"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Rabu, 12 Desember 2012

IMAM ABU HANIFAH

KELAHIRANNYA
Lahir di Anbar (Kufah tahun 80 H.) Nama kecilnya Nu’man. Beliau dikenal dengan gelarnya Abu Hanifah, artinya orang yang selalu membawa dawat, kemana beliau pergi (untuk mencatat pelajaran-pelajaran dari guru-gurunya). Demikian kata Hanifah menurut bahasa Parsi.
Bapanya bernama Tsabit, keturunan Parsi. Kelahiran Imam Abu Hanifah agaknya sudah diramalkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. “Seandainya Ilmu pengetahuan ada di bintang Tsuraya, niscaya akan dicapai oleh putera-putera Parsi”.

GURU-GURUNYA
Sebagaimana gelarnya, yang berarti : Bahwa beliau karena rajinnya mencatat, ke mana saja beliau pergi selalu membawa dawat. Memang demikianlah beliau sangat rajin mempelajari ilmu pengetahuan dalam segala cabang. Dipelajarinya ilmu Logika (Ilmu Kalam), Bahasa, Kesusasteraan, Hadits, Tafsir terutama ilmu Fiqih. Setiap kota di mana ada maha Guru atau Ulama besar, tentu dikunjungi oleh beliau. Sehingga Guru-gurunya, tidak kurang dari 200 orang banyaknya. Di antaranya : Imam ‘Atha’ bin abi Rabah, Imam Nafi’ bin ‘Umar, Imam Hammad bin Abi Sulaiman, Imam Muhammad Albaqir dan lain-lain.
Selain daripada Guru-guru itu, juga beliau pernah bergaul dengan para Shahabat Nabi yang masih hidup, ‘Abdullah bin Harits, ‘Abdullah bin Abi Aufa, Sahal bin Sa’ad Assa’idi dan lain-lain.

PEKERJAANNYA

Di samping belajar dan mengajar, juga beliau sebagai saudagar besar, mempunyai perusahaan dagang, toko kainnya di Kota Kufah sudah terkenal. Di setiap tempat banyak agen dan langganannya. Beliau mempunyai perusahaan pabrik ubin. Hampir benteng di Bagdad di kala Pemerintahan Al-Manshur, ubinnya adalah buatan pabrik Abu Hanifah.

KECERDASANNYA
Otak Imam Abu Hanifah luar biasa, cerdas dan tajam, jarang tandingnya. Segala pertanyaan yang bukan kepada beliau dijawabnya dengan spontan seketika itu juga, jelas dan memuaskan yang bertanya kepada beliau :
“Bagaimana pendapatmu, ada orang yang tidak mau mengharapkan Surga dan tidak takut sama Neraka, juga tidak takut kepada Tuhan. Dia suka makan bangkai. Kalau sholat tidak mau sujud dan ruku’. Dia percaya kepada barang yang belum dilihatnya, sangat benci kepada kenyataan, tetapi suka akan fitnah, suka lari dari rahmat Tuhan dan percaya kepada bangsa Yahudi dan orang-orang Nasrani?”
Abu  Hanifah sudah kenal kepada orang yang bertanya orang itu sangat benci kepadanya.
”Benar-benarkah kau tidak tahu ?“
”Demi Allah, sungguh saya tidak tahu”
Abu Hanifah menengok kepada kawan-kawannya sambil mengajukan pertanyaan itu.
“Kawan-kawan! Bagaimana pendapat kalian tentang pertanyaannya itu ?“
Orang semacam itu tentu saja orang yang paling jahat, semua itu adalah perbuatan orang kafir”
Abu Hanifah tersenyum.
“Bukan begitu, kawan-kawan. Itu bukan orang kafir. Malahan orang semacam itu adalah Wali Allah yang sebenarnya”.
Katanya kepada yang bertanya :
“Kalau nanti saya jawab satu-persatu, maukah kau berjanji, bahwa kau tidak akan berkata yang tidak baik lagi ?“
“Ya, saya berjanji demikian”.
“Nah, dengarlah! Kau bilang orang itu tidak mengharapkan Surga dan tidak takut sama Neraka, itu betul, sebab yang diharapkannya itu adalah Tuhan yang punya Surga itu. Demikian juga yang ditakuti, ialah Tuhan yang mengadakan Neraka itu.
“Dan katamu dia tidak takut kepada Allah, itupun betul juga dia tidak takut kepada Allah sebab Allah tidak akan menganiayanya. Dia Maha Adil”.
“Katamu, suka makan bangkai, yaitu makan ikan”. Katamu, kalau sholat tidak suka sujud dan ruku’, yang dimaksudnya adalah menyembahyangkan mayat.
Katamu, percaya kepada yang belum pernah dilihat, ialah percaya kepada Tuhan yang tidak bisa dilihat.
Katamu dia benci kepada kenyataan, dia tidak mau mati. Bukankah mati itu suatu kenyataan? Katamu senang akan fitnah. Siapa tidak senang kepada harta dan anak? Bukankah Allah berfirman : (Sesungguhnya harta dan anak-anakmu itu semua adalah fitnah).
Katamu, dia suka lari dari rahmat Tuhan. Semua orangpun pada lari kalau kehujanan, masing-masing berteduh padahal hujan itu adalah rahmat dari Tuhan. Semua katamu, percaya kepada bangsa Yahudi dan Nasrani, ialah yang artinya (Orang-orang Yahudi mengatakan bahwa orang-orang Nasrani itu tidak benar. (Demikian juga sebaliknya) orang-orang Nasrani mengatakan, bahwa orang-orang Yahudilah yang benar).

MURID-MURIDNYA
Di antara mahasiswa-mahasiswanya yang kenamaan dan terkemuka ialah :
  1. Imam Abu Yusuf : Ahli Hadits. Beliaulah yang mula-mula menyusun diktat (catatan) pelajaran diterimanya dari gurunya Abu Hanifah dan beliaulah yang mula-mula mengembangkan pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah atau Madzhabnya ke lain tempat.
  2. Imam Muhammad bin Hasan; Ahli Ilmu Fiqih yang ulung dengan segala furu’ dan cabangnya
  3. Imam Zafar bin Hudzail : Ahli Qias dan Ra’y. Dan lain-lain banyak lagi.

CARANYA MENDIDIK
Caranya Imam Abu Hanifah memberi pelajaran dan pendidikan kepada murid-muridnya sangat baik sekali
Bukan dengan cara memompakan atau seperti menyuapi anak kecil, si murid harus menerima saja apa yang dipompakan oleh sang Guru. Sebab cara yang demikian itu akan mematikan daya pikir Si Murid, akan menghambat perkembangan pikiran murid.
Tetapi beliau dalam cara memberi pelajaran itu, ialah dengan jalan menuntun atau membimbing pikiran si murid, dipupuknya supaya berkembang Sebagaimana wajarnya. Yaitu si murid disuruhnya mencari, berpikir sendiri. Seringkali Imam Abu Hanifah memberi pelajaran dengan cara soal-jawab — bérmunazharah atau bertukar fikiran — dengan para siswanya. Mereka diberinya kebebasan berfikir seluas-luasnya. Mereka boleh bertanya dan membantah, mengemukakan pendapatnya masing-masing menurut kaji dan penyelidikannya sendiri. Namun sungguhpun begitu, ada batas-batasnya, sebagaimana yang telah ditentukan oleh Agama Islam; yakni tidak menyimpang dari Qur’an dan Hadits serta Atsar para Shahabat.
Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah pernah menegaskan pendiriannya, bagaimana caranya beliau menimbang dan memutuskan sesuatu soal :
“Pertama-tama saya mengingat firman Allah. Kalau tidak ada alasan dari Kitab Allah, maka saya ambil dari Sunnah Rasul. Jika dalam Hadits Nabi tidak ada, saya menyontoh Atsar (jejak) para shahabat. Jika tidak ada juga dalam Atsar, barulah saya berijtihad”.

SEKITAR QIAS
Imam Abu Hanifah terkenal sebagai seorang ahli Qias, ahli Ra’y, ahli Nazhar, oleh karena otaknya yang luar biasa itu, banyak orang yang menuduh beliau pada masanya, bahwa beliau dalam menyampaikan Qur’an dan Hadits serta Ijma’ para Shahabat, lebih mengutamakan pikirannya sendiri saja, yaitu memakai Qias.
Tuduhan ini telah disanggah oleh Imam Hanafi sendiri sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ja’far Assyaizamari, bahwa Imam Abu Hanifah pernah menyatakan pendiriannya tentang Qias, katanya :
”Demi Allah, bohong, orang yang telah menuduh saya lebih mengutamakan qias, menyampingkan Nash. Apa perlunya Qias, jika sudah ada Nash ?“
Selanjutnya apabila beliau memberi fatwa dengan jalan Qias dalam soal-soal yang baru, beliau berkata :
”Inilah pendapat Abu Hanifah. Menurut hemat saya sendiri adalah yang paling baik, tetapi jika ada pendapat lain lebih baik lagi, pakailah itu”

KEDERMAWANANNYA
Qais bin Rabi menceritakan : ”Imam Abu Hanifah biasa mengirim barang dagangannya ke Baghdad. Dari sana dibelinya barang-barang buatan Bagdad, untuk dibawa ke Kufah. Dari keuntungan perdagangannya itu, dibelanjakannya guna keperluan Guru-gurunya, seperti bahan makanan, bahan pakaian, alat-alat rumah-tangga dan lain-lain sebagainya. Selebihnya berupa mata uang dihadiahkannya kepada mereka untuk perbelanjaan mereka sehari-hari. Dalam pada itu beliau berkata : ”Kalau berterimakasih, jangan berterimakasih kepadaku, berterimakasihlah kepada Tuhan. Sebab semua hadiah yang saya berikan kepada kalian itu sebenarnya bukanlah dari harta kepunyaan sendiri. Tetapi semua adalah dari kemurahan Tuhan jua. Dan itu semua pada hakekatnya adalah keuntungan perdagangan kalian juga. Sebab yang ada di tangan saya ini hanya sekedar menjalankan amanat Tuhan belaka”.

KEPRIBADIANNYA
Abu Yusuf menerangkan : “Sebagaimana telah banyak diceritakan orang, demikianlah sepanjang pengetahuan saya, adalah orang suci, pantang apa yang dilarang oleh Syara’ sampai kepada larangan yang sekecil-kecilnya. Beliau tidak mau menerangkan soal-soal keagamaan, kecuali yang sudah dikajinya sedalam-dalamnya. Beliau bercita-cita supaya manusia itu tha’at kepada Tuhan, jangan ada yang melanggar perintah-Nya. Tidak mau bergaul dengan orang-orang yang gila dunia. Beliau adalah seorang pendiam, suka merenung (berpikir), luas pengetahuannya. Tidak suka mengobrol dan berkata yang bukan-bukan. Jika ada yang bertanya tentang sesuatu soal, jika beliau tahu dijawabnya menurut Qur’an dan Hadits. Jika tidak ada alasan, dijawabnya dengan Qias menurut pendapatnya sendiri yang sebaik-baiknya dengan memperbandingkannya dari hukum-hukum Allah dan Rasulnya. Beliau sangat memelihara nama baik pribadi dan kehormatan Agamanya. Banyak menyumbangkan tenaga, fikiran dan hartanya untuk kepentingan umum. Tidak pernah meminta pertolongan orang lain. Samasekali tidak ada sifat thamak atau rakus terhadap kekayaan. Tidak pernah mengumpat orang. Kalau membicarakan orang hanya yang baik-baiknya saja”.

SURATNYA KEPADA HAKIM (QADHI)
Dari Abu Hanifah kepada Abu ‘Ismat. Amma ba’du : Suratmu sudah kuterima dengan mafhum.
Kini engkau sudah diserahi suatu tugas berat, jarang yang sanggup melaksanakannya. Sedang engkau sendiri seperti orang yang sedang tenggelam, meminta pertolongan.
Pertama-tama janganlah lupa bertaqwa kepada Allah s.w.t. karena itulah yang menjadi dasarnya segala sesuatu. Dan hanya taqwalah yang bisa menyelamatkan orang dari segala bencana, dengan taqwa bisa terlaksana semua cita-cita dan tujuan. Semoga tercapailah apa yang menjadi idaman bersama. Dan dengan taufiq dan hidayah-Nya, semoga kita semua dikaruniai keridhoan-Nya. Allah suka memperkenankan segala do’a dan permohonan.
Selain daripada itu yang perlu diketahui, ialah bahwa jabatan sebagai Hakim (Qadhi) itu sangat berat, jarang yang sanggup, kecuali orang yang benar-benar ahli dari hukum-hukum Allah (Qur’an) dan Hadits dan keputusan-keputusan para Shahabat.
Jika ada kesulitan-kesulitan, hendaklah kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi serta Ijma’ para shahabat. Jika ada ditemui nashnya, putuskanlah dengan itu. Atau jika tidak ada, baru kau pakai Qias, dengan memperbandingkan dari Ushul-ushulnya yang lebih dekat dan ada persamaannya. Dalam pada itu, jangan meninggalkan musyawarah dengan para ahli yang cerdik-pandai, mungkin di antara mereka ada tahu, apa yang belum kau ketahuinya.
Jika kedua terdakwa itu sudah ada di hadapanmu untuk diadili, hendaklah kau perlakukan mereka dengan perlakuan yang sama, antara sikuat dan silemah, antara golongan atasan dan rakyat bawahan, dalam hal duduknya dan pemeriksaannya. Janganlah sekali-kali kau memperlihatkan sikap yang membawa harapan baik bagi orang-orang atasan atau sikap yang mengecewakan bagi orang-orang bawahan..
Jika kedua terdakwa itu sudah ada pula di hadapanmu, biarkanlah dahulu keduanya duduk dengan tenang, supaya mereka jangan ada yang malu-malu atau merasa takut, setelah kelihatan tenang baru kau periksa dengan sopan. Dengarlah keterangan masing-masing dengan sebaik-baiknya. Jangan dahulu dipotong pembicaraannya, biarkanlah sampai habis.
Jangan suka memutuskan perkara, waktu sedang jengkel, sedang marah atau sedang susah, jangat memutuskan pula waktu sedang dendam, sedang la par atau sedang ketakutan. Tidak boleh diputuskan dahulu sesuatu perkara, sebelum cukup didengar keterangan-keterangan dari saksi-saksinya, tidak boleh menganggukkan kepala kepada seseorang, tidak boleh mengunjungi terdakwa atas undangannya, sebab bisa dicurigai orang bersekongkol, tidak boleh mengobrol di ruangan Pengadilan.
Utamakan Taqwa kepada Allah daripada hal-hal yang lain. Dengan Taqwa itu bisa terlaksana segala urusan keduniaan dan keakheratan.
Camkanlah amanatku ini sebaik-baiknya. Dan alangkah baiknya jika diturut oleh para pengacara kita, Sekian. Selamat bertugas.

W A F A T
Pada suatu hari Imam Abu Hanifah dipanggil menghadap Amirul Mu’minin Abu Jafar Al Manshur, di Baghdad; beliau akan diangkat menjadi Hakim Tetapi Abu Hanifah menolak.
Baginda memaksa beliau untuk menerima jabatan itu dengan diperkuat oleh sumpahnya. Tetapi Abu Hanifah bersumpah pula menolak tawaran jabatan itu untuk sekian kalinya.
Rabi’ seorang pegawai Pemerintah, menasehatkan supaya beliau menerima jabatan itu, mengingat Amirul Mukminin sudah berkeras dengan sumpahnya.
Tetapi apa jawab Imam Abu Hanifah? “Amirul Mu’minin lebih mampu membayar sumpahnya daripadaku.”
Oleh karena Imam Abu Hanifah tetap menolak, Baginda memerintahkan supaya Imam Abu Hanifah dipenjarakan.
Pada suatu hari Imam Abu Hanifah dihadapkan lagi kepada Amirul Mu’minin untuk didengar kembali bagaimana sikapnya sesudah dipenjarkan.
“Apakah tuan tidak setuju dengan Pemerintahanku sekarang ?“ Demikianlah baginda memeriksa.
“Semoga Allah memberkati Pemerintahan Baginda. Ya Amirul Mu’minin marilah kita bertaqwa kepada Allah sebaik-baiknya. Janganlah Tuanku mengangkat orang yang tidak takut kepada Allah, menjadi pegawai kepercayäan Tuanku. Demi Allah, saya ini adalah orang yang tidak bisa dipercaya di waktu tenang, apalagi diwaktu sedang marah, sebenarnya saya ini tidak-patut menjadi pejabat Tuanku, .menduduki jabatan itu”
“Bohong, tuanlah satu-satunya yang kupandang cakap menjabat jabatan tersebut”.
“Kalau Tuanku menganggap saya ini benar, tadi sudah saya nyatakan, bahwa saya tidak patut untuk memangku jabatan itu. Tetapi kalau Tuanku menggangap saya bohong, maka bagaimana Tuanku akan mengangkat seorang Hakim tukang bohong? Demikian pula di samping itu, saya ini seorang hamba, masakan mau orang Arab mempunyai Hakim seorang hamba”.
Baginda Amirul Mu’minin memerintahkan memasukkan kembali Abu Hanifah ke dalam penjara. Setiap hari beliau dihukum dera sepuluh kali dengan cambuk, sampai 10 hari lamanya.
Waktu Imam Abu Hanifah merasa bahwa ajalnya sudah dekat beliau sujud kepada Allah s.w.t. Dan sedang dalam keadaan itu beliau menyerahkan jiwa-raganya ke hadapan Allah s.w.t. sebagai tempat kembali segala arwah.
Beliau wafat pada usia 70 tahun. Semoga Allah menganugerahi rahmat dan hidayah-Nya kepada arwah beliau.

DASAR-DASAR MADZHAB HANAFI.
1. Kitab Allah (Al-Qur’an).
2. Sunnah Rasul (Hadits).
3. Ijma’ Para Shahabat.
4. Qias (Memperbandingkan dengan Hukum-hukum Qur’an dan Hadits).
5. Istihsan (memandang baik).
6. Adat istiadat Masyarakat Islam.

DAERAH PENGARUHNYA
Mazhab Hanafi berpusat di tempat mula tumbuhnya, yaitu di Negeri Kufah, ibu kota negeri. ‘Irak masa itu. Kemudian berkembang di Syam (Sirya), Afghanistan, Khurasan, Mesir, Afrika, Algiria, Tunisia, Tripoli, Kaukasus, Turky, Balkan, India, Brazilia
----------------------------------------------------------------
Empat Besar Sahabat-sahabat Rasulullah dan Imam Madzhab, M. Said, Penerbit PT. Alma’arif Bandung, cetakan ke-IV, halaman 68-79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar