Republika, [Jum'at, 17 Juni 2005]. Berdirinya organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah tidak terlepas dari sumbangsih empat kuartet bersaudara. Mereka amat dihormati oleh warga Muhammadiyah, dari sejak dulu hingga kini. Empat bersaudara tersebut antara lain H Muhammad Sudjak, KH Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusuma, dan KH Zaini.
Mereka merupakan generasi pertama gerakan Muhammadiyah yang langsung di bawah bimbingan KH Ahmad Dahlan, Bapak Muhammadiyah. Dan dari empat orang bersaudara itu, yang paling tua adalah H Muh Sudjak. Seperti dikutip dari situs resmi organisasi Muhammadiyah, H Muhammad Sudjak terlahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada tahun 1885/1303 H. Dia berasal dari keluarga abdi dalem santri keraton Yogyakarta. Ayahnya adalah H. Hasyim yang menjabat sebagai seorang abdi dalem keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII.
Sudjak semasa masih kecil dipanggil dengan nama Daniel. Nama tersebut diberikan karena dia lahir bertepatan dengan tahun Dal. Tapi, setelah menginjak usia dewasa, khususnya setelah naik haji namanya diganti menjadi Muhammad Sudjak. Nama Sudjak berarti berani naik haji. Sudjak lebih banyak mendapat pendidikan keagamaan dari orang tuanya, baik di lingkungan keluarga maupun di Masjid Agung Keraton Yogyakarta. Latar belakang pendidikannya secara formal kurang dapat ditelusuri. Sementara itu, menurut beberapa informasi yang ada, Sudjak dikenal sebagai seorang yang otodidak.
Dia juga sempat belajar di pondok pesantren. Hanya saja, di pondok pesantren mana tidak ada yang mengetahui. Ada kemungkinan dia belajar di pondok pesantren Wonokromo seperti adiknya, KH Fakhruddin. Saat memasuki usia remaja, di Kauman terjadi usaha pembaharuan bidang pendidikan yang dipelopori oleh KH Ahmad Dahlan. Sebagai remaja yang yang besar di lingkungan Kauman, Sudjak masuk di dalamnya. Dia menjadi salah seorang pendukung, murid, sekaligus santri KH Ahmad Dahlan.
Pada waktu bersamaan, Sudjak juga dimagangkan di lingkungan Keraton Yogyakarta untuk menjadi abdi dalem. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena dia merasa kurang cocok untuk menjadi seorang abdi dalem. Keluar dari magang di lingkungan keraton, Sudjak mulai mencurahkan perhatian di Muhammadiyah yang baru berdiri. Saat Muhammadiyah berdiri tahun 1912, Sudjak adalah salah seorang anggota angkatan mudanya. Dia adalah murid serta kader langsung KH Ahmad Dahlan bersama-sama dengan adik dan teman-temannya, seperti H Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusumo, H Zaini, H Mokhtar, HA Badawi, RH Hadjid, dan lain-lain.
Meski demikian, dia belum duduk di dewan kepengurusan. Hal itu dikarenakan usianya masih relatif muda. Sudjak mulai terlibat dalam kepengurusan Muhammadiyah sejak memasuki dekade 1920-an, tepatnya pada tahun 1921. Pada saat itu Hoofdbestuur (HB) dalam kepengurusannya. Salah satunya adalah Bagian Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) yang bertugas meringankan beban penderitaan umat melalui aksi-aksi sosialnya.
Dari sekian banyak kader muda KH. Ahmad Dahlan yang mempunyai pola pikir dan perjuangan pragmatis dan bergerak di bidang sosial adalah Sudjak. Sikap seperti itu merupakan hasil pendidikan yang diberikan KH Ahmad Dahlan di mana dia senantiasa menekankan pentingnya aksi (praktek amaliah) dari pada hanya sekedar beretorika. Dan Sudjak dipandang sebagai tokoh yang pantas memimpin Bagian PKU Muhammadiyah.
Sebagai pemimpin Bagian PKU Muhammadiyah, Sudjak yakin lembaga tersebut akan mampu membuktikan bahwa bangsa Indonesia, khususnya Muhammadiyah dapat mendirikan rumah sakit, rumah miskin, rumah anak yatim dan sebagai aksi sosialnya. Rencananya untuk mendirikan beberapa amal sosial itu kemudian dipresentasikan saat dilantik menjadi ketua Bagian PKU Muhammadiyah. Rencana Sudjak terdengar sangat berlebihan untuk ukuran saat itu sehingga di depan khalayak dia malah ditertawakan. Meski demikian dia tetap yakin akan tekadnya.
Dia berpegang pada realitas bahwa telah banyak orang non-Muslim (Kolonial Belanda) yang dapat mendirikan rumah sakit, rumah miskin dan rumah yatim hanya karena dorongan rasa kemanusiaan tanpa didasari rasa tanggungjawab kepada Allah SWT. Jika umat non-Muslim saja mampu melakukan aksi-aksi sosial, mengapa umat Islam yang mempunyai landasan agama seperti yang tertera dalam QS Al-Maun, tidak dapat melakukannya.
Lebih jauh dia berprinsip bahwa jika Allah telah menetapkan ketentuannya di dalam Alquran, pasti ketentuan itu dapat dilakukan umat-Nya, karena mustahil Allah membuat ketentuan yang tidak dapat dilakukan kaum-Nya. Pada perkembangannya kemudian, ternyata apa yang digagas Sudjak menjadi kenyataan. Perlahan tapi pasti Muhammadiyah mampu mendirikan rumah sakit di Yogyakarta serta mendirikan rumah miskin dan panti anak yatim di mana-mana sebagai amal usaha-amal usaha andalan di bidang sosial.
Itulah sumbangan terbesar yang diberikan Sudjak dalam merintis dan mengembangkan gerakan Muhammadiyah, khususnya di bagian PKU. Sudjak pun dipandang sebagai inspirator dan perintis utama aksi sosial dalam gerakan Muhammadiyah setelah KH Ahmad Dahlan sendiri. Di lingkungan Muhammadiyah, meski belum pernah menjabat sebagai ketua Muhammadiyah dan jabatan tertingginya hanya sampai pada jabatan wakil ketua, tapi nama Sudjak cukup populer. Hal ini karena dia dipandang sebagai salah seorang murid dan kader langsung dari KH. Ahmad Dahlan.
Bahkan pada sekitar tahun 1937 ketika terjadi gejolak di kalangan muda Muhammadiyah yang menghendaki adanya regenerasi dia adalah salah satu di antara trio angkatan tua bersama-sama dengan M. Mukhtar dan H. Hisyam yang sangat populer. Dalam kongres Muhammadiyah yang ke-26 di Yogyakarta pada tahun 1937, Sudjak tetap diberi kepercayaan untuk memimpin Bagian (Majlis) PKU yang memang bidangnya. Setelah itu, Sudjak tidak lagi duduk di dalam kepengurusan besar Muhammadiyah secara fungsional. Namun, hingga masa akhir hayatnya pada tahun 1962, dia dipercaya menjadi anggota penasehat PP Muhammadiyah.
Kiprah Sudjak tak hanya di lingkup Muhammadiyah saja, tercatat dia juga aktif dalam memperjuangkan perbaikan kualitas perjalanan haji bagi jamaah asal Indonesia. Pada periode pasca kemerdekaan bersama teman-temannya yang punya komitmen pada persoalan jamaah haji, dia membentuk satu wadah yang kemudian dinamakan Persatuan Djamaah Haji Indonesia (PDHI). Meski dalam perjuangannya dia sampai diperkarakan di pengadilan, tapi langkahnya tidak pernah surut. Sampai hari-hari menjelang wafatnya pun dia masih terus aktif di urusan perjalanan Haji. Berkat jasa-jasanya itulah sehingga Sudjak dikenal sebagai tokoh pelopor perbaikan perjalanan haji Indonesia.
H Sudjak meninggal dunia pada tanggal 5 Agustus 1962 setelah sekitar setengah abad ikut membesarkan Muhammadiyah. Di kalangan para tokoh Muhammadiyah, dia dikenal sebagai salah seorang yang banyak mewarisi sikap gurunya, KH. Ahmad Dahlan, dalam rangka mengembangkan organisasi. Jika KH Ahmad Dahlan adalah peletak dasar berbagai aktivitas amal usaha sosial Muhammadiyah, maka H.Sudjak adalah perumus dan sekaligus penafsirnya dalam realitas gerakan. Itulah sumbangan besar H. Sudjak dalam mengembangkan gerakan Muhammadiyah, khususnya di bidang amal usaha sosial.
Mereka merupakan generasi pertama gerakan Muhammadiyah yang langsung di bawah bimbingan KH Ahmad Dahlan, Bapak Muhammadiyah. Dan dari empat orang bersaudara itu, yang paling tua adalah H Muh Sudjak. Seperti dikutip dari situs resmi organisasi Muhammadiyah, H Muhammad Sudjak terlahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada tahun 1885/1303 H. Dia berasal dari keluarga abdi dalem santri keraton Yogyakarta. Ayahnya adalah H. Hasyim yang menjabat sebagai seorang abdi dalem keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII.
Sudjak semasa masih kecil dipanggil dengan nama Daniel. Nama tersebut diberikan karena dia lahir bertepatan dengan tahun Dal. Tapi, setelah menginjak usia dewasa, khususnya setelah naik haji namanya diganti menjadi Muhammad Sudjak. Nama Sudjak berarti berani naik haji. Sudjak lebih banyak mendapat pendidikan keagamaan dari orang tuanya, baik di lingkungan keluarga maupun di Masjid Agung Keraton Yogyakarta. Latar belakang pendidikannya secara formal kurang dapat ditelusuri. Sementara itu, menurut beberapa informasi yang ada, Sudjak dikenal sebagai seorang yang otodidak.
Dia juga sempat belajar di pondok pesantren. Hanya saja, di pondok pesantren mana tidak ada yang mengetahui. Ada kemungkinan dia belajar di pondok pesantren Wonokromo seperti adiknya, KH Fakhruddin. Saat memasuki usia remaja, di Kauman terjadi usaha pembaharuan bidang pendidikan yang dipelopori oleh KH Ahmad Dahlan. Sebagai remaja yang yang besar di lingkungan Kauman, Sudjak masuk di dalamnya. Dia menjadi salah seorang pendukung, murid, sekaligus santri KH Ahmad Dahlan.
Pada waktu bersamaan, Sudjak juga dimagangkan di lingkungan Keraton Yogyakarta untuk menjadi abdi dalem. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena dia merasa kurang cocok untuk menjadi seorang abdi dalem. Keluar dari magang di lingkungan keraton, Sudjak mulai mencurahkan perhatian di Muhammadiyah yang baru berdiri. Saat Muhammadiyah berdiri tahun 1912, Sudjak adalah salah seorang anggota angkatan mudanya. Dia adalah murid serta kader langsung KH Ahmad Dahlan bersama-sama dengan adik dan teman-temannya, seperti H Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusumo, H Zaini, H Mokhtar, HA Badawi, RH Hadjid, dan lain-lain.
Meski demikian, dia belum duduk di dewan kepengurusan. Hal itu dikarenakan usianya masih relatif muda. Sudjak mulai terlibat dalam kepengurusan Muhammadiyah sejak memasuki dekade 1920-an, tepatnya pada tahun 1921. Pada saat itu Hoofdbestuur (HB) dalam kepengurusannya. Salah satunya adalah Bagian Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) yang bertugas meringankan beban penderitaan umat melalui aksi-aksi sosialnya.
Dari sekian banyak kader muda KH. Ahmad Dahlan yang mempunyai pola pikir dan perjuangan pragmatis dan bergerak di bidang sosial adalah Sudjak. Sikap seperti itu merupakan hasil pendidikan yang diberikan KH Ahmad Dahlan di mana dia senantiasa menekankan pentingnya aksi (praktek amaliah) dari pada hanya sekedar beretorika. Dan Sudjak dipandang sebagai tokoh yang pantas memimpin Bagian PKU Muhammadiyah.
Sebagai pemimpin Bagian PKU Muhammadiyah, Sudjak yakin lembaga tersebut akan mampu membuktikan bahwa bangsa Indonesia, khususnya Muhammadiyah dapat mendirikan rumah sakit, rumah miskin, rumah anak yatim dan sebagai aksi sosialnya. Rencananya untuk mendirikan beberapa amal sosial itu kemudian dipresentasikan saat dilantik menjadi ketua Bagian PKU Muhammadiyah. Rencana Sudjak terdengar sangat berlebihan untuk ukuran saat itu sehingga di depan khalayak dia malah ditertawakan. Meski demikian dia tetap yakin akan tekadnya.
Dia berpegang pada realitas bahwa telah banyak orang non-Muslim (Kolonial Belanda) yang dapat mendirikan rumah sakit, rumah miskin dan rumah yatim hanya karena dorongan rasa kemanusiaan tanpa didasari rasa tanggungjawab kepada Allah SWT. Jika umat non-Muslim saja mampu melakukan aksi-aksi sosial, mengapa umat Islam yang mempunyai landasan agama seperti yang tertera dalam QS Al-Maun, tidak dapat melakukannya.
Lebih jauh dia berprinsip bahwa jika Allah telah menetapkan ketentuannya di dalam Alquran, pasti ketentuan itu dapat dilakukan umat-Nya, karena mustahil Allah membuat ketentuan yang tidak dapat dilakukan kaum-Nya. Pada perkembangannya kemudian, ternyata apa yang digagas Sudjak menjadi kenyataan. Perlahan tapi pasti Muhammadiyah mampu mendirikan rumah sakit di Yogyakarta serta mendirikan rumah miskin dan panti anak yatim di mana-mana sebagai amal usaha-amal usaha andalan di bidang sosial.
Itulah sumbangan terbesar yang diberikan Sudjak dalam merintis dan mengembangkan gerakan Muhammadiyah, khususnya di bagian PKU. Sudjak pun dipandang sebagai inspirator dan perintis utama aksi sosial dalam gerakan Muhammadiyah setelah KH Ahmad Dahlan sendiri. Di lingkungan Muhammadiyah, meski belum pernah menjabat sebagai ketua Muhammadiyah dan jabatan tertingginya hanya sampai pada jabatan wakil ketua, tapi nama Sudjak cukup populer. Hal ini karena dia dipandang sebagai salah seorang murid dan kader langsung dari KH. Ahmad Dahlan.
Bahkan pada sekitar tahun 1937 ketika terjadi gejolak di kalangan muda Muhammadiyah yang menghendaki adanya regenerasi dia adalah salah satu di antara trio angkatan tua bersama-sama dengan M. Mukhtar dan H. Hisyam yang sangat populer. Dalam kongres Muhammadiyah yang ke-26 di Yogyakarta pada tahun 1937, Sudjak tetap diberi kepercayaan untuk memimpin Bagian (Majlis) PKU yang memang bidangnya. Setelah itu, Sudjak tidak lagi duduk di dalam kepengurusan besar Muhammadiyah secara fungsional. Namun, hingga masa akhir hayatnya pada tahun 1962, dia dipercaya menjadi anggota penasehat PP Muhammadiyah.
Kiprah Sudjak tak hanya di lingkup Muhammadiyah saja, tercatat dia juga aktif dalam memperjuangkan perbaikan kualitas perjalanan haji bagi jamaah asal Indonesia. Pada periode pasca kemerdekaan bersama teman-temannya yang punya komitmen pada persoalan jamaah haji, dia membentuk satu wadah yang kemudian dinamakan Persatuan Djamaah Haji Indonesia (PDHI). Meski dalam perjuangannya dia sampai diperkarakan di pengadilan, tapi langkahnya tidak pernah surut. Sampai hari-hari menjelang wafatnya pun dia masih terus aktif di urusan perjalanan Haji. Berkat jasa-jasanya itulah sehingga Sudjak dikenal sebagai tokoh pelopor perbaikan perjalanan haji Indonesia.
H Sudjak meninggal dunia pada tanggal 5 Agustus 1962 setelah sekitar setengah abad ikut membesarkan Muhammadiyah. Di kalangan para tokoh Muhammadiyah, dia dikenal sebagai salah seorang yang banyak mewarisi sikap gurunya, KH. Ahmad Dahlan, dalam rangka mengembangkan organisasi. Jika KH Ahmad Dahlan adalah peletak dasar berbagai aktivitas amal usaha sosial Muhammadiyah, maka H.Sudjak adalah perumus dan sekaligus penafsirnya dalam realitas gerakan. Itulah sumbangan besar H. Sudjak dalam mengembangkan gerakan Muhammadiyah, khususnya di bidang amal usaha sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar