"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Kamis, 22 Mei 2014

Ansar di Saqifah Banu Sa‘idah

Wajar sekali dengan perasaan yang demikian itu kaum Ansar akan cepat-cepat berpikir mengenai kota mereka begitu mereka mengetahui Rasulullah sudah wafat. Adakah orang-orang Medinah dan orang-orang Arab itu akan diurus oleh kaum Muhajirin, yang ketika tinggal di Mekah dulu mereka masih lemah, tak ada tempat berlindung, tak ada pembelaan sebelum mereka diangkat oleh Medinah, ataukah akan diurus oleh penduduk Medinah sendiri, yang seperti kata Rasulullah ia datang kepada mereka didustakan orang, lalu mereka yang mempercayainya, ia ditinggalkan orang, mereka yang menolongnya, ia diusir mereka yang memberi tempat dan ia sengsara mereka yang menghiburnya.
Beberapa orang dari kalangan Ansar membicarakan masalah ini. Mereka lalu berkumpul di Saqifah Banu Sa’idah. Ketika itu Sa’d sedang sakit di rumahnya. Oleh mereka diminta keluar sebagai orang yang akan menentukan pendapat di kalangan Ansar. Setelah mendengar laporan itu ia berkata kepada anaknya atau kepada salah seorang sepupunya : “Karena sakitku ini kata-kataku tak akan terdengar oleh khalayak itu semua. Tetapi teruskanlah kata-kataku biar terdengar oleh mereka.”

Pidato Sa’d di Hadapan Kaum Ansar
Kemudian ia mulai berbicara. Salah seorang meneruskan kata-katanya itu kepada hadirin. Sesudah mengucapkan syukur dan puji kepada Allah ia berkata : “Saudara-saudara Ansar, kamu adalah orang-orang terkemuka dalam Islam dan yang mulia dalam Islam, yang tak ada pada kabilah-kabilah Arab yang lain. Muhammad ‘alaihis-salam selama sekitar sepuluh tahun di tengah-tengah masyarakatnya itu mengajak mereka beribadah kepada Allah, dan menjauhi penyembahan berhala, tetapi hanya sedikit saja dari mereka yang beriman. Mereka tidak mampu melindungi Rasulullah atau mengangkat kedudukan agama, juga mereka tak dapat membela diri mereka sendiri dari kezaliman lawan yang sudah begitu merajalela, karena Allah menghendaki kamu menjadi orang yang bermartabat, maka kamu telah diberi kehormatan dan kenikmatan. Karunia Allah kepada kamu ialah kamu telah beriman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dapat memberikan perlindungan kepadanya dan kepada sahabat-sahabatnya, sama-sama mendukungnya dalam mengangkat martabat serta memperkuat agamanya, berjuang menghadapi musuh-musuhnya. Kamu adalah orang-orang yang paling keras menghadapi musuhnya itu, baik yang datang dari dalam kalangan kamu ataupun dari luar. Sampai akhirnya kawasan Arab itu mau tak mau tunduk kepada perintah Allah, sampai ke tempat yang jauh semua tunduk menyerah, sehingga Allah memberikan kemenangan kepada Rasulullah. Dengan pedang kamu orang-orang Arab itu tunduk kepadanya. Dengan kehendak Allah Rasulullah sekarang telah berpulang ke sisi-Nya, dengan senang hati terhadap kamu sekalian, Oleh karena itu Saudara-saudara, pertahankanlah kekuasaan ini di luar orang lain, karena itu memang hak kamu, bukan hak orang lain.”
Mendengar kata-kata Sa’d itu, serentak mereka menjawab : “Tepat sekali pendapatmu, dan kami tak akan beranjak dari pendapat itu. Kami serahkan persoalan ini ke tanganmu. Demi kepentingan kaum Muslimin engkaulah pemimpin kami.”
Adakah kebulatan suara ini suatu keputusan yang sudah mantap, keluar dari kehendak hati yang benar-benar sudah tak tergoyahkan lagi? Kalau memang demikian halnya tentu cepat mereka akan memberi ikrar dan dengan ikrar atau baiat itu orang-orang akan ramai-ramai pula mendukungnya. Tetapi ternyata mereka masih berdiskusi sebelum ada yang tampil membaiat Sa’d. Di antara mereka masih ada yang berkata : “Kalau kaum Muhajirin Kuraisy itu menolak lalu mereka berkata “Kami adalah kaum Muhajirin, sahabat-sahabat Rasulullah yang mula-mula, kami masih sesuku dan keluarga dekatnya, lalu dengan apa harus kita hadapi mereka dalam hal ini?”
Kata-kata ini mendapat perhatian hadirin. Mereka berpendapat ini benar juga. Tadinya menurut anggapan sebagian mereka sudah tak dapat dibantah. Ketika itulah ada sekelompok orang berkata : “Kalau begitu. kita bisa mengatakan, dan kita seorang amir dan dari kamu seorang amir. Di luar ini kami samasekali tidak setuju.”

Kelemahan Pertama
Sa’d bin Ubadah bukan tidak tahu adanya sikap ragu-ragu yang akhirnya akan membuat orang menyimpang dari tujuan semula, seperti yang tersirat dalam kata-kata itu. Karenanya, ketika mendengar hal itu ia berkata : “Ini adalah kelemahan pertama.”
Barangkali ia melihat adanya kelemahan pertama itu ketika mereka yang berpendapat demikian datang dari kalangan Aus. Sebaliknya pihak Khazraj tidak mungkin akan mengatakan demikian mengingat Sa’d bin Ubadah adalah pemimpin mereka yang memang sudah mereka calonkan untuk memegang pimpinan Muslimin sesudah Rasulullah. Antara Banu Aus dengan Banu Khazraj ini sejak dahulu selalu dalam sengketa selalu, yaitu sejak kedatangan nenek moyang mereka ke Medinah dari Yaman — tatkala kabilah Azd berimigrasi ke utara. Nenek moyang mereka di Medinah bertemu dengan orang-orang Yahudi dan sampai sekian lama mereka berada di bawah kekuasaannya. Kemudian mereka berontak dan berhasil melepaskan diri dari kekuasaan itu. Sejak itu, antara kedua kabilah ini terjadi permusuhan sengit. Dalam pada itu kekuasaan itu kembali lagi ke tangan orang Yahudi. Kedua kabilah ini kemudian melihat bahwa apa yang terjadi itu akan membawa kelemahan kepada mereka sendiri. Maka mereka bermaksud hendak mengangkat Abdullah bin Muhammad sebagai pemimpin mereka, sesudah tidak sedikit menelan korban di pihak mereka akibat perang Bu’as. Di sinilah pihak Israil memang lebih unggul dari mereka.
Sementara itu ada beberapa orang yang datang ke Mekah hendak berziarah. Ketika itulah mereka bertemu dengan Nabi yang kemudian mengajak mereka kepada agama Tauhid. Mereka saling berkata satu sama lain : “Sungguh inilah Nabi yang pernah dijanjikan orang-orang Yahudi kepada kita. Jangan sampailah mereka mendahului kita.”
Kemudian setelah menerima ajakan itu mereka pun masuk Islam.
“Kami telah meninggalkan golongan kami.” kata mereka —yakni Aus dan Khazraj— dan tidak ada lagi golongan yang akan saling bermusuhan dan saling mengancam. Mudah-mudahan Allah mempertemukan Tuan dengan mereka. Kalau Allah mempertemukan mereka dengan Tuan, tak ada orang yang lebih mulia dari Tuan.”
Sesudah itu mereka kembali ke Medinah. Pengalaman mereka itu mereka sampaikan kepada kabilah mereka. Inilah pendahuluan Ikrar Akabah (Bai’tul ‘Aqabah al—Kubra) dan pendahuluan hijrah Rasulullah ke Medinah serta permulaan tersebarnya Islam di sana.
Agama baru ini telah mempersatukan orang-orang beriman dan mempererat rasa persaudaraan dan kasih sayang mereka yang ada di sekeliling Nabi. Dengan demikian kedudukan Yahudi makin lemah, dan ini yang membuka jalan keluarnya mereka dari Medinah dan dari seluruh kawasan Arab.
Tetapi bekas permusuhan lama dalam hati Aus dan Khazraj itu masih belum hilang. Hal itu timbul bila orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik yang pura-pura masuk Islam menghasut mereka. Inilah yang menimbulkan dugaan, bahwa ketika melihat orang yang berkumpul di Saqifah Banu Sa’idah mengatakan “Dari kami seorang amir dan dari Kuraisy seorang amir.” Sa’d bin Ubadah tidak akan mengatakan “Ini adalah kelemahan pertama,” kalau bukan golongan Aus yang mengatakan itu.

Catatan :
Saqifah, adalah serambi beratap atau ruangan besar beratap, semacam balairung.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 32 - 35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar