Pengaruh Qur‘an dan Kedudukan Perempuan
Mentalitas manusia Arab sudah terbebas dari perbudakan paganisme, dan beriman kepada Allah Pencipta segalanya. Dengan demikian ia juga terbebas dari belenggu angan-angan dan perbudakan berbagai macam upacara yang berlaku di masa jahiliah. Apa yang datang dari Allah telah membuka mata hati mereka dan sudah siap menenimanya. Pembebasan ini besar pengaruhnya dalam kehidupan sosial, juga dalam kehidupan rohani.
Pengaruh terbesar dalam kehidupan sosial itu ialah perubahan pandangan kaum laki-laki terhadap perempuan. Wahyu telah menyamakan kedua jenis kelamin itu. Firman itu ditujukan kepada laki-laki dan perempuan beriman, kepada laki-laki dan perempuan musyrik, dan berbicara tentang perempuan dengan lemah lembut dan dengan sikap hormat, hak dan kewajiban mereka sama menurut yang sepantasnya. Allah berfirman : “Aku tidak akan menghilangkan amal seseorang di antara kamu, laki-laki dan perempuan.” (TQS. Ali Imran (3) : 195). “Barang siapa melakukan amal kebaikan —laki-laki atau perempuan dan dia beriman, — mereka akan masuk surga dan tidak akan diperlakukan tidak adil sedikit pun.” (TQS an-Nisa’ (4) : 124). “Barang siapa mengerjakan amal kebaikan —laki-laki ataupun perempuan dan beriman,— pasti akan Kami beri dia kehidupan baru, suatu kehidupan yang baik dan bersih, dan akan Kami balas dengan pahala yang sebaik-baiknya, sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS an-Nahl (16) : 97). “Dan menjatuhkan azab kepada kaum munafik —laki-laki dan perempuan, kaum musyrik— laki-laki dan perempuan— yang berprasangka buruk terhadap Allah….” (TQS. al-Fath (48) : 6). Selanjutnya firman-Nya lagi : “Tuhanmu telah menetapkan, janganlah menyembah yang selain Dia, dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak. Kalau salah seorang di antara mereka atau keduanya sudah mencapai usia lanjut semasa hidupmu, maka janganlah berkata “cis!” kepada mereka, dan janganlah membentak mereka, tetapi ucapkanlah kata-kata mulia. Dan rendahkan sayap kasih sayang kepada mereka dengan rendah hati, dan katakanlah : “Tuhanku! limpahkanlah rahmat kepada keduanya sebagaimana mereka telah memeliharaku semasa aku kecil.” (TQS. al-Isra’ (17) : 23-24).
Ayat-ayat tersebut dan banyak lagi yang semacamnya merupakan nada baru di telinga orang jahiliah. Di depan Allah laki-laki dan perempuan sama. Keduanya akan mendapat balasan yang sama, hal yang tak pernah terdengar di antara sesama mereka di kalangan Arab, juga mereka tak pernah mendengar yang demikian pada tetangga mereka, Persia dan Rumawi. Tetapi agama baru ini memerintahkan demikian, yang diwahyukan kepada Nabi, yang orang Arab itu. Setiap Muslim diwajibkan beriman dan mengikutinya.
Pengaruh perintah ini dalam hubungan suami-istri, ayah dan anak, antara sesama saudara, tidak lagi kedudukan istri yang hanya seperti babu atau budak, melainkan sudah menjadi mitra suami dalam hidupnya, haknya terhadap suami seperti hak seorang mitra terhadap mitranya. Allah berfirman : “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya. Ia menciptakan pasangan-pasangan bagimu dari jenis kamu sendiri, supaya kamu hidup tenang dengan mereka, dan Ia menanamkan rasa cinta dan kasih sayang di antara kamu.” (TQS ar-Rum (30) : 21). Tidak akan ada lagi lelaki yang akan membenci gadisnya, yakni hamba perempuannya, memperdagangkan diri untuk mencari uang seperti dalam firman Allah ini : “Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuan kamu melakukan pelacuran, jika mereka mengingini hidup yang bersih, karena hendak mencari keuntungan duniawi...” (TQS an-Nur (24) : 33).
Setelah itu tak ada laki-laki yang merasa kesal terhadap anak perempuan atau akan menguburnya hidup-hidup karena takut akan mendapat malu atau telantar. Allah berfirman dalam Qur’an menolak perbuatan itu : “… janganlah bunuh anak-anaknya karena dalih kemiskinan, Kami memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka...” (TQS. al-An’am (6) : 151). “Ataukah Ia mengambil anak-anak perempuan dan apa yang Ia ciptakan, dan memberikan kepadamu anak-anak lelaki sebagai pilihan? Bila salah seorang dari mereka dikabari (tentang kelahiran) yang dimisalkan kepada Allah Maha Pemuruh. mukanya berubah gelap karena menahan dendam.” (TQS. az-Zukhruf (43) : 16-17), dan bersumpah dengan penguburan anak perempuan hidup-hidup : “Dan bila bayi (perempuan) ditanya, — Karena salah apa ia dibunuh….” (TQS. at-Takwir (81) : 8).
Pemberontakan terhadap adat yang sudah berakar turun-menurun ini patut sekali menuju kepada revolusi sosial dalam dasar kehidupan orang Arab yang berlaku di pedalaman dan di perkotaan. Inilah pemberontakan yang dibawa oleh wahyu kepada Rasulullah, suatu perintah Allah yang sudah tak dapat ditolak lagi, dan manusia tak akan dapat menghindar, harus tunduk. Sudah tentu revolusi demikian ini efeknya lebih dahsyat dalam jiwa orang Arab daripada revolusi mental yang berakhir dengan dihancurkannya berhala-berhala, membuang jauh-jauh paham syirik dan yang menjadi pegangan hanya tauhid kepada Allah. Hati kita dan pikiran kita segera memburu kebebasan yang akan menerangi jalannya, begitu rantai yang membelenggunya hancur. Dan selama masih terbatas pada pemikiran kita dan keyakinan kita yang subyektif, maka keadaan akan tetap demikian. Kalau hal itu sudah menyangkut sampai pada kekuasaan kita di dunia dan pada hubungan kita dengan orang lain, kita akan maju mundur untuk tunduk dan menyerah. Kalau pikiran kita sudah menyerah kita masih berusaha mempertahankan kekuasaan kita atau mengambil kembali apa yang sudah hilang atau berkurang, karena nafsu kita menyuruh dan mendorong kita berbuat demikian. Betapapun pikiran kita dapat mengatasi nafsu, betapapun dapat membebaskan diri untuk memahami pengertian yang lebih luhur, namun keputusan ada pada naluri manusia yang sudah menjadi tempat bersemayam nafsu itu.
Islam Menghormati Perempuan dan Pengaruhnya dalam Masyarakat
Bukti yang paling jelas dalam hal yang sedang kita hadapi ini ialah kata-kata Umar bin Khattab sendiri. Muslim dengan isnadnya menyebutkan bahwa Umar mengatakan : “Ya, sungguh,” kata Umar. di zaman jahiliah perempuan-perempuan tidak kami hargai. Baru setelah Allah memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka.” Dan katanya lagi : “Ketika saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba istri saya berkata : Coba kau berbuat begini atau begitu. Jawab saya, ‘Ada urusan apa engkau di sini, dan perlu apa engkau dengan urusanku.’ Dia pun membalas, Aneh sekali engkau. Umar. Engkau tidak mau ditentang, padahal putrimu menentang Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga ia gusar sepanjang hari. Kata Umar selanjutnya : “Kuambil mantelku, aku pergi keluar menemui Hafsah. ‘Anakku’, kataku kepadanya. ‘Engkau menentang Rasulullah sllahu ‘alaihi wasallam sampai ia merasa gusar sepanjang hari Hafsah menjawab : Memang kami menentangnya.’ ‘Engkau harus tahu, kataku. ‘Kuperingatkan engkau jangan teperdaya. Orang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dan mengira cinta Rasulullah sallallãhu ‘alaihi wasallam hanya karenanya. Kemudian saya pergi menemui Um Salamah, karena kami masih berkerabat. Hal ini saya bicarakan dengan dia. Kata Um Salamah kepadaku : Aneh sekali Anda ini, Umar! Anda sudah ikut campur dalam segala hal, sampai-sampai mau mencampuri urusan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam dengan rumah tangganya!’ Kata Umar lagi : ‘Kata-katanya mempengaruhi saya sehingga tidak jadi saya melakukan apa yang sudah saya rencanakan. Saya pun pergi.”
Percakapan antara Umar dengan Hafsah dan Um Salamah ini terjadi dalam tahun ke-9 Hijri. setelah Allah menurunkan wahyu-Nya mengenai perempuan dan menentukan bagian mereka. Kalau demikianlah halnya dengan Umar, orang yang begitu dekat kepada Rasulullah dan paling mematuhi ajaran-ajarannya, bagaimana pula dengan orang-orang yang lain yang tersebar di segenap penjuru Semenanjung itu. Niscaya mereka dengan istri-istri dan anak-anak perempuan serta para kerabat akan sama seperti Umar dengan putrinya dan Um Salamah itu, atau akan lebih lagi dari dia. Sudah tentu kaum perempuan akan bersikeras dengan apa yang sudah ditentukan Allah atas mereka, yang tak mungkin lagi kaum laki-laki akan mengingkarinya atau akan mendebat mereka. Mereka semua sudah beriman kepada Allah, kepada Qur’an, kepada Rasul-Nya.
Poligami dan Hak Waris
Kalau inii adalah pengaruh revolusi yang telah membawa persamaan laki-laki dengan perempuan, maka yang lebih hebat lagi ialah ketika Islam mengakui hak waris bagi perempuan, yang pada zaman jahiliah ditiadakan samasekali, dan ketika Islam membatasi poligami menjadi empat dari yang semula tanpa batas. Kemudian lebih mengutamakan hanya satu istri jika dikhawatirkan tak dapat berbuat adil. Persamaan dalam tingkat martabat yang manusiawi ini serta ganjaran dan balasan bagi perempuan di akhirat lebih sesuai menurut segala pertimbangan yang ideal. Laki-laki tak akan dirugikan, jika antara dia dengan istrinya terjalin rasa cinta di pihak istri, dan rasa kasih sayang di pihak suami. Juga laki-laki tak akan dirugikan jika Allah mengamanatkan kepada manusia terhadap kedua orangtuanya, “….. ibunya yang telah mengandungnya dalam kelemahan demi kelemahan, dan menyapihnya dalam waktu dua tahun. Bersyukurlah kamu kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Kepada-Ku juga kamu akan kembali.” (TQS. Luqman (31) : 14).
Bahwa perempuan itu berhak menerima warisan atas peninggalan pewaris bersama-sama dengan kaum laki-laki. Kaum laki-laki yang maju ke medan pertempuran, maka dialah yang harus melindungi daerah itu dan yang memperoleh hasilnya, yakni menyangkut apa yang oleh sebagian orang sekarang disebut “hak-hak perolehan” yang intinya menyangkut kemanfaatan materi. Sebagian besar orang lebih cenderung pada kemanfaatan materi ini daripada yang lain.
Dalam hal semacam inilah perlunya pembatasan poligami itu dengan empat, dan lebih mengutamakan satu istri seperti dalam firman Allah ini : “…..kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai : dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tak dapat berlaku adil, maka seorang sajalah, atau (tawanan perang,) yang ada di tangan kananmu; yang demikian menjauhkan kamu dari penyimpangan.” (TQS. an-Nisa’ (4) : 3). Apa yang sudah ditentukan untuk perempuan oleh ayat ini sesuai dengan martabat manusia yang sudah diatur oleh Qur’an buat perempuan. Sungguhpun begitu ada pembatasan yang diperbolehkan bagi orang Arab di masa jahiliah. Sekarang Islam telah menetapkannya dan bagi orang yang sudah menerima Islam tak ada jalan lain harus menaatinya.
Tetapi buat orang-orang Arab yang sudah tunduk pada ketentuan-ketentuan itu masih terdapat keringanan dan yang sudah diturunkan mengenai perempuan itu ketika membaca ayat ini : “Laki-laki adalah pelindung dan bertanggung-jawa terhadap kaum perempuan karena Allah telah memberikan kelebihan kekuatan pada atas yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari harta mereka….” (TQS. an-Nisa’ (4) : 34). Dan firman-Nya : “... hendaklah disaksikan oleh dua orang laki-laki: jika tak ada dua orang laki-laki maka, seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu sukai; jika yang seorang lupa, yang lain akan mengingatkan…..” (TQS. al-Baqarah (2) : 282). Ketika untuk laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan dalam harta waris, ayat-ayat ini membuka jalan buat mereka yang mau bertahan dengan pandangan lamanya. Kalaupun jalan ini sedikit terbuka hanya karena laki-laki yang memikul beban belanja keluarga serta yang mempertahankan agama dan tanah airnya dengan melakukan perjuangan di jalan Allah.
Ayat-ayat yang turun mengenai perempuan dan yang semacamnya itu wajar sekali akan berakibat timbulnya revolusi sosial yang sangat dalam pada kehidupan masyarakat Arab. Perempuan adalah tiang rumah tangga, dan keluarga adalah tiang kabilah dan masyarakat secara keseluruhan. Kaum lelaki yang menghormati kaum perempuan dan keikutsertaannya dalam bidang yang ditekuninya, ia mempunyai kodratnya sendiri dalam kegiatan kehidupan itu, akan memberi semangat dan kekuatan tersendiri yang tidak mungkin timbul kalau ia diperlakukan seperti hamba sahaya dan dijauhkan dari segala kegiatan kehidupan. Menghormati perempuan berarti mengangkat rasa estetik ke puncak yang tidak akan dapat sempurna jika ia dikungkung dalam batas-batas bahwa dia hanya sebuah benda di tangan laki-laki dan hanya pembantu rumahnya. Barangkali kita akan melihat dalam syair jahiliah, yang bila sudah menyangkut masalah perempuan ia ditempatkan hanya sebagai benda, tak punya tempat dalam hati kaum laki-laki atau akan dihargai di luar batas-batas benda itu. Mu’allaqat as-Sab (Tujuh yang digantung, karya penyair Arab jahiliah) sudah menjadi bukti dan sangat mendukungnya. Kita masih ingat ketika perempuan-perempuan Kuraisy keluar bersama-sama prajuritnya hendak mengadakan pembalasan dendam karena kekalahan dalam Perang Badr ketika itu. Setelah mereka berhadapan dengan pasukan Muslimin di Uhud perempuan-perempuan itu membakar semangat kaum lelakinya dengan bersenandung.
Buat perempuan Kuraisy sebagai imbalan bagi yang dapat mengalahkan musuh bukanlah suatu kebanggaan tanah air dan membalas rasa harga diri, tetapi laki-laki yang pemberani itu akan mereka peluk dan akan mereka hamparkan kasur. Laki-laki yang mundur dari perang sebagai hukumannya akan mereka jauhi. Sekiranya hubungan laki-laki dengan perempuan itu tidak hanya terbatas pada benda seperti pada zaman jahiliah itu, tetapi atas dasar cinta dan kasih sayang seperti yang disebutkan di dalam Qur’an, niscaya dalam menilai para pahlawannya, perempuan Kuraisy itu tidak akan berpandangan demikian.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 651-656.
Mentalitas manusia Arab sudah terbebas dari perbudakan paganisme, dan beriman kepada Allah Pencipta segalanya. Dengan demikian ia juga terbebas dari belenggu angan-angan dan perbudakan berbagai macam upacara yang berlaku di masa jahiliah. Apa yang datang dari Allah telah membuka mata hati mereka dan sudah siap menenimanya. Pembebasan ini besar pengaruhnya dalam kehidupan sosial, juga dalam kehidupan rohani.
Pengaruh terbesar dalam kehidupan sosial itu ialah perubahan pandangan kaum laki-laki terhadap perempuan. Wahyu telah menyamakan kedua jenis kelamin itu. Firman itu ditujukan kepada laki-laki dan perempuan beriman, kepada laki-laki dan perempuan musyrik, dan berbicara tentang perempuan dengan lemah lembut dan dengan sikap hormat, hak dan kewajiban mereka sama menurut yang sepantasnya. Allah berfirman : “Aku tidak akan menghilangkan amal seseorang di antara kamu, laki-laki dan perempuan.” (TQS. Ali Imran (3) : 195). “Barang siapa melakukan amal kebaikan —laki-laki atau perempuan dan dia beriman, — mereka akan masuk surga dan tidak akan diperlakukan tidak adil sedikit pun.” (TQS an-Nisa’ (4) : 124). “Barang siapa mengerjakan amal kebaikan —laki-laki ataupun perempuan dan beriman,— pasti akan Kami beri dia kehidupan baru, suatu kehidupan yang baik dan bersih, dan akan Kami balas dengan pahala yang sebaik-baiknya, sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS an-Nahl (16) : 97). “Dan menjatuhkan azab kepada kaum munafik —laki-laki dan perempuan, kaum musyrik— laki-laki dan perempuan— yang berprasangka buruk terhadap Allah….” (TQS. al-Fath (48) : 6). Selanjutnya firman-Nya lagi : “Tuhanmu telah menetapkan, janganlah menyembah yang selain Dia, dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak. Kalau salah seorang di antara mereka atau keduanya sudah mencapai usia lanjut semasa hidupmu, maka janganlah berkata “cis!” kepada mereka, dan janganlah membentak mereka, tetapi ucapkanlah kata-kata mulia. Dan rendahkan sayap kasih sayang kepada mereka dengan rendah hati, dan katakanlah : “Tuhanku! limpahkanlah rahmat kepada keduanya sebagaimana mereka telah memeliharaku semasa aku kecil.” (TQS. al-Isra’ (17) : 23-24).
Ayat-ayat tersebut dan banyak lagi yang semacamnya merupakan nada baru di telinga orang jahiliah. Di depan Allah laki-laki dan perempuan sama. Keduanya akan mendapat balasan yang sama, hal yang tak pernah terdengar di antara sesama mereka di kalangan Arab, juga mereka tak pernah mendengar yang demikian pada tetangga mereka, Persia dan Rumawi. Tetapi agama baru ini memerintahkan demikian, yang diwahyukan kepada Nabi, yang orang Arab itu. Setiap Muslim diwajibkan beriman dan mengikutinya.
Pengaruh perintah ini dalam hubungan suami-istri, ayah dan anak, antara sesama saudara, tidak lagi kedudukan istri yang hanya seperti babu atau budak, melainkan sudah menjadi mitra suami dalam hidupnya, haknya terhadap suami seperti hak seorang mitra terhadap mitranya. Allah berfirman : “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya. Ia menciptakan pasangan-pasangan bagimu dari jenis kamu sendiri, supaya kamu hidup tenang dengan mereka, dan Ia menanamkan rasa cinta dan kasih sayang di antara kamu.” (TQS ar-Rum (30) : 21). Tidak akan ada lagi lelaki yang akan membenci gadisnya, yakni hamba perempuannya, memperdagangkan diri untuk mencari uang seperti dalam firman Allah ini : “Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuan kamu melakukan pelacuran, jika mereka mengingini hidup yang bersih, karena hendak mencari keuntungan duniawi...” (TQS an-Nur (24) : 33).
Setelah itu tak ada laki-laki yang merasa kesal terhadap anak perempuan atau akan menguburnya hidup-hidup karena takut akan mendapat malu atau telantar. Allah berfirman dalam Qur’an menolak perbuatan itu : “… janganlah bunuh anak-anaknya karena dalih kemiskinan, Kami memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka...” (TQS. al-An’am (6) : 151). “Ataukah Ia mengambil anak-anak perempuan dan apa yang Ia ciptakan, dan memberikan kepadamu anak-anak lelaki sebagai pilihan? Bila salah seorang dari mereka dikabari (tentang kelahiran) yang dimisalkan kepada Allah Maha Pemuruh. mukanya berubah gelap karena menahan dendam.” (TQS. az-Zukhruf (43) : 16-17), dan bersumpah dengan penguburan anak perempuan hidup-hidup : “Dan bila bayi (perempuan) ditanya, — Karena salah apa ia dibunuh….” (TQS. at-Takwir (81) : 8).
Pemberontakan terhadap adat yang sudah berakar turun-menurun ini patut sekali menuju kepada revolusi sosial dalam dasar kehidupan orang Arab yang berlaku di pedalaman dan di perkotaan. Inilah pemberontakan yang dibawa oleh wahyu kepada Rasulullah, suatu perintah Allah yang sudah tak dapat ditolak lagi, dan manusia tak akan dapat menghindar, harus tunduk. Sudah tentu revolusi demikian ini efeknya lebih dahsyat dalam jiwa orang Arab daripada revolusi mental yang berakhir dengan dihancurkannya berhala-berhala, membuang jauh-jauh paham syirik dan yang menjadi pegangan hanya tauhid kepada Allah. Hati kita dan pikiran kita segera memburu kebebasan yang akan menerangi jalannya, begitu rantai yang membelenggunya hancur. Dan selama masih terbatas pada pemikiran kita dan keyakinan kita yang subyektif, maka keadaan akan tetap demikian. Kalau hal itu sudah menyangkut sampai pada kekuasaan kita di dunia dan pada hubungan kita dengan orang lain, kita akan maju mundur untuk tunduk dan menyerah. Kalau pikiran kita sudah menyerah kita masih berusaha mempertahankan kekuasaan kita atau mengambil kembali apa yang sudah hilang atau berkurang, karena nafsu kita menyuruh dan mendorong kita berbuat demikian. Betapapun pikiran kita dapat mengatasi nafsu, betapapun dapat membebaskan diri untuk memahami pengertian yang lebih luhur, namun keputusan ada pada naluri manusia yang sudah menjadi tempat bersemayam nafsu itu.
Islam Menghormati Perempuan dan Pengaruhnya dalam Masyarakat
Bukti yang paling jelas dalam hal yang sedang kita hadapi ini ialah kata-kata Umar bin Khattab sendiri. Muslim dengan isnadnya menyebutkan bahwa Umar mengatakan : “Ya, sungguh,” kata Umar. di zaman jahiliah perempuan-perempuan tidak kami hargai. Baru setelah Allah memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka.” Dan katanya lagi : “Ketika saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba istri saya berkata : Coba kau berbuat begini atau begitu. Jawab saya, ‘Ada urusan apa engkau di sini, dan perlu apa engkau dengan urusanku.’ Dia pun membalas, Aneh sekali engkau. Umar. Engkau tidak mau ditentang, padahal putrimu menentang Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga ia gusar sepanjang hari. Kata Umar selanjutnya : “Kuambil mantelku, aku pergi keluar menemui Hafsah. ‘Anakku’, kataku kepadanya. ‘Engkau menentang Rasulullah sllahu ‘alaihi wasallam sampai ia merasa gusar sepanjang hari Hafsah menjawab : Memang kami menentangnya.’ ‘Engkau harus tahu, kataku. ‘Kuperingatkan engkau jangan teperdaya. Orang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dan mengira cinta Rasulullah sallallãhu ‘alaihi wasallam hanya karenanya. Kemudian saya pergi menemui Um Salamah, karena kami masih berkerabat. Hal ini saya bicarakan dengan dia. Kata Um Salamah kepadaku : Aneh sekali Anda ini, Umar! Anda sudah ikut campur dalam segala hal, sampai-sampai mau mencampuri urusan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam dengan rumah tangganya!’ Kata Umar lagi : ‘Kata-katanya mempengaruhi saya sehingga tidak jadi saya melakukan apa yang sudah saya rencanakan. Saya pun pergi.”
Percakapan antara Umar dengan Hafsah dan Um Salamah ini terjadi dalam tahun ke-9 Hijri. setelah Allah menurunkan wahyu-Nya mengenai perempuan dan menentukan bagian mereka. Kalau demikianlah halnya dengan Umar, orang yang begitu dekat kepada Rasulullah dan paling mematuhi ajaran-ajarannya, bagaimana pula dengan orang-orang yang lain yang tersebar di segenap penjuru Semenanjung itu. Niscaya mereka dengan istri-istri dan anak-anak perempuan serta para kerabat akan sama seperti Umar dengan putrinya dan Um Salamah itu, atau akan lebih lagi dari dia. Sudah tentu kaum perempuan akan bersikeras dengan apa yang sudah ditentukan Allah atas mereka, yang tak mungkin lagi kaum laki-laki akan mengingkarinya atau akan mendebat mereka. Mereka semua sudah beriman kepada Allah, kepada Qur’an, kepada Rasul-Nya.
Poligami dan Hak Waris
Kalau inii adalah pengaruh revolusi yang telah membawa persamaan laki-laki dengan perempuan, maka yang lebih hebat lagi ialah ketika Islam mengakui hak waris bagi perempuan, yang pada zaman jahiliah ditiadakan samasekali, dan ketika Islam membatasi poligami menjadi empat dari yang semula tanpa batas. Kemudian lebih mengutamakan hanya satu istri jika dikhawatirkan tak dapat berbuat adil. Persamaan dalam tingkat martabat yang manusiawi ini serta ganjaran dan balasan bagi perempuan di akhirat lebih sesuai menurut segala pertimbangan yang ideal. Laki-laki tak akan dirugikan, jika antara dia dengan istrinya terjalin rasa cinta di pihak istri, dan rasa kasih sayang di pihak suami. Juga laki-laki tak akan dirugikan jika Allah mengamanatkan kepada manusia terhadap kedua orangtuanya, “….. ibunya yang telah mengandungnya dalam kelemahan demi kelemahan, dan menyapihnya dalam waktu dua tahun. Bersyukurlah kamu kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Kepada-Ku juga kamu akan kembali.” (TQS. Luqman (31) : 14).
Bahwa perempuan itu berhak menerima warisan atas peninggalan pewaris bersama-sama dengan kaum laki-laki. Kaum laki-laki yang maju ke medan pertempuran, maka dialah yang harus melindungi daerah itu dan yang memperoleh hasilnya, yakni menyangkut apa yang oleh sebagian orang sekarang disebut “hak-hak perolehan” yang intinya menyangkut kemanfaatan materi. Sebagian besar orang lebih cenderung pada kemanfaatan materi ini daripada yang lain.
Dalam hal semacam inilah perlunya pembatasan poligami itu dengan empat, dan lebih mengutamakan satu istri seperti dalam firman Allah ini : “…..kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai : dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tak dapat berlaku adil, maka seorang sajalah, atau (tawanan perang,) yang ada di tangan kananmu; yang demikian menjauhkan kamu dari penyimpangan.” (TQS. an-Nisa’ (4) : 3). Apa yang sudah ditentukan untuk perempuan oleh ayat ini sesuai dengan martabat manusia yang sudah diatur oleh Qur’an buat perempuan. Sungguhpun begitu ada pembatasan yang diperbolehkan bagi orang Arab di masa jahiliah. Sekarang Islam telah menetapkannya dan bagi orang yang sudah menerima Islam tak ada jalan lain harus menaatinya.
Tetapi buat orang-orang Arab yang sudah tunduk pada ketentuan-ketentuan itu masih terdapat keringanan dan yang sudah diturunkan mengenai perempuan itu ketika membaca ayat ini : “Laki-laki adalah pelindung dan bertanggung-jawa terhadap kaum perempuan karena Allah telah memberikan kelebihan kekuatan pada atas yang lain, dan karena mereka memberi nafkah dari harta mereka….” (TQS. an-Nisa’ (4) : 34). Dan firman-Nya : “... hendaklah disaksikan oleh dua orang laki-laki: jika tak ada dua orang laki-laki maka, seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu sukai; jika yang seorang lupa, yang lain akan mengingatkan…..” (TQS. al-Baqarah (2) : 282). Ketika untuk laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan dalam harta waris, ayat-ayat ini membuka jalan buat mereka yang mau bertahan dengan pandangan lamanya. Kalaupun jalan ini sedikit terbuka hanya karena laki-laki yang memikul beban belanja keluarga serta yang mempertahankan agama dan tanah airnya dengan melakukan perjuangan di jalan Allah.
Ayat-ayat yang turun mengenai perempuan dan yang semacamnya itu wajar sekali akan berakibat timbulnya revolusi sosial yang sangat dalam pada kehidupan masyarakat Arab. Perempuan adalah tiang rumah tangga, dan keluarga adalah tiang kabilah dan masyarakat secara keseluruhan. Kaum lelaki yang menghormati kaum perempuan dan keikutsertaannya dalam bidang yang ditekuninya, ia mempunyai kodratnya sendiri dalam kegiatan kehidupan itu, akan memberi semangat dan kekuatan tersendiri yang tidak mungkin timbul kalau ia diperlakukan seperti hamba sahaya dan dijauhkan dari segala kegiatan kehidupan. Menghormati perempuan berarti mengangkat rasa estetik ke puncak yang tidak akan dapat sempurna jika ia dikungkung dalam batas-batas bahwa dia hanya sebuah benda di tangan laki-laki dan hanya pembantu rumahnya. Barangkali kita akan melihat dalam syair jahiliah, yang bila sudah menyangkut masalah perempuan ia ditempatkan hanya sebagai benda, tak punya tempat dalam hati kaum laki-laki atau akan dihargai di luar batas-batas benda itu. Mu’allaqat as-Sab (Tujuh yang digantung, karya penyair Arab jahiliah) sudah menjadi bukti dan sangat mendukungnya. Kita masih ingat ketika perempuan-perempuan Kuraisy keluar bersama-sama prajuritnya hendak mengadakan pembalasan dendam karena kekalahan dalam Perang Badr ketika itu. Setelah mereka berhadapan dengan pasukan Muslimin di Uhud perempuan-perempuan itu membakar semangat kaum lelakinya dengan bersenandung.
Buat perempuan Kuraisy sebagai imbalan bagi yang dapat mengalahkan musuh bukanlah suatu kebanggaan tanah air dan membalas rasa harga diri, tetapi laki-laki yang pemberani itu akan mereka peluk dan akan mereka hamparkan kasur. Laki-laki yang mundur dari perang sebagai hukumannya akan mereka jauhi. Sekiranya hubungan laki-laki dengan perempuan itu tidak hanya terbatas pada benda seperti pada zaman jahiliah itu, tetapi atas dasar cinta dan kasih sayang seperti yang disebutkan di dalam Qur’an, niscaya dalam menilai para pahlawannya, perempuan Kuraisy itu tidak akan berpandangan demikian.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 651-656.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar