"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Senin, 04 Maret 2013

FATHIMAH BINTI AL-KHATHTHAB

Beliau adalah Fathimah binti Al-Khathab bin Naufal bin Abdul ‘Uzza bin Rabah bin Abdullah bin Qarath bin Adi bin Ka’ab. Beliau termasuk wanita yang terhormat, memiliki wajah yang cantik dan tinggi, termasuk keluarga Quraisy yang paling mulia dan paling kuat, lemah lembut dan halus perangainya.
Fathimah tumbuh dalam keluarga Khathab bin Naufal Al-Makhzumi Al-Qurasyi yang dikenal keutamaan dan kemulyaannya dan memiliki kedudukan dan nasab yang terpandang. Bapaknya juga dikenal sebagai orang yang dapat mendidik anak-anaknya dengan keutamaan-keutamaan menurut orang Arab terutama dalam hal, kekuatan dalam membentuk kepribadian.
Tatkala Fathimah telah sampai usia dewasa dan telah baligh maka Sa’id bin Zaid bin Amru bin Naufal melamarnya kemudian hidup bersama dengan kehidupan suami istri yang paling harmonis dalam keserasian, saling memahami, saling menghormati secara timbal balik.
Sa’id suami Fathimah masuk Islam melalui perantaraan sahabat yang agung bernama Khabbab bin Al-Art r.a. kemudian beliau bawa menghadap Rasulullah s.a.w. agar menyatakan keislamannya dihadapan Rasulullah dan menyatakan keesaan Allah dan kebenaran ialah Muhammad s.a.w.
Kemudian Sa’id kembali ke rumahnya untuk menceritakan pertemuannya dengan Khabbab dan perjumpaan beliau dengan Rasulullah s.a.w.. Beliau menjelaskan kepada Fathimah tentang dien yang dia kenal dan yang telah dia peluk tersebut. Fathimah mendengar penuh antusias dengan anggota badannya, perasaannya dan akalnya. Belum lagi sang suami menyelesaikan pembicaraannya Fathimah r.a. mengikrarkan syahadatain sehingga beliau terhitung sebagai wanita yang awal masuk Islam.
Setelah itu setiap hari Khabbab bin Al-Art mendatangi rumah mereka secara rutin dan memberitahukan ayat-ayat yang baru turun. Beliau ajarkan kepada keduanya tentang dienullah sehingga tumbuhlah dalam hati mereka semangat untuk beriman.
Mereka semua menginginkan agar berita keislamannya tidak tersebar, karena khawatir dengan kekejaman Umar yang mana dia adalah orang yang paling keras sikapnya terhadap kaum Muslimin dan yang paling getol dalam menghalangi dakwah Islam di tanah airnya.
Pada suatu hari Umar bin Khathab melangkahkan kakinya menuju rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam untuk membunuh Rasulullah s.a.w. Sungguh nampak sekali kemarahan pada kedua matanya. Tiba-tiba dia bertemu dengan seorang laki-laki dari Bani Zahrah dan menanyakan kepada Umar, “Hendak ke mana anda wahai Umar….? aku melihat engkau dalam keadaan marah, geram dan menghunus pedang?’ Umar menjawab, ‘Aku hendak membunuh Muhammad karena dialah orang yang telah menghancurkan urusan orang-orang Quraisy, yang menganggap bodoh angan-angan mereka, yang mencela agama mereka dan mencerca tuhan-tuhan mereka.” Maka laki-laki tadi berkata : “Demi Allah engkau telah terpedaya oleh dirimu sendiri wahai Umar, apakah engkau mengira Bani Abdi Manaf akan membiarkan dirimu berjalan di muka bumi padahal engkau telah membunuh Muhammad? Mengapa engkau tidak pulang saja kepada keluargamu dan membereskan urusan mereka? Umar bertanya, “Keluarga saya yang mana?” Laki-laki tersebut berkata : “Adik iparmu, putra pamanmu Sa’id bin Zaid bin Amru beserta adikmu Fathimah binti Al-Khathab, sungguh demi Allah mereka berdua telah masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad. Bertambah geramlah Umar sehingga dia berkat Benarkah mereka telah masuk Islam? Jika memang benar, sungguh aku akan membunuh mereka berdua dengan cara yang sadis.”
Maka kembalilah Umar menuju rumah adik dan iparnya. Sungguh dia telah berada dalam puncak kemarahannya sehingga tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya. Tatkala dia sudah dekat dengan pintu rumah adik perempuannya yakni Fathimah sementara mereka ada di dalam rumah sehingga Umar mendengar suatu ucapan yang diulang-ulang namun tidak begitu jelas, kemudian dia melongok sedikit kemudian ia masuk rumah sedangkan suaranya menggelegar memanggil adiknya.
Ketika itu Khabbab bin Al-Art berada di dalam rumah tersebut sedang membacakan kepada Sa’id dan Fathimah sebagian ayat dari Al-Qur’anul Karim. Setelah mereka mendengar suara Umar tersebut, Khabbab bersembunyi di salah satu kamar dalam rumah tersebut. Fathimah segera mengambil lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an dan beliau sembunyikan di tangannya untuk menghindari pandangan Umar terhadapnya.
Tatkala Umar masuk, dia berkata : “Suara apa yang aku dengar tadi?” Mereka berdua berkata : “Bukan suara apa-apa. Umar berkata : “Benar, demi Allah aku telah mendapat kabar bahwa kalian berdua telah mengikuti agama Muhammad.” Seketika itu juga Umar menyerang iparnya yaitu Sa’id bin Zaid dan menghajarnya. Maka Fathimah mencoba menghalangi Umar agar menghentikan perlakuannya terhadap suaminya hingga beliau berdiri di antara Umar dan suaminya, akan tetapi justru Umar memukul Fathimah.
Maka ketika Umar telah berbuat demikian, mereka berdua berkata : “Benar... sungguh kami berdua telah masuk Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka lakukanlah apa yang hendak kamu lakukan terhadap kami.
Demi melihat darah adik wanitanya karena telah dia pukul, menjadi ibalah hatinya, lalu berkata : “Berikanlah lembaran yang telah aku dengar tatkala kalian baca tadi, aku hendak melihat seperti apa ajaran yang dibawa oleh Muhammad.” Fathimah berkata, “Kami khawatir jika kamu akan merusaknya.” Umar berkata : “Jangan khawatir.” Dia bersumpah kepada Fathimah bahwa dia akan mengembalikannya setelah membacanya. Melihat hal itu Fathimah mengharap keislaman Umar, beliau berkata: “Wahai sudaraku sesungguhnya engkau najis karena kemusyrikanmu, sedangkan ini tidak boleh disentuh kecuali yang suci.” Maka Umar beranjak untuk mandi dan Fathimah memberikan lembaran tersebut yang ternyata tertulis surat Thaha. Mulailah Umar membaca hingga manakala sampai pada ayat : “... Agar tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.“ (QS Thaha : 15)
Berkatalah Umar, “Alangkah bagusnya perkataan ini... alangkah indahnya ia... alangkah mulianya ia.”
Manakala Khabbab mendengar apa yang dikatakan oleh Umar, maka Khabbab keluar dari persembunyiannya kemudian berkata : “Wahai Umar sungguh aku berharap kepada Allah agar menjadikan engkau sebagai orang yang dido’akan Nabi-Nya karena sungguhnya aku mendengar bahwa kemarin Rasulullah s.a.w. berdo’a : “Ya Allah kuatkanlah Islam dengan masuk Islamnya Abul Hakam bin Hisyam atau Umar bin Khathab.”
“Demi Allah wahai Umar.” Maka Umar berkata : “Tunjukkanlah kepadaku di manakah Muhammad berada sebab aku hendak menemuinya untuk masuk Islam.”
Dalam riwayat lain Rasulullah berdo’a : “Ya Allah kuatkanlah Islam dengan salah seorang yang Engkau cintai apakah Abu Jahal bin Hisyam ataukah Umar bin Khathab.”
Khabbab berkata : “Dan ternyata yang lebih disukai Allah di antara keduanya adalah Umar.”
Selanjutnya keluarlah Umar bin Khathab dari rumah adiknya menuju rumah yang ditunjukkan oleh Khabab bin Al-Art di mana dia akan menjumpai Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya. Akan tetapi tidak bermaksud untuk membunuhnya ataupun menghalangi beliau dari dakwah Islam, melainkan hendak menggabungkan diri dengan kelompok orang-orang yang beriman tersebut. Sehingga keislamannya menjadikan Islam berwibawa dan mendapat kemenangan sebagaimana yang dido’akan Rasulullah s.a.w.
Begitulah... sejarah telah merekam bahwa Fathimah binti Al-Khathab memiliki sikap iman yang agung, tentang bagaimana dia menawarkan Islam kepada Umar dan bagaimana pula tanggapan Umar yang perkasa terhadap sikapnya.
Kemudian Fathimah hidup dengan sisa-sisa umurnya di dalam naungan Islam, minum dari sumbernya yang jernih dan menyampaikan hadits yang telah dia dengar dari Rasulullah s.a.w.
Cukuplah menjadi kebanggan bagi Fathimah, dan cukuplah hal itu sebagai pelajaran bagi kehidupan kita yang mana sejarah akan senantiasa mengingatkan kita tentang kisah masuk Islamnya Umar bin Khathab. Semoga Allah meridhainya dan meridhakannya.
-------------------------------------------------------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 157 – 161

Tidak ada komentar:

Posting Komentar