"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Kamis, 10 April 2014

Nama Dan Julukannya

Para penulis biografi Abu Bakr itu tidak terbatas luasnya pada kabilahnya saja seperti yang sudah saya sebutkan, tetapi mereka memulai juga dengan menyebut namanya dan nama kedua orang tuanya. Lalu melangkah ke masa anak-anak, masa muda dan masa remaja, sampai pada apa yang dikerjakannya. Disebutkan bahwa namanya Abdullah bin Abi Quhafah, dan Abu Quhafah ini pun nama sebenarnya Usman bin Amir, dan ibunya, Ummul-Khair, sebenarnya bernama Salma bint Sakhr bin Amir. Disebutkan juga, bahwa sebelum Islam ia bernama Abdul Ka’bah. Setelah masuk Islam oleh Rasulullah ia dipanggil Abdullah. Ada juga yang mengatakan bahwa tadinya ia bernama Atiq (Mungkin juga dinisbahkan pada nama Ka’bah yang lain, yakni al-Baitul-‘Atiq atau “Rumah Purba”. Kata ‘Atiq berarti juga “yang dibebaskan”), karena dari pihak ibunya tak pernah ada anak laki-laki yang hidup. Lalu ibunya bernazar jika ia melahirkan anak laki-laki akan diberi nama Abdul Ka’bah dan akan disedekahkan kepada Ka’bah. Sesudah Abu Bakr hidup dan nenjadi besar, ia diberi nama Atiq. seolah ia telah dibebaskan dari maut.
Tetapi sumber-sumber itu lebih jauh menyebutkan bahwa / bukan namanya, melainkan suatu julukan karena warna kulitnya yang putih. Sumber yang lain lagi malah menyebutkan, bahwa ketika ‘Aisyah putrinya ditanyai : mengapa Abu Bakr diberi nama Atiq ia menjawab : Rasulullah memandang kepadanya lalu katanya : Ini yang dibebaskan Allah dari neraka : atau karena suatu hari Abu Bakr datang bersama sahabat-sahabatnya lalu Rasulullah berkata : Barang siapa ingin melihat orang yang dibebaskan dari neraka lihatlah ini.
Mengenai gelar Abu Bakr yang dibawanya dalam hidup sehari-hari sumber-sumber itu tidak menyebutkan alasannya, meskipun penulis-penulis kemudian ada yang menyimpulkan bahwa dijuluki begitu karena ia orang paling dini (Bakr = dini) dalam Islam dibanding dengan yang lain.

Masa Mudanya
Semasa kecil Abu Bakr hidup seperti umumnya anak-anak di Mekah. Lepas masa anak-anak ke masa usia remaja ia bekerja sebagai pedagang pakaian. Usahanya ini mendapat sukses. Dalam usia muda itu ia kawin dengan Qutailah binti Abdul Uzza. Dari perkawinan ini lahir Abdullah dan Asma’. Asma’ inilah yang kemudian dijuluki Zatun-Nitaqain. Sesudah dengan Qutailah ia kawin lagi dengan Umm Rauman binti Amir bin Uwaimir. Dari perkawinan ini lahir pula Abdur-Rahman dan ‘Aisyah. Kemudian di Medinah ia kawin dengan Habibah binti Kharijah, setelah itu dengan Asma’ binti Umais yang melahirkan Muhammad. Sementara itu usaha dagangnya berkembang pesat dan dengan sendirinya ia memperoleh laba yang cukup besar.

Perawakan dan Perangainya
Kepribadiannya dalam perdagangan itu mungkin saja disebabkan oleh pribadi dan wataknya. Berperawakan kurus, putih, dengan sepasang bahu yang kecil dan muka lancip dengan mata yang cekung disertai dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangan yang tampak jelas – begitu dilukiskan putrinya, Aisyah Ummul Mukminin. Begitu damai perangainya, sangat lemah lembut dan sikapnya tenang sekali. Tak mudah ia terdorong oleh hawa nafsu. Dibawa oleh sikapnya yang selalu tenang. pandangannya yang jernih serta pikiran yang tajam, banyak kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak diikutinya. ‘Aisyah menyebutkan bahwa ia tak pernah minum-minuman keras, di zaman jahiliah atau Islam, meskipun penduduk Mekah umumnya sudah begitu hanyut ke dalam khamar dan mabuk-mabukan. Ia seorang ahli genealogi ahli silsilah bicaranya sedap dan pandai bergaul. Seperti dilukiskan oleh Ibn Hisyam. penulis kitab Sirah : “Abu Bakr adalah laki-laki yang akrab di kalangan masyarakatnya, disukai karena ia serba mudah. Ia dari keluarga Kuraisy yang paling dekat dan paling banyak mengetahui seluk-beluk kabilah itu, yang baik dan yang jahat. Ia seorang pedagang dengan perangai yang sudah cukup terkenal. Karena suatu masalah, pemuka-pemuka masyarakatnya sering datang menemuinya, mungkin karena pengetahuannya, karena perdagangannya atau mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak.”
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 2 - 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar