"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Senin, 18 Maret 2013

HARUSKAH BERMADZHAB?

Bismillah. Alhamdulillah, washshallatu wassalamu ‘ala Rasulillah.
Ketahuilah wahai saudaraku! Sesungguhnya sikap kita terhadap Imam (madzhab) yang empat adalah sebagaimana sikap kaum muslimin yang adil terhadap para imam tersebut. Yaitu membela, mencintai, menghormati, dan memuji mereka, sebab ilmu dan taqwa yang ada pada mereka. Kita mengikuti mereka dalam beramal yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, mendahulukan al-Qur’an dan Sunnah di atas pendapat-pendapat mereka, mempelajari pendapat-pendapat mereka sebagai alat bantu untuk mencari kebenaran dan meninggalkan apa yang menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah. Adapun perkara yang tidak ada dalilnya secara jelas, maka yang benar adalah kita mempelajari ijtihad mereka, karena ijtihad mereka lebih benar dan baik dan ijtihad kita, karena ilmu dan taqwa mereka lebih besar. Akan tetapi, wajib bagi kita mencermati dan berhati-hati agar mengambil apa yang lebih Allah S.W.T. ridhai, lebih hati-hati, dan jauh dari perkara yang tidakjelas.
Maka pada kesempatan berbahagia ini akan kita ketengahkan hukum bermadzhab dan hal-hal yang menyangkut dengannya. Selamat membaca.
1. Wajib Beramal Berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah S.A.W.
Ketahuilah wahai saudaraku! Sesungguhnya banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah yang mewajibkan kita agar beramal dengan keduanya. Allah berfirman :
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu ikuti pemimpin-pemimpin selama-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS. al-A’raf [7] : 3)
Abdullah bin Abbas r.a. berkata, “Hampir saja hujan batu menimpa kalian, aku katakan ‘Rasulullah S.A.W. bersabda sedang kalian berkata ‘Abu Bakar dan Umar berkata (untuk membantah ucapan Rasulullah S.A.W., Pen.).”

2. Wajibkah Mengambil Madzhab Tertentu Dalam Beramal?
Ketahuilah wahai saudaraku! Tidaklah wajib bagi kita mengambil madzhab tertentu yang dijadikan patokan dalam beramal, dan inilah yang benar kanena tidak ada kewajiban kecuali apa yang Allah dan Rasul-Nya wajibkan. Sedangkan Allah dan Rasul-Nya tidaklah mewajibkan bagi manusia untuk mengambil madzhab tententu dari para imam yang membawanya untuk taklid (fanatik) kepada imam tersebut. Dan sungguh telah berlalu masa-masa mulia (zaman sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in) yang mereka berlepas diri dari sikap semacam ini. Maka dari sini jelaslah bahwasanya iltizam (senantiasa) dalam madzhab tententu tidaklah boleh dan ini adalah hukum asal. Akan tetapi, ini tidak secara mutlak (paten); kadang-kadang boleh pada kondisi tertentu, di antaranya :
  1. Jika seseorang tidak bisa mempelajari agamanya kecuali harus dengan madzhab tententu.
  2. Dengan iltizamnya ia dengan madzhab tersebut hingga ia mampu menolak bahaya yang besar dan bahaya tersebut tidak bisa dibendung kecuali dengan mengambil madzhab tersebut.

Kesimpulannya, ada ketentuan yang mengatur seseorang boleh mengambil madzhab tertentu yaitu sisi tinjauan maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan/ keburukan). Jika dalam pengambilan madzhab tertentu ada maslahat besar yang diambil maka tidak mengapa mengambil madzhab tertentu. Namun, hendaknya diperhatikan bahasan berikut ini.

3. Kaidah Dalam Bermadzhab

Jika dibolehkan untuk mengambil (beriltizam) pada madzhab tertentu, maka hendaknya rambu-rambu berikut ini diperhatikan :
  1. Berpijaknya ia pada madzhab tertentu tidak menjadikannya membuat ketentuan berupa mendakwahkan madzhab tersebut, berteman dan bermusuhan dengan patokan madzhab tersebut, yang akan mengantarkan keluarnya ia dari jamaah kaum muslimin, dan memecah shof kaum muslimin. Karena ahlu bid’ah mereka membangun dakwahnya, wala (kecintaan) dan bara’nya (kebencian) pada seseorang atau pendapatnya. Adapun ahlus sunnah mereka tidaklah berdakwah kecuali mengajak manusia untuk mengikuti al-Qur’an dan Sunnah dan apa yang disepakati oleh ulama. Maka ini adalah pondasi yang suci tidak ada duanya.
  2. Tidak boleh berkeyakinan bahwasanya wajib bagi semua manusia untuk mengikuti madzhab tertentu dari para imam bukan imam selainnya. Dan anggapan imamnyalah yang benar yang wajib dilkuti adapun selainya tidak, maka barang siapa yang meyakini ini maka ia adalah bodoh dan sesat.
  3. Hendaknya ia berkeyakinan sesungguhnya imam yang ia bermadzhab dengannya tidak ada ketaatan pada imam tersebut kecuali hanya sekadar bahwasanya ia adalah penyampai agama dan syari’at Allah. Karena ketaatan mutlak hanya pada Allah S.W.T. dan Rasul-Nya.
  4. Jangan sampai terjatuh pada perkara-perkara yang terlarang (pelanggaran dalam madzhab) sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut madzhab tertentu.

4. Pelanggaran Dalam Bermadzhab
  1. Ta’ashshub (fanatik) dan berpecah belah serta terjerumus dalam fitnah antana mereka. Telah dimaklumi bahwa berpegang teguh dengan jamaah kaum muslimin dan kasih sayang adalah salah satu pokok dari pokok-pokok agama, sedang masalah yang diperselisihkan di antara madzhab-madzhab adalah perkara yang cabang, maka haruskah dibenturkan antara yang pokok dan yang cabang, maka inilah diantara sekian sebab kaum muslimin dijajah dan dikuasai oleh musuh-musuh mereka.
  2. Berpaling dari wahyu, tidak memperdulikan dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah, mencukupkan diri dengan pendapat-pendapat imam mereka dan menimbang al-Qur’an dan Sunnah dengan timbangan pendapat madzhab tensebut
  3. Membela madzhab dengan hadist-hadist lemah dan pemikiran-pemikiran yang rusak serta meninggalkan hadist-hadist yang shahih.
  4. Memposisikan imam yang diikuti para pengikutnya seperti posisi nabi pada umatnya, yang demikian itu jika sang pengikut bersikukuh dengan setiap apa yang dikatakan oleh imam mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah r.a. berkata, “Adapun mewajibkan diri untuk mengikuti imam pada setiap apa yang ia ucapkan tanpa menyebutkan dalil yang menunjukkan kebenaran pendapat tersebut maka ini tidaklah benar, karena kedudukan ini adalah kedudukan Rasul yang tidak boleh dimiliki kecuali beliau S.W.T. Beliau juga mengatakan, “Dan ini adalah mengubah agama semisal pada yang dilakukan orang Nasrani yang Allah S.W.T. mencela mereka dalam firman-Nya : Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Manyam, padahal mereka hanya disunuh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS. at-Taubah [9]: 31)

Inilah Nasihat dan Petuah Mereka Para Imam
Al-Imam Abu Hanifah r.a.  berkata :
“Jika aku berpendapat dengan pendapat yang menyelisihi kitab Allah Ta’ala dan hadits Rasul S.A.W. maka hendaknya kalian meninggalkan pendapatku.”

Al-Imam Malik berkata :
“Tidak ada seorang pun —setelah Nabi S.A.W.— kecuali pendapatnya bisa diambil dan ditinggalkan kecuali pendapatnya Nabi S.A.W.“

Al-Imam Syafi’i berkata :
“Kaum muslimin (ulama) telah sepakat bahwasanya jika telah jelas sunnah Rasulullah padanya maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena perkataan seseorang”

Al-Imam Ahmad berkata :
“Pendapat Auza’i, Malik, Abu Hanifah, semuanya adalah pendapat dan itu semua sama bagiku, hujjah hanya pada atsar (sunnah).”

Semoga bermanfaat dan menjadi pelajaran bagi kita dan seluruh kaum muslimin.
--------------------------------
Buletin Jum’at AL FURQON, Abu Luthfia, Edisi Tahun ke-7 Volume 3 No.2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar