"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Jumat, 02 Mei 2014

Kemarahan Abu Bakr

Orang yang begitu damai dan tenang ini tak pernah mengenal marah, kecuali ketika melihat musuh-musuh dakwah yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan kaum Munafik itu mulai berolok-olok dan main tipu muslihat. Rasulullah dan kaum Muslimin dengan pihak Yahudi sudah membuat perjanjian, masing-masing menjamin kebebasan menjalankan dakwah agamanya serta bebas melaksanakan upacara-upacara keagamaannya masing-masing. Orang-orang Yahudi itu pada mulanya mengira bahwa mereka mampu mengambil keuntungan dari kaum Muslimin yang datang dari Mekah dalam menghadapi Aus dan Khazraj. Tetapi setelah ternyata tak berhasil mereka memecah belah kaum Muhajirin dengan kaun Ansar, mulailah mereka menjalankan tipu muslihat dan memperolok agama. Beberapa orang Yahudi berkumpul mengerumuni salah seorang dari mereka yang bernama Finhas. Dia adalah pendeta dan pemuka agama mereka. Ketika Abu Bakr datang dan melihat mereka, ia berkata kepada Finhas ini : “Finhas, takutlah engkau kepada Allah dan terimalah Islam. Engkau tahu bukan bahwa Muhammad Rasulullah. Dia telah datang kepada kita dengan sebenarnya sebagai utusan Allah. Kalian akan melihat itu dalam Taurat dan Injil.”
Dengan berolok dan senyum mengejek di bibir Finhas berkata : “Abu Bakr, bukan kita yang memerlukan Tuhan, tapi Dia yang memerlukan kita. Bukan kita yang meminta-minta kepada-Nya, tetapi Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita tidak memerlukan-Nya, tapi Dialah yang memerlukan kita. Kalau Dia kaya, tentu tidak akan minta dipinjami harta kita, seperti yang didakwakan oleh pemimpinmu itu. Ia melarang kalian menjalankan riba, tapi kita akan diberi jasa. Kalau Ia kaya, tentu Ia tidak akan menjalankan ini.”
Yang dimaksud oleh kata-kata Finhas itu firman Allah : “Siapakah yang hendak meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, yang akan Ia lipatgandakan dengan sebanyak-banyaknya.” (Qur’an 2 : 245).
Setelah Abu Bakr melihat orang ini memperolok firman Allah serta wahyu-Nya kepada Nabi, ia tak dapat menahan diri, dipukulnya muka Finhas itu keras-keras seraya katanya : “Demi Allah, kalau tidak karena adanya perjanjian antara kami dengan kamu sekalian, kupukul kepalamu. Engkaulah musuh Tuhan!”
Bukanlah aneh juga Abu Bakr menjadi begitu keras, orang yang begitu tenang, damai dan rendah hati itu. Ia menjadi sedemikian rupa padahal usianya sudah melampaui lima puluh tahun!
Kemarahannya kepada Finhas ini mnengingatkan kita kepada kemarahan yang sama lebih sepuluh tahun yang silam, yaitu ketika Persia mengalahkan Rumawi, Persia Majusi dan Rumawi Ahli Kitab. Kaum Muslimin ketika itu merasa sedih karena diejek kaum musyrik yang menduga bahwa pihak Rumawi kalah karena juga Ahli Kitab seperti mereka. Ada seorang musyrik menyinggung soal ini di depan Abu Bakr dengan begitu bersemangat bicaranya, sehingga Abu Bakr naik pitam. Diajaknya orang itu bertaruh dengan sepuluh ckor unta bahwa kelak Rumawi yang akan mengalahkan pihak Majusi sebelum habis tahun itu. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakr akan sangat marah jika sudah mengenai akidah dan keimanannya yang begitu tulus kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah sikapnya tatkala ia berusia empat puluh, dan tetap itu juga setelah sekarang usianya lima puluh tahun sampai kemudian ketika ia sudah menjadi Khalifah dan memegang pimpinan kaum Muslimin.

Kekuasaan Iman pada Abu Bakr
Keimanan yang tulus inilah yang menguasai Abu Bakr, menguasai segala perasaannya, sepanjang hidupnya, sejak ia menjadi pengikut Rasulullah. Orang akan dapat menganalisis segala peristiwa kejiwaannya dan perbuatannya serta segala tingkah lakunya itu kalau orang mau melihatnya dari segi moral. Sebaliknya, semua yang di luar itu, tak ada pengaruhnya dan segala keinginan yang biasa mempengaruhi hidup manusia, dan banyak juga kaum Muslimin ketika itu yang terpengaruh, buat dia tak ada artinya. Yang berkuasa terhadap dirinya hati nuraninya, pikiran dan jiwanya semua hanyalah demi Allah dan Rasul-Nya.
Semua itu adalah iman, iman yang sudah mencapai tingkat tertinggi, tingkat siddiqin, yang sudah begitu baik tempatnya.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 17 - 18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar