"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Sabtu, 02 Maret 2013

DESAIN INTERIOR RUMAH TINGGAL TRADISIONAL BALI

INTERIOR. Drs. I Gede Mugi Raharja, MSn  memaparkan tentang Konsep Ruang yang Mendasari Desain Interior Rumah Tinggal Tradisional Bali Madya/Bali Arya II. Konsep-konsep itu antara lain :

1.  Konsep Ruang Swastika
Swastika berarti selamat atau sejahtera. Swastika merupakan simbol “gerak nan abadi”, yang berasal dari arah pergerakan “semu” matahari dari timur ke barat atau berputar dari kiri ke kanan (pradaksina). Sebagai simbol agama Hindu, Swastika memiliki makna perputaran dunia yang dijaga oleh manifestasi Kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa di delapan penjuru mata angin dan berpusat pada Siwa. Jadi, Swastika merupakan simbol energi yang menggerakkan segala bentuk kehidupan di muka bumi. Konsep inilah yang menjadi dasar pertimbangan utama dalam meletakkan posisi bangunan pada rumah tinggal tradisional Bali Madya. Di utara (kaja) bangunan tempat tidur (Bale Daja/ Meten), di timur laut (kaja kangin) tempat suci (sanggah/ merajan), di timur (kangin) tempat balai upacara (Bale Dangin/ Bale Gede), di selatan (kelod) untuk dapur (paon) dan jineng (lumbung), dan di barat (kauh) tempat tidur anak muda atau tamu (Bale Dauh/ Loji).
Perputaran jagat raya dasar simbol swastika
Aplikasi konsep swastika pada rumah tinggal tradisional Bali Madya menggambarkan pusat swastika adalah di tengah-tengah halaman (natah) rumah. Penggambaran ini mengandung makna, bahwa pusat keselamatan berada di tengah-tengah rumah tinggal. Sedangkan unit-unit bangunan ditempatkan di sekeliling pusat perputaran, dari utara, timur, selatan dan barat. Dengan komposisi bangunan seperti ini, sirkulasi udara di semua area rumah tinggal menjadi baik.


Aplikasi konsep swastika pada rumah tinggal Bali Madya

2.   Konsep Ruang Catus Patha
Aplikasi konsep Catuspatha pada bangunan rumah tinggal Bali Madya
Catuspatha merupakan ungkapan pola ruang salib sumbu, sebagai persilangan sumbu bumi dengan sumbu matahari, yang berorientasi ke titik pusat perempatan jalan Pempatan Agung) di pusat pemukiman. Dalam konsep Catuspatha, nilai “titik pusat” Pempatan Agung adalah nol atau kosong (pralina), dengan makna “Mahasempurna”. Di masing-masing sudut perempatan, disediakan tanah kosong (Karang Tuang) seluas satu persil, yang berfungsi sebagai “ruang terbuka hijau”. Konsep ruang ini pada umumnya diterapkan pada pola ruang Desa. Sedangkan aplikasi pada rumah tinggal tampak pada konsentrasi titik nol di tengah-tengah halaman (natah).
Semua unit bangunan di sekeliling natah berorientasi ke tengah-tengah natah rumah.

3.  Konsep Tri Angga
Konsep Tri Angga pada bangunan
Hubungan antara rumah tinggal tradisional Bali Madya dengan pemilik atau penggunanya, dalam konsep arsitektur tradisional Bali adalah identik dengan hubungan manusia sebagai unsur mikrokosmos (bhuwana alit) dengan makrokosmos (bhuwana agung). Makrokosmos adalah ruang vertikal Tri Loka, yang terdiri dari Swah Loka (alam atas), Bwah Loka (alam tengah), Bhur Loka (alam bawah). Kesetaraannya dengan manusia sebagai unsur mikrokosmos, dijabarkan dengan tiga struktur tubuh (Tri Angga) yang terdiri dari: Kepala, badan, dan kaki. Sedangkan dalam arsitektur rumah tinggal, Tri Angga adalah: Bagian kepala merupakan atap bangunan; Struktur badan adalah tembok dinding dan tiang (saka) bangunan; Bagian kaki adalah lantai, bebaturan dan pondasi bangunan. Hubungan harmonis antara manusia sebagai unsur mikrokosmos (bhuwana alit) dengan rumah sebagai unsur makrokosmos (bhuwana agung) adalah pada saat membuat ukuran-ukuran bangunan yang menggunakan metrik pemilik yang mempergunakan bangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar