"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Kamis, 31 Juli 2014

Kehidupan Sosial pada Masa Umar bin Khattab (6)

Pengaruh Umar dalam Perkembangan Sosial
Pengaruh yang dibawa oleh faktor-faktor yang beraneka ragam masa pemerintahan Umar terhadap kehidupan masyarakat Arab waktu itu membuat Umar mengadakan ijtihad dalam bidang fikih, dalam bidang politik, ekonomi dan sosial dengan pengaruh yang begitu besar dalam masyarakat Islam dan masyarakat Arab semua, baik yang tinggal di Semenanjung atau yang kemudian bermukim di negeri-negeri yang sudah dibebaskan. Pada masanya, ijtihad ini pulalah yang menyelamatkan kehidupan sosial dari kemunduran. Dialah yang telah menjaga kehormatan jiwa Islam dalam hati kaum Muslimin di mana pun mereka berada. Jasa Umar dalam hal ini besar sekali ditambah dengan sifat adilnya dalam menjalankan hukum serta kemampuannya yang begitu perkasa dan cekatan memikul segala beban.
Dengan nalurinya ia sudah dapat menangkap bahwa ketika jiwa manusia sudah mulai membubung tinggi, manusia akan selalu terancam oleh dorongan nafsu yang cenderung hendak mencapai tingkat yang sesuai dengan watak dan bawaannya, seperti pesawat terbang yang membubung tinggi di udara. Ia akan selalu menanggung risiko jatuh, sesuai dengan gravitasi-hukum daya tarik bumi, bilamana tenaganya di angkasa sudah mulai berkurang. Kalau Amirulmukminin tidak mencurahkan perhatiannya untuk mengatasi segala penyebab kelemahan itu dalam dirinya terlebih dulu, untuk dijadikan teladan bagi yang lain —kemudian untuk mengatasi sebab-sebab kelemahan itu dalam diri semua orang karena dikhawatirkan prinsip-prinsip yang telah mengantarkan mereka kepada keagungan dan kekuatan itu akan menyimpang dari tujuan dan akan dikalahkan oleh kodrat dan nafsu keduniaan—niscaya orang akan kembali kepada cara-cara lama yang diterjemahkan ke dalam pola baru yang dikira itulah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan ajaran Islam.
Sudah kita lihat betapa kerasnya Umar terhadap dirinya, supaya ia dapat merasakan sendiri beban perasaan yang ditanggung oleh seorang Muslim yang paling miskin dan paling lemah, sehingga pada suatu saat sahabat-sahabatnya merasa sangat prihatin melihatnya. Tindakannya yang begitu keras terhadap dirinya itu telah membuatnya bebas untuk bersikap keras terhadap setiap orang yang dilihatnya menyalahi dasar keadilan dan ketakwaan, atau menyimpang dari cara hidup bersih dan perangai yang sebenarnya. Dengan demikian ia dapat membuat perhitungan dengan semua pejabatnya dengan cara yang sangat ketat, memecat mereka yang dilihatnya tidak lurus, dengan tetap menjaga kewibawaan dan kewenangan mereka yang berkelakuan baik. Dalam beberapa ketentuan hukum ia terus berijtihad dengan sungguh-sungguh. yang pada masa Abu Bakr dan masa Rasulullah tak pernah dilakukan. Ia membuat peraturan dalam soal ekonomi dan sosial yang begitu keras, yang menurut perhitungannya kebersihan dan kemurnian prinsip-prinsip agama yang benar akan tetap terjamin.
Teladan dan kebijakan Umar dalam ekonomi dan sosial yang ditanamkan ke dalam hati orang-orang Arab itu dari segi keberanian dan strategi perang tetap terjaga kuat. Ia melarang prajurit-prajurit Arab mengolah tanah di Irak, Syam dan Mesir. Mereka harus tetap berada dalam barak-barak sebagai prajurit pejuang. Kedaulatan Islam yang sudah terbentang luas adalah akibat langsung kebijakan ini. ljtihad Umar ini telah membangkitkan kesadaran mental bagi orang Arab dalam bidang-bidang yang belum pernah mereka masuki. Melimpahnya harta itu telah menggoda orang untuk berebut kekayaan serta gemar menimbun harta dan mengembangkannya. Ada yang menyambut baik kecenderungan demikian ini untuk kesejahteraan umat Islam, ada pula yang mencelanya dan menganggapnya bertentangan dengan dasar-dasar dakwah Islam, dengan mengacu kepada firman Allah ini : “Tidak, tetapi sungguh manusia melampaui batas, karena melihat dirinya sudah serba cukup. Ingatlah, kepada Tuhanmu akan kembali semuanya.” (TQS. al-’Alaq (96) : 6—7). Kaum Muslimin melihat peninggalan-peninggalan seni di kawasan-kawasan yang baru dibebaskan itu ada yang berupa patung-patung seperti berhala tidak mereka hancurkan, yang di zaman jahiliah dulu ada di Ka’bah. Sa’d bin Abi Waqqas bahkan menganggap tak ada salahnya menjadikan Iwan Kisra di Mada’in sebagai tempat shalat, dan membiarkan patung-patung itu tetap berdiri di tempatnya sebagai dekorasi yang memperindah istana agar tampak lebih cemerlang. Dibiarkannya patung-patung itu demikian karena memang sudah tak ada orang yang akan menyembahnya. Sebagian besar basil kreativitas ini tujuannya dalam hal yang tidak disebutkan dalam Qur’an dan tidak pula terdapat dalam sunah Rasulullah. Salah satu yang menjadi perhatian orang Arab memang berijtihad dengan akal pikiran. Tetapi perhatian ini tak lebih hanya untuk keperluan sementara, tidak sampai membuat orang Arab itu membentuk aliran-aliran dalam filsafat atau dalam sosial ekonomi yang dasarnya adalah logika yang akan memperdalam segalanya, seperti yang dilakukan oleh Yunani. Juga bukan untuk mendirikan aliran-aliran dalam kesenian dengan berbagai macamnya, yang berkembang dari puisi menjadi drama kepahlawanan, dan prosa menjadi roman, seperti yang dilakukan oleh Persia.
Akan berlebihan sekali jika orang menuntut dari masyarakat Arab masa itu untuk mengubah filsafat tauhid dengan apa yang diuraikan oleh Gazali, Farabi. Ibn Rusyd dan yang lain, yang datang kemudian. Bagi mereka cukup sudah beriman kepada akidah dan kaidah yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Akidah dan kaidah itu oleh mereka sudah dijadikan dasar dalam masalah-masalah ibadah, sistem kehidupan dan muamalatnya. Setelah itu mereka cukup bangga bahwa kaidah-kaidah itu sudah mampu membangun sebuah imperium besar, dan dari sana putra-putra imperium ini berangsur-angsur mampu membangun prinsip-prinsip peradaban yang telah membimbing umat manusia selama berabad-abad berikutnya. Kalau kita ingat bahwa terjadinya transisi ini bukan hal mudah dan kita ingat pula perjuangan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya untuk semua itu, kemudian kita nilai keadaan masyarakat Arab selama kurun waktu itu dalam sejarah umat manusia, kita harus melihat —dengan banyak berlapang dada— apa yang masih tersisa dari adat istiadat lama dalam masyarakat Arab yang tidak dilarang oleh Islam, dan sesuai dengan perkembangan, apa yang terjadi terhadap mereka dengan adanya imperium itu, sesudah mereka sempat menikmati harta kekayaan dan kesenangan yang mereka peroleh, yang tak pernah mereka alami sebelum itu.
Sebenarnya dalam hal ini pola masyarakat Arab itu tidak sendirian, juga mereka tidak menyimpang dari kebiasaan umat manusia pada setiap zaman. Sudah berapa banyak bukti dalam sejarah, bahwa revolusi-revolusi itu tak dapat mengubah kecenderungan manusia dari segala adat istiadatnya sejauh perubahan yang terjadi terhadap pola pemikiran dan sistem masyarakat itu! Mereka yang akhirnya menganut suatu paham atau salah satu prinsip dan sudah diyakininya pula, namun toh mereka tetap berkutat dalam apa yang sudah menjadi bawaan mereka sendiri, sesuai dengan kecenderungan dan keinginan mereka dalam ruang lingkup prinsip dan sistem yang menjadi dasarnya. Terjadi demikian, karena sebagian besar manusia yang terpengaruh oleh dorongan dan godaan naluri, jauh lebih besar daripada yang terpengaruh oleh nilai-nilai luhur yang terpampang di depan mereka. Yang sangat menjadi harapan golongan mayoritas ini sekiranya mereka terbebas dari ganjaran, sebagai akibat atas gaya hidup mereka yang sudah terdorong oleh godaan nalurinya itu. Harapan demikian ini kadang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, kadang mengharapkan kesangsian hakim supaya mereka terhindar dari hukuman itu, dan yang selalu menjadi harapan pengampunan dari Allah. Bukankah pengampunan Allah meliputi segalanya? Bukankah segala kebaikan dibalas dengan sepuluh kali kebaikan. dan balasan atas kejahatan serupa dengan kejahatannya? Alangkah celakanya manusia jika tidak mengharapkan pengampunan Allah! Alangkah banyaknya kenikmatan yang dapat diperoleh manusia dari ciptaan Allah ini! Barang siapa menghalalkan yang dihalalkan oleh Allah dan mengharamkan atas dirinya apa yang sudah diharamkan, dengan mengerjakan segala amal kebaikan, maka Allah juga yang akan memberikan balasan. Tetapi barang siapa tergelincir dari tergoda oleh segala nafsu yang memang selalu mendorong manusia kepada kejahatan, kemudian ia kembali dan bertobat, maka Allah selalu menerima tobat hamba-Nya.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 659-662.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar