"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Rabu, 06 Februari 2013

SEORANG TOKOH ISTIMEWA

Abdullah bin Hudzafah adalah salah seorang panglima Islam dalam penaklukan negeri Syam. Dia ditugaskan untuk menyerang kekuasaan Heraklius di Palestina yang berbenteng kuat terletak di pantai Laut Tengah. Akan tetapi, takdir Allah sudah menentukan kegagalannya pada sebuah pertempuran sehingga dia tertawan musuh.
Tertawannya Hudzafah dan beberapa pasukannya merupakan suatu kesempatan bagi Heraklius untuk menyiksa dan balas dendam kepada kaum Muslimin. Kemudian Heraklius memerintahkan untuk menghadirkan Ibnu Hudzafah ke hadapannya dan dia ingin membujuknya masuk ke dalam agamanya dan menjauhkan Ibnu Hudzafah dari keislamannya.
Heraklius memulai bujukannya terhadap Ibnu Hudzafah dengan senjata iming-iming materi. Heraklius berkata : “Masuklah kamu ke dalam agama Nasrani, engkau akan aku bebaskan mengambil hartaku sesukamu. Akan tetapi Ibnu Hudzafah menolak bujukan ini. Heraklius berkata lagi : “Masuklah kamu ke dalam agama Nasrani, kamu akan aku kawinkan dengan putriku.” Ibnu Hudzafah tetap menolak tawaran ini. Heraklius meninggikan tawarannya : “Masuklah kamu ke dalam agama Nasrani, aku akan membagi kekuasaanku denganmu.” Akan tetapi, Ibnu Hudzafah tetap menolak tawaran yang ke tiga ini. Kemudian Heraklius menawarkan tawarannya yang keempat : ”Masuklah kamu ke dalam agama Nasrani, aku akan memberikan kepadamu setengah dari kekuasaan dan setengah dari harta kekayaanku.” Lalu, Ibnu Hudzafah menjawabnya dengan tegas : ” Walaupun engkau memberikan kepadaku semua yang engkau miliki dan semua yang dimiliki oleh orang Arab, aku tidak beranjak dari agama Muhammad sedikit pun.”
Setelah gagal dengan senjata bujukan dan rayuan, Heraklius menggunakan senjata ancaman penyiksaan, dan penindasan. Heraklius berkata : “Kalau kamu tetap tidak mau, aku akan membunuhmu.” Heraklius tidak mengetahui bahwa orang yang berhasil lolos dari bujukan materi tidak akan bisa dikalahkan dengan senjata ancaman dan penyiksaan dan bahwa orang yang telah mengorbankan nyawanya sebagai tebusan untuk agamanya. Setelah itu Ibn Hudzafah menjawab : “Kamu bisa melakukan semaunya.” Kemudian Ibnu Hudzafah dimasukkan ke dalam penjara dengan tidak diberi makan dan minum selama tiga hari. Setelah itu diberikan kepadanya khamar dan daging babi, akan tetapi Ibnu Hudzafah tidak mencicipinya. Hal ini berlanjut sampai beberapa hari sehingga dia hampir mati kelaparan. Melihat keadaan seperti itu, Heraklius mengeluarkannya dari penjara dan berkata : “Mengapa kamu tidak mau memakan daging babi dan meminum khamar sedangkan kamu dalam keadaan lapar dan darurat?” Dia menjawab : “Memang benar bahwa keadaan darurat membuat makanan ini halal bagiku dan tidaklah haram bagi seorang Muslim untuk memakannya. Akan tetapi, aku lebih memilih tidak memakannya agar aku tidak mencaci Islam dan tidak merasa senang dengan kekalahan keislamanku.”
Kemudian Heraklius memerintahkan anak buahnya untuk menyalib dan mengikatnya di sebuah kayu sedangkan para pemanah memanahnya ke arah yang berdekatan dengan badannya. Akan tetapi Ibnu Hudzafah tetap tidak gentar sedikit pun, sedangkan Henaklius tetap membujuknya untuk masuk ke dalam agama Nasrani. Karena gagal dengan cara seperti itu, Heraklius menyalakan api besar di bawah sebuah periuk raksasa berisi air. Ketika air sudah mendidih, didatangkanlah seorang tawanan Muslim, lalu dilemparkan ke dalamnya sehingga dagingnya meleleh dan menjadi kerangka tulang. Setelah itu didatangkanlah tawanan kedua, lalu dimasukkan ke dalam periuk itu seperti tawanan yang pertama, sedangkan Ibnu Hudzafah menyaksikan semua peristiwa itu!
Kemudian Heraklius memerintahkan untuk melemparkan Ibnu Hudzafah ke dalam air yang mendidih tersebut. Ketika telah siap untuk dilemparkan, dia menangis lalu para pembantu melaporkan hal itu kepada Heraklius : “Ibnu Hudzafah telah menangis.” Dengan demikian, Heraklius mengira bahwa tangisan tersebut menunjukkan bahwa dia takut mati dan sudah mundur dari ketegarannya sehingga akan menerima tawaran yang pertama. Heraklius segera memerintahkan untuk menghadapkan Ibnu Hudzafah sekali lagi dan membujuknya untuk masuk Nasrani. Akan tetapi, Ibnu Hudzafah tetap menolak. Ia bertanya : “Kalau begitu, mengapa kamu menangis?” Pertanyaan ini dijawab oleh Ibnu Hudzafah dengan jawahan yang aneh dan sangat mengagumkan Heraklius yang menunjukkan kegagalalan dan kekalahannya di hadapan Ibnu Hudzafah. Dia menjawab : “Aku menangis karena aku hanya mempunyai satu nyawa yang akan aku korbankan di jalan Allah, sedangkan aku mengangankan mempunyai nyawa sebanyak jumlah rambutku untuk menebus agamaku dan semuanya mati di jalan Allah!”
Dari jawaban Hudzafah tersebut, Heraklius semakin yakin bahwa dia telah kalah. Dia kalah sekalipun mempunyai harta kemegahan, dan kekuasaan di hadapan seorang Muslim yang sedang terasing dan tidak mempunyai apa-apa. Setelah itu Heraklius menawarkan kepadanya tawaran terakhir yang menunjukkan kekalahannya untuk memelihara rona wajahnya “Wahai Ibnu Hudzafah, apakah kamu mau mencium kepalaku dengan imbalan aku akan membiarkan dan membebaskanmu?” Dia menjawab : “Aku mau, dengan syarat kamu harus membebaskan semua tawanan kaum Muslimin yang ada di penjara. Semuanya berjumlah lebih dari 300 tawanan!” Kemudian Ibnu Hudzafah mencium kepala Heraklius.
Setelah itu, Ibnu Hudzafah dan semua temannya kembali pulang menemui Umar bin Khattab di kota Madinah, pusat kekhalifahan umat Islam. Lalu dia menceritakan semua yang telah terjadi. Akan tetapi, sebagian sahabat Rasul merasa keberatan dan mencela sikap Ibnu Hudzafah karena mencium kepala Heraklius. Mereka tidak pernah melihat harga mahal yang telah diraih oleh Ibnu Hudzafah, yaitu banyaknya tawanan Islam yang bisa dibebaskan. Sedangkan Khalifah Umar menyetujui sikap Abu Hudzafah dan berkata : “Adalah layak bagi setiap Muslim, untuk mencium kepala Ibnu Hudzafah dan aku akan memulainya.” Kemudian, Umar mencium kepala Ibnu Hudzafah lalu diikuti oleh semua sahabat Rasul.
----------------------------------------------
MEMPERTAJAM KEPEKAAN SPIRITUAL, Majdi Muhammad Asy-Syahawy, Bina Wawasan Press, Jakarta 2001, halaman 270-273.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar