TENTANG YESUS SEHAKEKAT DENGAN ALLAH
Kepercayaan agama Masehi mengatakan bahwa Yesus sehakekat dengan Allah, karena itu Allah juga, antara lain tersebut dalam :
“Aku dan Bapa itu satu adanya”. (Lukas 10 : 30).
“Siapa yang sudah nampak Aku, ia sudah nampak Bapa”. (Yahya 14 : 9).
“Percayalah akan Daku bahwa Aku ini di dalam Bapa dan Bapapun di dalam Aku”. (Yahya 14 : 11).
Meskipun dalam keempat Injil tidak terdapat kata “sehakekat”, namun dari tersebut di atas telah disimpulkan bahwa Yesus itu sehakekat dengan Allah. Kesimpulan itu mempunyai sejarahnya sendiri, sebagai berikut :
Terpengaruh oleh ajaran Yunani tentang emanasi (pemancaran), maka Origenes (185 – 254) mengajarkan bahwa “Logos” atau “Kalam” atau “Anak Allah” itu meskipun dipandang dari sudut manusia, dapat dikatakan Allah; tetapi dipandang dan sudut Allah maka Kalam itu hanya pemancaran atau makhluk pertama dari Allah, jadi tidak abadi dan tidak sehakekat dengan Allah. Adapun Paulus Samosata mengajarkan bahwa Yesus itu karena kekuatan rohaninya maka diangkat Allah menjadi Anak.Nya. Kemudian Anus pada tahun 320 mengajarkan bahwa Yesus itu bukan Allah sejati, hanya mendapat anugerah sebagian sifat-sifat Ke-Allah-an sehingga menjadi seperti Allah. Gereja menjadi goncang lalu mengadakan persidangan di Nicea tahun 325. Persidangan ini bernama Konsidi Nicea dan menetapkan bahwa Anak Allah sehakekat dengan Bapa, dengan kata-kata Yunani “homousios” (sehakekat). Pengarut Anus bermaksud menggantikannya dengan “homois” (menyerupai), sedang para pengajar lainnya ada yang mau merobahnya menjadi “homoiusios” (hakekatnya menyerupai hakekat Bapa). Karena itu persoalan belum selesai, maka diadakan Konsili Konstantinopel tahun 381 di mana dipertegas bahwa : Anak sehakekat dengan Bapa. Yesus itu adalah Anak Allah dan sehakekat dengan Allah dan Yesus juga Allah benar-benar. (Dr. G.E. van Niftrik dan B.J. Boland : “Dogmatik Masakin” hal: 157).
Gereja dengan begitu telah menetapkan tafsiran mengenai ayat-ayat Injil, tentang Yesus sebagai Allah, Anak Allah dan Kalam Allah. Maka dengan adanya tafsiran semacam itu, terjadilah perselisihan ayat-ayat tersebut di atas dengan ayat lain meskipun sama-sama dalam Injil Yahya, misalnya dengan yang di bawah ini :
“Suatupun tiada aku dapat berbuat menurut kehendakku sendiri, melainkan Aku menjalankan hukum sebagaimana yang Aku dengar, dan hukumku itu adil adanya : karena bukannya aku mencari kehendak diriku, melainkan kehendak Dia yang menyuruhkan Aku”. (Yahya 5 : 30) — Di sini Yesus mengakui dia hanya pesuruh Allah.
“Inilah hidup yang kekal, yaitu supaya mereka itu mengenal Engkau, Allah yang Esa dan benar, dan Yesus Kristus yang telah Engkau suruhkan itu”. (Yahya 17 : 3) — Inilah do’a Yesus kepada Allah yang telah menjadikan dia pesuruh-Nya.
“Sesungguh-sungguhnya Aku berkata kepadamu : Barang siapa yang mendengar perkataanku serta percaya akan yang menyuruhkan Aku, ia itu beroleh hidup yang kekal, dan tiada masuk dalam hukuman, melainkan ia sudah berpindah dari pada mati kepada hidup”. (Yahya 5 : 24) — Lagi Yesus mengaku bahwa ia hanya disuruh Allah.
“Maka jawab Yesus kepadanya : “Hukum yang terutama inilah : Dengarlah olehmu, hai Israil, adapun Allah Tuhan kita, ialah Tuhan yang Esa.”
Maka hendaklah engkau mengasihi Allah Tuhanmu dengan sebulat-bulat hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan sepenuh akal-budimu, dan segala kuatmu.
Dan yang kedua inilah : Hendaknya engkau mengasihi sesama manusia seperti dirimu sendiri. Maka tiadalah hukum lain, yang lebih besar dari pada kedua hukum ini.
Lain kata ahli Taurat itu kepada-Nya : “Ya Guru, amat benarlah segala kata Guru, bahwa Allah itu Esa adanya, dan tiada lain, melainkan Allah”. (Markus 12 : 29 - 32). — Dengan mengatakan “bahwa Allah Tuhan yang Esa”, maka terbukti bahwa Yesus tidak mengaku Anak Allah atau Allah, melainkan hamba Tuhan yang Esa. Perkataan Yesus itu adalah jawabannya kepada seorang ahli Taurat yang bertanya kepadanya tentang hukum mana yang terutama sekali.
“Maka tiba-tiba datanglah seorang kepadanya, serta barkata : Ya, Guru yang baik, kebajikan apakah patut saya perbuat, supaya beroleh hidup yang kekal?”.
“Dan ia menjawab kepadanya : Mengapa engkau katakan aku baik? Tak ada yang baik kecuali satu, yaitu Allah”. (Matius 19 : 16 – 17) — Di sini Yesus mengajarkan bahwa hanya satu saja yang baik yaitu Allah yang Esa, tiada lain.
Keterangan yang amat penting :
Ayat Injil Matius 19 : 16 – 17 di atas itu bukan dikutip dari Kitab Injil yang berbahasa Indonesia tetapi terjemahan dari Bibel berbahasa Belanda penerbitan Het Nederlandsch Bijbel genootschap tahun 1935 yang berbunyi :
“En Zie, er kwam een tot hem en zeide tot hem : Goede Meester, wat zal ik goeds doen?
En hij zeide tot hem : Wat noemt gij mij goed? Niemand is goed dan een namelijk God”.
Bunyi dari Injil bahasa Belanda tersebut sesuai artinya dengan Bybel yang berbahasa Inggeris, penerbitan The British and Foreign Byble Society, demikian :
“And, behold, one came and said unto him. Good Master, what good thing shall I do, that I may have eternal life?
And, he said unto him, Why callest thou me good? there is none good but one, that is God”.
Tetapi dalam terjemahan bahasa Indonesia yaitu pada Al-Kitab penerbitan Lembaga Al-Kitab Indonesia Jakarta tahun 1960, ayat tersebut diterjemahkan lain atau dirobah hingga maksudnya menjadi lain pula, yaitu begini :
Ya Guru, kebajikan apakah patut hamba perbuat, supaya beroleh hidup yang kekal?
Maka kata Yesus kepadanya : “Apakah sebabnya engkau bertanya kepadaku dari hal kebajikan? Ada Satu Yang Baik”.
Pembaca dapat melihat dengan jelas bahwa terjemahan dalam bahasa Inggeris dan Belanda ada sesuai, di mana Yesus tidak suka dikatakan guru yang baik karena yang baik hanyalah satu yaitu Allah yang Esa, dan Yesus bukan Allah. Tetapi dalam bahasa Indonesia, maksud itu sudah hilang sama-sekali. Barangkali inilah salah satu dari sekian banyak ayat-ayat Injil yang terjemahannya memerlukan penelitian lagi.
------------------------
Sekitar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, halaman 61-63.
“Aku dan Bapa itu satu adanya”. (Lukas 10 : 30).
“Siapa yang sudah nampak Aku, ia sudah nampak Bapa”. (Yahya 14 : 9).
“Percayalah akan Daku bahwa Aku ini di dalam Bapa dan Bapapun di dalam Aku”. (Yahya 14 : 11).
Meskipun dalam keempat Injil tidak terdapat kata “sehakekat”, namun dari tersebut di atas telah disimpulkan bahwa Yesus itu sehakekat dengan Allah. Kesimpulan itu mempunyai sejarahnya sendiri, sebagai berikut :
Terpengaruh oleh ajaran Yunani tentang emanasi (pemancaran), maka Origenes (185 – 254) mengajarkan bahwa “Logos” atau “Kalam” atau “Anak Allah” itu meskipun dipandang dari sudut manusia, dapat dikatakan Allah; tetapi dipandang dan sudut Allah maka Kalam itu hanya pemancaran atau makhluk pertama dari Allah, jadi tidak abadi dan tidak sehakekat dengan Allah. Adapun Paulus Samosata mengajarkan bahwa Yesus itu karena kekuatan rohaninya maka diangkat Allah menjadi Anak.Nya. Kemudian Anus pada tahun 320 mengajarkan bahwa Yesus itu bukan Allah sejati, hanya mendapat anugerah sebagian sifat-sifat Ke-Allah-an sehingga menjadi seperti Allah. Gereja menjadi goncang lalu mengadakan persidangan di Nicea tahun 325. Persidangan ini bernama Konsidi Nicea dan menetapkan bahwa Anak Allah sehakekat dengan Bapa, dengan kata-kata Yunani “homousios” (sehakekat). Pengarut Anus bermaksud menggantikannya dengan “homois” (menyerupai), sedang para pengajar lainnya ada yang mau merobahnya menjadi “homoiusios” (hakekatnya menyerupai hakekat Bapa). Karena itu persoalan belum selesai, maka diadakan Konsili Konstantinopel tahun 381 di mana dipertegas bahwa : Anak sehakekat dengan Bapa. Yesus itu adalah Anak Allah dan sehakekat dengan Allah dan Yesus juga Allah benar-benar. (Dr. G.E. van Niftrik dan B.J. Boland : “Dogmatik Masakin” hal: 157).
Gereja dengan begitu telah menetapkan tafsiran mengenai ayat-ayat Injil, tentang Yesus sebagai Allah, Anak Allah dan Kalam Allah. Maka dengan adanya tafsiran semacam itu, terjadilah perselisihan ayat-ayat tersebut di atas dengan ayat lain meskipun sama-sama dalam Injil Yahya, misalnya dengan yang di bawah ini :
“Suatupun tiada aku dapat berbuat menurut kehendakku sendiri, melainkan Aku menjalankan hukum sebagaimana yang Aku dengar, dan hukumku itu adil adanya : karena bukannya aku mencari kehendak diriku, melainkan kehendak Dia yang menyuruhkan Aku”. (Yahya 5 : 30) — Di sini Yesus mengakui dia hanya pesuruh Allah.
“Inilah hidup yang kekal, yaitu supaya mereka itu mengenal Engkau, Allah yang Esa dan benar, dan Yesus Kristus yang telah Engkau suruhkan itu”. (Yahya 17 : 3) — Inilah do’a Yesus kepada Allah yang telah menjadikan dia pesuruh-Nya.
“Sesungguh-sungguhnya Aku berkata kepadamu : Barang siapa yang mendengar perkataanku serta percaya akan yang menyuruhkan Aku, ia itu beroleh hidup yang kekal, dan tiada masuk dalam hukuman, melainkan ia sudah berpindah dari pada mati kepada hidup”. (Yahya 5 : 24) — Lagi Yesus mengaku bahwa ia hanya disuruh Allah.
“Maka jawab Yesus kepadanya : “Hukum yang terutama inilah : Dengarlah olehmu, hai Israil, adapun Allah Tuhan kita, ialah Tuhan yang Esa.”
Maka hendaklah engkau mengasihi Allah Tuhanmu dengan sebulat-bulat hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan sepenuh akal-budimu, dan segala kuatmu.
Dan yang kedua inilah : Hendaknya engkau mengasihi sesama manusia seperti dirimu sendiri. Maka tiadalah hukum lain, yang lebih besar dari pada kedua hukum ini.
Lain kata ahli Taurat itu kepada-Nya : “Ya Guru, amat benarlah segala kata Guru, bahwa Allah itu Esa adanya, dan tiada lain, melainkan Allah”. (Markus 12 : 29 - 32). — Dengan mengatakan “bahwa Allah Tuhan yang Esa”, maka terbukti bahwa Yesus tidak mengaku Anak Allah atau Allah, melainkan hamba Tuhan yang Esa. Perkataan Yesus itu adalah jawabannya kepada seorang ahli Taurat yang bertanya kepadanya tentang hukum mana yang terutama sekali.
“Maka tiba-tiba datanglah seorang kepadanya, serta barkata : Ya, Guru yang baik, kebajikan apakah patut saya perbuat, supaya beroleh hidup yang kekal?”.
“Dan ia menjawab kepadanya : Mengapa engkau katakan aku baik? Tak ada yang baik kecuali satu, yaitu Allah”. (Matius 19 : 16 – 17) — Di sini Yesus mengajarkan bahwa hanya satu saja yang baik yaitu Allah yang Esa, tiada lain.
Keterangan yang amat penting :
Ayat Injil Matius 19 : 16 – 17 di atas itu bukan dikutip dari Kitab Injil yang berbahasa Indonesia tetapi terjemahan dari Bibel berbahasa Belanda penerbitan Het Nederlandsch Bijbel genootschap tahun 1935 yang berbunyi :
“En Zie, er kwam een tot hem en zeide tot hem : Goede Meester, wat zal ik goeds doen?
En hij zeide tot hem : Wat noemt gij mij goed? Niemand is goed dan een namelijk God”.
Bunyi dari Injil bahasa Belanda tersebut sesuai artinya dengan Bybel yang berbahasa Inggeris, penerbitan The British and Foreign Byble Society, demikian :
“And, behold, one came and said unto him. Good Master, what good thing shall I do, that I may have eternal life?
And, he said unto him, Why callest thou me good? there is none good but one, that is God”.
Tetapi dalam terjemahan bahasa Indonesia yaitu pada Al-Kitab penerbitan Lembaga Al-Kitab Indonesia Jakarta tahun 1960, ayat tersebut diterjemahkan lain atau dirobah hingga maksudnya menjadi lain pula, yaitu begini :
Ya Guru, kebajikan apakah patut hamba perbuat, supaya beroleh hidup yang kekal?
Maka kata Yesus kepadanya : “Apakah sebabnya engkau bertanya kepadaku dari hal kebajikan? Ada Satu Yang Baik”.
Pembaca dapat melihat dengan jelas bahwa terjemahan dalam bahasa Inggeris dan Belanda ada sesuai, di mana Yesus tidak suka dikatakan guru yang baik karena yang baik hanyalah satu yaitu Allah yang Esa, dan Yesus bukan Allah. Tetapi dalam bahasa Indonesia, maksud itu sudah hilang sama-sekali. Barangkali inilah salah satu dari sekian banyak ayat-ayat Injil yang terjemahannya memerlukan penelitian lagi.
------------------------
Sekitar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, halaman 61-63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar