, mereka akan menghadapi bahaya. Oleh karena itu syair-svair dan prosa-prosa mereka isinya kebanyakan tentang kebanggaan, semangat kekesatriaan, kemuliaan dan bicara tentang segala macam kebajikan yang dituntut oleh hidup ini dan mendorong mereka berbicara tentang itu semua.
Dalam mengadakan pembalasan terhadap para penyerang, Arab pedalaman itu tidak saja terhadap perkampungan mereka, tetapi juga terhadap nyawa, harta benda, kehormatan dan penghinaan serta segala yang harus mendapat pembalasan, yang kesemuanya itu sudah ada aturan mainnya di kalangan mereka. Setiap anak kabilah merasa mempunyai kewajiban untuk mengadakan pembalasan. Kalau seseorang di antara mereka ada yang terbunuh, semua anak mereka akan mengangkat senjata tatkala teriakan keluarga pihak yang terbunuh mulai menggema : Hai, pembalasan!” Begitu juga halnya terutama bila si pembunuh dari kabilah lain. Kalau tempat tinggal si pembunuh itu dekat dibakar, semua unta dan kambingnya dibunuhi, dan segala yang dianggap suci selama tiga hari penuh boleh dilanggar. Dalam hal ini kabilah pihak pembunuh tidak akan menyalahkan atau menghukum si penuntut balas dan kabilahnya atas tindakan mereka itu. Tetapi si pembunuh setelah melakukan kejahatannya sering berlindung kepada siapa saja yang bersedia melindunginya dan mampu mengamankannya. Kalau dia meminta suaka dan dilindungi maka ia harus membayar diat. Sesuai dengan adat yang berlaku mengenai diat ini, pihak yang hendak menuntut balas akan menuntut anak-anak gadis, unta dan harta kepada keluarga si pembunuh. Pertama sekali keluarga si pembunuh harus menerima terlebih dulu, baru kemudian terjadi tawar-menawar disusul dengan pihak penuntut yang akan banyak mengalah atas tuntutannya itu. Tetapi samasekali ia tidak akan mengalah dari diat berupa dua anak gadis dan kampung si pembunuh, untuk dirinya sendiri atau untuk diberikan kepada siapa saja.
Tentang pembalasan yang menyangkut kehormatan dan penghinaan biasanya mengakibatkan perang antara dua kabilah, yang dapat memakan waktu sampai bertahun-tahun lamanya. Kalau kabilah penuntut balas terlalu lemah untuk mengadakan pembalasan sendiri, ia akan menawarkan kepada kampung-kampung kabilah yang lain apa yang menjadi haknya serta pelanggaran atas kehormatannya itu. Kabilah-kabilah yang lain pun bersedia memberikan perlindungan atau bersekutu untuk bersama-sama mengadakan pembalasan. Persekutuan untuk tujuan semacam ini sudah biasa. Barangkali kita masih ingat mengenai Hilf al-Fudul yang juga mengikutkan Muhammad sebelum kerasulannya ketika kabilah-kabilah Mekah mengadakan perjanjian dan kesepakatan, bahwa mereka akan berada di pihak yang teraniaya sampai ía dapat menyelesaikan kewajibannya. Serangan pihak Ahzab ke Medinah sesudah hijrah Rasulullah adalah hasil persekutuan Yahudi Medinah dengan kabilah-kabilah Mekah dan kabilah-kabilah Arab lainnya. Persekutuan semacam ini banyak sekali dilakukan pada masa jahiliah. Berita-beritanya pun banyak terdapat dalam buku-buku sejarah dan buku-buku sastra.
Untuk hidup saling balas dendam, saling serang dan petualangan ini orang percaya pada alamat baik dan alamat buruk (Tatayyara, alamat baik atau buruk. Kepercayaan Arab jahiliah, jika orang hendak melakukan sesuatu melihat burung yang terbang di angkasa. Jika datangnya dari arah kanan berarti alamat baik, atau sebaliknya). Pihak yang menang akan merasa mendapat alamat baik kalau kemenangannya membava kepada hal-hal yang di luar dugaannya. Sebaliknya pihak yang kalah merasa mendapat alamat buruk, juga oleh sebab yang sama. Orang Arab waktu itu termasuk bangsa yang paling percaya pada alamat baik atau alamat buruk itu. Hal demikian bukan hanya dalam soal perang, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa sejarawan menghubungkan orang Arab sang menamakan anak-anaknya dengan nama binatang karena kepercayaannya pada alamat buruk atau alamat baik tadi. Disebutkan bahwa jika ada yang mendapat keturunan lalu mati kemudian mendapat anak lagi maka anaknya ini diberi nama binatang, seperti Sa’lah (“kancil’), Saur (“sapi”), Kalb (“anjing”), Zi’b (“serigala”), Fahd (“harimau kumbang”) atau Asad (“singa”). Para sejarawan itu juga menyebutkan bahwa banyak kabilah yang menggunakan nama-nama hewan itu karena nenek moyang mereka dulu memakai nama hewan untuk menghindari kematian. Kalau penafsiran ini benar, juga harus berlaku kepada yang lain yang bukan Arab Keluarga-keluarga yang menggunakan nama kancil. serigala atau nama-nama hewan lain seperti yang kita lihat pada orang-orang Inggris, Prancis, Jerman dan yang lain. Penyebabnya mungkin karena kepercayaan pada alamat buruk dan baik tadi seperti pada orang Arab.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 645-647.
Perkampungan-perkampungan para kabilah itu dibatasi oleh adat dan kesepakatan. Apabila di satu kabilah terjadi kekeringan maka ia akan mencari padang rumput jauh dari kampungnya sendiri, dan tak boleh ada kabilah lain menempati tempatnya itu atau mencoba membunuh penghuni dan pemiliknya. Dengan demikian, pada waktu kita Sekarang ini kita dapat mengenali perkampungan para kabilah itu dari peta bumi. Tetapi permusuhan semacam itu serta peperangan antar kabilah sebagai akibatnya sering terjadi bahkan sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan jahiliah. Oleh karenanya, seorang badui itu sudah menjadi prajurit sejak lahir dan kehidupan kabilah itu sering merupakan kehidupan perang dan perampasan. Mengadakan serangan dan penjarahan kemudian membawanya lari ke kemah-kemah besar sudah menjadi kebiasaan penghuni pedalaman. Kalau kabilah itu sudah kembali pulang sesudah mengadakan serangan, mereka tinggal dalam kemah-kemah itu dengan siaga penuh, menunggu datangnya serangan balik dari yang lain sebagai pembalasan atau balik menjarah harta mereka seperti yang mereka lakukan terhadap yang lain. Begitu juga —masih menurut Ibn Khaldun— mengenai penduduk pedalaman, bahwa “Mereka tukang rampok dan melakukan perbuatan sia-sia semampu mereka tanpa suatu alasan mereka melakukan petualangan lalu melarikan diri ke tempat pencarian rumput di gurun terpencil. Biasanya pemimpin mereka memerlukan mereka untuk memupuk rasa solidaritas kesukuan yang akan dijadikan kubu pertahanannya. Dalam hal ini ia terpaksa mengikuti watak mereka dan meninggalkan permusuhan mereka agar tidak melemahkan rasa solidaritasnya, yang berarti akan menjadi kehancurannya sendiri dan kehancuran mereka.”
Wajar sekali bila mereka merasa khawatir akan mendapat pembalasan dan serangan dari kabilah secara bersama-sama, mendorong orang-orangnya untuk memperkuat diri dengan membawa kenangan masa lalu serta keberanian nenek moyang mereka dulu yang gagah berani. Di sinilah letak rahasia keinginan mereka untuk mengetahui asal usul mereka, membanggakan diri terhadap yang lain, memperkuat rasa gotong royong dengan mengacu kepada leluhur yang terkenal berani, murah hati, suka melindungi tetangga dan sifat-sifat serupa yang ditanamkan kepada mereka untuk dijadikan bawaan dan watak mereka. Dan sudah menjadi keharusan pula anak-anak mereka akan mengikuti jejak itu. Hanya dengan inilah kehidupan di pedalaman itu dimungkinkan. Manusia pedalaman menjadi sasaran penyerangan kabilah lain. Hidup di pedalaman adalah hidup keras. kadang sampai kepada kemiskinan. Kalau penghuninya tidak ramah bersedia menerima tamu dan melindungi tetangga banyak yang akan menghadapi kehancuran. Hidup di pedalaman hidup melawan alam dan menghadapi para penyerang. Kalau penghuninya bukan orang-orang pemberani, cerdik dan tabah, mereka akan memikul segala beban hidup. Kalau mereka tak dapat bermain propaganda yang akan membuat yang lain takut, mereka akan menghadapi bahaya. Oleh karena itu syair-svair dan prosa-prosa mereka isinya kebanyakan tentang kebanggaan, semangat kekesatriaan, kemuliaan dan bicara tentang segala macam kebajikan yang dituntut oleh hidup ini dan mendorong mereka berbicara tentang itu semua.
Dalam mengadakan pembalasan terhadap para penyerang, Arab pedalaman itu tidak saja terhadap perkampungan mereka, tetapi juga terhadap nyawa, harta benda, kehormatan dan penghinaan serta segala yang harus mendapat pembalasan, yang kesemuanya itu sudah ada aturan mainnya di kalangan mereka. Setiap anak kabilah merasa mempunyai kewajiban untuk mengadakan pembalasan. Kalau seseorang di antara mereka ada yang terbunuh, semua anak mereka akan mengangkat senjata tatkala teriakan keluarga pihak yang terbunuh mulai menggema : Hai, pembalasan!” Begitu juga halnya terutama bila si pembunuh dari kabilah lain. Kalau tempat tinggal si pembunuh itu dekat dibakar, semua unta dan kambingnya dibunuhi, dan segala yang dianggap suci selama tiga hari penuh boleh dilanggar. Dalam hal ini kabilah pihak pembunuh tidak akan menyalahkan atau menghukum si penuntut balas dan kabilahnya atas tindakan mereka itu. Tetapi si pembunuh setelah melakukan kejahatannya sering berlindung kepada siapa saja yang bersedia melindunginya dan mampu mengamankannya. Kalau dia meminta suaka dan dilindungi maka ia harus membayar diat. Sesuai dengan adat yang berlaku mengenai diat ini, pihak yang hendak menuntut balas akan menuntut anak-anak gadis, unta dan harta kepada keluarga si pembunuh. Pertama sekali keluarga si pembunuh harus menerima terlebih dulu, baru kemudian terjadi tawar-menawar disusul dengan pihak penuntut yang akan banyak mengalah atas tuntutannya itu. Tetapi samasekali ia tidak akan mengalah dari diat berupa dua anak gadis dan kampung si pembunuh, untuk dirinya sendiri atau untuk diberikan kepada siapa saja.
Tentang pembalasan yang menyangkut kehormatan dan penghinaan biasanya mengakibatkan perang antara dua kabilah, yang dapat memakan waktu sampai bertahun-tahun lamanya. Kalau kabilah penuntut balas terlalu lemah untuk mengadakan pembalasan sendiri, ia akan menawarkan kepada kampung-kampung kabilah yang lain apa yang menjadi haknya serta pelanggaran atas kehormatannya itu. Kabilah-kabilah yang lain pun bersedia memberikan perlindungan atau bersekutu untuk bersama-sama mengadakan pembalasan. Persekutuan untuk tujuan semacam ini sudah biasa. Barangkali kita masih ingat mengenai Hilf al-Fudul yang juga mengikutkan Muhammad sebelum kerasulannya ketika kabilah-kabilah Mekah mengadakan perjanjian dan kesepakatan, bahwa mereka akan berada di pihak yang teraniaya sampai ía dapat menyelesaikan kewajibannya. Serangan pihak Ahzab ke Medinah sesudah hijrah Rasulullah adalah hasil persekutuan Yahudi Medinah dengan kabilah-kabilah Mekah dan kabilah-kabilah Arab lainnya. Persekutuan semacam ini banyak sekali dilakukan pada masa jahiliah. Berita-beritanya pun banyak terdapat dalam buku-buku sejarah dan buku-buku sastra.
Untuk hidup saling balas dendam, saling serang dan petualangan ini orang percaya pada alamat baik dan alamat buruk (Tatayyara, alamat baik atau buruk. Kepercayaan Arab jahiliah, jika orang hendak melakukan sesuatu melihat burung yang terbang di angkasa. Jika datangnya dari arah kanan berarti alamat baik, atau sebaliknya). Pihak yang menang akan merasa mendapat alamat baik kalau kemenangannya membava kepada hal-hal yang di luar dugaannya. Sebaliknya pihak yang kalah merasa mendapat alamat buruk, juga oleh sebab yang sama. Orang Arab waktu itu termasuk bangsa yang paling percaya pada alamat baik atau alamat buruk itu. Hal demikian bukan hanya dalam soal perang, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa sejarawan menghubungkan orang Arab sang menamakan anak-anaknya dengan nama binatang karena kepercayaannya pada alamat buruk atau alamat baik tadi. Disebutkan bahwa jika ada yang mendapat keturunan lalu mati kemudian mendapat anak lagi maka anaknya ini diberi nama binatang, seperti Sa’lah (“kancil’), Saur (“sapi”), Kalb (“anjing”), Zi’b (“serigala”), Fahd (“harimau kumbang”) atau Asad (“singa”). Para sejarawan itu juga menyebutkan bahwa banyak kabilah yang menggunakan nama-nama hewan itu karena nenek moyang mereka dulu memakai nama hewan untuk menghindari kematian. Kalau penafsiran ini benar, juga harus berlaku kepada yang lain yang bukan Arab Keluarga-keluarga yang menggunakan nama kancil. serigala atau nama-nama hewan lain seperti yang kita lihat pada orang-orang Inggris, Prancis, Jerman dan yang lain. Penyebabnya mungkin karena kepercayaan pada alamat buruk dan baik tadi seperti pada orang Arab.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 645-647.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar