"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Rabu, 13 November 2013

HINDUN BINTI ‘UTHBAH

Beliau adalah Hindun binti Utbah bin Rabi’ah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf Al-Umawiyah Al-Qurasyiyah. Ibunya bernama Shafiyyah binti Umayyah bin Haritsah bin Al-Auqashi bin Murrah bin Hilal bin Falih bin Dzikwan bin Tsa’labah bin Bahtah bin Salim.
Hindun adalah seorang wanita yang memiliki sifat yang luhur di antara wanita-wanita di Arab. Beliau adalah wanita yang fasih bicaranya, pemberani, kuat dan berjiwa besar, seorang pemikir, penyair dan seorang wanita yang bijak, beliau telah mengangkat kemuliaan dirinya dari nasabnya. Putra beliau yang bernama Mu’awiyah bin Abi Sufyan bercerita tentang beliau, “Ibuku adalah wanita yang sangat berbahaya di masa jahiliah dan di dalam Islam menjadi seorang wanita yang mulia dan baik.”
Imam Ibnu Abdil Barr berkata tentang Hindun, ”Beliau adalah seorang wanita yang berjiwa besar dan memiliki kehormatan.”
Ayahandanya menikahkan beliau dengan Fakihah bin Mughirah Al-Makhzumi, dan darinyalah beliau melahirkan dua anak kemudian setelah itu keduanya cerai. Beliau berkata kepada orang tuanya “Aku adalah wanita yang memiliki hak maka janganlah menikahkan diriku dengan seorang laki-laki sebelum menawarkannya kepadaku. Orang tuanya berkata : “Itu terserah kamu.”
Pada suatu hari orang tuanya berkata kepadanya, Sesungguhnya ada dua orang laki-laki dari kaummu sendiri, yang datang melamarmu aku tidak akan menyebut nama salah satu di antara mereka sebelum aku sebutkan ciri-ciri mereka kepadamu. Adapun yang satu adalah seorang yang terhormat, terpandang kemuliaannya, engkau dapat mempengaruhinya karena kebodohannya, halus perangainya, pandai bergaul, penurut, jika kamu mengikutinya maka dia akan mengikutimu, jika kamu menyimpang maka dia tetap bersama kamu, kamu dapat mengurus hartanya dan cukuplah kurangannya engkau tutup dengan kecerdasanmu.”
Adapun yang kedua, dia memiliki kehormatan, nasab dan kecerdasan yang tulen, gesit geraknya, berwibawa keluarganya, dia dapat mengatur keluarganya sedangkan keluarganya tunduk kepadanya, ia akan memberi kemudahan bagi mereka untuk mengikutiiya, jika mereka menjauhinya itu adalah aib bagi mereka, memiliki semangat yang tinggi dan amat cepat terbangnya (lincah), kecil perutya, jika lapar itu sudah biasa, jika berdebat tak dapat dikalahkan.”
Ayahnya berkata : “Telah aku jelaskan kepadamu perihal mereka berdua.” Hindun berkata : “Adapun laki-laki yang pertama, dialah tuan yang akan lenyap kemuliaannya, akan membinasakan istri jika kelak dia tak dapat menjaga untuk senantiasa berlemah lembut dengannya setelah tadinya menolaknya, dia akan merendahkan diri di bawah lambung istrinya, jika menghasilkan keturunan menjadi anak yang bodoh, jika melahirkan maka menjadi salah karenanya
Kemudian Hindun melanjutkan, “Urungkanlah laki-laki tersebut dariku dan tidak usah engkau sebutkan namanya kepadaku.
Adapun yang satunya kelak menjadi suami yang memiliki kemerdekaan yang sebenamya, sesungguhnya aku tertarik dengan kepriadiannya, dan aku mau menjadi istrinya, karena aku akan dapat bergaul dengannya dengan kesetiaanku dan sedikit kekuranganku, dan sesungguhnya dilihat dari segi nasab antara aku dengannya maka alangkah pantasnya, dan tiada penghalang bagi kami untuk berumah tangga, melindungi hakekat kecantikan yang sebenarnya tanpa perwakilan dan perantara tatkala berbincang-bincang, siapakah laki-laki tersebut?
Berkatalah ayahnya yang bemama Utbah, “Dia adalah Abu Sufyan bin Harb.” Hindun berkata : “Nikahkanlah aku dengannya, namun jangan tergesa-gesa seperti orang yang “beser”, jangan pula mendiktenya seperti api di tungku dan memintalah pilihan kepada Allah di langit agar memilihkan untukmu dengan ilmu-Nya terhadap qadha’.”
Begitulah, kita melihat bagaimana Hindun menghadapi kesulitan, dia angkat kepalanya ke atas puncak, dia tidak mau menikah dengan baik-baik, akan tetapi nantinya suaminya hanya menjadi boneka yang dia permainkan seenaknya, akan tetapi dia menghendaki seorang suami yang memiliki kepribadian, mulia dan kuat, sehingga suami tersebut dapat menjadi pendamping dirinya, bukan dirinya yang menjadi pendamping suaminya.
Hindun menjalani kehidupan rumah tangganya bersama Abu Sufyan, dan kita melihat bahwa semangat Hindun untuk mendapatkan kemuliaan lebih besar dari sekedar keinginannya dalam menumpahkan syahwat seorang laki-laki terhadap wanita.
Dia memiliki ambisi yang serius terhadap sesuatu yang dia yakini bahwa dirinya mampu. Di antara bukti yang menunjuki hal itu adalah bahwa suatu ketika orang-orang melihatnya sedang bersama putranya yang bernama Mu’awiyah, maka ketika itu orang-orang sama bergumam, Jika anak ini sudah besar, kelak akan memimpin kaumnya.
Pujian tersebut tidak membesarkan hatinya, bahkan dengan rasa tidak puas dan ingin lebih dari itu dia berkata : “Celakalah dia jika hanya menjadi pemimpin kaumnya saja.”
Ketika terjadi perang Badar Al-Kubra terbunuhlah dalam peperangan tersebut ayah Hindun dan juga pamannya yang bernama Syaibah dan juga saudaranya yang bernama Al-Walid... maka tumbuhlah di hati Hindun rasa dendam yang membara, ketika di pasar Ukazh dia bertemu dengan Al-Khansa’ yang bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Hindun?’ Maka dia menjawab :
Aku menangis karena rasa sakitnya dua luka
Menjaga keduanya dari perusak yang akan membinasakannya
Aku menangis karena ayahku Utbah yang telah berbuat baik
Duhai celakanya … Ketahuilah
Juga karena Syaibah yang telah menjaga yang patut untuk dibela
Mereka itulah keluarga yang mulia di atas rata-rata keluarga
Di saat kewibawaan mulai tumbuh berlipat ganda


Ketika perang Uhud, Hindun binti Utbah memainkan peranan sebagai juru perang yang handal, yang mana dia keluar bersama kaum musyrikin Quraisy, dan ketika itu pemimpin mereka adalah suaminya yakni Abu Sufyan, Hindun memberikan semangat berperang kepada orang-orang Quraisy bersama para wanita musyrikin lainnya sambil memukul rebana dan bersya’ir :
Kami adalah wanita-wanita jalanan
Yang berjalan membawa bantal yang empuk
Jika kalian maju kami peluk
Jika kalian lari akan kami cerai


Dia juga mengulang-ulang sya’ir :
Wahai Bani Abdi Daar
Wahai para pejuang
Pukullah dengan segala senjata yang tajam”

Pada masa itu Hindun tertulis dalam lembaran yang hitam kelam yang tak pernah dilupakan oleh sejarah. Lembaran tersebut berupa perlakuannya terhadap bapak dan para syuhada’ dan penghulunya yakni Hamzah bin Abdul Muththalib Dia telah memerintahkan kepada Al-Wahsyi bin Harb budaknya, dengan menjanjikan kemerdekaan bagi dirinya jika mampu membunuh Hamzah dan membalaskan dendamnya, senantiasa berkobar api permusuhan di dadanya, dan dia berkata: “Wahai Abu Dasmah obatilah aku... sembuhkanlah luka hatiku.”
Ucapan tersebut tidaklah mengherankan keluar dari mulut seseorang yang menyimpan dendam kesumat, akan tetapi yang tidak dapat diterima adalah perlakuannya yang tak wajar terhadap mayat pahlawan yang syahid yang telah dibunuh di luar batas kewajaran dengan memotong hidung dan kedua telinganya, kemudian merobek perutnya serta mengambil jantungnya lalu dikunyahnya, hanya saja dia tidak kuasa untuk menelannya maka diludahkan kembali, kemudian dia naik ke atas bukit dengan rasa puas lalu berteriak dengan suara yang lantang :
Telah kami balas kekalahan kami di perang Badar
Perang demi perang terus berkobar
Tiada bersabar diriku atas kematian Utbah ayahku
Tidak juga saudara dan pamanku
Telah kuobati luka hatiku dan telah kutebus nadzarku
Wahsyi telah hilangkan rasa haus di hatiku
Terima kasihku kepada Wahsyi terhadap umurku
Hingga terkelupas dagingku di dalam kuburku


Hindun juga berkata :
Telah terobati dendamku terhadap Hamzah di perang Uhud
Hingga kuambil jantungnya dengan merobek perutnya
Sirna sudah rasa sakit di hati
Dan kegundahan yang tiada terperi.


Begitulah, hingga Hindun mendapatkan gelar yang cukup memgganggunya yang masih terus terngiang-ngiang di telinganya setelah ke-Islaman-nya yakni julukan “Akiatul akbad” (Wanita pemakan jantung).
Hindun terus menerus dengan kesombongan dan kebanggaan jahiliyahnya hingga kalimat Allah berjaya dan terjadi hari kemenangan yang nyata (Fathul Makkah). Takdir Allah Jalla Sya’nuhu menghendaki agar pahlawan jahiliyah wanita berubah menjadi pahlawan Islam wanita. Pada malam penaklukan Makkah dan tatkala Fathul Makkah Abu Sufyan bin Harb kembali bersama Rasulullah sebagai seorang muslim dan dia berteriak lantang, ”Wahai orang-orang Quraisy.. ketahuilah sesungguhnya aku telah masuk Islam, maka masuk Islamlah kalian! Sesungguhnya Muhammad telah datang, kepada kalian dengan sesuatu yang tidak mungkin kalian hadapi barangsiapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan maka dia selamat.”
Maka berdirilah Hindun dan memegang jambangnya seraya berkata : “Seburuk-buruk pemimpin kaum adalah engkau. . .wahai penduduk Makkah berperanglah kalian, alangkah buruknya pemimpin kaum ini!”
Abu Sufyan berkata : “Celaka kalian. . janganlah kalian terpedaya dengan ocehannya, sungguh Muhammad telah datang dengan membawa kekuatan yang tidak mungkin kalian hadapi, barangasiapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan maka dia aman. “Mereka berkata : “Semoga Allah membinasakanmu, mana cukup rumahmu untuk menampung kami?” Kemudian dia berkata : “Barangsiapa yang menutup pintunya maka dia aman dan barangsiapa masuk masjid maka dia aman. ”Kemudian ketika itu orang-orang berpencar ada yang masuk ke dalam rumah dan ada pula yang masuk ke dalam masjid.”
Pada hari kedua setelah Fathul Makkah Hindun berkata kepada Abu Sufyan, Aku ingin mengikuti Muhammad, maka bawalah aku untuk menghadapnya.” Abu Sufyan berkata : “Sungguh aku melihat kemarin kamu benci dengan perkataan tersebut?” Berkata Hindun, “Demi Allah aku belum pernah melihat Allah disembah dengan sebenar-benarnya di dalam masjid sebagaimana yang aku lihat kemarin malam, demi Allah kemarin malam aku melihat orang-orang tidak melakukan selain shalat dengan berdiri, ruku’ dan bersujud.”
Abu Sufyan berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau telah banyak berbuat salah, maka pergilah kamu bersama laki-laki dari kaummu.” Maka Hindun pergi menemui Utsman bin Affan. Kemudian keduanya menghadap Rasulullah s.a.w. yang ketika itu bersamaan pula dengan para wanita. Setelah dia minta ijin dan diijinkan masuk, maka dia masuk dengan menggunakan cadar lantaran takut atas apa yang telah dia perbuat terhadap Hamzah, dia takut kalau-kalau Rasulullah s.a.w. akan membalas perbuatan tersebut. Hindun berkata : Wahai Rasulullah, alhanzdulillah yang telah memenangkan dien yang telah dipilih-Nya sehingga bermanfaat bagiku semoga Allah merahmati anda wahai Muhammad, sungguhnya aku adalah wanita yang telah beriman kepada Allah, membenarkan Rasul-Nya,” setelah itu Hindun membuka cadarnya seraya berkata : “Saya adalah Hindun binti Utbah.
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Selamat datang untukmu.”
Hindun berkata : “Demi Allah dahulu tiada di muka bumi ini suatu kaum yang paling aku sukai untuk mendapatkan kehinaan lainkan kamu, akan tetapi sekarang, tiada di muka bumi ini kaum yang paling aku sukai untuk mendapatkan kemuliaan melainkan kaummu.”
Maka Nabi bersabda : “Dan lebih dari itu.” Kemudian beliau membacakan Al-Qur’an kepada para wanita tersebut dan membai’at mereka. Hindun berkata di tengah-tengah mereka, “Wahai Rasulullah haruskah kami menjabat tanganmu?’, kemudian Nabi s.a.w. bersabda : “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita, dan bahwasannya perkataanku kepada seratus wanita sama sebagaimana kepada seorang wanita. “
Selanjutnya Rasulullah bersabda : “Apakah kalian membai’at untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun?” Hindun berkata : “Demi Allah sesungguhnya anda telah meminta dari kami apa yang tidak anda minta dari kaum laki-laki, kami akan menerima dan melaksanakannya.”
Kemudian Nabi melanjutkan, “Dan janganlah kalian mencuri.”
Hindun berkata : “Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah suami yang bakhil, maka apakah boleh bagiku untuk mengambil makanannya tanpa seijinnya? Maka Rasulullah memberikan rukhshah baginya untuk kurma basah dan tidak memberikan rukhshah untuk kurma kering.
Rasulullah melanjutkan, “Dan janganlah kalian berzina.” Hindun berkata : “Mungkinkah seorang wanita merdeka berzina?” Nabi melanjutkan, “Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian.” Hindun menjawab, “Sungguh telah kami pelihara mereka sejak kecil kemudian kalian telah membunuhnya di perang Badar tatkala dewasa, maka engkau lebih tahu akan hal itu begitu pula mereka (para sahabat). ”Maka ketika itu Umar bin Khathab tertawa mendengar perkataan Hindun tersebut, hingga lama sekali.
Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda : “Dan janganlah berbuat dusta yang diada-adakan antara tangan dan kaki kalian.”
Hindun berkata : “Demi Allah sesungguhnya kedustaan itu amatlah buruk.”
Nabi s.a.w. melanjutkan, “Dan janganlah kalian mendurhakaiku dalam urusan yang baik.”
Hindun menyahut, “Tidaklah kami akan duduk di majelis ini jika hendak mendurhakai anda dalam urusan yang ma’ruf.”
Begitulah sikap Hindun di hadapan Rasulullah s.a.w., dengan kepribadiannya yang kuat dan keimanannya yang tulus berdialog, bertanya dan mengulang-ulangnya.
Tatkala Hindun pulang ke rumahnya, langsung menuju patung di rumahnya dan menghancurkannya dengan sebuah kapak besar hingga berkeping-keping seraya berkata : “Dahulu kami tertipu olehmu.. dahulu kami tertipu olehmu..”
Hari-hari berlalu dan semakin bertambahlah pengetahuan Hindun dalam masalah keimanan, sehingga membawa dirinya untuk berjihad menyertai kaum muslimin. Beliau bersama suaminya yakni Abu Sufyan menyertai perang Yarmuk yang terkenal itu, hingga mendapatkan luka yang serius, beliau juga memompa semangat kaum muslimin untuk memerangi Romawi dengan mengatakan “Percepatlah kematian mereka dengan pedang kalian wahai kaum muslimin!.”
Hindun juga turut meriwayatkan dari Nabi s.a.w. dan begitu pula putra beliau Mu’awiyah bin Abi Sufyan meriwayatkan beliau dari Aisyah Ummul mukminin r.a..
Pada tahun ke 14 Hijriyah wafatlah Hindun binti Utbah yang mana beliau sebagaimana yang digambarkan oleh putranya Mu’awiyah, “Sesungguhnya di zaman jahiliyah beliau memiliki kewibawaan begitupula di zaman Islam beliau memiliki kemuliaan yang tinggi.”
-----------------------------------------------------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 216 – 224

Tidak ada komentar:

Posting Komentar